Bab 1
Sinar mentari pagi terasa hangat menerpa tubuhku, yang tengah duduk santai di depan teras rumah, sembari melihat lalu lalang warga yang sedang beraktifitas. Ditemani secangkir kopi hitam kesukaanku dan sepiring pisang goreng buatan ibu. Tiba-tiba saja, suasana yang tadinya tenang mendadak riuh. Warga terlihat berbondong-bondong pergi ke arah kebun di samping rumah. Aku yang penasaran langsung mengikuti mereka. Dibawah pohon Akasia besar, terlihat sudah begitu banyak orang berkumpul. Aku bahkan sampai tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya tengah terjadi. "Pak, ada apa ini?" tanyaku kepada seorang pria paruhbaya berbadan gempal. "Ada yang gantung diri, tapi belum tau siapa," jawab sesebapak yang kutanyai tadi. "Lho, ini kan Karisma. Istrinya si Adam!" seru beberapa warga yang tengah berusaha menurunkan mayat tersebut. Aku yang mendengar nama istriku disebut, sontak merangsek masuk ke tengah kerumunan guna memastikan dengan jelas apakah benar itu Karisma istriku atau bukan. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, jazad yang tergeletak dengan seutas tali di leher itu ternyata memang benar istriku. "Ya Allah, Karisma!" Aku berteriak dan langsung menghambur memeluk tubuhnya yang sudah kaku dan dingin. "Ris, Bangun, Ris! Jangan tinggalin aku!" kuguncang-guncangkan tubuh kakunya. Tampak wajahnya pucat pasi dengan lidah terjulur panjang berwarna keunguan.Mendapati pemandangan yang menyakitkan di depan mata, kini tangisku pecah seketika. Air mata mengalir deras membasahi wajah hitamku. Sambil terus menerus memanggil namanya, terdengar bisik-bisik warga yang bagiku bagaikan dengung lebah menari-nari di telinga. "Innalilahi w* inna illaihi raji'un" ucap sebagian w*rga yang masih dapat ku dengar ditengah isak tangisku.Sungguh aku tidak peduli jika mungkin di dalam pemikiran para warga yang menyaksikan tangisku menjuluki dengan pria cengeng. ****Kini jasad Risma telah di bawa pulang kerumah, untuk dilakukan proses pemandian jenazah yang akan diikuti dengan proses-proses selanjutnya. Ketika proses pengguntingan pakaian yang dikenakan oleh Almarhumah istriku. Mata ini di buat terbelalak seketika saat mendapati begitu banyak luka lebam berwarna biru kehitam-hitaman yang mulai terlihat memudar pada hampir sekujur tubuhnya. Darimana semua luka itu ia dapat, sedangkan aku tak pernah sekalipun berbuat kasar padanya selama kami berumah tangga.Siapakah kiranya yang telah tega berbuat sekeji itu kepada istri tercintaku--Karisma? Mengingat di rumah ini hanya di huni oleh empat orang saja yakni, aku, Karisma, Ibu, dan juga Lisa adik perempuanku satu-satunya. Rasanya sangat tidak mungkin jika ibu dan adikku mampu berbuat serendah itu. ***Seketika, ingatanku menerawang pada beberapa hari lalu. Dimana aku baru saja pulang dari dinas di luar kota selama seminggu. Malam itu, Risma bilang ingin mengatakan sesuatu hal penting yang harus aku ketahui.Akan tetapi, karena tubuhku yang merasa sangat kelelahan sehabis menempuh perjalanan yang jauh. Membuat aku mengacuhkannya dan lebih memilih untuk tidur, hingga ahirnya akupun lupa untuk menanyakan hal itu lagi.Semenjak saat itu juga, Karisma berubah menjadi seorang yang pendiam dan pemurung. Bahkan, bukan sekali dua kali aku memergokinya tengah melamun. Namun, setiap aku tanyakan, dia selalu saja menghindar."Mas!" sebuah tepukan membuyarkan lamunanku seketika."Ini mau langsung dimandikan saja ya jenazahnya, biar gak kelamaan. Kasian," ujar Mak Kiyah salah satu pengurus jenazah. "Eh, iya, Bu. Silahkan!"sahutku mempersilahkan. Dengan telaten, Mak Kiyah melucuti satu persatu pakaian yang sudah digunting dari tubuh istriku yang telah kaku. "Mak, kenapa di tubuh istriku banyak sekali luka lebam seperti ini, ya?" sengaja aku memancing pertanyaan siapa tau Mak Kiyah mengetahui sesuatu terbukti dari tangannya yang tadi tiba-tiba berhenti sesaat. "Saya juga gak tau, Nak Adam, tapi jika dilihat dari bekas warnanya yang sudah agak sedikit memudar. Sepertinya luka ini dibuat sebelum Almarhumah meninggal dunia," bebernya yang membuat keningku seketika mengernyit.'Itu berarti memang ada sesuatu yang gak beres telah terjadi pada istriku! Sepertinya, aku memang harus menyelidiki serta mencari tahu yang sebenarnya' batinku.***Sudah menjadi tradisi di kampungku, jika memandikan jenazah. Wajib mengurut dan menekan bagian perutnya. Gunanya adalah, untuk mengeluarkan sisa kotoran yang masih bersarang di dalam perutnya.Begitu juga yang dilakukan oleh Mak Kiyah terhadap jenazah istriku. Namun, suatu hal mencengangkan tiba-tiba saja terjadi saat prosesi pengurutan berlangsung. Yakni, keluarnya janin dari jalan lahir istriku yang diperkirakan baru berumur sekitar tujuh minggu dan masih terbungkus seperti balon. "Astaghfirullah!" pekik Mak Kiyah terkejut yang membuat aku menoleh ke arahnya. Seketika mataku terbelalak mendapati fenomena mengerikan terpampang nyata di depan mata. Gegas aku menyuruh Mak Kiyah untuk cepat-cepat menyudahi prosesnya, lalu aku tinggalkan ia dan pergi mencari keberadaan ibu dan juga adikku. Namun nihil, tak kudapati keduanya dimana pun. Kini aku justru mendengar Gea, anak pertama kami yang tengah menangis meraung-raung memanggil-manggil mama-nya. Terlihat beberapa ibu-ibu tengah berusaha untuk membuatnya diam, akan tetapi nampaknya mereka gagal. Gea terus saya berontak dan tak mau bisa di tenangkan. Kuhampiri mereka, lalu mengambil Gea kedalam pelukan. Mengelus rambut serta punggungnya dengan lembut. Tak butuh waktu lama, ia pun tertidur dengan posisi kepala tengah berada di pundakku. Sepertinya purtiku kelelahan karena kebanyakan menangis. Kuayunkan kaki menuju kamar, berniat untuk menaruh Gea ke pembaringan. Menjauhkannya dari kehiruk pikukan yang sedang terjadi di rumah ini. Tujuannya agar ia dapat beristirhat walau sejenak. Saat aku keluar dari kamar dan menutup pintu, terdengar sebuah suara menyapaku."Dam!" ternyata suara itu milik Lastri, sahabat alamarhumah istriku. "Ada apa, Las?" "Eum, sebelumnya aku turut berduka cita atas kepergian Risma. Tapi sebenarnya ada hal lain yang ingin aku beritahu padamu,""Ada apa, Las? Bicaralah!" pintaku. "Jangan disini, kita bicara di samping rumahmu saja, Dam!" usulnya. Tanpa banyak bicara lagi, akupun mengekorinya dibelakang. Entah apa yang ingin Lastri bicarakan, hingga ia tak ingin ada orang lain yang mendengarnya."Apa yang ingin kamu beritahu padaku?" kini kami berdua sudah berada di samping rumah yang berdekatan dengan kebun. Tak ada sesiapapun disini selain kami berdua. "Dam, sebenarnya aku gak enak mau ngomong ini sama kamu, tapi ...," kalimat Lastri terjeda. "Tapi apa, Las? Katakan saja semuanya, jangan ada yang kamu tutup-tutupi dariku!" ujarku tak sabar."Eum, apa kamu enggak pernah curiga dengan perubahan sikap istrimu?" tanya Lastri ambigu."Maksudnya?!""Tapi janji dulu kalau kamu gak akan marah setelah aku kasih tau!" "Langsung pada intinya saja, aku tak ingin berlama-lama mengobrol hanya berdua denganmu di tempat sepi seperti ini. Takutnya nanti jadi fitnah jika ada orang yang melihat kita. Jika apa yang akan kamu