Fania menggeleng pelan. “Tidak, kok. Yuk, lanjut pose lagi aja. Cis.” Ia berpose dua jari dengan tersenyum. Karina pun tak membahas lagi, ia juga ikut berpose dua jari seperti Fania.Setelah itu, mereka pun masuk ke dalam karena hidangan makanan sudah disajikan. Tidak ada obrolan apa pun, mereka semua sibuk dengan makanannya masing-masing.Tak berselang lama, setelah makan selesai. Devan mengajak semuanya untuk melanjutkan kembali ke hotel. Untung saja acara pesta ayahnya digelar esok lusa. Membuat ia dan semua rombongannya bisa beristirahat dengan leluasa pagi ini.“Mas, Papah Alnando tadi mengabari, jika ia sudah sampai di sini,” kata Fania mengarah pada Devan yang sibuk di layar ponsel.“Syukurlah, kalau sudah sampai. Apakah Beni ikut?” tanya Devan memastikan.Fania mengangguk. “Aku kasihan sama Papah, Mas. Dia harus berpura-pura saat tahu jika mamah Angela ternyata menduakan dia. Aku sudah bilang suruh ceraikan. Tetapi, Papah malah menolak. Alasannya, Papah ingin tahu apa yang mem
Alnando terdiam membeku saat wanita berkucir kuda itu pergi begitu saja. Ada sesuatu hal yang tak asing saat menatap kedua mata wanita itu. Ia merasa mengenal sorot mata dengan bulu yang lentik meski mata itu tak muda lagi.“Elfina?” celetuk Alnando kemudian saat ia menyadari jika kedua mata itu seperti milik istri pertamanya.Alnando hendak mengejar wanita itu. Namun, sayangnya wanita berkucir kuda yang ia lihat barusan sudah tak terlihat. Wanita itu sudah naik bus berwarna merah. Alnando hendak mengejar, tetapi kecepatan bus tidak bisa ia hentikan. Dengan perasaan yang tak karuan, serta kerinduan sosok cinta pertamanya. Membuat Alnando hanya bisa tersungkur di tengah jalan, untungnya keadaan masih sepi karena pagi ini salju turun meski tidak lebat.‘Apa itu kau, Elfina? Atau hanya rasa rindu membuat orang lain ku anggap dirimu?’ gumam Alnando tak kuasa menahan cairan bening hangat yang kini luruh ke kedua pipi.Sungguh, dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia sangat merindukan sosok E
Keesokan harinya, pesta kebahagiaan untuk Sam dan Berliana pun tiba. Fania dan Devan sudah bersiap-siap menuju lokasi pesta, yang tak jauh dari hotel mereka menginap. Fania kali ini memakai dress bruket berwarna cokelat muda senada dengan sepatu hak tinggi dan tasnya. Rambutnya sengaja ia gerai. Sungguh membuat Fania tampak begitu anggun.Setelah semua siap, Fania dan Karina kini masuk ke dalam mobil, mereka duduk di bagian belakang. Karena kali ini tidak menggunakan sopir, membuat Reihan menawarkan diri untuk mengemudi menuju lokasi pesta yang memang tak terlalu jauh . Devan pun tak mempermasalahkan hal itu.Sementara di hotel, kedua pegawainya memang tidak ikut ke acara pesta. Mereka berdua disewakan pemandu wisata oleh Fania untuk mengajak mereka berdua keliling di Menara Eiffel dan tempat wisata yang lain.Setelah melakukan perjalanan kurang lebih 25 menit dari hotel Shangri La Paris, kini rombongan Fania sudah sampai di hotel berbintang yang dijadikan tempat pesta pernikahan me
Di koridor hotel, raut wajah Devan kini penuh amarah, bahkan tangan kanannya mengepal erat. Ia sudah mendengar semua dari Reihan yang tak sengaja menguping perbincangan antara Angela dan Beni yang akan merencanakan sesuatu untuk mertuanya.Reihan pun memberi saran kepada bosnya untuk bergerak cepat agar bisa menggagalkan rencana mereka berdua.“Tuan, lebih baik kita pasang saja kamera kecil untuk memantau mereka, dan alat itu juga bisa menjadi bukti jika tuan Alnando dalam bahaya,” saran Reihan saat berbincang berdua di kursi tamu.“Ya, ide kamu bagus juga, Rei. Kamu cari seseorang untuk memasang kamera itu di seluruh ruangan kediaman mertuaku. Kalau bisa di mobil yang biasa Papah pakai juga harus dipasang, kita tidak tahu rencana apa yang sedang mereka buat, hanya untuk berjaga-jaga saja,” terang Devan. Reihan pun mengangguk paham.“Aku akan menghubungi kerabatku yang biasa melakukan pemasangan kamera, Tuan,” ucap Reihan.Devan menyerahkan semua kepada Reihan. Ia juga sudah menghubu
