Bab 1
.
“Ada beberapa hal di dunia ini yang kita lakukan dengan terpaksa, lalu menjadi terbiasa dan bisa menerimanya.”
*
Mobil berwarna silver itu memasuki pekarangan kampus, terus melaju hingga berhenti di tempat parkiran khusus mobil. Seorang perempuan dengan rambut panjang sebatas punggung turun dari sana. Ia tersenyum saat melihat beberapa temannya telah menunggu di pelataran kelas.
Perempuan itu sejenak memantaskan diri dari kaca spion mobilnya. Setelah terlihat benar-benar rapi, ia mengunci pintu mobilnya yang meninggalkan suara tin.
Aluna Namira. Perempuan yang terlihat sempurna di mata orang lain, tapi tidak di mata suaminya.
Dengan langkah cepat, Aluna menghampiri teman-temannya. Mereka berencana akan mengumpulkan tugas dari dosennya secara bersamaan sebelum masuk ke kelas.
“Pagi,” ucap Aluna.
“Lu nggak diantar?” tanya salah satu teman Aluna saat ia sudah dalam jarak yang dekat.
Aluna mengernyitkan keningnya, masih tak mengerti siapa yang dimaksud mengantar oleh teman di depannya. Lalu, ia teringat bahwa saat terakhir kali ia ke kampus, ia diantar oleh Abian.
Aluna tertawa miris dalam hatinya. Mungkin teman-temannya melihat Aluna sebagai perempuan yang beruntung dan ingin banyak orang ingin menempati posisinya.
“Boleh bareng, nggak?” tanya Aluna saat Abian akan memasuki mobilnya.
“Aku udah telat. Mobil sendiri tuh dipake, jangan cuma dipajang.”
Aluna menekan bagian dadanya yang terasa sakit. Namun, Abian tak melihat itu, karena tangan Aluna tertutup oleh beberapa buku yang sedang dipegangnya. Perempuan itu merasa bahwa suaminya benar-benar keberatan mengantarnya ke kampus. Padahal baru kali ini Aluna meminta.
“Mobilku kayaknya mogok. Aku udah coba hidupin mesinnya berkali-kali, tapi nggak bisa.” Aluna mengungkapkan permasalahannya.
Abian sejenak diam, lalu menelengkan kepala mengisyaratkan agar Aluna masuk ke mobilnya. Mobil melaju setelah Aluna duduk dengan nyaman dan memasang seat beltnya. Ah, Aluna sebenarnya tak nyaman, karena perjalanan mereka hanya diisi sunyi dan kaku. Abian tak berbicara sepatah kata pun, Aluna juga tak berani memulai pembicaraan. Tepatnya berhadapan dengan Abian, Aluna tak tahu harus berbicara apa.
Perempuan itu hanya menghindari kesalahan. Karena di mata Abian, semuanya telah salah dari awal. Aluna, pernikahannya, orangtuanya, semuanya salah bagi Abian.
“Ah, Mas Abi lagi di luar kota.” Aluna menjawab pertanyaan dari salah satu temannya. Sedikit terlambat, karena imajinasinya berkeliaran tentang seorang Abian.
Mereka melihat apa yang bisa dilihat. Menilai apa yang hanya diperlihatkan. Tanpa tahu kisah yang sebenarnya, betapa hati Aluna perlahan teriris oleh perlakuan sang suami.
Romantisme, perlakuan manis, semua itu tak Aluna dapatkan dari seorang Abian. Pernikahan bahagia hanya serupa dongeng bagi Aluna. Yang ada hanya dingin, hingga hatinya beku tanpa kehangatan.
“Mas, nanti siang makan di rumah, nggak?” Aluna sedang menikmati sarapannya saat itu. Ia bertanya pada sang suami yang kini duduk satu meja dengannya.
Duduk dengan suasana hening, karena ia tak pernah memulai bicara duluan jika tidak perlu.
“Kenapa? Sudah mulai lelah?” Abian bertanya dengan nada dingin.
Aluna yang mendengar pertanyaan itu menatapnya sendu, Abian membalas dengan tatapan yang sama dingin dengan ucapannya. Membuat perempuan itu kembali menunduk, menatap piring yang masih terisi dengan nasi goreng.
“Bukan gitu, Mas. Aku cuma ...,” Aluna tak bisa melanjutkan kalimatnya, karena baru saja ia hendak mengutarakan alasannya, Abian sudah berlalu di hadapannya.
