“Dad, kita bisa minta dihentikan penerbangannya!” teriak Frederix. Lalu, putra sulung William itu sibuk menelepon.
“Dad, ayo bersiap. Kita ke bandara, ya,” ucap Sacha sambil menuntun Daddy-nya.
Sementara itu, Louis juga sibuk dengan teleponnya. Ia lebih memilih memperhatikan peta pada layar telepon genggamnya. Matanya begitu fokus pada layar kecil di tangannya.
“Sial!” maki Frederix.
“Ada apa?” tanya Sacha.
“Pesawat relawan itu adalah pesawat angkatan udara. Kita tidak mungkin membatalkan pesawat milik negara tersebut,” jawab Fred dengan nada menyesal.
“Sudah kubilang kalian terlambat,” desis Jaslan.
Lalu, tiba-tiba Louis menarik kursi roda dan mendudukkan William sambil berkata,”Aku bisa membawa Daddy ke bandara dalam waktu lima belas menit!”
Fred segera mendorong kursi roda William. Louis telah berlari untuk mempersiapkan mobil yang akan ia gu
Keyna mengerjap-ngerjap. Matanya belum dapat sepenuhnya terbuka. Namun begitu, ia dapat melihat wajah lelaki tampan di hadapannya yang sedang tersenyum."Emm ... apa kamu tidak tidur semalaman?" tanya Keyna pada William"Tidur, kok," balas William."Bohong. Setiap aku membuka mata, kamu masih terbangun dan menatapku."Tangan William terjulur mengusap halus pipi sang istri. "Aku tidak mau tertidur.""Kenapa?""Tentu saja agar aku dapat terus menatapmu. Lagipula, jika aku terlelap, aku takut saat terbangun kamu tidak ada di sisiku.""Kalau kamu tidur, mungkin saja kamu bisa bermimpi indah karena suasana hati yang sedang bersuka cita."William mengerutkan kening lalu menggeleng pelan. "Tidak akan ada mimpi yang lebih indah dari kenyataan bisa kembali bersamamu lagi seperti ini, Key."Keyna tersenyum menatap William. Ternyata seperti ini rasanya bahagia memiliki seseorang yang mencintainya. Sekarang, ia juga merasa senang tidak berada di dalam pesawat relawan itu."Tapi, kamu harus cukup
Setelah saling bercerita, mereka membereskan perlengkapan makan bersama. Keyna kembali takjub pada suaminya. Meskipun William seorang bilioner, tetapi ia tidak sungkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.Seperti saat ini, ia sedang mencuci piring dan perlengkapan memasak yang baru saja mereka gunakan. Keyna membantu sambil sesekali bercanda dengan suaminya. Tubuh bagian atas William yang tidak tertutup pakaian basah oleh cipratan air cuci piring.“Kenapa kamu jahil sekali, Baby?” William mendengus geli.“Karena aku suka sekali menjahilimu,” canda Keyna.“Terserah. Yang jelas, sekarang kita harus mandi. Ayo!” William menyeret tangan istrinya masuk ke kamar mandi.Kamar mandi itu pun memiliki jendela besar. Pemandangan di luar terlihat jelas. Keyna langsung merasa risih.“Bagaimana jika ada orang yang lewat? Mereka bisa melihat kita mandi, dong?”“Tenang saja, Baby. Kaca ini mirip de
“Hai, Dad.”“Kami membawakan makanan.”“Juga pakaian.”Frederix, Sacha dan Louis berdiri di depan pintu dengan senyum di wajah masing-masing. Mereka memperlihatkan barang-barang yang mereka bawa. William menyambut putra-putrinya dengan membalas senyum mereka.“Masuklah.” William melebarkan pintu agar ketiga anaknya dapat masuk ke dalam.Keyna berdiri canggung. Ia mengamati Frederix, Sacha dan Louis yang melenggang santai dan langsung masuk menuju ruang makan. Mereka berbincang seperti tidak ada Keyna di sana. Akhirnya, wanita itu memilih masuk ke dalam kamar.Meja makan langsung penuh dengan berbagai makanan dan minuman. Louis bercerita bahwa mereka mendapatkan signal dari mobil sport Daddynya di tempat ini. Frederix lalu memutuskan mengajak adik-adiknya untuk menyusul.“Terima kasih,” ucap William pada ketiga anaknya. “Kebetulan Daddy dan Keyna sudah sarapan barusan.”Saat itulah, William sadar bahwa Keyna tidak ada di sekelilingnya. Dadanya mulai berdebar kencang. Ia mengamati sofa
“Selamat datang kembali, Nyonya Dalton,” ucap Bastian dengan sikap hormat.Keyna tersenyum. “Terima kasih, Bastian.”“Saya sudah menyiapkan semua barang-barang Tuan dan Nyonya di kamar utama di lantai dua.”“Terima kasih, Bas.” William menepuk bahu Bastian saat akan melewatinya.Kamar yang ditempati Keyna dan William merupakan kamar paling besar di mansion. Ruang kerja William kini menyatu dengan dalam satu ruangan tersebut. Bastian mengatur sesuai dengan permintaan Tuan Besarnya.“Suka? Atau ada yang mau kamu rubah design kamarnya?” tanya William.“Besar sekali, Will. Kamar ini seluas rumahku, lho.”William terkekeh. “Itu karena aku menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Lihat, itu ruang kerjaku. Karena saat aku bekerja, aku juga tidak ingin jauh darimu.”Mendengar pernyataan William, Keyna langsung menghambur masuk ke dalam pelukan suaminya.