katakan adalah sebuah kebenaran, insya Allah aku tak akan marah," ucapku panjang lebar, kulihat Lastri menjadi sedikit salah tingkah. "Sebenarnya ... Karisma itu telah berselingkuh dibelakangmu, Dam!"Duaarrr....!Bagai disambar petir dua kali mendengar penuturan dari mulut Lastri, apakah mungkin seorang Karisma Anindita yang ku kenal sholeha dan selalu gandul bashor itu tega melakukan hal sehina ini di belakangku? Sungguh demi Allah aku tak dapat mempercayainya. "Bahkan, kini Karisma tengah hamil dari hasil hubungan gelapnya itu!" lanjut Lastri yang membuat dadaku seketika membara. "Apa kamu punya bukti jika Almarhumah istriku telah berselingkuh?" kuberikan tatapan menghunus tepat ke pupil matanya."Jadi, Kamu pikir aku berbohong? Buka matamu, Dam. Karisma itu tidak sebaik kelihatannya. Dia itu tak ubahnya seperti J4l4ng yang berkedok alim!" ujarnya menggebu.Tanpa kusadari, tangan ini mengayun ke udara lalu mendarat di pipi kanan Lastri. Saking kerasnya, hingga menyisakan bekas telapak tangan di kulit putihnya. Nafasku memburu menahan amarah yang hampir memuncak."Kamu jahat, Dam!" ia menatapku nyalang, kemudian berlari pergi meninggalkan aku yang tengah dilanda amarah dan kebingungan."Gak! Gak mungkin Karisma berselingkuh. Aku gak percaya! Apa yang di ucapkan Lastri, pasti semuanya bohong. Karisma gak mungkin tega menghianati pernikahan kami!" racauku seperti orang tak waras.Bag 2Pov LastriSungguh aku tak menyangka jika Adam berani menamparku dengan begitu kerasnya. Rasa panas dan perih di pipi ini, tak sebanding dengan luka hati yang aku rasakan. Sulit dimengerti, mengapa Adam begitu mencintai Karisma? Padahal jelas-jelas aku lebih segala-galanya di bandingkan dengan Risma. "Kamu jahat, Dam! Demi seorang Karisma, kamu sampai tega menyakitiku. Apa kurangnya aku, Dam? Apa!?" racauku di depan meja rias sambil memandangi pantulan wajah pada cermin.Sementara diluar, hujan turun begitu deras. Suata petir menggelegar menggetarkan kaca jendela kamarku, cahaya kilatnya menembus ventilasi memantulkan cahaya menembus cermin.Pandanganku teralih pada sebuah figura yang terpampang foto kami bertiga, tanganku terulur untuk meraihnya. Membawa benda persegi Itu lalu memindahkan tubuh ini ke sudut tempat tidur. "Ris, maafkan aku. Tak seharusnya aku mengatakan itu semua kepada Adam, tapi sungguh aku sudah tak ta
Bag 3Pov Author🌻 flash back, beberapa hari sebelum kepulangan Lastri.Mbok Darsih adalah pemilik warung angkringan yang berada di samping pos kamling ujung jalan menuju ke arah rumah Lastri. Sedang rumah Mbok Darsih sendiri berjarak tiga rumah dari rumah Almarhumah Karisma atau dalam kata lain mereka ini bertetangga. Semasa hidupnya, Karisma merupakan salah satu langganan setianya. Setelah acara tahlilan yang di gelar di rumah Almarhumah yang dilaksanakan sehabis isya itu, seperti biasa ia akan membuka lapaknya guna mencari nafkah. Maklum, Mbok Darsih ini seorang janda, sementara ia harus mencukupi kebutuhan kedua anaknya yang masih sekolah. Sementara suami Mbok Darsih sudah lama meninggal juga di Karenakan gantung diri. Malam ini ia merasakan suasana yang lain. Jika biasanya, tak berselang lama ia membuka lapak. Para bapak-bapak yang biasanya berkumpul di pos kampling akan bermunculan satu persatu lalu mereka mengobrol bersama sambil mem
Bab 4Malam semakin merangkak naik, sementara Dokter Adrian tadi langsung pamit pulang dan menyisakanLastri sendiri. Lastri melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan sudah pukul satu malam. Entah Kenapa, ia tak kunjung bisa tidur hanya asik bergulang-guling kesana kemari. Diraihnya benda pipih di atas nakas. Sambil menunggu kantuk datang, Lastri memutuskan untuk berselancar di sosial media. Entah sejak kapan ia mulai tertidur, hingga tiba-tiba Terdengar suara cekikikan yang berasal dari luar kamarnya berhasil membuat Lastri terbangun. Dengan pelan, Lastri melangkah mendekati pintu dan keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Baru saja Lastri membuka pintu, terlihat sebuah bayangan di ruang tamu. Seperti seorang perempuan yang tengah menimang bayi sambil berjalan wira-wiri. Kakinya berjalan mengendap-endap mendekati sosok tersebut. Untuk sesaat, tubuh Lastri terpaku di antara sekat lorong rumah dan ruang tamu. Sosok itu bertelanja
Bab 5Flash back. *Asal mula kerajaan pulung gantung*Hujan lebat disertai guntur dan angin kencang seolah-olah menyambut kehadiran tiga bayi perempuan dari keluarga Kuncoro melihat dunia.Namun, karena keluarga Kuncoro penganut ilmu kejawen yang sangat kental, ia pun menyuruh untuk memisahkan ketiga putrinya itu. Karena menurut mitos, jika bayi lahir kembar tiga perempuan itu dinamakan "gotong mayit". Selain itu juga sebenarnya keluarga Kuncoro telah melakukan perjanjian terkutuk dengan bangsa lelembut guna mendapatkan kekayaan. Akhirnya, malam itu juga Pak Kuncoro menyuruh ajudan sekaligus orang kepercayaannya bernama Karsa untuk mengungsikan salah satu putrinya di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari kediaman keluarga Kuncoro. Ia juga menyuruh salah satu Asisten rumah tanganya bernama Mbok Asih yang tak lain adalah istri dari Karsa untuk ikut menemani dan juga merawat putrinya tersebut disana
Bag 6Pak Karsa tidak bisa berlama-lama di Jogja. Setelah ia mengantarkan istri dan juga bayi majikannya, ia langsung kembali lagi ke rumah Keluarga Kuncoro. Waktu sudah menjelang dini hari ketika Pak Karsa sampai di Desa Wingit. Mobil yang ia kendarai mulai memasuki gapura desa. Pak karsa melihat warga berjalan berbondong-bondong ke arah Barat. Laju mobilnya sengaja ia pelankan dan kacanya sedikit dibuka. "Ayo kita usir mereka!" terdengar orasi dari beberapa warga yang terlihat memimpin barisan paling belakang. 'Usir? Siapa yang akan mereka usir?' ujar Pak Karsa membatin namun sungguh ia tak berani untuk bertanya. Semakin Pak Karsa melajukan mobilnya semakin terlihat panjang barisan para warga. Jumlah mereka semakin banyak, hingga sampai pada ujung depan. Alangkah terkejutnya, ternyata mereka menuju ke sebuah rumah mewah bercat putih dengan temboknya yang menjulang tinggi, terlihat kontras dibandingkan dengan
Bab 7Pak karsa beserta rombongan pergi meninggalkan desa. Meskipun jujur hatinya mereka merasa tak tenang karena memikirkan kelanjutan nasib Juragan Kuncoro. Semua yang ada di dalam mobil itu diam membisu, hanya terdengar suara sesenggukan dari Bu Wening yang terus memikirkan suaminya. Tiga jam telah berlalu, mobil yang mereka tumpangi kini melewati jalur yang berkelok-kelok dan menanjak. Semakin melaju, mobil yang di kemudikan oleh Pak Karsa semakin masuk ke dalam hutan belantara.Tujuan mereka tentu saja rumah yang kemarin sempat Mbok Asih dan Pak Karsa datangi. Karena hanya rumah itulah satu-satunya rumah tersisa yang di miliki oleh Keluarga Kuncoro, disamping itu juga tak akan ada yang tahu letak rumah tersebut terkecuali Pak Karsa, Mbok Asih dan juga Juragan Kuncoro itu sendiri. Awalnya, jalan yang mereka lewati berupa cor-coran, namun semakin masuk kedalam jalur itu semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.
