Sekar memberi isyarat padanya untuk jangan berbicara dulu, kemudian melanjutkan, “Kalau kamu benar-benar ingin berumah tangga dengan Hengky, kamu harus mempertimbangkan untuk punya anak sesegera mungkin. Mengerti?”Winda mengangguk cepat dan berkata dengan sungguh-sungguh, “Nenek, jangan khawatir. Aku benar-benar ingin melanjutkan hidup dengan Hengky. Kalau urusan anak, aku … aku pasti akan hamil secepatnya.”Melihat reaksi Winda dan memikirkan sikap Hengky ketika berada meja makan, Sekar menduga masalahnya mungkin ada pada cucunya.“Karena kamu sudah paham, Nenek juga nggak akan banyak berkata-kata lagi.”Sekar tidak berkata apa-apa lagi. Dia yakin Winda adalah orang yang cerdas dan tahu apa yang harus dilakukan untuk memenangkan suaminya sendiri.“Nenek, aku mengerti.” Winda tersenyum. Rasa sedih di hatinya sedikit menghilang.Apa pun yang terjadi, kabar terbaiknya adalah Nenek Sekar akhirnya bersedia menerimanya.Dia menduga perubahan mendadak dari Nenek Sekar ini ada kaitannya deng
Hengky melepaskan tangan Winda, mendongak untuk menatap wanita itu, lalu berkata dengan dingin, “Kenapa aku nggak pernah lihat kamu nggak bisa tidur sebelumnya?”Senyuman di wajah Winda membeku. Dia tiba-tiba teringat bahwa dialah yang mengusulkan agar dia dan Hengky tidur di ranjang terpisah. Raut mukanya semakin kaku.Seolah-olah membaca pikirannya, Hengky berkata dengan dingin: “Jangan mengira aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan. Aku sarankan kamu jangan banyak tingkah. Aku nggak akan memberimu kesempatan untuk mengandung anakku.”Ekspresi di wajah Winda berubah muram, dan dia terlihat kesepian.Dia menenangkan diri selama beberapa detik, menatap Hengky, dan bertanya, “Kamu nggak mau punya anak, atau nggak mau punya anak dariku?”Hengky memandangnya dengan dingin dan berkata sinis, “Bagaimana denganmu? Apa kamu benar-benar ingin melahirkan anak untukku? Atau kamu mau memanfaatkan anak itu untuk mengontrolku?”Winda tertegun mendengarnya, kemudian raut mukanya menjadi masam. Dia
Hengky tiba-tiba tertawa dingin. Dia menepis tangan Winda, mengulurkan tangan untuk meraih dagu wanita itu, lalu berkata dengan nada dingin, “Memangnya kamu pernah bersikap tulus?”“Aku pernah ....”Hengky tersenyum dingin dan menyela, “Ketulusanmu nggak ada artinya.”Mendengar hal itu, Winda terhuyung dan wajahnya dalam sekejap berubah pucat.“Sudah berapa kali kamu berbohong padaku? Apa kamu sendiri ingat? Atau kamu sudah kecanduan akting, jadi menganggap semuanya nyata? “Hengky mencibir dengan nada menghina. Kata-kata yang keluar dari mulutnya semakin lama semakin kejam.Setiap perkataannya bagaikan pisau tak kasat mata yang ditusukkan ke dalam hati Winda, menginjak-injak martabat dan ketulusannya. Namun, dia tak mampu membantahnya.Ternyata tidak peduli berapa kali dia mencoba memperbaiki kesalahan yang telah dia lakukan, kepercayaan yang telah retak sebelumnya tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi.Hengky tidak percaya padanya. Bagaimanapun juga, dia sudah melakukan terlalu ban
Wajah Winda merah padam. Mendengar suara Hengky, dia mengulurkan tangan dan meraba-raba, membuka kancing kemeja pria itu satu per satu.Hengky melepaskan tubuhnya dan juga mulai melepaskan pakaian yang membalut tubuhnya.Di saat-saat genting, Hengky tiba-tiba berhenti dan mengulurkan tangan untuk membuka meja samping tempat tidur.Winda menatapnya dengan bingung dan bertanya dengan suara serak, “Ada apa?”Hengky tidak berkata apa-apa, mengeluarkan sekotak kondom dari meja samping tempat tidur dan hendak membukanya ketika Winda menahannya.“Nggak perlu.”Hengky melirik tangan Winda, lalu menatap wanita itu dengan tatapan bertanya-tanya.Winda tahu apa yang Hengky khawatirkan, jadi dia mengambil kotak itu dari tangan pria itu dan melemparkannya ke bawah tempat tidur.“Ketulusanku nggak perlu diragukan lagi,” Winda duduk, merentangkan tangannya untuk memeluk pria itu, lalu berbisik tegas di telinga pria itu, “Aku bersedia melakukannya.”Dia mengangkat kepalanya dan mencium Hengky dengan y