Sacha memandang Keyna dengan tatapan terharu. Wanita yang baru saja masuk ke kehidupan keluarganya begitu perhatian. Hingga rela belajar keras untuk merawat Daddy dan adiknya.“Terima kasih, ya, Key. Kamu benar-benar wanita yang baik hati,” puji Sacha dengan tulus.“Tidak perlu berterima kasih. Aku merasa memiliki kewajiban untuk membantu menjaga kesehatan William dan Louis juga keluarga Dalton.”“Akh … aku jadi sedih.”“Eh, kenapa?”“Hiks, hiks, karena aku dulu sangat kasar padamu. Aku sangat menyesal!” Sacha melirih sambil terisak.William segera memeluk putrinya. Sama seperti Sacha, bahkan ia sendiri pun belum memaafkan dirinya karena membiarkan Keyna pergi. Apalagi semakin hari, Keyna semakin meperlihatkan kebaikan hatinya.“Sudah, Cha. Tuhan memang begitu padaku. Aku selalu diberi tantangan berat dulu sebelum menggapai kebahagiaan. Yang penting, sekarang aku bahagia bersama kalian,” tutur Keyna.William lalu memperhatikan dua wanita yang disayanginya saling berpelukan. Keyna meng
“Penyakit mental apa?” Keyna semakin penasaran.“Narcissistic Disorder.”Keyna termenung. Gangguan narsistik adalah perilaku di mana penderitanya menginginkan semua orang kagum kepadanya. Tidak memiliki empati pada orang lain. Penderita narsistik hanya mencintai dirinya sendiri.“Dahlia sangat senang menjadi pusat perhatian. Semakin lama perilakunya semakin narsis. Saat hamil, semua orang kembali memujinya. Apalagi Fred lahir dengan wajah yang sangat tampan. Perhatian kembali ia dapatkan karena berhasil melahirkan bayi rupawan.”Dengan wajah serius Keyna mendengarkan. William melanjutkan cerita bahwa setelah itu, Dahlia menginginkan anak perempuan. Tentu hanya ingin semua orang kembali kagum padanya. Sacha lahir dan ia kembali mendapatkan pujian berlimpah.“Aku sama sekali tidak sadar tentang perilaku tersebut. Menurutku wajar saja wanita senang dipuji. Namun, lama-kelamaan, perilaku itu akhirnya mempengaruhi kehidupanku dan anak-anak.”“Bagaimana itu bisa mempengaruhi kalian?”“Dahli
Sampai di ruang makan, Frederix dan Sacha sudah menunggu. Kedua putra dan putri William tersebut sudah berpakaian rapi. Mereka memang selalu beraktifitas pagi hari.“Pagi, Dad,” sapa Sacha seraya mencium pipi William.“Pagi, Cha. Jam berapa pemotretanmu?”“Jam sepuluh, Dad.”“Semoga lancar pemotretannya ya, Cha,” cetus Keyna.“Hehe … terima kasih, Key.”“Dad, bisa tolong baca laporanku sebentar?” tanya Fred.William mengangguk. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menerima berkas dari putra sulungnya. Sesaat kemudian kedua lelaki beda generasi itu berdiskusi tentang bisnis perusahaan mereka.“Bagus, Fred. Daddy yakin, klienmu akan tertarik.”“Sebenarnya banyak yang kurang setuju dengan proposal ini, Dad. Karena menurut mereka harga yang aku tawarkan terlalu tinggi.”“Produk dan jasa yang baik memang memiliki harga tinggi. Jika ada klien yang keberatan, berarti klien itu memang bukan pasaran dari produkmu. Tenang saja. Daddy mendukung proposal itu. Kamu membuat itu sendiri?”“Sejujurnya, K
“Aku hanya belum terbiasa dengan mobil balap listrik itu, Dad,” sanggah Louis.Mereka berada dalam ruang pribadi pembalap. Pelatih, manager serta promotor Louis seketika sibuk. Mereka langsung mengobservasi kendaraan yang digunakan Louis.“Kalau belum terbiasa, mengapa langsung menyetirnya dengan kecepatan sangat tinggi?” William menaikkan alisnya.“Memang aku harus mencoba kecepatan maksimalnya. Dad.”“Tapi itu berbahaya sekali. Mobil itu bisa panas, lalu terbakar.”Louis terdiam. Dugaan Daddy memang ada benarnya. Ia lalu memilih tidak berkomentar lagi pada pernyataan Daddynya yang sedang emosi.“Keyna, temani Louis. Aku mau bicara dengan timnya lebih dulu.” William segera keluar dari ruang pribadi pembalap.Keyna terkesiap. William memanggil namanya. Bukan panggilan sayang seperti yang selalu ia ucapkan. Lagi-lagi, wanita itu merasa sedih.Namun begitu, Keyna tidak m
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan