Bag 3
Pov Author🌻 flash back, beberapa hari sebelum kepulangan Lastri.Mbok Darsih adalah pemilik warung angkringan yang berada di samping pos kamling ujung jalan menuju ke arah rumah Lastri. Sedang rumah Mbok Darsih sendiri berjarak tiga rumah dari rumah Almarhumah Karisma atau dalam kata lain mereka ini bertetangga. Semasa hidupnya, Karisma merupakan salah satu langganan setianya. Setelah acara tahlilan yang di gelar di rumah Almarhumah yang dilaksanakan sehabis isya itu, seperti biasa ia akan membuka lapaknya guna mencari nafkah. Maklum, Mbok Darsih ini seorang janda, sementara ia harus mencukupi kebutuhan kedua anaknya yang masih sekolah. Sementara suami Mbok Darsih sudah lama meninggal juga di Karenakan gantung diri. Malam ini ia merasakan suasana yang lain. Jika biasanya, tak berselang lama ia membuka lapak. Para bapak-bapak yang biasanya berkumpul di pos kampling akan bermunculan satu persatu lalu mereka mengobrol bersama sambil memesan makanan di angkringannya. Akan tetapi, lain hal nya dengan malam ini. Kondisi desanya sangat sepi tak seperti biasanya. Ia hanya duduk sendiri sembari melihat jalanan yang terlihat kosong melompong. Entah kenapa, firasatnya tiba-tiba menjadi tidak enak.Sejenak ia bersfikir, mungkin memang tidak seharusnya malam ini membuka lapak. Mengingat tadi pagi baru saja terjadi aksi gantung diri, di tambah lagi pelakunya dengar-dengar tengah hamil tiga bulan.Meskipun aksi gantung diri ini bukan untuk yang pertama kali terjadi. Namun, apa yang menimpa Karisma, tetangganya itu merupakan pengecualian. Konon katanya, jika wanita yang sedang hamil lalu meninggal terlebih lagi karena aksi bunuh diri. Maka arwahnya akan bergentayangan. Membayangkan hal itu membuat Mbok Darsih seketika bergidig ngeri. Benar saja, setelah beberapa saat merasakan hati dan pikirannya tak tenang. Kini ia mencium aroma melati dan kembang kantil menyeruak kedalam indra penciumannya. Awalnya bau itu tidak begitu menyengat hingga lama kelamaan berubah menjadi bau busuk dan membuatnya mual. Sambil menahan gejolak di dalam perut yang meronta-ronta meminta untuk di keluarkan, Mbok Darsih celingukan kesana kemari mencari dari mana sumber bau menyengat itu muncul. Sementara udara menjadi lebih dingin dari biasnya, padahal baru pukul sepuluh malam, tapi serasa sepeti sudah pukul satu dini hari. "Darimana, sih ini baunya," gumam Mbok Darsih sembari terus menutup hidungnya.Tiba-tiba terdengar suara lirih seseorang memanggil namanya dari arah belakang. "Mbok Darsih ...." Seketika ia tertegun ketika menyadari sang pemilik suara itu tak lain dan tak bukan merupakan tetangga yang sekaligus pelanggan setianya yang baru dikuburkan satu hari lalu. "Mbok, iki aku, Mbok," ujar suara itu yang membuat Mbok Darsih semakin merinding dan ragu untuk menoleh. Setelah melakuan perang batin, Mbok Darsih memilih untuk menoleh guna memastikan apakah benar suara itu milik Karisma atau bukan. Perlahan tapi pasti, kini tubuh Mbok Darsih sudah berbalik sempurna. Kini terlihat jelas sosok yang memanggilnya dengan suara lirih tadi adalah benar Karisma. Penampakannya berupa sosok pocong dengan tali yang melilit di lehernya, lidah terjulur panjang serta mata melotot. Raut wajah yang hancur serta menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat. "Tulungi aku, Mbok. Leherku kecekik, aku juga gak bisa pulang, Mbok," ujar sosok itu berbicara dengan suara tercekat-cekat. Tubuh Mbok Darsih seketika gemetar, peluh kini membanjiri pakaian yang ia