“Carol, kalau kamu masih berani, tanganku bakal mendarat di mukamu,” ancam Winda.Carol dibuat ketakutan oleh ancaman itu dan segera menurunkan tangannya, tapi dia masih tidak hentinya memaki, “Siapa takut? Kalau kamu berani mukul aku, kakakku nggak bakal tinggal diam.”Melihat tingkah laku Carol yang begitu percaya diri, Winda menerka kemungkinan besar dia masih belum tahu kalau usaha keluarganya sudah bangkrut.“Coba saja kalau begitu. Aku mau lihat bakal gimana dia menghadapi aku.”Carol hanya bisa menghentakkan kakinya dengan perasaan tidak puas, tapi dia tidak berani memukul Winda duluan. Luna diam-diam saja menikmati pertunjukan itu. Dalam hati dia pun sempat mencibir Carol sebagai orang yang tak berguna ketika dia gentar.“Kak Winda, kamu sudah tahu Jefri suka sama kamu. Dia pasti nggak bakal ngapa-ngapain,” ujar Luna. “Carol, diam dulu. Kondisi perusahaan keluarga kamu sudah begini sekarang, jangan bikin kakakmu tambah pusing.”Seketika Luna mengatakan itu, Carol langsung menat
Seiring Carol memakinya, Winda langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke wajahnya, “Jaga mulutmu!”“Berani kamu mukul aku?! Winda, memangnya apa yang aku bilang salah? Sudah menikah tapi masih saja godain kakakku. Kamu … mmmph!”Winda tanpa ragu-ragu mencengkeram mulut Carol sehingga ucapannya pun jadi terdengar tidak jelas.“Carol, kesabaranku ada batasnya. Kalau kamu masih nggak berhenti juga, aku nggak keberatan bikin perusahaan keluargamu jadi makin tragis.”Seusai berkata itu dan menghempas wajah Carol jauh-jauh, Winda menunjuk ke sebuah gelang yang sedang Yolanda dan berkata kepada pegawai toko, “Gelang yang ini dibungkus sekalian sama kalung yang tadi, ya.”Sembari berkata, Winda menyerahkan kartu pembayaran kepada si pegawai toko.“Winda ….”Saat Yolanda hendak berbicara, si pegawai toko memungut pecahan perhiasan yang berserakan di lantai. Dia menatap Carol sekilas dan berkata pada Winda, “Maaf, Bu, tapi gelangnya rusak, jadi tetap harus dibayar.”Harga gelang itu hampir m
Dua orang satpam yang berjaga di pintu masuk dengan sigap segera mencegat Luna dan Carol. Dengan wajah dihiasi senyum lebar, pegawai toko itu memberikan perhiasan yang sudah dia kemas rapi ke dalam kotak dan kartu pembayaran ke Winda, kemudian dia mendatangi Carol dan berkata dengan senyum palsu khas seorang pegawai toko pada umumnya, “Maaf, gelangnya masih belum dibayar.”“Rusaknya sama siapa, yang diminta tanggung jawab siapa! Kalau masih nahan aku di sini, aku bakal laporin ke polisi!” bentak Carol seraya berjalan mengitari dua satpam. Namun kedua satpam itu segera menahan Carol, kali ini dengan raut wajah yang lebih menyeramkan lagi.“Kalian tahu aku ini siapa? Kalau kalian masih begini terus, jangan harap besok masih kerja di sini!”Senyuman di wajah si pegawai toko seketika menghilang, lalu dia berkata kepada Carol dengan serius, “Maaf, kalau Ibu masih bikin keributan dan nggak mengganti kerugian kami, saya terpaksa harus lapor polisi.”“Lapor saja! Kamu pikir aku takut?” balas C
Luna hanya menggelengkan kepalanya melihat Carol dan menjawabnya dengan enggan, “Kamu tahu sendiri di keluargaku, aku ini ….”Luna menundukkan kepalanya dan memasang tampang sedih, yang berguna untuk membuat orang lain merasa kasihan padanya. Namun sayang saat ini Carol sedang tidak mood untuk itu.“Kak Luna kan anak kesayangan, segini doang pasti bisa, dong? Kak Luna nggak bakal ninggalin aku di sini, ‘kan?”Mau bagaimanapun juga, Luna tetaplah anaknya James. Seharusnya James tidak akan memperlakukan kedua anaknya begitu jauh berbeda, bukan?“Bukannya aku nggak mau bantu, tapi aku juga benar-benar nggak punya duit ….”Ada uang pun Luna tidak akan mau membantunya. Sekarang dia sudah diusir dari keluarganya, jadi jelas tidak mudah meminta uang dari James, dan lagi dia juga masih harus menyimpan uangnya untuk hal lain yang lebih penting.Carol terus menatap Luna seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan, dan juga curiga bahwa bukannya Luna tidak punya uang, tapi memang dia yang ti
Walaupun Carol tidak suka dengan cara Jefri menanggapinya, dari suaranya Carol bisa merasakan bahwa Jefri benar-benar sedang lelah.“Transferin aku empat miliar, ini urgent.”“Empat miliar? Buat apaan?”“Aku nggak sengaja mecahin gelang perhiasan, jadi aku harus ganti rugi.”“Carol! Kamu bisa nggak, sih, jadi orang itu baik-baik sedikit. Kamu ….”“Kakak kenapa galak banget, sih? Ini semua gara-gara si Winda itu. Kalau dia ….”Selagi Carol masih berbicara, Jefri langsung menyelanya, “Carol, kemarin aku sudah ingatin kamu untuk jangan gangguin dia. Masih nggak ngerti juga, ya?”“Kakak benar-benar sudah diguna-guna sama cewek siluman itu. Masa jadi aku yang disalahin? Pulang nanti aku ngadu ke Mama!” ujar Carol dan langsung menutup teleponnya.Carol menggenggam erat ponselnya dan membayangkan kata-kata kejam yang tadi Jefri ucapkan demi membela Winda, hingga panggilan dari si pegawai toko menyadarkannya dan di saat itulah Carol baru sadar, kalau Jefri masih belum mentransfer uangnya. Sela
“Nggak usah sungkan begitulah.”Yolanda lantas melihat barang belanjaannya yang satu lagi dan bertanya, “Kalung ini nggak cocok buat kamu. Ini hadiah untuk orang lain?”“Dulu aku terlalu banyak melakukan hal-hal yang nggak benar, makanya neneknya Hengky nggak suka sama aku. Karena sekarang aku mau hidup dengan tenang sama Hengky, pertama-tama aku harus bisa bikin senang dia dulu.”Dulu Sekar tidak membenci Winda, tapi sikapnya terhadap Winda baru berubah semenjak Winda menikah dengan Hengky. Belum lagi masalah dengan Yanti yang membuat situasinya makin panas. Hengky memang tidak berkomentar apa-apa soal itu, tapi Winda rasa akan lebih baik jika dia mencari kesempatan untuk membuat Sekar senang. Karena kebetulan sedang keluar, sekalian saja Winda membelikan hadiah untuknya. Jika hubungan mereka membaik, Hengky juga tidak perlu repot-repot jadi penengah lagi.“Coba saja kalau aku ini cowok, aku pasti sudah menikahi kamu. Hengky beruntung banget, ya, punya istri kayak kamu,” tutur Yolanda
Untuk sesaat Winda sempat kaget mendengarnya, tapi kemudian dia memahami apa maksud Yolanda dan menggelengkan kepala. Dua tahun yang lalu Winda bertengkar dengan ayahnya gara-gara Jefri. Akibatnya, ayah Winda memblokir kartu yang Winda pegang. Dalam hal pekerjaan pun Winda bukan yang luar biasa sukses. Uang yang dia hasilkan selama bekerja masih tidak cukup untuk membeli kalung itu. Walaupun Winda mendapatkan banyak warisan sebelum ibunya meninggal, dia tidak mungkin rela menggunakan uang itu ….“Ini dari hasil bisnisku sendiri. Pendapatannya lumayan juga.”“Hengky kan kaya, apa dia nggak kasih kartu kredit buat kamu?”Seketika bola mata Winda berbinar mendengar nama Hengky. Dari dompetnya dia mengeluarkan sebuah kartu hitam dan memamerkannya di depan Yolanda dan dengan bangganya berkata, “Ada, dong! Tapi aku nggak mau foya-foyain duitnya Hengky.”“Kenapa?”“Karena aku mau mencintai dia apa adanya, bukan karena uang ataupun jabatannya. Aku cinta murni sama kepribadiannya.”Bicara soal
