Bab 5
Flash back. *Asal mula kerajaan pulung gantung*Hujan lebat disertai guntur dan angin kencang seolah-olah menyambut kehadiran tiga bayi perempuan dari keluarga Kuncoro melihat dunia.Namun, karena keluarga Kuncoro penganut ilmu kejawen yang sangat kental, ia pun menyuruh untuk memisahkan ketiga putrinya itu. Karena menurut mitos, jika bayi lahir kembar tiga perempuan itu dinamakan "gotong mayit". Selain itu juga sebenarnya keluarga Kuncoro telah melakukan perjanjian terkutuk dengan bangsa lelembut guna mendapatkan kekayaan. Akhirnya, malam itu juga Pak Kuncoro menyuruh ajudan sekaligus orang kepercayaannya bernama Karsa untuk mengungsikan salah satu putrinya di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari kediaman keluarga Kuncoro. Ia juga menyuruh salah satu Asisten rumah tanganya bernama Mbok Asih yang tak lain adalah istri dari Karsa untuk ikut menemani dan juga merawat putrinya tersebut disana. Semua kebutuhan sehari-hari akan di tanggung oleh Pak Kuncoro namun dengan syarat istrinya Pak Kuncoro yakni Bu Wening tidak boleh sampai tau tentang hal ini. Berangkatlah mereka bertiga malam itu, juga menuju tempat yang telah disiapkan oleh Pak Kuncoro. Akan tetapi sebelum beranjak, Pak Kuncoro berpesan kepada sang ajudan untuk berhenti di setiap persimpangan yang mereka lalui guna menaruh satu Kantong kresek hitam yang entah apa isinya yang telah ia siapkan di dalam kardus. "Ojo sampek lali pesenku mau. Saben enek persimpangan awakmu mandeg, dokokno sak bungkus," ujar Pak Kuncoro mewanti-wanti. { Jangan sampai lupa pesanku tadi. Setiap ada persimpangan kamu harus berhenti dan tarulahlah satu bungkus plastik disana}"Sendiko dawuh, Juragan," jawab Karsa seraya mangangguk.{ Baik, Juragan}Mobil yang mereka tumpangi melaju membelah pekatnya malam, sepanjang jalan Mbok Asih dan Pak Karsa saling terdiam satu sama lain tanpa berani berkata apapun. Sang bayi pun terlihat anteng, tidur lelap dalam gendongan Mbok Asih. Seperti yang telah dipesan oleh juragannya, setiap ada persimpangan Karsa selalu turun menaruh sebuah bungkusan tepat di tengah-tengah jalan. Lalu masuk kembali kedalam mobil dan meneruskan perjalanan. Begitu seterusnya hingga ahirnya mereka sudah memasuki jalanan kampung lebih tepatnya hutan karena disini nyaris tak ada tetangga sama sekali. Ternyata, letak rumah yang Pak Kuncoro siapkan berada jauh di dalam hutan namun anehnya terdapat jalan yang bisa dilalui mobil.Pada ahirnya mereka sampai di depan sebuah rumah besar nan megah namun terlihat seperti tak terawat.Rumah dengan gaya bangunan kuno seperti peninggalan belanda. Semua ornamen pada bangunannya terlihat masih asli. Jujur saja, jika dilihat dari luar suasananya sudah sangat menyeramkan apalagi dalamnya. Membayangkan itu semua membuat Mbok Asih bergidig ngeri. Terlebih lagi Mbok asih mendengar banyak sekali suara burung gagak semenjak mereka datang disekitaran mereka. Tak hanya Itu, Mbok Asih juga merasa seperti tengah diawasi oleh seseorang tetapi ia tak tahu siapa. "Pak, apa ndak sebaiknya kita rawat non kecil ini dirumah kita saja di desa?" tanya Mbok Asih kepada suaminya, matanya sambil mengawasi sekeliling."Maunya bapak juga begitu, Mbok. Tapi sampeyan kan tahu sendiri kanjeng juragan itu orangnya seperti apa. Bisa-bisa nanti kita di pecat lalu kita mau kerja apa? Kita ini sudah berumur, nyari kerjaan juga susah, ya tho?" ujar Pak Karsa mencoba menasehati istrinya. "Iyo, Pak. Si Mbok, eroh. Tapi tenane, lho perasaanku ndak enak banget ambek omah iki. Opo yo ndak di coba dulu minta ijin sama juragan untuk membawa non kecil ke Jogja saja," usul Mbok Asih sedikit memaksa.