Aluna hanya menatap punggung bidang itu yang bergerak menjauh darinya. Abian telah rapi dengan jas dan tas di tangannya, seperti biasa lelaki itu akan ke kantor setiap pagi.
Aluna masih menatap dengan tatapan kosong. Ia merasa perih dalam hatinya semakin menjadi. Perempuan yang hampir memasuki usia dua puluh dua tahun itu merasa terbuang oleh perlakuan suaminya sendiri.
Hingga suara mesin mobil Abian tak terdengar lagi, menandakan lelaki itu telah keluar membelah jalan raya kota Jakarta, Aluna masih duduk di meja makan, meratapi nasib malangnya yang terlahir untuk memiliki suami yang tak mencintainya.
Aluna bahkan tak lagi berselera melanjutkan sarapannya. Ia membereskan beberapa piring kotor di meja itu, dan membawanya ke belakang. Setelah itu Aluna menyiapkan diri untuk ke kampus.
Mengharapkan didengarkan oleh Abian, tak akan pernah. Apalagi mengharapkan untuk kenyamanan sebuah pelukan, hanya mimpi. Mimpi Aluna yang terkadang ia tak ingin bangun saja dari tidurnya. Setiap kali berbicara dengan Abian, hanya dingin dan ketusnya yang menjadi sajian. Lalu, berakhir dengan saling diam.
Perempuan berkulit putih itu masih berstatus sebagai mahasiswa semester akhir di sebuah kampus di Jakarta. Entah ia harus menyebut malang atau beruntung, di usianya yang masih kuliah ia telah memiliki suami dari kalangan pebisnis ternama. Dari segi uang, Abian termasuk lelaki yang mapan, yang mungkin banyak dikejar wanita di luar sana.
“Suami lu cakep banget sih, Luna?” celutuk salah satu teman Aluna.
“Crazy rich ya?” tanya salah satu teman lainnya menggoda.
Teman-teman Aluna sering menggoda saat melihat ia diantar oleh suaminya. Meskipun Abian tak turun dari mobilnya, tapi mereka bisa melihat wajah tampan itu dari kaca mobil yang terbuka. Mereka juga melihat wajah itu di hari pernikahan Aluna.
“Bukan lagi crazy rich, tapi emang direktur perusahaan besar.” Teman lainnya ikut menambahkan.
“Wajar sih, Luna juga kan orang kaya.” Salah satu teman lainnya merasa wajar jika Aluna mendapatkan suami yang kaya, karena perempuan itu juga anak dari salah satu pengusaha di kota itu.
“Kalau kayak kita mah, harus ngaca di cermin yang besar gitu, biar keliatan gede kekurangannya,” kelakar teman Aluna yang lainnya.
Aluna tersenyum miris mendengar candaan teman-temannya. Senyum yang cepat ia sembunyikan wajahnya agar mereka tak melihat itu. Hanya pada satu teman, Aluna bisa menceritakan tentang dirinya, tentang pernikahannya, juga tentang kondisi hatinya. Teman yang sudah Aluna kenal sejak SMA, Sisil namanya.
Bagi Aluna, Abian tak lebih dari beruang kutub yang dingin. Menyebar dingin bagi siapapun yang ada di dekatnya, terutama Aluna sendiri. Karena lelaki itu dikenal sangat sopan dan baik di luar sana.
*
“Oke, siap deh.” Aluna berkata pada diri sendiri sambil melihat menu soto ayam di yang baru saja dimasaknya.
Usai pulang kuliah, Aluna singgah sebentar dia supermarket. Hari ini ia ingin memasak untuk dirinya sendiri, karena pembantunya sedang cuti pulang ke kampung.
Aluna terpaksa untuk sementara waktu tinggal sendirian di rumah Abian. Lelaki itu memang sering meninggalkannya untuk keperluan pekerjaan. Pun, ada atau tidak ada lelaki itu, bagi Aluna sama saja.
Hingga sore hari, Aluna merasa terlalu bosan tinggal di rumah seorang diri. Ia berencana untuk main ke rumah orangtuanya, atau bila perlu menginap di sana sampai Abian pulang.