Seraya berbicara, Luna menunjukkan wajah kasihan seolah dia benar-benar kesulitan, bahkan sampai meneteskan air mata buaya.Carol yang masih setengah percaya mendengarnya pun terkejut, “Bukannya Om paling sayang sama kamu. Kenapa kamu yang diusir?”“Apanya yang sayang … sudahlah, nggak perlu dibahas lagi. Ayo pesan makanan dulu.”Carol hanya menatap Luna dengan penuh pertanyaan di wajahnya, tapi dia tidak menanyakan tentang masalah itu lebih jauh lagi. Setelah memesan makanan, dia mengeluarkan ponselnya untuk memberi kabar kepada Jefri.“Om Liman, terima kasih banyak sudah membantu papaku dan perusahaan ini selama ini,” tutur Jefri sembari menawarkan minuman dengan segan kepada pria yang ada di depannya. Orang yang bernama Liman ini adalah pria paruh baya yang tubuhnya cukup gempal dan tidak begitu tinggi.“Jefri, aku sama papamu itu teman lama. Om tahu sekarang perusahaan kalian lagi susah. Sudah seharusnya aku bantu, tapi kamu juga tahu sendiri situasinya. Jangan sampai kita bikin Ja
Hengky mengerti maksud Winda, tapi dia berpura-pura bersikap dingin dan membalas, “Kamu sudah nggak sabar mau ketemu dia? Aku kasih tahu, ya, kamu nggak akan pergi ke mana pun sampai kamu sembuh!”Kata-kata itu bagaikan belati dingin yang menancap jantungnya. Dia menatap Hengky dengan penuh rasa kecewa dan berkata, “Hengky, kamu jelas-jelas tahu aku cuma ….”“Cuma apa? Kamu baik-baik saja di sini. Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi!”“Aku ….”Winda ingin mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan Hengky yang begitu dingin, dia menelan kembali kata-katanya. Hengky pun hanya menatapnya sekilas, tapi ketika dia hendak pergi, dia merasakan hawa dingin yang menempel ke tangannya dari tangan Winda.“Bisa, nggak, kamu jangan pergi dulu?”Kehangatan yang terpancar dari telapak tangan Hengky menyapu bersih hawa dingin yang ada di tubuhnya. Hengky menoleh dan melihat tangan mereka yang sedang saling bertautan, lalu dia beralih melihat tatapan mata Winda yang sedang memohon kepadanya. Ucapan
Ketika baru saja keluar dari lift rumah sakit, Hengky melihat sudah ada kerumunan orang yang berdiri di depan kamar Winda. Mereka semua tampak lega melihat kedatangannya.Dokter segera menyambutnya dan berkata, “Pak Hengky datang juga akhirnya. Bu Winda mengurung diri di kamar. Lukanya harus cepat diobati.”“Oke, aku ngerti,” jawab Hengky, lalu dia bergegas mengetuk pintu kamar dan berkata, “Winda, ini aku, buka pintunya.”Perlahan Winda mengangkat kepalanya saat mendengar suara Hengky. Dari matanya tebersit ekspresi kebahagiaan dan turun dari ranjangnya untuk membuka kunci pintu. Mata Winda langsung memerah ketika dia melihat sosok yang tak asing baginya di balik pintu. Dia pun langsung melemparkan tubuhnya sendiri ke dalam pelukannya.Namun Hengky tidak membalas pelukannya. Dia hanya menatap sinis Winda dan menegurnya, “Winda, ngapain lagi kamu?”“Tadi aku mimpi kamu kena tembak tepat di jantung …. Hengky, aku takut.”Tubuh Hengky sempat bergidik sesaat dan detak jantungnya mulai ber