kenakan. Air matanya mengalir deras. Dengan sisa-sisa keberanian yang ia miliki. Mbok Darsih berujar. "Pulanglah, Ris. Kita sudah berbeda alam. Jangan saling ganggu, Mbok minta maaf kalau selama ini Mbok banyak salah sama kamu. Begitupun sebaliknya, Mbok sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang tenanglah di alammu. Jangan ganggu kami yang masih hidup. Pulanglah, Nduk," ucap Mbok Darsih dengan bibir bergetar. "Tapi aku tertahan di sini, Mbok. Tolong bantu bebasin aku, Mbok," pintanya dengan nada memilukan. "Yo, wes. Sak iki mulio ndisik, Mbok janji akan membantu kamu," kata Mbok Darsih.Ajaibnya, setelah mendengar perkataan Mbok Darsih yang terahir. Sosok pocong yang menyerupai Karisma Itupun seketika lenyap dari pandangan. Menyisakan asap tipis yang mengepul lalu hilang terbawa angin. Kini Mbok Darsih dapat bernapas lega seraya mengucapkan hamdalah.Setelah kepergian sosok itu, Mbik Darsih langsung mengemasi barang dagangannya dan bergegas pulang.Flash back off.***Pov Dokter AdrianRasanya, malam ini hawanya agak sedikit berbeda, suasana mencekam ditemani rintik hujan yang sejak sore tadi turun. Mengakibatkan udara menjadi dingin, membuatku menggulungkan diri didalam selimut tebal menutupi seluruh tubuh.Di rumah sendiri tengah malam seperti ini membuat pikiranku kacau, terlintas bayangan-bayangan seram yang membuat badanku gemetar.Aku merubah posisi tidur, sekaligus berusaha membuang gelisah yang semakin menjadi-jadi. "Huft ... kenapa jadi enggak bisa tidur begini, sih?" Aku bangkit dan duduk, tapi masih di bawah selimut.Kuraih ponsel untuk mencari hiburan. Namun ternyata itu tak cukup membantuku menghalau rasa takut yang melanda. Kuputuskan untuk bangun. Aku melangkah gontai menuju dapur, rencana mau menyeduh kopi yang baru aku beli kemarin.Krek ... Krek ...!Brak!Hampir saja sendok yang aku pegang terjatuh. "Siapa?" Aku beranikah diri bersuara, selain penasaran, itu sebagai cara mengusir rasa takut.Hening, tidak ada jawaban. Kemungkinan daun jendela yang belum sempat ditutup. Aku berjalan menuju sumber suara untuk mengecek. Memang ada satu jendela yang sering aku lupa menutupnya, letaknya di belakang, dekat tempat cucian. Sebelum melakukannya, aku menyalakan televisi dengan suara keras. Dialog dalam tayangan membuatku merasa tidak sendiri."Tolong ... Tolong ...."Aku terkesiap, jelas sekali suara minta tolong. Meski tersamar suara televisi, aku jelas mendengarnya. Berasal dari rumah bagian samping. Persis di sebelah sumur yang baru tiga hari aku tutup. Rencana mau dibuatkan sumur bor agar lebih mudah mengambil air. Keberadaan sumur itu sudah ada sejak awal aku membeli rumah ini. Dulu, pertama datang kondisinya masih berantakan, terbengkalai. Timba dan ember plastik masih digunakan untuk mengambil air. Rumah ini, belum ada setahun aku tinggali. Sejak pertama pindah sama sekali tidak pernah mengalami hal aneh. Semua berjalan baik.Akan tetapi, mulai merasa mencekam sejak sumur itu ditutup. Ada saja hal tidak masuk akal terjadi di rumah ini."Tolong ... tolong saya ...." Bisikan itu terdengar lagi bersama datangnya semilir angin dingin."Astaghfirullah, siapa?"Aku berjalan mengendap-endap menuju sumber suara. Rasa takut aku coba lawan, meski tangan sejak tadi gemetar. Riuh suara hewan malam bahkan tidak terdengar, tidak seperti biasa. Senyap, hanya menyisakan suara televisi.Dengan bermodalkan sebuah senter, aku berjalan menuju samping rumah. Cahaya lampunya bisa menjangkau tempat yang gelap. Di sebelah sumur itu terdapat pohon mangga besar dan sudah lapuk.Saat kaki melangkah ke luar rumah. Aku hampir saja terjatuh karena tersandung batu yang secara tidak sengaja ditaruh di samping rumh. Netraku membelalak saat tahu apa yang membuat aku hampir terpelanting."Ya Allah." Spontan aku tutup kedua mata dengan tangan.Saat tahu apa yang terjadi, kaki mendadak kaku. Netraku menangkap benda putih teronggok di depan pintu, salah satu ujung terlihat seperti ada ikatannya. Kain yang menutupi terlihat kotor penuh sisa tanah.Aku membekap mulut dengan kedua tangan lebih kuat. Berusaha agar tidak berteriak, khawatir membuat heboh warga Kampung Damai."Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...."Aku pejamkan mata kuat kuat, berharap sosok itu segera menghilang dari pandangan. Namun, saat aku buka mata, pemandangan menyeramkan kudapati.Benda sebesar tubuh manusia itu berganti posisi, dan menghadap ke arahku. Memperlihatkan wajahnya yang pucat, hidungnya masih ditutup kapas dan terlihat cairan merah di sekitar bibirnya. Kakiku gemetaran, ingin berlari tapi tidak kuasa, seolah tertahan di tempat itu. Aku berusaha merapal doa sebisanya.Sekian detik, tubuhku seperti patung. Berdiri tanpa bisa berbuat apapun. Setelah selesai membacanya ayat kursi, perlahan aku bisa menggerakkan tubuh. Aku berusaha melangkah meninggalkan tempat itu dengan perasaan takut yang berkecamuk.Bab 4Malam semakin merangkak naik, sementara Dokter Adrian tadi langsung pamit pulang dan menyisakanLastri sendiri. Lastri melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan sudah pukul satu malam. Entah Kenapa, ia tak kunjung bisa tidur hanya asik bergulang-guling kesana kemari. Diraihnya benda pipih di atas nakas. Sambil menunggu kantuk datang, Lastri memutuskan untuk berselancar di sosial media. Entah sejak kapan ia mulai tertidur, hingga tiba-tiba Terdengar suara cekikikan yang berasal dari luar kamarnya berhasil membuat Lastri terbangun. Dengan pelan, Lastri melangkah mendekati pintu dan keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Baru saja Lastri membuka pintu, terlihat sebuah bayangan di ruang tamu. Seperti seorang perempuan yang tengah menimang bayi sambil berjalan wira-wiri. Kakinya berjalan mengendap-endap mendekati sosok tersebut. Untuk sesaat, tubuh Lastri terpaku di antara sekat lorong rumah dan ruang tamu. Sosok itu bertelanja
Bab 5Flash back. *Asal mula kerajaan pulung gantung*Hujan lebat disertai guntur dan angin kencang seolah-olah menyambut kehadiran tiga bayi perempuan dari keluarga Kuncoro melihat dunia.Namun, karena keluarga Kuncoro penganut ilmu kejawen yang sangat kental, ia pun menyuruh untuk memisahkan ketiga putrinya itu. Karena menurut mitos, jika bayi lahir kembar tiga perempuan itu dinamakan "gotong mayit". Selain itu juga sebenarnya keluarga Kuncoro telah melakukan perjanjian terkutuk dengan bangsa lelembut guna mendapatkan kekayaan. Akhirnya, malam itu juga Pak Kuncoro menyuruh ajudan sekaligus orang kepercayaannya bernama Karsa untuk mengungsikan salah satu putrinya di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari kediaman keluarga Kuncoro. Ia juga menyuruh salah satu Asisten rumah tanganya bernama Mbok Asih yang tak lain adalah istri dari Karsa untuk ikut menemani dan juga merawat putrinya tersebut disana