Perempuan itu mengambil kunci mobil yang ia letakkan di nakas, ia melihat jam di dinding masih pukul empat sore. Kemungkinan besar ayah dan ibunya tidak berada di rumah di jam itu. Kedua orang tua Aluna dikenal pekerja keras, mereka kerap pulang malam atas dasar pekerjaan. Untungnya ibu dan ayahnya masih bekerja di perusahaan yang sama.
Hal itu membuat Aluna urung, ia kembali melepas hoodie yang ia pakai, karena di luar cuaca tampak mendung.
Perempuan itu mengambil ponsel, membuka aplikasi media sosialnya. Jenuh. Aluna benar-benar merasa bosan. Ia mencoba mengembalikan moodnya dengan membaca. Ia berjalan ke arah rak buku di sebuah kamar khusus, tapi sayangnya semua buku di sana telah ia baca berulangkali. Hanya tinggal buku-buku tentang bisnis yang sangat digemari Abian, tapi membosankan bagi Aluna saat ini. Ia ingin membaca bacaan yang ringan saja. Sepertinya Aluna harus singgah di toko buku dan membeli beberapa buku besok.
Aluna berjalan ke kamar Haura, seorang pembantu rumah tangga yang beberapa bulan lalu bekerja di rumahnya. Perempuan itu teringat, Haura pernah mengatakan ingin meminjami sebuah buku untuknya.
Menuju Rumah Tangga Bahagia. Judul yang sempat Haura sebutkan pada Aluna.
Saat itu, entah mengapa atas rasa dekat yang Aluna rasakan, ia menceritakan sedikit kisahnya dengan Abian. Hingga Haura ingin meminjamkan sebuah buku untuknya.
Aluna membuka pintu kamar yang tak dikunci. Kamar yang berada di bawah tangga. Ia melihat suasana kamar yang rapi. Meskipun Haura tak sedang di rumah, tapi kamarnya tetap bersih. Sepertinya gadis itu memang terbiasa rapi.
Aluna berjalan pelan ke dekat laci. Haura tak mengatakan ia menyimpan di mana, tapi untuk mencari sesuatu yang basicnya kertas, Aluna memilih mencari di laci. Perempuan itu membukanya pelan, hingga terlihat sebuah buku yang ia cari di sana.
Aluna menemukan buku yang ia cari, karena tak ada buku lain di sana. Ia membuka lembarnya secara acak, demi sedikit melihat isi dan menilai menarik atau tidaknya. Meskipun Haura bilang, buku itu bagus dibaca untuk orang yang baru membangun rumah tangga.
Aluna berjongkok saat sesuatu dari dalam buku itu terjatuh ke lantai. Dua lembar foto, satu terbuka dan satunya lagi tertutup di lantai. Satu lembar foto memperlihatkan wajah Haura yang putih bersih mengenakan pakaian pengantin dengan hijab dan sedikit aksesoris di kepalanya. Perempuan itu merasa telah dibohongi oleh Haura, karena ia bilang bahwa dirinya belum menikah. Aluna membuang jauh pikiran itu, karena mungkin saja Haura pernah menikah, tapi bercerai sehingga ia enggan menceritakan pada orang lain. Atau bisa jadi suaminya telah meninggal. Bisa saja.
Namun, semua prasangka Aluna dipatahkan oleh kenyataan saat ia membalikkan lembar foto yang kedua. Foto yang teronggok di lantai, dengan bertuliskan tanggal di belakangnya. Aluna merasakan gemuruh dalam dadanya, matanya berkaca-kaca melihat foto di tangannya.
Abian terlihat mesra saat mencium kening Haura. Lelaki itu tersenyum yang menambah ketampanannya. Sedangkan Haura tampak memejamkan mata, merasakan kecupan hangat dari sang pemujanya.
Senyuman itu sungguh berbeda dengan ketika ia menikah dengan Aluna. Sebuah senyum terpaksa, tatapan yang memaksa, masih tersimpan di ponselnya. Masih terpajang di setiap dinding rumahnya. Abian dan Aluna memamerkan kepalsuan pada semua orang, dan semua orang bahagia melihatnya.
Tubuh Aluna bergetar hebat menahan amarah, menatap bergantian gambar yang ia pegang. Berkali-kali ia memperhatikan gambar itu. Berharap wajah itu berubah, tapi wajah itu tetap sama.
Wajah Abian Rajendra dan Haura Latifha.