{Iya, Pak. Si Mbok, tau. Tapi benar lho, perasaanku gak enak banget sama rumah ini. Apa ya gak dicoba dulu aja minta ijin sama juragan untuk membawa non kecil ke Jogja?}Pak Karsa nampak berfikir. Ucapan istrinya ada benarnya juga, memanglah sejak di perjalanan tadi ia sudah merasakan firasat tak mengenakkan tentang rumah ini. Akhirnya, dengan modal nekat. Pak Karsa pun mencoba untuk menghubungi juragannya. "Alhamdulilah, eneng sinyal meskipun sekarat," gumam Pak Karsa. {Alhamdulilah, ada sinyal meskipun sekarat}Mbok Asih yang mendengar gumaman suaminya pun bertanya. "Sampean ki arak nyapo, tho, Pak?" {Kamu Itu mau ngapain, sih, Pak?}"Menengo ta, Mbok. Aku ape nelfon Juragan Kuncoro sek. Tak wanekne jalok ijin muleh nok Jogja ae!" ujar Pak Karsa yang kemudian diangguki oleh Mbok Asih. {Kamu diam dulu, Mbok. Aku mau telepon Juragan Kuncoro dulu. Aku beranikan minta ijin untuk pulang ke Jogja saja}"Halo, Juragan. Nyuwun ngapunten sak derenge menawi kulo sampun lancang. Anu, Juragan. Sepertinya istri saya ndak mau'e tinggal disini. Boleh ndak kalau non kecil kami bawa pulang saja ke kampung kami di Jogja?" {Halo, Juragan. Mohon Maaf sebelumnya kalau saya lancang. Anu, Juragan. Sepertinya istri saya gak mau tinggal di sini. Boleh tidak, kalau non kecil kami bawa pulang ke kampung kami di Jogja?}" .... ""Woo, njeh nek kados ngoten. Matur suwun sanget, Juragan," lalu telepon pun ditutup. {Oke kalau begitu, terima kasih banyak, Juragan}"Piye, Pak. Oleh ora?" tanya Mbok Asih tak sabar.{Gimana, Pak. Boleh tidak?}Pak Karsa menoleh ke arah istrinya, tersenyum semringah menandakan sebuah kelegaan."Alhamdulilah ... boleh, Buk!"Mereka bedua pun merasa senang sekali. Setidaknya, mereka tidak harus menempati rumah tua nan menyeramkan yang ada di depan mereka saat ini."Yo wes, ndang ayuh mangkat. Selak kewengen awake dewe tekan jogja."Tanpa menunggu lama, mobil mereka pergi meninggalkan area itu. Tak henti-hentinya mulut Bu Asih merapalkan doa sepanjang jalan. Agar dimudahkan dalam perjalanan mereka dan bisa selamat sampai tujuan.Pukul sembilan malam, mobil yang dikendarai Pak Karsa sudah sampai di halaman rumah mereka. Mbok Asih turun terlebih dahulu, membawa anak majikannya itu untuk dibaringkan di atas kasur miliknya."Kasihan sekali kamu, Nduk. Maafin si Mbok sama bapak, ya. Kami terpaksa melakukan semua ini karena perintah Tuan Juragan," ujar Mbok Asih membelai kepala bayi mungil yang tengah tidur terlelap di sampingnya.Pak Karsa jalan tergopoh-gopoh menemui istrinya, ia mendapati firasat yang tidak enak mengenai keluarga Juragannya."Bu, Bapak lekasan ae yo. Soale perasaan bapak kok ndak enak, takut terjadi apa-apa di rumah keluarga tuan juragan," ujar Pak Karsa berterus terang."Woalah, jadi bapak ndak nginep dulu di sini? Yo, wes. Hati-hati yo, Pak. Nek ada apa-apa pulang ke sini. Jangan lupa berdoa," pesan sang istri."Iyo, Bu. Bapak tak mbudal sak iki, yo."Setelah mendapat anggukan dari Mbok Asih. Pak Karsa pun pergi meninggalkan kampung halamannya.Bag 6Pak Karsa tidak bisa berlama-lama di Jogja. Setelah ia mengantarkan istri dan juga bayi majikannya, ia langsung kembali lagi ke rumah Keluarga Kuncoro. Waktu sudah menjelang dini hari ketika Pak Karsa sampai di Desa Wingit. Mobil yang ia kendarai mulai memasuki gapura desa. Pak karsa melihat warga berjalan berbondong-bondong ke arah Barat. Laju mobilnya sengaja ia pelankan dan kacanya sedikit dibuka. "Ayo kita usir mereka!" terdengar orasi dari beberapa warga yang terlihat memimpin barisan paling belakang. 