Bag 6Pak Karsa tidak bisa berlama-lama di Jogja. Setelah ia mengantarkan istri dan juga bayi majikannya, ia langsung kembali lagi ke rumah Keluarga Kuncoro. Waktu sudah menjelang dini hari ketika Pak Karsa sampai di Desa Wingit. Mobil yang ia kendarai mulai memasuki gapura desa. Pak karsa melihat warga berjalan berbondong-bondong ke arah Barat. Laju mobilnya sengaja ia pelankan dan kacanya sedikit dibuka. "Ayo kita usir mereka!" terdengar orasi dari beberapa warga yang terlihat memimpin barisan paling belakang. 'Usir? Siapa yang akan mereka usir?' ujar Pak Karsa membatin namun sungguh ia tak berani untuk bertanya. Semakin Pak Karsa melajukan mobilnya semakin terlihat panjang barisan para warga. Jumlah mereka semakin banyak, hingga sampai pada ujung depan. Alangkah terkejutnya, ternyata mereka menuju ke sebuah rumah mewah bercat putih dengan temboknya yang menjulang tinggi, terlihat kontras dibandingkan dengan
Bab 7Pak karsa beserta rombongan pergi meninggalkan desa. Meskipun jujur hatinya mereka merasa tak tenang karena memikirkan kelanjutan nasib Juragan Kuncoro. Semua yang ada di dalam mobil itu diam membisu, hanya terdengar suara sesenggukan dari Bu Wening yang terus memikirkan suaminya. Tiga jam telah berlalu, mobil yang mereka tumpangi kini melewati jalur yang berkelok-kelok dan menanjak. Semakin melaju, mobil yang di kemudikan oleh Pak Karsa semakin masuk ke dalam hutan belantara.Tujuan mereka tentu saja rumah yang kemarin sempat Mbok Asih dan Pak Karsa datangi. Karena hanya rumah itulah satu-satunya rumah tersisa yang di miliki oleh Keluarga Kuncoro, disamping itu juga tak akan ada yang tahu letak rumah tersebut terkecuali Pak Karsa, Mbok Asih dan juga Juragan Kuncoro itu sendiri. Awalnya, jalan yang mereka lewati berupa cor-coran, namun semakin masuk kedalam jalur itu semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.
Bab 8Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, manun Pak Karsa masih belum bisa memejamkan matanya. Entah kenapa perasaannya begitu gelisah memikirkan majikan laki-lakinya. Pak Karsa memutuskan keluar dari kamarnya untuk sekedar merokok di depan teras. Selain itu juga untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang datang, Juragan Kuncoro misalnya. Setelah sampai di teras rumah, ia duduk sambil memandangi area sekitar yang tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu dari balik pohon. Seperti siluet seseorang yang tengah mengintai. Pak Karsa yang menyadari itu langsung berteriak."Sopo ndok kono? Metuo, ojo dadi pengecut!" { Siapa disitu? Keluarlah, jangan jadi pengecut! }Lalu sosok itu pun melesat dengan kecepatan kilat, dalam sekejap saja. Sosok tersebut kini sudah berada persis di hadapannya. "Mbah Bejo?" gumam Pak Karsa lirih."Iyo, Ngger. Iki aku, Bejo. Hehehe ...," ucapn
Bab 9Ditengah pekatnya malam, Lastri dan Nunik berlari tunggang langgang. Mereka menyusuri hutan jati yang gelap gulita. Beruntung tengah padang bulan, cukup membantu mereka yang sedikit kesulitan melihat jalan. Bayi bernama Lastri itupun sangat anteng dalam gendongan Resti."Sek, Res. Nafasku koyok wes arak kendat iki," kata Nunik ngos-ngosan. { sebentar, Res. nafasku sudah seperti mau putus ini rasanya.}"Lah, mbok kiro gor awakmu thok. Aku loh iyo, podo," sahut Resti tak kalah ngos-ngosan dari Nunik. { Emangnya kamu pikir cuma kamu sendiri, aku juga.}"Seandainya awak'e dewe nduwe ilmu ngilang, beuh sakti tenan yo," ujar Nunik berkelakar.{ Coba aja kalau kita punya ilmu menghilang, pasti enak itu.}Bisa-bisanya di saat tengah genting begini, Nunik masih saja berkelakar. Anak itu memang ajaib."Ho'oh.""Tapi, Res. Nek tenan diijabah Ambek gusti Allah. Awakmu pengen ngilang ndok ndi?"