Mata Aluna terasa hangat, hingga air dari sudut matanya mengalir di pipi sebagai puncak atas rasa marah yang tak terlampiaskan. Ada dua surga dalam rumah besar itu. Surga miliknya dengan Abian, dan milik Haura dengan Abian. Surga yang sama-sama dibangun oleh Abian. Namun, entah surga mana yang akan sampai pada-Nya.
Sialnya, saat Aluna kembali melihat sebuah tanggal yang tertera, ia memicingkan mata dengan dahi berkerut. Haura lebih dulu memiliki surga itu. Haura lebih dulu memiliki Abian.
Aluna kembali mencari bukti lain untuk memperkuat kenyataan. Tangannya kembali menggeledah isi laci, lalu ia temukan sebuah kenyataan lagi yang membuat hatinya hancur. Sebuah surat yang menyatakan bahwa memang benar mereka telah menikah.
Nama Abian dan Haura tertulis jelas di situ. Berapa kali pun Aluna mencoba mengeja, itu tak mampu mengubah nama di sana.
Bab 2.“Setiap orang tak bisa mengendalikan orang lain, tapi bisa mengatur hati sendiri, untuk tidak jatuh terlalu dalam.” * Aluna kembali membaca nama yang tertulis di kertas yang ada di tangannya. Bahkan hingga ia berulangkali membacanya, nama itu tetap sama. Sama sekali tak berubah, meski pikirannya mengatakan ini mimpi. Ini hanya kekhawatirannya. Namun, kenyataan sama sekali tak berubah hanya dengan berpikir ia akan berubah. Nama suami Aluna tertulis jelas di kertas itu. Aluna yang salah, karena ia hadir setelah Haura memiliki Abian. Namun, perempuan itu tak sepenuhnya salah. Abian tak pernah mengatakan ia telah menikahi perempuan lain di luar sana. Ia merasa di bodohi, Abian menyematkan gelar yang buruk untuknya. Gelar yang paling dibenci Aluna, perebut suami orang. Lutut Aluna terasa begitu lemas, ditambah gejolak amarah dalam hatinya kian menjadi. Hingga ia terduduk di atas lantai keramik berwarna putih mengkilap, menampakkan bayangan samar wajahnya yang hancur menyedihka
Bab 3 .“What a nonsense, Pa?” Aluna berkata dengan sedikit lantang. Ia terkejut dan melebarkan mata saat melihat beberapa lembar foto yang dilempar ayahnya di atas meja. “Kamu yang harusnya jelaskan, Luna?” ucap Farhan menyudutkan putrinya meminta penjelasan. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Aluna. Luna mengambil foto-foto itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia melihat gambar dirinya dan seorang lelaki di sebuah ranjang. Keduanya tampak sedang tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuh mereka hingga bagian dada. Hingga dapat terlihat bagian dada bidang milik lelaki itu, dan bahu serta leher Aluna yang putih bersih. Shit! Aluna mengumpat pelan, menatap nyalang ke hadapan disertai tangannya yang mengepal meremas gambar-gambar itu. “Seseorang meletakkannya di depan rumah, mama mengambilnya, dan sekarang ia sedang tidur di kamar. Tensinya naik, dokter bilang mama kamu harus istirahat yang banyak dan tak memikirkan hal yang berat.” Panjang lebar Farhan menjelaskan. I
Bab 4 . Aluna mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, hingga ia tiba di sebuah klub yang terkenal cukup ramai setiap malam Minggu. Perempuan itu ingin melepas beban pikirannya, dan memikirkan cara agar bisa mempertemukan Hafiz dan orangtuanya. Bukan cara mempertemukan tepatnya, tapi cara agar saat mereka bertemu, lelaki itu tak merasa terhina oleh orangtuanya. Aluna berjalan masuk ke dalam ruangan, disambut oleh penjaga di pintu masuk. Di dalam, ia disambut oleh iringan musik dan cahaya remang yang menjadi khas sebuah klub. Bahkan area dance floor sudah terlihat ramai oleh para penari yang mencari kesenangan malam. “Wine atau Vodka?” tanya seorang bartender yang melihat Aluna datang ke hadapannya. Seorang lelaki berwajah khas Eropa itu telah mengenal Aluna sebelumnya. Ia sudah tahu apa yang menjadi favorit perempuan itu jika berkunjung ke klub milik bosnya. Jika Aluna sedang begitu stres, ia akan meminta Vodka dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi, hingga membuat gadis itu