“Bu Winda balik ke ranjang dulu. Sebentar lagi dokter datang,” kata si pengawal dengan kepala basah kuyup akibat keringat dingin.Walau begitu, Winda hanya menggelengkan kepalanya dan berulang kali berkata, “Aku mau ketemu Hengky!”“Tapi Pak Hengky lagi nggak di rumah sakit. Ibu ….”Sebelum pengawal itu selesai berbicara, dokter dan perawat yang sedang bertugas datang ke kamarnya Winda.“Ada apa?” tanya si dokter. Lantas, dokter melihat ada bercak darah di lantai, serta tangan Winda yang bersimbah darah. Dokter pun segera berkata, “Ada apa, Bu Winda? Kenapa jarum infusnya dicabut?”Si perawat juga menghampiri Winda dan berkata, “Bu, ayo saya bantu naik lagi ke ranjang. Saya balut dulu lukanya.”Tanpa melakukan perlawanan, Winda mengikuti arahan si perawat untuk diantar kembali ke ranjang. Si perawat pun merasa lega, tapi ketika dia baru ingin membalut lukanya, tiba-tiba Winda menghindar dan dengan matanya yang merah menatap si pengawal, “Aku mau ketemu Hengky. Kalau dia nggak datang, a
Hengky menggerakkan bola matanya sekilas dan kembali berkata kepada Winda dengan sinis, “Kalaupun aku mat, aku tetap nggak mau kamu nolong aku.”Raut wajah Winda langsung pucat mendengar itu. Matanya mulai memerah dan dia hendak membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Winda sudah tidak bisa lagi menahan tangisannya. Melihat mata Winda memerah, Hengky jadi merasa gusar dan berpesan kepadanya untuk cukup beristirahat saja. Kemudian Hengky pun berbalik dan keluar dari kamarnya Winda.Winda ingin menahan Hengky untuk tetap berada di sisinya, tapi pintu sudah tertutup rapat sebelum dia sempat berbicara. Kini suasana di kamar jadi tenang. Winda masih tak bisa menahan luapan perasaan dan air mata pun mengalir deras. Dia menggigit bibirnya sendiri dengan keras untuk meredam suara tangisannya, dan menelan semua emosi itu sendirian.Hengky yang baru menutup pintu juga berhenti di depan dan melihat ke dalam melalui kaca kecil. Dia dengan jelas melihat Winda menangis, tapi dia tidak mengeluar
“Kenapa bisa jadi begini …,” ujar Winda terkejut. Dia mengira dengan kuasa yang dimiliki keluarga Pranoto, mencari seseorang bukanlah hal yang sulit, lagi pula orang yang dicari juga begitu terkenal,rasanya mustahil tak ditemukan.“Ada seseorang yang hapus semua jejaknya sebelum aku mulai nyari. Semua petunjuk yang ada dipatahkan sama dia,” kata Hengky.Kalau saja pada saat itu Winda tidak menyadari ada sesuatu yang aneh pada mobil itu, mungkin sekarang Hengky …. Sudahlah, Winda tidak mau memikirkannya lebih jauh, dia takut kehilangan Hengky.Mobil Jeep hitam itu tidak mengikuti mereka sampai ke bandara. Mobil itu tiba-tiba muncul dan langsung menodongkan pistol ke arah Hengky tanpa ragu, yang jelas berarti mereka dari awal sudah ada niat untuk membunuhnya. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang bisa melakukan itu?Winda merasa misteri ini jadi makin dalam saja, dan lagi setiap kejadian selalu ada hubungannya dengan dia dan juga Hengky. Winda belum mengalami ini di kehidupan sebelumnya.