Bab 10Lastri terbangun dengan nafas ngos-ngosan dan pakaian yang basah kuyup akibat keringat membanjiri tubuhnya. "Keluarga Kuncoro?" gumam Lastri lirih. "Apa yang dimaksud dalam mimpi itu adalah Resti Ibuku? Lalu, kenapa selama ini ibuk ndak pernah bilang apa-apa sama aku?" Lastri bertanya pasa dirinya sendiri."Aku harus telepon ibu sekarang juga," imbuh nya.Cepat-cepat ia menyambar gawai lalu menekan nomor ibunya. Terdengar bunyi nada sambung, tak butuh waktu lama. Telepon pun tersambung. "Hallo, Assalamu'alaikum!" seru suara di seberang telefon yang tak lain adalah Resti. "Walaikum salam, Bu. Gimana kabare, sehat?" tanya Lastri berbasa-basi."Alhamdulilah, sehat, Nduk. Kalau kamu sendiri gimana kabare?" jawab dan tanya Resti terdengar semringah. "Alhamdulilah, Lastri baik, Bu," timpal Lastri. "Bu, Lastri boleh nanya ndak?" imbuhnya."Nanya apa, Nduk? Ibu jadi deg-degan
Bab 11Lastri yang terlihat sudah tak sabar, berkali-kali memanggil-manggil sang ibu di ujung telefon. "Bu, kok suwi tenan tho?"{Bu, kok lama banget?}Lalu terdengar suara Resti menyahut."Sek, Nduk. Iki lho, wes ketemu!"{Sebentar, Nak. Ini lho, sudah ketemu!}"Piye, Bu? Opo onok alamate seng mbok simpen ndok almarhum bapak?" cecar Lastri.{Gimana, Bu? Apa ada alamatnya yang disimpan oleh almarhum bapak?}"Alhamdulilah, eneng, Nduk! Alamate ndok Kota Gede Yogyakarta. Awakmu sak ini ijeh ndok Jogja, tho?" {Alhamdulilah, ada, Nak! Alamatnya ada di daerah Kota Gede Yogyakarta. Kamu sekarang masih tinggal di jogja, kan?}"Injeh, Bu. Tapi sak niki Lastri takseh teng Gunung Kidul. Nek ajeng teng alamat niku, butuh waktu sak jam lewih," ujar Lastri.{Iya, Bu. Tapi sekarang Lastri masih ada di Gunung Kidul. Kalau mau ke alamat itu, butuh waktu satu jam lebih.}"Ndak
Bab 22Mirah tidak mau mendengar alasan apapun yang diucapkan oleh Sriningsih. Tujuannya sudah bulat, ia ingin mengambil apa yang memang sudah seharusnya menjadi haknya sejak dulu. "Mbiyen, awakku ijeh ngekni kesempatan ndok awakmu. Makakne, bapak mu ijeh tak kekni kesempatan urep nanging wujude koyok ngono. Njut awakmu ambek aku nggae perjanjian, lak awakmu ingkar ambek janjine awakke dewe. Aku teko, pan mateni bapakmu. Sak iki lha nyapo, kowe kok ngalang-ngali aku!?" bentak Mirah tampak begitu marah. (Dulu, aku masih memberikan kesempatan padamu. Maka dari itu, bapakmu masih aku biarkan hidup hingga detik ini. Bahkan, kita berdua sampai membuat sebuah perjanjian, bukan? Jika sampai kamu melanggarnya, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawa bapakmu. Tapi kenapa sekarang kamu malah justru menghalangiku untuk membunuhnya!?)Sriningsih menangis tergugu. Kedua tangannya memegang kaki bagian bawah milik Mirah. Memohon agar memberikannya w
Bab 21"Karina!" pekik Karisma dan Dokter Adrian secara bersamaan. Keduanya berusaha untuk menahan tubuh Karina dengan menarik sebelah tangannya. Karina menjerit kesakitan sekaligus ketakutan. Sosok itu ternyata Mbah Bejo tetapi dengan versi wajah yang sangat mengerikan."Lepaskan adikku!" hardik Karisma sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Mbah Bejo di pergelangan tangan Karina. "Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Sudah berpuluh tahun lamanya, aku menunggu saat-saat ini untuk menghabisi seluruh keturunan Kuncoro. Hahaha!" ujarnya menyeringai. Karisma memberi kode kepada Dokter Adrian untuk menarik kuat tangan Karina sementara dirinya mencoba mengalihkan perhatian Mbah Bejo. Karisma melompat ke belakang tubuh lelaki tua nan menjijikan itu. Menjambak rambut gondrongnya, serta menendang sebelah kakinya hingga tersungkur. Akibat hal itu, cengkramannya pada Karina terlepas dan saat itulah