'Usir? Siapa yang akan mereka usir?' ujar Pak Karsa membatin namun sungguh ia tak berani untuk bertanya. Semakin Pak Karsa melajukan mobilnya semakin terlihat panjang barisan para warga. Jumlah mereka semakin banyak, hingga sampai pada ujung depan. Alangkah terkejutnya, ternyata mereka menuju ke sebuah rumah mewah bercat putih dengan temboknya yang menjulang tinggi, terlihat kontras dibandingkan dengan
Bab 7Pak karsa beserta rombongan pergi meninggalkan desa. Meskipun jujur hatinya mereka merasa tak tenang karena memikirkan kelanjutan nasib Juragan Kuncoro. Semua yang ada di dalam mobil itu diam membisu, hanya terdengar suara sesenggukan dari Bu Wening yang terus memikirkan suaminya. Tiga jam telah berlalu, mobil yang mereka tumpangi kini melewati jalur yang berkelok-kelok dan menanjak. Semakin melaju, mobil yang di kemudikan oleh Pak Karsa semakin masuk ke dalam hutan belantara.Tujuan mereka tentu saja rumah yang kemarin sempat Mbok Asih dan Pak Karsa datangi. Karena hanya rumah itulah satu-satunya rumah tersisa yang di miliki oleh Keluarga Kuncoro, disamping itu juga tak akan ada yang tahu letak rumah tersebut terkecuali Pak Karsa, Mbok Asih dan juga Juragan Kuncoro itu sendiri. Awalnya, jalan yang mereka lewati berupa cor-coran, namun semakin masuk kedalam jalur itu semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.
Bab 8Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, manun Pak Karsa masih belum bisa memejamkan matanya. Entah kenapa perasaannya begitu gelisah memikirkan majikan laki-lakinya. Pak Karsa memutuskan keluar dari kamarnya untuk sekedar merokok di depan teras. Selain itu juga untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang datang, Juragan Kuncoro misalnya. Setelah sampai di teras rumah, ia duduk sambil memandangi area sekitar yang tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu dari balik pohon. Seperti siluet seseorang yang tengah mengintai. Pak Karsa yang menyadari itu langsung berteriak."Sopo ndok kono? Metuo, ojo dadi pengecut!" { Siapa disitu? Keluarlah, jangan jadi pengecut! }Lalu sosok itu pun melesat dengan kecepatan kilat, dalam sekejap saja. Sosok tersebut kini sudah berada persis di hadapannya. "Mbah Bejo?" gumam Pak Karsa lirih."Iyo, Ngger. Iki aku, Bejo. Hehehe ...," ucapn
Bab 9Ditengah pekatnya malam, Lastri dan Nunik berlari tunggang langgang. Mereka menyusuri hutan jati yang gelap gulita. Beruntung tengah padang bulan, cukup membantu mereka yang sedikit kesulitan melihat jalan. Bayi bernama Lastri itupun sangat anteng dalam gendongan Resti."Sek, Res. Nafasku koyok wes arak kendat iki," kata Nunik ngos-ngosan. { sebentar, Res. nafasku sudah seperti mau putus ini rasanya.}"Lah, mbok kiro gor awakmu thok. Aku loh iyo, podo," sahut Resti tak kalah ngos-ngosan dari Nunik. { Emangnya kamu pikir cuma kamu sendiri, aku juga.}"Seandainya awak'e dewe nduwe ilmu ngilang, beuh sakti tenan yo," ujar Nunik berkelakar.{ Coba aja kalau kita punya ilmu menghilang, pasti enak itu.}Bisa-bisanya di saat tengah genting begini, Nunik masih saja berkelakar. Anak itu memang ajaib."Ho'oh.""Tapi, Res. Nek tenan diijabah Ambek gusti Allah. Awakmu pengen ngilang ndok ndi?"