Bab 8Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, manun Pak Karsa masih belum bisa memejamkan matanya. Entah kenapa perasaannya begitu gelisah memikirkan majikan laki-lakinya. Pak Karsa memutuskan keluar dari kamarnya untuk sekedar merokok di depan teras. Selain itu juga untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang datang, Juragan Kuncoro misalnya. Setelah sampai di teras rumah, ia duduk sambil memandangi area sekitar yang tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu dari balik pohon. Seperti siluet seseorang yang tengah mengintai. Pak Karsa yang menyadari itu langsung berteriak."Sopo ndok kono? Metuo, ojo dadi pengecut!" { Siapa disitu? Keluarlah, jangan jadi pengecut! }Lalu sosok itu pun melesat dengan kecepatan kilat, dalam sekejap saja. Sosok tersebut kini sudah berada persis di hadapannya. "Mbah Bejo?" gumam Pak Karsa lirih."Iyo, Ngger. Iki aku, Bejo. Hehehe ...," ucapn
Bab 9Ditengah pekatnya malam, Lastri dan Nunik berlari tunggang langgang. Mereka menyusuri hutan jati yang gelap gulita. Beruntung tengah padang bulan, cukup membantu mereka yang sedikit kesulitan melihat jalan. Bayi bernama Lastri itupun sangat anteng dalam gendongan Resti."Sek, Res. Nafasku koyok wes arak kendat iki," kata Nunik ngos-ngosan. { sebentar, Res. nafasku sudah seperti mau putus ini rasanya.}"Lah, mbok kiro gor awakmu thok. Aku loh iyo, podo," sahut Resti tak kalah ngos-ngosan dari Nunik. { Emangnya kamu pikir cuma kamu sendiri, aku juga.}"Seandainya awak'e dewe nduwe ilmu ngilang, beuh sakti tenan yo," ujar Nunik berkelakar.{ Coba aja kalau kita punya ilmu menghilang, pasti enak itu.}Bisa-bisanya di saat tengah genting begini, Nunik masih saja berkelakar. Anak itu memang ajaib."Ho'oh.""Tapi, Res. Nek tenan diijabah Ambek gusti Allah. Awakmu pengen ngilang ndok ndi?"
Bab 22Mirah tidak mau mendengar alasan apapun yang diucapkan oleh Sriningsih. Tujuannya sudah bulat, ia ingin mengambil apa yang memang sudah seharusnya menjadi haknya sejak dulu. "Mbiyen, awakku ijeh ngekni kesempatan ndok awakmu. Makakne, bapak mu ijeh tak kekni kesempatan urep nanging wujude koyok ngono. Njut awakmu ambek aku nggae perjanjian, lak awakmu ingkar ambek janjine awakke dewe. Aku teko, pan mateni bapakmu. Sak iki lha nyapo, kowe kok ngalang-ngali aku!?" bentak Mirah tampak begitu marah. (Dulu, aku masih memberikan kesempatan padamu. Maka dari itu, bapakmu masih aku biarkan hidup hingga detik ini. Bahkan, kita berdua sampai membuat sebuah perjanjian, bukan? Jika sampai kamu melanggarnya, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawa bapakmu. Tapi kenapa sekarang kamu malah justru menghalangiku untuk membunuhnya!?)Sriningsih menangis tergugu. Kedua tangannya memegang kaki bagian bawah milik Mirah. Memohon agar memberikannya w
Bab 21"Karina!" pekik Karisma dan Dokter Adrian secara bersamaan. Keduanya berusaha untuk menahan tubuh Karina dengan menarik sebelah tangannya. Karina menjerit kesakitan sekaligus ketakutan. Sosok itu ternyata Mbah Bejo tetapi dengan versi wajah yang sangat mengerikan."Lepaskan adikku!" hardik Karisma sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Mbah Bejo di pergelangan tangan Karina. "Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Sudah berpuluh tahun lamanya, aku menunggu saat-saat ini untuk menghabisi seluruh keturunan Kuncoro. Hahaha!" ujarnya menyeringai. Karisma memberi kode kepada Dokter Adrian untuk menarik kuat tangan Karina sementara dirinya mencoba mengalihkan perhatian Mbah Bejo. Karisma melompat ke belakang tubuh lelaki tua nan menjijikan itu. Menjambak rambut gondrongnya, serta menendang sebelah kakinya hingga tersungkur. Akibat hal itu, cengkramannya pada Karina terlepas dan saat itulah