Bab 20Sriningsih dan Mbah Tejo menyalami wanita itu dengan takzim. Dia adalah Mirah Atmojo, bos dari Sriningsih dan juga Mbah Tejo. "Ngapunten, Ndoro ibu. Lapo kok mboten sanjang rumiyen nek sampun dugi mriki?," tanya Mbah Tejo halus tanpa berani menatap wanita tua itu. {Maaf, Juragan Ibu. Kenapa enggak bilang-bilang kalau sudah sampai di sini?} "Opo nek aku ngabari kowe iso jamin nek cah iki enggak bakalane mlayu ngindari awakku?" jari telunjuk Mirah menunjuk ke arah Sriningsih, tatapannya begitu dingin dan mematikan.{Apakah kamu bisa menjamin kalau orang ini tidak akan kabur demi menghindariku?}Mbah Tejo terdiam mendengar pertanyaan Mirah. Sementara Sriningsih terus tertunduk menatap lantai yang masih beralaskan tanah itu. "Ket mbiyen, awakmu wes tak kandani tho Nduk. Nek tugas iki abot, ora kabeh uwong iso nyonggo. King nyatane, sak iki omonganku kebukti, tho?" Suara Mirah begitu halus tapi terdengar sangat mengerikan ji
Bab 19"Mas, coba sampean sekarang cerita sama aku. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lastri pada lelaki yang ada dihadapannya. Terlihat Dokter Adrian seperti bingung harus menjelaskannya mulai dari mana. Semua terjadi secara tiba-tiba. "Aku bingung, Las. Entah kenapa, semenjak menginjak rumah itu. Mata batinku menjadi lebih sensitif, padahal sebelumnya enggak, lho." Lastri menundukkan wajah dalam, hati dan pikirannya bingung dengan keadaan yang tengah mereka alami. Tujuan datang ke sini untuk menyelamatkan adiknya, malah harus berakhir seperti ini. Bahkan, sekarang adiknya malah justru semakin dalam bahaya. Baik Lastri maupun Dokter Adrian sama-sama membisu, pikirannya menerawang ke alam bawah sadar masing-masing. Sebenarnya, Dokter Adrian ingin sekali berkata jujur pada Lastri. Namun, ia belum memiliki keberanian. Disamping itu juga, waktunya dirasa belum tepat. "Aku minta maaf ya, Las," ucap Dokter Adrian disela-sela ke
Bag 18Tubuh Lastri yang gemetaran melihat parang yang dipegang oleh Sriningsih dihunuskan kepada Adrian itu pun tak mampu berbuat apa-apa. Namun rupanya, Sriningsih hanya menggorok rambut Adrian saja. Seketika tubuh Adrian terjerembab ketanah dan berhenti muntah darah. Lastri dan Adam mendekati tubuh Adrian yang terkulai sambil memandang sengit ke arah Sriningsih. "Katakan pada teman kalian, ilmunya di sini tidak ada apa-apanya. Nanti kalau sudah sadar, lekas bawa dia ke rumah Mbah Tejo!" "Baik, Mbak," jawab Pak Singgih, sementara Lastri dan Adam diam saja. Ketiganya menatap Sriningsih yang berjalan menjauh menuju rumah besar dengan tangan yang masih menggenggam rambut Adrian. Tak lama kemudian, Adrian pun tersadar. Pak Singgih dan Adam memapah tubuh Adrian menuju kerumah Mbah Tejo, Lastri membuntuti mereka dibelakang. Wajah Adrian begitu pucat, sejak tadi. Adam dan Pak Singgih mencoba mengaja