Bab 10Lastri terbangun dengan nafas ngos-ngosan dan pakaian yang basah kuyup akibat keringat membanjiri tubuhnya. "Keluarga Kuncoro?" gumam Lastri lirih. "Apa yang dimaksud dalam mimpi itu adalah Resti Ibuku? Lalu, kenapa selama ini ibuk ndak pernah bilang apa-apa sama aku?" Lastri bertanya pasa dirinya sendiri."Aku harus telepon ibu sekarang juga," imbuh nya.Cepat-cepat ia menyambar gawai lalu menekan nomor ibunya. Terdengar bunyi nada sambung, tak butuh waktu lama. Telepon pun tersambung. "Hallo, Assalamu'alaikum!" seru suara di seberang telefon yang tak lain adalah Resti. "Walaikum salam, Bu. Gimana kabare, sehat?" tanya Lastri berbasa-basi."Alhamdulilah, sehat, Nduk. Kalau kamu sendiri gimana kabare?" jawab dan tanya Resti terdengar semringah. "Alhamdulilah, Lastri baik, Bu," timpal Lastri. "Bu, Lastri boleh nanya ndak?" imbuhnya."Nanya apa, Nduk? Ibu jadi deg-degan
Bab 11Lastri yang terlihat sudah tak sabar, berkali-kali memanggil-manggil sang ibu di ujung telefon. "Bu, kok suwi tenan tho?"{Bu, kok lama banget?}Lalu terdengar suara Resti menyahut."Sek, Nduk. Iki lho, wes ketemu!"{Sebentar, Nak. Ini lho, sudah ketemu!}"Piye, Bu? Opo onok alamate seng mbok simpen ndok almarhum bapak?" cecar Lastri.{Gimana, Bu? Apa ada alamatnya yang disimpan oleh almarhum bapak?}"Alhamdulilah, eneng, Nduk! Alamate ndok Kota Gede Yogyakarta. Awakmu sak ini ijeh ndok Jogja, tho?" {Alhamdulilah, ada, Nak! Alamatnya ada di daerah Kota Gede Yogyakarta. Kamu sekarang masih tinggal di jogja, kan?}"Injeh, Bu. Tapi sak niki Lastri takseh teng Gunung Kidul. Nek ajeng teng alamat niku, butuh waktu sak jam lewih," ujar Lastri.{Iya, Bu. Tapi sekarang Lastri masih ada di Gunung Kidul. Kalau mau ke alamat itu, butuh waktu satu jam lebih.}"Ndak
Bab 12Mobil yang ditumpangi oleh Dokter Adrian dan Lastri melaju membelah jalanan. Pikiran Lastri terus melanglang buana memikirkan nasib sang adik dan mbaknya. "Las ...," suara Dokter Adrian seketika membuyarkan lamunan Lastri. Membuat gadis itu sedikit tersentak. "Maaf, bikin kamu kaget, ya? Sedari tadi aku perhatikan kamu melamun terus, kenapa?" tanya Dokter Adrian.Lastri menunduk dalam. Ia terus saja memainkan jari jemarinya yang ada di pangkuan saat ini."Bicaralah, siapa tau aku punya solusinya," sambung sang dokter. Lastri mendongakkan wajahnya, kini ia beralih menatap wajah laki-laki yang ada di sampingnya saat ini. 'Apa sebaiknya aku cerita aja sama Dokter Adrian, ya?' Lastri bertanya dalam hati. "Kenapa? Kalau kamu gak mau cerita, aku juga gak akan maksa, kok," ujar dokter tampan itu seraya tersenyum."Dok ...," ucap Lastri tercekat. "Ya, kalau memang tak siap tak apa. Us