Bab 20Sriningsih dan Mbah Tejo menyalami wanita itu dengan takzim. Dia adalah Mirah Atmojo, bos dari Sriningsih dan juga Mbah Tejo. "Ngapunten, Ndoro ibu. Lapo kok mboten sanjang rumiyen nek sampun dugi mriki?," tanya Mbah Tejo halus tanpa berani menatap wanita tua itu. {Maaf, Juragan Ibu. Kenapa enggak bilang-bilang kalau sudah sampai di sini?} "Opo nek aku ngabari kowe iso jamin nek cah iki enggak bakalane mlayu ngindari awakku?" jari telunjuk Mirah menunjuk ke arah Sriningsih, tatapannya begitu dingin dan mematikan.{Apakah kamu bisa menjamin kalau orang ini tidak akan kabur demi menghindariku?}Mbah Tejo terdiam mendengar pertanyaan Mirah. Sementara Sriningsih terus tertunduk menatap lantai yang masih beralaskan tanah itu. "Ket mbiyen, awakmu wes tak kandani tho Nduk. Nek tugas iki abot, ora kabeh uwong iso nyonggo. King nyatane, sak iki omonganku kebukti, tho?" Suara Mirah begitu halus tapi terdengar sangat mengerikan ji
Bab 19"Mas, coba sampean sekarang cerita sama aku. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lastri pada lelaki yang ada dihadapannya. Terlihat Dokter Adrian seperti bingung harus menjelaskannya mulai dari mana. Semua terjadi secara tiba-tiba. "Aku bingung, Las. Entah kenapa, semenjak menginjak rumah itu. Mata batinku menjadi lebih sensitif, padahal sebelumnya enggak, lho." Lastri menundukkan wajah dalam, hati dan pikirannya bingung dengan keadaan yang tengah mereka alami. Tujuan datang ke sini untuk menyelamatkan adiknya, malah harus berakhir seperti ini. Bahkan, sekarang adiknya malah justru semakin dalam bahaya. Baik Lastri maupun Dokter Adrian sama-sama membisu, pikirannya menerawang ke alam bawah sadar masing-masing. Sebenarnya, Dokter Adrian ingin sekali berkata jujur pada Lastri. Namun, ia belum memiliki keberanian. Disamping itu juga, waktunya dirasa belum tepat. "Aku minta maaf ya, Las," ucap Dokter Adrian disela-sela ke
Bag 18Tubuh Lastri yang gemetaran melihat parang yang dipegang oleh Sriningsih dihunuskan kepada Adrian itu pun tak mampu berbuat apa-apa. Namun rupanya, Sriningsih hanya menggorok rambut Adrian saja. Seketika tubuh Adrian terjerembab ketanah dan berhenti muntah darah. Lastri dan Adam mendekati tubuh Adrian yang terkulai sambil memandang sengit ke arah Sriningsih. "Katakan pada teman kalian, ilmunya di sini tidak ada apa-apanya. Nanti kalau sudah sadar, lekas bawa dia ke rumah Mbah Tejo!" "Baik, Mbak," jawab Pak Singgih, sementara Lastri dan Adam diam saja. Ketiganya menatap Sriningsih yang berjalan menjauh menuju rumah besar dengan tangan yang masih menggenggam rambut Adrian. Tak lama kemudian, Adrian pun tersadar. Pak Singgih dan Adam memapah tubuh Adrian menuju kerumah Mbah Tejo, Lastri membuntuti mereka dibelakang. Wajah Adrian begitu pucat, sejak tadi. Adam dan Pak Singgih mencoba mengaja
