Waktu telah berganti gelap. Fania dan Devan kini sedang bersiap-siap untuk berkunjung ke kediaman Samuel. Setelah menghabiskan waktu sore hari dengan memadu kasih.Samuel semenjak Devan menikah, ia langsung pergi ke Eropa dan menetap di sana. Bahkan kabar tentang perjanjian pernikahan putranya, ia baru mendengar tiga bulan terakhir ini. Dan hal itu sangat mengejutkan untuk Samuel.Devan kini sudah berada di perjalanan. Ia kali ini yang menyopir sendiri menuju ke rumah orang tuanya.Jujur saja, hati Fania begitu gelisah selama di perjalanan. Ia bahkan berulang kali mengusap tangannya yang tiba-tiba dingin.“Kamu, baik-baik saja ‘kan, Sayang?” tanya Devan yang melihat Fania gusar.“Aku gugup, Mas!” ucap Fania.“Gugup? Kenapa harus gugup, ‘kan hanya ketemu ayahku.”“Aku takut ayah kamu bakalan bertanya tentang perjanjian itu, Mas.”Devan mengangguk paham. “Sudah, tidak perlu khawatir. Perjanjian itu sudah tidak ada. Toh, sekarang kita masih tetap bersama,” terang Devan, lalu ia memegang
Reihan langsung tersenyum setelah mendengar rencana dari bosnya itu.“Anda yakin jika Karina bakalan menerima saya kembali, Tuan?” tanya Reihan sekali lagi.Devan mengangguk. “Aku yakin seratus persen. Asal kamu benar-benar membuktikan!”“Akan aku buktikan, Tuan. Terima kasih atas sarannya.” Reihan menjawab dengan bahagia.Obrolan mereka berdua berakhir dikarenakan siang ini Devan ada pertemuan bisnis dengan mertuanya—Alnando. Setelah terbongkarnya masalah perjanjian itu, dan Devan membawa pulang Fania tanpa pamit. Devan dan Alnando belum pernah bertemu kembali.Ada rasa sedikit kecanggungan dalam benak hati Devan. Namun, ia ingin bersikap profesional dalam kerja. Dan ia tidak ingin melibatkan hubungan pribadi dengan pekerjaan.Satu jam berlalu. Devan kini sudah berada di hotel bintang lima yang berada di Jakarta Barat. Pertemuan bisnis dengan mertua sengaja di hotel agar lebih leluasa.Devan berjalan masuk ke dalam ruangan khusus untuk pertemuan para pebisnis Ibukota. Ia ditemani ole
Seperti yang sudah disepakati oleh Fania dan Devan. Kini Fania berkunjung ke apartemen milik Karina.Setelah menempuh jarak kurang lebih tiga puluh menit. Fania akhirnya sampai di kediaman sahabatnya. Karina langsung menyambut kedatangan Fania dengan antusias.“Ya ampun, Rin. Gue capek banget, njir. Jalanan macet banget, g**a!” Fania duduk di sofa ruang tengah sembari mengipas kipas wajahnya dengan telapak tangan.“Yaelah, cuman tinggal duduk doang di mobil. Bilang capek! Capek tuh menyetir sendiri, baru capek!” gerutu Karina dengan menuangkan jus jeruk ke gelas. Lalu ia sodorkan ke Fania.Fania menerima, tanpa berucap ia langsung menenggak abis jus jeruk buatan Karina itu.“Haus? Apa doyan?” ledek Karina.“Dua-duanya.”Karina tersenyum. “Tumben lo ke sini? Ada apa?” tanya Karina penasaran.“Pengen main aja. Sama mau ngajak kamu holiday,” sahut Fania.“Holiday?” Karina mengulang.Fania mengangguk. “Aku disuruh sama om Devan untuk liburan, kan kita baru saja wisuda, siapa tahu kita bos
Hari telah berganti malam. Kini Fania mendandani Karina dengan memakaikan gaun yang ia belikan beberapa hari yang lalu.Karina merasa ada yang aneh dengan sikap sahabatnya ini. Namun, entah kenapa malam ini dia berubah menjadi wanita yang penurut. Fania memerintahkan banyak hal, ia juga dengan cepat menurut saja tanpa protes sedikit pun.Padahal, biasanya Karina akan memberontak jika Fania merusuh seperti sekarang. Tapi kali ini, Karina bak bayi kecil yang menurut dengan ibunya yang sedang didandani.“Fan, emang ini acara apa sih?” tanya Karina lagi dengan penasaran.“Kan dah gue kata, Rin. Ini acara spesial, ntar juga lo tahu sendiri!” timpal Fania terkikik.“Tau ah, jawaban lo kaya gitu terus dari tadi!” Karina kini cemberut.Namun, Fania tidak memperdulikannya. Fania mengambil ponsel yang berada di tas selempang. Ia sengaja memakai tas kecil agar bisa menyimpan ponselnya biar aman dari Karina.Devan sudah menghubungi jika semuanya sudah siap. Lalu Fania mengajak Karina untuk ke tem