Fania tak menyangka jika seseorang yang di hadapannya kini benar-benar mirip dengan ibunya.“I ... i-bu?” panggil Fania sekali lagi.Wanita paruh baya itu mendekat menghampiri Fania yang terdiam kaku di tempat.“Nak .... I-ni ibu,” ucap Elfina lirih. Air matanya luruh begitu deras.Fania menggeleng pelan. Sungguh ini seperti mimpi, entah ini kenyataan atau tidak, ia merasa aneh dan bingung. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Fania masih terkejut akan semua ini.Elfina memegang wajah Fania dengan pelan saat ia sudah berdiri di jarak yang dekat. Tangannya bergetar saat jemari menyentuh pipi putrinya yang basah oleh air mata.“Maafkan Ibu, Nak. Maafkan, Ibu!” sesal Elfina yang langsung memeluk tubuh Fania.“Pasti saat ini kamu benci sama Ibu. Kamu marah pun tidak apa, Nak. Memang Ibu yang salah, kamu menderita selama ini karena Ibu, Ibu ... Ibu sangat menyesal, Nak,” sambung Elfina mengungkapkan semua penyesalannya selama ini.Sedangkan Fania, ia masih terdiam membisu dengan wajah yang bas
Setelah bertamu di rumah ibunya cukup lama. Fania dan Devan kini kembali ke hotel. Di perjalanan Fania banyak bertanya kepada suaminya tentang bagaimana dirinya bisa menemukan sang ibu.Devan pun menceritakan semuanya. Fania sudah tidak marah atau pun kecewa, ia sudah paham dan mengerti kenapa suaminya bisa sampai menyembunyikan hal ini begitu lama.“Maaf, ya, Mas. Aku sudah salah sangka sama kamu, padahal kamu sudah berusaha keras melakukan hal ini untukku,” ucap Fania lirih. Ia merasa bersalah kepada suaminya.Devan pun menyadari, tetapi ia juga tidak mempermasalahkan tuduhan istrinya.“Aku mengerti maksudmu, Sayang. Sudah nggak perlu dibahas, yang terpenting kamu sudah bertemu dengan ibu kandungmu,” sahut Devan.Fania kini tersenyum lebar. Ia sudah tidak sabar ingin bicarakan hal ini kepada ayahnya. Tetapi sayangnya, Alnando sedang dalam perjalanan pulang ke tanah air. Otomatis, Fania harus menunggu kurang lebih 14 jam untuk bisa menghubungi ayahnya.Fania dan Devan kini sudah samp
Suasana malam di Paris semakin dingin, ditambah salju yang mulai turun secara perlahan membuat hawa dingin terasa menembus sampai ke tulang.Devan yang sudah rapi memakai tuxedo warna abu tua, kini ia sedang dalam perjalanan menuju apartemen ibu mertuanya. Ia akan menjemput istrinya yang masih di sana dari tadi siang.Setelah menempuh perjalanan cukup lumayan lama, sebab jalanan ramai oleh kendaraan. Akhirnya, mobil BMW warna biru metalik kini sampai juga di tujuan halaman apartemen ibu mertuanya.Devan pun keluar dari mobil, lalu berjalan melangkah masuk ke lobi apartemen menuju lift.Saat sudah sampai di lantai 16, ia menekan tombol bel. Tidak lama, pintu pun di buka oleh Elfina yang sudah menunggunya dari tadi.“Malam, Bu. Di mana, Fania?” tanya Devan. Sebab, ia hanya melihat ibu mertua seorang diri.“Masuklah, dulu. Fania ada di kamar Ibu, masih berdandan,” ujar Elfina. Devan pun hanya mengangguk, lalu mendudukkan bokongnya di kursi ruang tamu.Tak berangsur lama, Fania muncul mem
Devan segera mengangkat tubuh istrinya setelah memberikan gelas yang berisi air hangat kepada Berliana. Ia akan membawa Fania ke rumah sakit terdekat dari kediaman sang ayah.Sopi pribadi Sam, sudah menunggu di depan pintu dan membukakan pintu mobil untuk mempermudah Devan masuk.“Hati-hati, Dev. Kami akan menyusul nanti,” ucap Berliana saat putranya sudah berada di dalam mobil. Devan hanya bisa mengangguk, dan tak lama mobil pun berjalan meninggalkan rumah.Sementara Sam dan Berliana bergegas masuk ke dalam dan ia akan segera menyusul putra dan menantunya itu ke rumah sakit.Di mobil, tepatnya Devan berada, hatinya begitu gelisah menatap istrinya yang masih memejamkan matanya sedari tadi. Ia sudah berusaha menepuk kedua pipinya. Namun, tetap saja Fania tidak sadarkan diri.Mobil yang membawa Devan dan juga Fania kini sudah sampai di rumah sakit terdekat. Devan segera membopong tubuh istrinya saat pintu di buka oleh sopir pribadi Sam.Devan membawa masuk Fania ke dalam rumah sakit.