Bab 13Kini Lastri, Dokter Adrian dan juga Adam sudah sampai di depan kediaman Keluarga Singgih. Namun anehnya, terlihat seorang bapak paruh baya seperti tengah tergesa-gesa hendak memasuki mobilnya. Lastri yang tak ingin kedatangannya sia-sia lantas buru-buru berlari menghampiri lelaki tersebut. "Nuwun sewu, Pak. Kulo ajeng kepanggeh kaleh Pak Singgih, nopo tiyange wonten teng lebet, njih?" tanya Lastri sopan. {Maaf permisi, Pak. Saya ingin bertemu dengan Pak Singgih, apa orangnya ada di dalam?}Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Lastri ia sudah yakin jika pria paruh baya yang ada di hadapannya adalah Pak Singgih, namun ia tak mau gegabah. Pria itu menatap Lastri heran. "Enten perlu nopo, cah ayu. Nopo sak derenge sampun nate kepanggih?" pria itu justru balik bertanya dengan nada yang begitu lembut. {Ada apa, Nak. Apa sebelumnya sudah pernah bertemu? }"Ngapunten, dereng, Pak. Tapi kulo mantuk mriki enten kepe
Bab 22Mirah tidak mau mendengar alasan apapun yang diucapkan oleh Sriningsih. Tujuannya sudah bulat, ia ingin mengambil apa yang memang sudah seharusnya menjadi haknya sejak dulu. "Mbiyen, awakku ijeh ngekni kesempatan ndok awakmu. Makakne, bapak mu ijeh tak kekni kesempatan urep nanging wujude koyok ngono. Njut awakmu ambek aku nggae perjanjian, lak awakmu ingkar ambek janjine awakke dewe. Aku teko, pan mateni bapakmu. Sak iki lha nyapo, kowe kok ngalang-ngali aku!?" bentak Mirah tampak begitu marah. (Dulu, aku masih memberikan kesempatan padamu. Maka dari itu, bapakmu masih aku biarkan hidup hingga detik ini. Bahkan, kita berdua sampai membuat sebuah perjanjian, bukan? Jika sampai kamu melanggarnya, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawa bapakmu. Tapi kenapa sekarang kamu malah justru menghalangiku untuk membunuhnya!?)Sriningsih menangis tergugu. Kedua tangannya memegang kaki bagian bawah milik Mirah. Memohon agar memberikannya w
Bab 21"Karina!" pekik Karisma dan Dokter Adrian secara bersamaan. Keduanya berusaha untuk menahan tubuh Karina dengan menarik sebelah tangannya. Karina menjerit kesakitan sekaligus ketakutan. Sosok itu ternyata Mbah Bejo tetapi dengan versi wajah yang sangat mengerikan."Lepaskan adikku!" hardik Karisma sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Mbah Bejo di pergelangan tangan Karina. "Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Sudah berpuluh tahun lamanya, aku menunggu saat-saat ini untuk menghabisi seluruh keturunan Kuncoro. Hahaha!" ujarnya menyeringai. Karisma memberi kode kepada Dokter Adrian untuk menarik kuat tangan Karina sementara dirinya mencoba mengalihkan perhatian Mbah Bejo. Karisma melompat ke belakang tubuh lelaki tua nan menjijikan itu. Menjambak rambut gondrongnya, serta menendang sebelah kakinya hingga tersungkur. Akibat hal itu, cengkramannya pada Karina terlepas dan saat itulah
Bab 20Sriningsih dan Mbah Tejo menyalami wanita itu dengan takzim. Dia adalah Mirah Atmojo, bos dari Sriningsih dan juga Mbah Tejo. "Ngapunten, Ndoro ibu. Lapo kok mboten sanjang rumiyen nek sampun dugi mriki?," tanya Mbah Tejo halus tanpa berani menatap wanita tua itu. {Maaf, Juragan Ibu. Kenapa enggak bilang-bilang kalau sudah sampai di sini?} "Opo nek aku ngabari kowe iso jamin nek cah iki enggak bakalane mlayu ngindari awakku?" jari telunjuk Mirah menunjuk ke arah Sriningsih, tatapannya begitu dingin dan mematikan.