Bab 17Pak Singgih dan Adam menoleh, mereka melihat lelaki tua dengan sak berisikian rumput bertengger di punggungnya sedang menatap mereka berdua. Adam ingat dengan lelaki tua tersebut. Beliau sering mencari rumput di hutam jati dekat dengan gubuk yang mereka tempati. Tapi, kenapa malam-malam begini mencari rumput? Pikir Adam. Namun pikiran itu buru-buru ia tepis mengingat keadaan sedang genting. "Selamat malam, Mbah," seru Pak Singgih memberi salam lalu mencium tangan lelaki tua itu, Adam pun melakukan hal yang sama. Pak Singgih menceritakan semuanya tanpa ada yang dikurangi atau ditambahi sedikitpun. Lelaki tua itu hanya berdiri diambang pintu sambil mengintip ke arah jendela. "Pirang ngatus pocong iki seng ngejar awakmu, Le?"{Berapa ratus pocong ini yang ngejar kamu, Nak?}Adam dan Pak Singgih ikut menatap keluar. Namun Adam tak dapat melihat apapun kecuali Pak Singgih. "Kalian pulang saja,
Bab 16 "Bukaken lawange!" teriak perempuan misterius itu. Mau tak mau, Pak Singgih pun beranjak dan membuka pintu. Terlihat perempuan itu tengah membawa parang. "Minggir, ben tak pedote sikile!" ujar perempuan aneh itu. {Minggir, biar saya saja potong kakinya!}Ia mendorong tubuh Pak Singgih kesamping agar memberinya jalan lalu dengan cepat ia mencengkram baju Adrian dan berujar. "Opo awakmu piker, bar reti sekabehane arak sak mudah iku lungo teko kene, Mas?" tatapannya tajam menghunus bak pedang dan nadanya begitu dingin. {Apa kamu pikit akan semudah itu bisa pergi dari sini setelah mengetahui semuanya, Mas?}"Mati aku!" batin AdamTadinya mereka semua kecuali Pak Singgih berfikir jika perempuan itu akan menghabisi Adrian dengan menggunakan parang yang ia bawa. Akan tetapi dugaan itu meleset terbukti dengan gerakan si wanita aneh itu yang kini melepaskan cengkramannya pada pakaian Adrian.
Bab 15"Ada apa ini sebenarnya, Adrian?" Adam mulai memberanikan diri untuk bertanya saat mereka berdua telah sampai di dalam gubuk.Lastri dan Pak Singgih menatap Adam dan Adrian secara bergantian dengan tatapan penuh kebingungan. Ketika Pak Singgih memperhatikan Adrian lebih seksama. Seketika ia tahu jika ada sesuatu yang tidak beres tengah menguasai tubuh Adrian hingga membuat pemuda itu seperti orang linglung. Pak Singgih kemudian menyuruh Adam untuk mengambil segelas air, lepas itu Pak Singgih membacakan entah apa lalu meniupkan kedalam gelas tersebut. Menyipratkan air keseluruhan tubuh Adrian dan terakhir mengusapkan kebagian wajah putihnya. Detik berikutnya, Adrian seperti baru tersadar. "Kita harus pergi dari sini secepatnya. Bahaya tengah mengintai kita semua. Tanah ini adalah tanah tumbal kerajaan pulung gantung!" tegas Adrian yang bergegas masuk kedalam kamar dan memasukkan semua barang-barang mereka kedalam t
Bab 14"Wes bengi, sak iki turuo ndok omah kene wae," pinta Pak Singgih. { Sudah malam, sekarang kita tidur di rumah ini dulu saja}Mau tak mau mereka pun mengangguk meski sejujurnya merasa takut juga. Akan tetapi sudah tidak ada pilihan lain. "Berarti, trae omah iki gak beres," gumam Adam setelah mereka berada dikamar. { Berarti memang ada yang gak beres sama rumah ini}Dokter Adrian hanya terkekeh ringan. "Guduk omahe seng gak beres, tapi lemahe iki lho seng gak beres," sahut Dokter Adrian. {Bukan rumahnya yang gak beres, tapi tanahnya yang gak beres}"Awakmu kan dokter, kok iso eroh barang ngunu ki piye ceritane? Jajal cerito mbek aku sak iki, penasaran tenan awak ku!"{Kamu kan dokter, kok bisa melihat hal-hal tak kasat mata, itu gimana ceritanya? Coba cerita sama aku, penasaran soalnya}"Aku dewe yo gak eroh lho, padahal aku ki ra tau ngelmu. Mboh nyapo kok tiba-tib