Bab 17Pak Singgih dan Adam menoleh, mereka melihat lelaki tua dengan sak berisikian rumput bertengger di punggungnya sedang menatap mereka berdua. Adam ingat dengan lelaki tua tersebut. Beliau sering mencari rumput di hutam jati dekat dengan gubuk yang mereka tempati. Tapi, kenapa malam-malam begini mencari rumput? Pikir Adam. Namun pikiran itu buru-buru ia tepis mengingat keadaan sedang genting. "Selamat malam, Mbah," seru Pak Singgih memberi salam lalu mencium tangan lelaki tua itu, Adam pun melakukan hal yang sama. Pak Singgih menceritakan semuanya tanpa ada yang dikurangi atau ditambahi sedikitpun. Lelaki tua itu hanya berdiri diambang pintu sambil mengintip ke arah jendela. "Pirang ngatus pocong iki seng ngejar awakmu, Le?"{Berapa ratus pocong ini yang ngejar kamu, Nak?}Adam dan Pak Singgih ikut menatap keluar. Namun Adam tak dapat melihat apapun kecuali Pak Singgih. "Kalian pulang saja,
Bab 16 "Bukaken lawange!" teriak perempuan misterius itu. Mau tak mau, Pak Singgih pun beranjak dan membuka pintu. Terlihat perempuan itu tengah membawa parang. "Minggir, ben tak pedote sikile!" ujar perempuan aneh itu. {Minggir, biar saya saja potong kakinya!}Ia mendorong tubuh Pak Singgih kesamping agar memberinya jalan lalu dengan cepat ia mencengkram baju Adrian dan berujar. "Opo awakmu piker, bar reti sekabehane arak sak mudah iku lungo teko kene, Mas?" tatapannya tajam menghunus bak pedang dan nadanya begitu dingin. {Apa kamu pikit akan semudah itu bisa pergi dari sini setelah mengetahui semuanya, Mas?}"Mati aku!" batin AdamTadinya mereka semua kecuali Pak Singgih berfikir jika perempuan itu akan menghabisi Adrian dengan menggunakan parang yang ia bawa. Akan tetapi dugaan itu meleset terbukti dengan gerakan si wanita aneh itu yang kini melepaskan cengkramannya pada pakaian Adrian.
Bab 15"Ada apa ini sebenarnya, Adrian?" Adam mulai memberanikan diri untuk bertanya saat mereka berdua telah sampai di dalam gubuk.Lastri dan Pak Singgih menatap Adam dan Adrian secara bergantian dengan tatapan penuh kebingungan. Ketika Pak Singgih memperhatikan Adrian lebih seksama. Seketika ia tahu jika ada sesuatu yang tidak beres tengah menguasai tubuh Adrian hingga membuat pemuda itu seperti orang linglung. Pak Singgih kemudian menyuruh Adam untuk mengambil segelas air, lepas itu Pak Singgih membacakan entah apa lalu meniupkan kedalam gelas tersebut. Menyipratkan air keseluruhan tubuh Adrian dan terakhir mengusapkan kebagian wajah putihnya. Detik berikutnya, Adrian seperti baru tersadar. "Kita harus pergi dari sini secepatnya. Bahaya tengah mengintai kita semua. Tanah ini adalah tanah tumbal kerajaan pulung gantung!" tegas Adrian yang bergegas masuk kedalam kamar dan memasukkan semua barang-barang mereka kedalam t
Bab 14"Wes bengi, sak iki turuo ndok omah kene wae," pinta Pak Singgih. { Sudah malam, sekarang kita tidur di rumah ini dulu saja}Mau tak mau mereka pun mengangguk meski sejujurnya merasa takut juga. Akan tetapi sudah tidak ada pilihan lain. "Berarti, trae omah iki gak beres," gumam Adam setelah mereka berada dikamar. { Berarti memang ada yang gak beres sama rumah ini}Dokter Adrian hanya terkekeh ringan. "Guduk omahe seng gak beres, tapi lemahe iki lho seng gak beres," sahut Dokter Adrian. {Bukan rumahnya yang gak beres, tapi tanahnya yang gak beres}"Awakmu kan dokter, kok iso eroh barang ngunu ki piye ceritane? Jajal cerito mbek aku sak iki, penasaran tenan awak ku!"{Kamu kan dokter, kok bisa melihat hal-hal tak kasat mata, itu gimana ceritanya? Coba cerita sama aku, penasaran soalnya}"Aku dewe yo gak eroh lho, padahal aku ki ra tau ngelmu. Mboh nyapo kok tiba-tib