{Apakah kamu bisa menjamin kalau orang ini tidak akan kabur demi menghindariku?}Mbah Tejo terdiam mendengar pertanyaan Mirah. Sementara Sriningsih terus tertunduk menatap lantai yang masih beralaskan tanah itu. "Ket mbiyen, awakmu wes tak kandani tho Nduk. Nek tugas iki abot, ora kabeh uwong iso nyonggo. King nyatane, sak iki omonganku kebukti, tho?" Suara Mirah begitu halus tapi terdengar sangat mengerikan ji
Bab 19"Mas, coba sampean sekarang cerita sama aku. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lastri pada lelaki yang ada dihadapannya. Terlihat Dokter Adrian seperti bingung harus menjelaskannya mulai dari mana. Semua terjadi secara tiba-tiba. "Aku bingung, Las. Entah kenapa, semenjak menginjak rumah itu. Mata batinku menjadi lebih sensitif, padahal sebelumnya enggak, lho." Lastri menundukkan wajah dalam, hati dan pikirannya bingung dengan keadaan yang tengah mereka alami. Tujuan datang ke sini untuk menyelamatkan adiknya, malah harus berakhir seperti ini. Bahkan, sekarang adiknya malah justru semakin dalam bahaya. Baik Lastri maupun Dokter Adrian sama-sama membisu, pikirannya menerawang ke alam bawah sadar masing-masing. Sebenarnya, Dokter Adrian ingin sekali berkata jujur pada Lastri. Namun, ia belum memiliki keberanian. Disamping itu juga, waktunya dirasa belum tepat. "Aku minta maaf ya, Las," ucap Dokter Adrian disela-sela ke
Bag 18Tubuh Lastri yang gemetaran melihat parang yang dipegang oleh Sriningsih dihunuskan kepada Adrian itu pun tak mampu berbuat apa-apa. Namun rupanya, Sriningsih hanya menggorok rambut Adrian saja. Seketika tubuh Adrian terjerembab ketanah dan berhenti muntah darah. Lastri dan Adam mendekati tubuh Adrian yang terkulai sambil memandang sengit ke arah Sriningsih. "Katakan pada teman kalian, ilmunya di sini tidak ada apa-apanya. Nanti kalau sudah sadar, lekas bawa dia ke rumah Mbah Tejo!" "Baik, Mbak," jawab Pak Singgih, sementara Lastri dan Adam diam saja. Ketiganya menatap Sriningsih yang berjalan menjauh menuju rumah besar dengan tangan yang masih menggenggam rambut Adrian. Tak lama kemudian, Adrian pun tersadar. Pak Singgih dan Adam memapah tubuh Adrian menuju kerumah Mbah Tejo, Lastri membuntuti mereka dibelakang. Wajah Adrian begitu pucat, sejak tadi. Adam dan Pak Singgih mencoba mengaja
Bab 17Pak Singgih dan Adam menoleh, mereka melihat lelaki tua dengan sak berisikian rumput bertengger di punggungnya sedang menatap mereka berdua. Adam ingat dengan lelaki tua tersebut. Beliau sering mencari rumput di hutam jati dekat dengan gubuk yang mereka tempati. Tapi, kenapa malam-malam begini mencari rumput? Pikir Adam. Namun pikiran itu buru-buru ia tepis mengingat keadaan sedang genting. "Selamat malam, Mbah," seru Pak Singgih memberi salam lalu mencium tangan lelaki tua itu, Adam pun melakukan hal yang sama. Pak Singgih menceritakan semuanya tanpa ada yang dikurangi atau ditambahi sedikitpun. Lelaki tua itu hanya berdiri diambang pintu sambil mengintip ke arah jendela. "Pirang ngatus pocong iki seng ngejar awakmu, Le?"{Berapa ratus pocong ini yang ngejar kamu, Nak?}Adam dan Pak Singgih ikut menatap keluar. Namun Adam tak dapat melihat apapun kecuali Pak Singgih. "Kalian pulang saja,