PERJANJIAN DUA AKAD PART 5 🍁🍁🍁 Aluna terjaga, tapi terasa sulit untuk membuka mata. Ia masih merasakan kepalanya berat, pusing dan badannya yang terasa lemas. Perempuan itu menggelengkan kepalanya dengan berat berharap rasa pusingnya segera hilang. Dalam pejaman matanya, Aluna berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Apa yang ia makan hingga menjadi seperti itu. Perlahan ia membuka mata, dan seketika ia bergerak menjauh saat melihat seorang lelaki bertelanjang dada sedang tertidur pulas di sampingnya. Aluna spontan berteriak, hingga membuat lelaki itu terbangun. Lelaki yang terakhir kali dilihat Aluna sedang menikmati minumnya di sebuah klub yang sama dengannya. Abian Rajendra mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan cahaya dengan matanya sambil memegangi kepalanya. “Sialan! Kamu ngapain di sini, kamu apakan aku, hah?” cecar Aluna menyerang tubuh kekar lelaki itu. Abian yang tak siap menerima serangan, hanya bisa menahan pukulan Aluna dengan dua tangannya. Lelaki itu terban
JANJI DUA AKADPART 6🍁🍁🍁Abian dan Aluna telah membuat kesepakatan tentang perubahan tubuh Aluna. Perempuan itu akan mengabarkan apa saja yang terjadi setelah malam itu. Tepatnya jika Aluna hamil atau tidak, karena itu cukup membuktikan bahwa mereka memang tidak melakukan apa pun dan murni dijebak.Seminggu kemudian, Aluna baru bisa bernapas lega saat ia mendapat tamu bulanan seperti biasanya. Aluna tak mengalami tanda-tanda kehamilan. Ia juga membeli beberapa test pack untuk mengecek kehamilan, tapi tidak ada garis yang berubah dari sana.Aluna benar-benar bisa tersenyum saat melihat benda itu di tangannya. Itu artinya ia tak kehilangan segalanya dan akan berakhir dengan masa depan yang suram.“Aku baru saja dapat tamu bulanan. Aku nggak hamil.”Aluna segera menghubungi Abian, agar lelaki itu tahu berita penting tentang ini. Tak bisa disembunyikan, keduanya benar-benar merasa lega dengan kenyataan yang mereka dapat. Tersenyum karena tak akan terpaksa harus menikah karena tragedi
PERJANJIAN DUA AKADPART 7🍁🍁🍁Abian tak bisa membuktikan bahwa ia dan Aluna dijebak dalam sebuah kamar di hotel. Ia tak bisa membawa sang pelaku dalam kurun waktu satu kali dua puluh empat jam. Lelaki itu membanting ponselnya ke atas kasur, setelah beberapa menit lalu menerima panggilan dari utusannya yang ditugaskan untuk mencari tahu tentang kejadian malam itu.“Terlalu banyak orang di klub malam itu, Pak. Tidak ada yang merasa melihat orang mencurigakan.”Lelaki suruhan Abian memberitahu. Ia datang ke klub di mana Abian dan Aluna sempat menikmati malam mereka. Tidak ada yang bisa bersaksi atas kejadian itu. Malam itu klub terlalu ramai, dan tidak ada yang tahu mereka datang dari mana saja. Karena layaknya sebuah klub bebas didatangi oleh siapa saja.Abian benar-benar menyesal karena datang ke klub malam itu. Seharusnya kejadian itu tak terjadi andai saja ia tak mengabaikan nasihat seseorang. Seseorang yang begitu spesial dalam hidupnya.“Berjanjilah untuk tidak mabuk lagi, untu