Setelah sambungan telpon terputus. Wajah Fania kini tampak lesu, dan hal itu membuat Devan menjadi khawatir.“Sayang, kamu baik-baik saja ‘kan?”Karina dan Reihan juga ikut menatap ke arah Fania yang terdiam membeku.“Mas ... Pa-pah!” ucap Fania lirih. Matanya kini mengembun, membuat Devan semakin panik.“Iya, Sayang. Papah kenapa?” tanya Devan mencoba tenang.“Papah, masuk rumah sakit!” Fania berkata lirih, sembari terisak. Hatinya terasa sakit mendengar kabar buruk itu.Devan terkejut mendengar kabar itu. Sebab, saat ia terakhir bertemu dengan mertuanya. Dia melihat Alnando tampak sehat-sehat saja.“Ya, sudah. Kamu mau balik ke Jakarta?” tanya Devan kepada Fania. “Jika iya, biar Reihan memesankan tiket malam ini juga untuk kita kembali ke Jakarta!” sambung Devan lagi. Dan hal itu langsung diangguki oleh Fania.Karina memegang tangan Fania yang dingin. Ia mencoba memberi kekuatan untuk Fania agar bisa tenang.“Sabar ya, Fan. Doakan saja Papah lo baik-baik saja,” ucap Karina.Fania ha
Fania menceritakan semuanya kepada Devan sambil terisak. Hatinya hancur setelah apa yang dilakukan oleh Alnando kepadanya. Padahal Fania datang dengan begitu khawatir pada sang ayah. Lalu dengan entengnya Alnando berucap kepada Fania hingga membuat hati anaknya terluka seperti sekarang.Devan pun menenangi Fania, meski dalam hati ia juga ikut terluka. Seorang anak diperlakukan tidak baik oleh orang tuanya sendiri. Hal itu sangat bertolak belakang dengan keluarganya. Sebab, Devan selalu diberi kasih sayang dan kehangatan selama ia masih berstatus lajang.“Kamu, jangan berpikir macam-macam ya, mungkin Papah masih kecewa dengan perjanjian pernikahan kita yang 100 hari itu. Tapi, percayalah tidak ada orang tua yang tidak sayang kepada anaknya. Berpikir yang baik saja biar hasilnya juga nanti akan baik. Oke!” Devan berucap sembari mengelus pipi sang istri yang basah oleh air mata.Meski Fania hanya terdiam dan tak merespon. Devan memahami apa yang sedang istrinya rasakan.Hampir satu jam l
Dua minggu berlalu. Kini Alnando sudah sehat, meski belum sepenuhnya. Dan hal itu membuat Angela sedikit geram, karena kondisi suaminya bukannya memburuk malah lebih membaik.Angela mondar mandir sendiri di ruang tengah—kediaman Alnando. Karena hari ini, Alnando sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Angela akhirnya pulang untuk mempersiapkan kamar untuk menyambut suaminya.“Shanum, kamu yakin sudah memberikan obat itu? Kamu tidak lupa menukarnya ‘kan?” tanya Angela kepada Shanum di sambungan telpon.“I-ya, M-ah. A-ku sudah menukarnya!” Shanum menjawab dengan gugup. Bahkan ia sengaja keluar dari ruangan ayah tirinya agar Alnando tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan ibunya.Angela menghela napas panjang. “Harusnya obat itu bereaksi cepat, kayanya ada yang tidak beres. Ya, sudah kamu urus Alnando dulu. Mamah menyusul nanti!” ucap Angela yang langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak.Hati Shanum begitu lega. Ibunya tidak ada rasa curiga sedikit pun kepadanya.“Huh!
Fania kini sudah bersama Karina menuju tempat untuk memilih gaun pengantin. Setelah memakan waktu hampir setengah jam perjalanan. Kini mereka berdua sudah sampai di depan butik yang berada di kawasan Jakarta Barat.“Jadi, lo sudah bertemu dengan keluarga Reihan?” tanya Fania setelah menutup pintu mobil.Karina mengangguk. “Aku tadinya takut, jika keluarga Rei akan mempersulit hubunganku dengannya. Tapi, ternyata mereka menyambutku penuh kehangatan,” ungkap Karina merasa terharu.“Syukurlah, Rin. Gue senang dengarnya.” Fania memeluk Karina.Karina dan Fania masuk ke dalam butik yang langsung disambut oleh pegawai butik itu.Mereka berdua disuruh menunggu sampai pemilik butik datang. Karina pun mengajak Fania duduk di ruang tunggu yang sudah disediakan.“Kabar bokap lo gimana, Fan?” tanya Karina sembari meminum teh yang dibuatkan oleh pegawai butik.Fania menggeleng. “Gue benar-benar sudah tak dianggap anak oleh bokap gue!”“Maksud lo?”Fania pun menceritakan kejadian waktu di rumah sak