Bab 16 "Bukaken lawange!" teriak perempuan misterius itu. Mau tak mau, Pak Singgih pun beranjak dan membuka pintu. Terlihat perempuan itu tengah membawa parang. "Minggir, ben tak pedote sikile!" ujar perempuan aneh itu. {Minggir, biar saya saja potong kakinya!}Ia mendorong tubuh Pak Singgih kesamping agar memberinya jalan lalu dengan cepat ia mencengkram baju Adrian dan berujar. "Opo awakmu piker, bar reti sekabehane arak sak mudah iku lungo teko kene, Mas?" tatapannya tajam menghunus bak pedang dan nadanya begitu dingin. {Apa kamu pikit akan semudah itu bisa pergi dari sini setelah mengetahui semuanya, Mas?}"Mati aku!" batin AdamTadinya mereka semua kecuali Pak Singgih berfikir jika perempuan itu akan menghabisi Adrian dengan menggunakan parang yang ia bawa. Akan tetapi dugaan itu meleset terbukti dengan gerakan si wanita aneh itu yang kini melepaskan cengkramannya pada pakaian Adrian.
Bab 15"Ada apa ini sebenarnya, Adrian?" Adam mulai memberanikan diri untuk bertanya saat mereka berdua telah sampai di dalam gubuk.Lastri dan Pak Singgih menatap Adam dan Adrian secara bergantian dengan tatapan penuh kebingungan. Ketika Pak Singgih memperhatikan Adrian lebih seksama. Seketika ia tahu jika ada sesuatu yang tidak beres tengah menguasai tubuh Adrian hingga membuat pemuda itu seperti orang linglung. Pak Singgih kemudian menyuruh Adam untuk mengambil segelas air, lepas itu Pak Singgih membacakan entah apa lalu meniupkan kedalam gelas tersebut. Menyipratkan air keseluruhan tubuh Adrian dan terakhir mengusapkan kebagian wajah putihnya. Detik berikutnya, Adrian seperti baru tersadar. "Kita harus pergi dari sini secepatnya. Bahaya tengah mengintai kita semua. Tanah ini adalah tanah tumbal kerajaan pulung gantung!" tegas Adrian yang bergegas masuk kedalam kamar dan memasukkan semua barang-barang mereka kedalam t
Bab 14"Wes bengi, sak iki turuo ndok omah kene wae," pinta Pak Singgih. { Sudah malam, sekarang kita tidur di rumah ini dulu saja}Mau tak mau mereka pun mengangguk meski sejujurnya merasa takut juga. Akan tetapi sudah tidak ada pilihan lain. "Berarti, trae omah iki gak beres," gumam Adam setelah mereka berada dikamar. { Berarti memang ada yang gak beres sama rumah ini}Dokter Adrian hanya terkekeh ringan. "Guduk omahe seng gak beres, tapi lemahe iki lho seng gak beres," sahut Dokter Adrian. {Bukan rumahnya yang gak beres, tapi tanahnya yang gak beres}"Awakmu kan dokter, kok iso eroh barang ngunu ki piye ceritane? Jajal cerito mbek aku sak iki, penasaran tenan awak ku!"{Kamu kan dokter, kok bisa melihat hal-hal tak kasat mata, itu gimana ceritanya? Coba cerita sama aku, penasaran soalnya}"Aku dewe yo gak eroh lho, padahal aku ki ra tau ngelmu. Mboh nyapo kok tiba-tib