PERJANJIAN DUA AKADPART 8🍁🍁🍁Dua hari kemudian, Abian terpaksa bertunangan dengan Aluna. Semuanya disiapkan dalam waktu yang singkat. Termasuk hati keduanya yang dipaksa menerima keadaan.Acara pertunangan berlangsung dengan lancar. Hanya saja kedua calon pengantin sama-sama tak memberikan ekspresi kebahagiaan. Bahkan ketika Abian memasangkan cincin pada jari manis milik Aluna, lelaki itu masih berwajah datar, hingga tatapan tajam Haris dan wajah sendu sang ibu membuatnya terpaksa menyunggingkan senyuman. Seolah tengah mengumumkan kebahagiaan pada semua yang hadir.“Kau yakin ingin menikah denganku?” tanya Abian pada Aluna.Setelah acara pertunangan dan semua tamu telah pulang, keduanya menghabiskan waktu sejenak di taman belakang rumah Aluna. Menghabiskan waktu untuk saling mengungkapkan keterpaksaan dan benci atas keadaan ini.Aluna tersenyum miring mendengar pertanyaan dari Abian. Ia menatap lelaki yang kini berdiri di depannya, sedangkan Aluna duduk di sebuah kursi taman di
PERJANJIAN DUA AKADPART 9🍁🍁🍁“Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Namira binti Farhan Adijaya dengan mas kawin tersebut tunai.”Dalam sekali tarikan napas, Abian mengucapkan ijab kabul di depan wali, dan para saksi atas pernikahannya dengan Aluna. Pernikahan tanpa cinta yang terjadi karena sebuah kesalahan yang tak pernah mereka lakukan.Pernikahan yang akan mempererat hubungan bisnis orangtua mereka masing-masing. Bukan pernikahan impian untuk mempererat hubungan sepasang pengantin yang baru saja memulai kehidupan baru seperti orang lain.Aluna yang duduk di dekat ibunya meneteskan air mata. Ia menggigit bibirnya sendiri agar isakan tertahan tak keluar dari mulutnya. Biarlah orang yang melihatnya menangis akan mengira ia menangis karena terharu. Terharu karena telah berganti status menjadi seorang istri. Memulai kehidupan baru dan mengarungi rumah tangganya.Biarlah orang melihat seperti itu, karena mereka hanya punya mata untuk melihat. Bukan hati yang peka untuk merasa apa ya
Bab 22.Minggu, Osaka.Siang ini Aluna dan Hafiz keluar dari hotel menuju mesjid tempat mereka dulunya biasa ikut kajian. Hari ini jadwal kajian bulanan mereka di Jepang.Setelah kajian, keduanya meminta teman-teman lainnya untuk tidak pulang dulu, karena mereka mengadakan tasyakuran atas pernikahannya. Hanya sekadar untuk memberitahu bahwa mereka telah menikah.“Diam-diam nikah nih ya,” kata salah satu teman Aluna.Aluna yang mendengar itu hanya bisa menatap Hafiz, dan keduanya tersenyum.Diam-diam nikah katanya, mereka tidak tahu apa saja yang telah dilalui keduanya.Meskipun mereka sudah seperti keluarga baru bagi Aluna, tapi cukuplah mereka tahu hal-hal baru saja tentangnya.“Oh ternyata Hafiz pulang ke Indo buat nikah nih,” goda teman Hafiz lainnya.“Iyalah, emangnya kamu jomblo terus!”“Lah, kamu sama aja!”“Beda!”“Beda apanya?”“Kelas kita beda. Kamu pemula, kalau aku mah senior.”“Senior jomblo, ah ngenes!”Suasana jadi lebih hangat karena candaan-candaan mereka. Karena sont
Bab 21.“Saya terima nikahnya Aluna Namira Hussein binti Farhan Adijaya dengan mas kawin tersebut tunai.” Hafiz mengucapkan itu dalam sekali tarikan napas.Ada keyakinan, keteguhan, dan kebahagiaan dalam nadanya.Aluna duduk di samping mama yang masih menggunakan kursi roda itu, di sampingnya juga ada Sisil, sahabat terbaiknya.“Sah?” tanya bapak penghulu kepada semua saksi.Mereka mengangguk dengan tersenyum sambil mengatakan, “sah!”“Alhamdulillah …,” seru orang-orang yang berhadir di sana secara bersamaan.Ada yang mengalir begitu sejuk di hati Aluna saat Hafiz berulang kali menatapnya sebelum ia menjabat tangan penghulu. Juga saatbini, setelah para saksi mengatakan mereka telah sah menjadi suami istri.Mengalir ketenangan akan sebuah keyakinan pada lelaki yang menikahinya.Apalagi kini Hafiz mendekat padanya, sejenak keduanya saling menatap dalam rasa bahagia.Hafiz memegang puncak kepala Aluna dan melafalkan doa setelah ijab kabul. Doa untuk sepasang pengantin yang benar-benar m