Mendengar apa yang Hengky katakan, Willy akhirnya mengerti maksudnya, jadi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Setelah menjawab pertanyaan pria itu, dia menutup teleponnya.Winda keluar setelah mandi. Hengky sedang duduk di samping tempat tidur sambil membaca buku. Ketika melihat wanita itu datang, dia mengambil gelas di meja samping tempat tidur dan menyerahkannya pada wanita itu.“Minumlah.”Winda tertegun sejenak, memandangi gelas berisi cairan berwarna oranye itu dan bertanya-tanya, “Apa ini?”Mendengar pertanyaannya, Hengky mengerjapkan matanya dan berkata dengan tenang, “Jus wortel.”Winda mengambilnya, menundukkan kepala dan menciumnya dengan seksama. Memang ada aroma wortel yang menyengat.Namun, dia tidak pernah meminum jus wortel. Kenapa Hengky tiba-tiba menyiapkan jus wortel untuknya?Winda merasa aneh dalam hati, tapi ia dia curiga sama sekali. Lagi pula, jarang-jarang Hengky bisa sangat berinisiatif seperti ini padanya, jadi dia tidak ingin merusak momen itu. Dia pun mendon
Dita menepis tangan Vivi dan hendak mengatakan hal lain, tapi Adi menatapnya dengan dingin, sehingga dia pun langsung diam.Adi melirik Winda dan Hengky, lalu berkata, “Kalian sudah datang, ayo duduk dan makan.”“Terima kasih, Kakek.” Winda menarik kursi dan duduk di samping Hengky.Vivi duduk diagonal di seberangnya. Begitu Winda mengangkat kepalanya, Vivi melihat cupang di leher wanita itu. Matanya melebar. Dia memandang Hengky yang duduk di sebelahnya dengan tidak percaya.Winda sedang makan bubur dengan kepala tertunduk. Tiba-tiba, dia merasa ada yang menendang kakinya.Dia mendongak dan menyadari bahwa Vivi sedang memberikan isyarat mata padanya. Melihat Winda menoleh, Vivi mengangkat tangan dan menyentuh lehernya sebagai isyarat, lalu menunjuk ke arah Hengky dengan matanya.Winda tidak mengerti dan menatap Vivi dengan bingung.Melihat Winda tidak mengerti maksudnya, Vivi berdeham, tersenyum dan berbisik kepada Hengky, “Kakak, kamu dan Kak Winda cukup mesra juga.”Mendengar hal it
“Tunggu sampai Kak Hengky jatuh cinta padamu, baru kita bicarakan lagi,” ujar Vivi. Dia mengamati cupang di leher Winda dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.Saat mendengar perkataan Vivi, senyuman di bibir Winda membeku sesaat. Namun, tak lama kemudian, senyuman percaya diri muncul lagi di wajahnya dan dia berkata, “Siapa bilang kakakmu nggak mencintaiku?”Vivi tertegun dan tidak bisa berkata apa-apa.Dia selalu berpikir kakak sepupunya itu tidak menyukai Winda dan tidak akan pernah menyentuhnya. Apalagi ketika mengetahui bahwa mereka berdua selalu tidur di kamar terpisah, dia semakin yakin. Namun tak disangka ….Wanita ini cukup cerdik, tidak hanya berhasil membuat kakeknya untuk melindunginya dengan segala cara, bahkan sepupunya yang selama ini selalu bersikap dingin padanya pun ikut terjerumus ke dalam perangkap.Tampaknya, nyonya rumah di Keluarga Pranoto tidak akan berubah lagi.Melihat Vivi diam saja, rasa tidak nyaman di hati Winda pun hilang. Meski Hengky belum jatuh cinta pa
Vivi melihat Winda sepertinya agak pucat. Dia jadi agak khawatir dan berkata, “Kamu terlihat pucat. Apa kamu merasa nggak enak badan?”Mendengar itu, hati Winda terasa hangat. Dia tersenyum dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi ada suara tajam datang dari belakangnya, “Mama nggak lihat kamu peduli sama Mama kalau Mama lagi nggak enak badan. Sekarang, kamu malah peduli sama orang luar.”Entah sejak kapan Dita keluar. Dia merasa lucu dan ingin menyindir ketika melihat kedekatan Vivi dan Winda.Vivi tampak tidak berdaya. Dia berbalik badan dan memberi isyarat mata pada Dita, ingin meminta ibunya itu untuk berhenti bicara.Namun, Dita bersikap seolah-olah tidak melihatnya, bersandar pada pilar dan terus berkata sinis, “Memang ada orang-orang yang nggak tahu malu. Latar belakangnya nggak jelas tapi masih berharap untuk menjadi nyonya rumah di keluarga Pranoto. Nggak berkaca apa dirinya layak.”Sambil mengatakan itu, mata Dita tertuju pada cupang di leher Winda. Dia pun berkata dengan ekspre
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a