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena
Devan menaruh ponselnya di jasnya kembali. Disaat itu pula Fania mendekat dan bertanya siapa yang menghubungi.“Pak Gunawan yang menelpon tadi, Sayang.” Devan berkata seraya mendekat ke arah istrinya.Fania hanya mengangguk meski sebenarnya dia ingin bertanya lagi, tetapi dia urungkan. Sebab, melihat ibunya yang begitu terpuruk saat ini, ia merasa kasihan. Ada sedikit rasa cemburu, kenapa ibunya begitu kehilangan Bisma dibandingkan saat ayahnya tiada.Banyak sekali yang ingin Fania ketahui, tetapi ia tidak mau membuka masa lalu ibunya kembali.“Ibu, yakin tidak apa-apa?” tanya Fania ikut berjongkok. Elfina pun mengangguk.“Benar, Nak. Ibu tak apa-apa, kok. Hayo kita pulang, sepertinya bakalan hujan,” sahut Elfina dengan menatap ke atas melihat awan yang kini sudah berubah menjadi awan gelap.Fania mengangguk. Di perjalanan menuju kediaman rumah Bisma. Elfina menatap ke arah wanita paruh baya dan ia pun berterima kasih karena sudah mau mengantarkan dirinya ke makam teman lamanya itu.“
Bab 103. Berkunjung ke rumah Bisma Devan mengangguk saat istrinya bertanya tentang dirinya yang sudah melaporkan Angela. Sebenarnya, Devan bukan hanya melaporkan Angela, tetapi dia juga melaporkan Shanum dan juga Beni. Dia ingin memberi peringatan kepada Angela agar dia sadar jika dirinya adalah otak dibalik rencana melenyapkan Alnando. “Terus, apa yang kamu katakan kepada Shanum, Mas? Apa kamu mengabulkan belas kasihnya, saat dia mengemis padamu?” tanya Fania lagi penasaran. Devan menggeleng. “Tidak, aku tidak menanggapi, Sayang. Aku sudah memperingatkan Shanum, jika dia mau memohon pun aku tidak akan pernah mencabut tuntutanku. Karena nyawa harus dibalas dengan nyawa juga!” tegas Devan. Fania tersenyum kali ini. “Baguslah, Mas. Harusnya seperti itu. Biar ibu tiriku jera juga. Aku sudah muak juga dengan sandiwara Angela,” ucap Fania. Dengan berani menyebut nama ibu tirinya kepada Devan. Devan yang mendengar dia tertawa renyah kali ini. Bukan karena mengejek, tetapi mendengar is
Jujur saja Shanum sangat syok mendengar ucapan dari pak Gunawan. Setelah itu, dia pun bertanya siapa yang melaporkan ibunya. Karena ia ingin menemui orang itu agar bisa mempertimbangkan tuntutannya kepada sang ibu.Pak Gunawan akhirnya memberitahu Shanum siapa orang yang telah melaporkan ibunya itu.Dan kini Shanum yang berada di dalam mobilnya dibuat gusar. Ia tak menduga jika yang melaporkan ibunya adalah suami adik tirinya.“Aku harus menemui Devan sekarang. Aku harus membebaskan, Mamah,” ucap Shanum. Namun, sebelum dia melajukan mobilnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melihat siapa yang telah menghubunginya.Setelah membaca nama di layar ponsel. Shanum pun segera mengangkat.“Mamah, sekarang sedang ditahan di kantor polisi. Apa kamu punya cara agar Mamah bisa bebas?” tanya Shanum setelah menyapa.“Apa? Di tahan?” tanya Beni terkejut.“Iya, ada yang diam-diam menaruh kamera pengintai di seluruh ruangan rumah, dan Mamah dinyatakan bersalah karena ada bukti yang kuat saat Mamah m