Bab 20.Hari itu tepat setelah keputusan sidang perceraian Aluna, saat semuanya telah selesai dan pulang, Abian menghubungi papa Aluna dan meminta waktu untuk bertemu.Farhan mengiyakan karena Abian bilang ada hal yang penting untuk dibicarakan. Sebagai seorang ayah juga seorang lelaki, Farhan memang sakit hati pada Abian, tapi kembali lagi bahwa pada dasarnya ia dan orangtua Abian sendiri yang salah.Seharusnya mereka tak memaksakan kehendak untuk kepentingan diri sendiri. Harusnya sejak awal mereka sadar bahwa seringkali tak ada yang berujung indah dari sebuah pemaksaan. Apalagi urusan hati.Keduanya bertemu di sebuah restoran mewah, dan berbicara setelah selesai makan.“Meskipun berulang kali, aku gak pernah bosan minta maaf pada papa atas apa yang kulakukan untuk Aluna. Aku baru paham ketika aku memiliki Hulya, dan aku gak bisa terima jika ada lelaki yang memperlakukan Hulya seperti aku memperlakukan Aluna. Maaf, Pa …,” ucap Abian panjang lebar.Sudah berulang kali ia meminta maa
Bab 19.Aluna maaf … aku tidak jadi pulang. Aku akan menikah.Aluna membelalakkan mata membaca pesan itu, lalu perlahan matanya mulai meredup. Ada yang terasa perih dalam dadanya.Apa maksudmu, Hafiz? Aku menunggumu sejak tadi.Aluna membalas pesan itu. Namun, sayangnya tak ada lagi balasan Hafiz setelah itu. Hanya pesan yang tercentang dua warna biru, menyisakan rasa yang teramat menyakitkan dalam hati Aluna.Perlahan raut wajahnya berubah, matanya kembali basah. Ia tak menyangka Hafiz akan memberikan luka baru untuknya. Ternyata semua lelaki sama saja, hanya menyisakan trauma bagi Aluna.Lalu, bagaimana ia kini menyembuhkan luka-luka dalam hatinya, disaat lelaki yang ia anggap adalah obat, nyatanya sama saja menyuguhkan racun paling mematikan. Mematikan jiwa dan rasa cintanya.Aluna menangkupkan dua telapak tangan di wajahnya. Ia benar-benar menangis, tak peduli ada banyak orang yang melihatnya. Ia tak habis pikir dengan jalan takdirnya.Bahkan saat ini ia masih duduk di tempat sem
Bab 18.Aku sudah bebas, Hafiz. Aku juga sudah selesai masa Iddah.Aluna mengirimkan sebuah chat beserta gambar surat cerai untuk Hafiz. Iya, dia memang ingin memberitahu Hafiz bahwa ia bebas sekarang.Gimana perasaanmu? Hafiz membalas chat Aluna.Jangan ditanya. Aku lega luar biasa. Sekarang aku menantikan nasib baru yang lebih bahagia.Kembali Aluna membalas chat Hafiz. Harusnya tak perlu ditanya, karena Aluna sudah pernah menjelaskan hal ini pada Hafiz sebelumnya.Lusa, aku akan pulang!Kata Hafiz pada akhirnya. Membaca sebaris kalimat itu membuat Aluna bahagia luar biasa.Apa alasanmu pulang adalah aku?Aluna bertanya lagi.Kamu pasti sudah tau itu!Jawab Hafiz.Kupastikan kali ini kita tak akan terhalang restu.Aluna mengakhiri chatnya dengan kalimat itu.Hari ini, tepat pukul lima sore hari, Aluna sudah tiba di bandara demi menunggu kepulangan Hafiz.Beberapa kali ia bahkan melirik ke pintu kedatangan, tapi sayangnya Hafiz belum kelihatan.Aluna tetap menunggu.Ingatan Aluna k
Bab 17.Seminggu setelah itu, sidang kedua perceraian Aluna dan Abian dilangsungkan kembali. Tidak ada hasil dari proses mediasi.“Saya telah diceraikan beberapa waktu yang lalu, disaksikan oleh keluarga saya,” kata Aluna pada pihak pengadilan.“Apakah benar?” tanya pihak pengadilan pada Abian.“Ya,” jawabnya.“Dari awal saya memang tidak mencintainya. Saya hanya terpaksa menikahinya. Sampai kapan pun saya merasa … tidak ada rasa cinta untuk Aluna,”“Saya tidak ingin terus menerus terjebak dalam pernikahan ini.”Begitu jawaban-jawaban Abian saat ia ditanyai oleh pihak pengadilan agama.Separuhnya kenyataan. Sementara separuhnya lagi adalah kebohongan.Ia memang tidak mencinta Aluna, menikah dengannya sebab terpaksa dengan latar belakang jebakan itu.Namun, setelah semua yang terjadi, setelah semua rasa bersalahnya menghampiri, ia merasa mulai ada rasa yang berbeda untuk Aluna.Sayangnya, waktu sudah tak lagi mendukung mereka bersama. Abian melepaskan Aluna, agar gadis itu tak melulu
Bab 16.Semalaman bermandikan hujan, membuat Abian terserang demam, dan tak bangun berhari-hari.Malam itu, ia tetap menunggu Aluna kembali keluar hingga pukul dua pagi ia masih duduk di teras rumah Aluna. Duduk dengan tangan terlipat di dada, menahan dingin dna gigil.Namun, sampai berapa lama pun, tak ada yang keluar. Aluna pun terlihat tak peduli.Beberapa kali security di rumah itu menyarankan Abian untuk pulang, tapi tak diindahkan oleh lelaki itu.Hingga akhirnya ia merasa tubuhnya begitu dingin dari sebelumnya. Ia menggigil, tapi badannya bersamaan terasa panas. Lalu, ia memutuskan pulang dan menyetir dengan cukup hati-hati.“Beri saya obat, sepertinya saya demam!” kata Abian pada asisten rumah tangganya yang saat itu memang terjaga karena sadar bahwa beberapa jam yang lalu tuan rumah pergi entah ke mana.Paginya, Abian menyuruh seorang asisten rumah tangga untuk menghubungi seorang dokter langganan di keluarganya.“Hanya demam biasa karena Anda terlalu lama di bawah hujan. Ta
Bab 15.“Selama proses mediasi, berjanjilah jangan pernah temui aku!” Aluna menegaskan pada Abian sesaat setelah mereka keluar dari ruang persidangan.Aluna yang didampingi oleh kuasa hukum telah menggugat cerai Abian di kantor pengadilan agama terdekat.Semua bukti sudah ia kumpulkan, mulai dari video saat Abian mencium Haura, saat mereka bahagia dengan kabar kehamilan itu. Video saat Abian diam-diam jalan-jalan ke cafe bersama Haura. Juga kertas perjanjian antara Aluna, Abian dan Haura yang saat itu ditulis tangan dan ditandatangani di atas materai.Aluna menyiapkan semuanya, dikumpulkan dalam satu berkas dan diserahkan pada kuasa hukumnya.Ia berharap, dalam sekali sidang gugatan perceraiannya langsung diterima. Namun, pihak pengadilan harus melakukan proses mediasi.Aluna menjelaskan tentang awal mula pernikahannya dengan Abian. Juga kebohongan-kebohongan yang terjadi dalam pernikahan itu, yang Aluna tak bisa terima.Ia juga menjelaskan posisi Abian yang sejak awal sudah bersalah
Bab 14.“Aku menepati janji, Pa!”Setelah dari rumah Aluna, Abian pulang ke rumah orangtuanya. Ia langsung masuk ke ruangan kerja sang papa dan berbicara dengan papanya.Haris berdiri di dekat jendela, memandangi entah ke arah mana fokusnya. Ia menoleh saat mendengar suara Abian.Ia mengangguk, karena tadi sudah diberitahukan oleh Farhan bahwa Aluna sudah pulang dengan selamat.“Hulya sedang tidur siang,” kata Haris seraya menatap putranya itu.Hari ini, Abian pulang setelah menepati janji untuk membawa Aluna kembali ke rumah.Ia juga sudah lama menanti hal ini. Abian sudah sangat merindukan buah cintanya bersama Haura. Kurang lebih setahun lamanya Abian tidak bertemu dengan putrinya.Abian mengangguk lesu. Ia rindu, tapi Hulya sedang tidur, sayang jika dibanguni tiba-tiba. Abian tak sabar melihat setumbuh apa putrinya sekarang.Umurnya sudah satu tahun, pasti Hulya sudah bisa berjalan dengan baik. Ia pasti sudah memiliki gigi yang lebih kuat untuk makan.Ah, Abian melewatkan semua