“Bu Winda, sungguh baik secara kamu sudah terbangun,” ujar Fran melangkah masuk dengan terkejut dan mengulurkan tangannya untuk memeriksa Winda. Dia yang melihat ruangan penuh dengan orang asing, wajahnya menjadi geram dan mengulang, “Aku ingin bertemu dengan Hengky, gimana keadaan dia?”Dokter Fran terdiam sejenak dan berkata, “Pak Hengky tidak terluka. Aku sudah menyuruh perawat untuk memanggil ....”Sebelum Dokter Fran sempat menyelesaikan perkataannya, Hengky dan Santo bergegas datang ke ruangan itu. Melihat Winda yang sudah terbangun, wajah Hengky terlihat tenang, akan tetapi beban di hatinya langsung hilang.“Pak Hengky, Nyonya Winda sedang mencarimu,” ujar Fran.Tertutupi oleh orang-orang di sekitar, Winda tidak dapat melihat Hengky. Dia ingin sekali melihatnya dengan mata kepalanya sendiri kalau pria itu baik-baik saja, jadi dia memaksa mengangkat badannya untuk duduk di ranjang.Tetapi luka di tubuhnya terlalu menyakitkan, hingga membuat dia kliyengan ketika bergerak. Ketika d
Santo terlihat tertekan dan berkata, “Mereka selalu selangkah lebih cepat dibanding kita dan bisa melenyapkan semua bukti. Kalau mereka bukan yang mengetahui kita dengan baik, tidak mungkin mereka bisa melakukannya dengan rapi.”Hengky menjawab dengan dingin, “Biarkan Howard melanjutkan investigasinya!”“Pak Hengky ....” Santo sejenak ragu-ragu lalu berkata, “Sekarang di luar negeri tidak aman, dan juga tidak menjamin kalau mereka tidak akan menyerangmu lagi. Apa mungkin kamu ingin aku persiapkan pesawat khusus untuk memulangkan kamu ke kampung halaman?”Walaupun dia tahu kalau kondisi istrinya tidak bisa bergerak, kekuatan dari pihak lawan sangatlah besar dan sepertinya tidak menjamin keselamatan mereka jika tinggal lebih lama di Fontana.Santo di lain sisi tidak memikirkan hal itu, tugas dia hanya untuk menjamin keamanan dari Hengky. Urusan yang lainnya bisa ditunda terlebih dahulu.“Tidak perlu,” tegas Hengky menolak. Dia menoleh untuk melihat Winda yang masih terbaring di ruang pe
“Aku bisa bantu menghapus masalah ini, tapi kamu lebih baik lebih jujur ke aku. Kalau kamu membuat masalah sekecil apa pun, kamu mati sendiri saja nanti,” jawab Kakek, setelah selesai bicara dia langsung mematikan teleponnya.Pria itu tersenyum menyeringai sambil mengunci layar teleponan, lalu dia menyimpan teleponnya ke dalam sakunya.Joji yang melihatnya langsung bertanya, “Gimana? Kakek berkenan untuk membantu?”“Dia harus bantu walaupun dia juga tidak berkenan membantu kita. Karena dia lebih takut kalau aku ketangkap Hengky daripada diriku sendiri. Selama aku menyimpan rahasia dia balik kejadian hari itu, Kakek harus tetab membantuku menyelesaikan ekor masalah ini,” jawab pria itu menyeringai.Mendengar itu Joji mendesau dengan lega, lalu mengembalikan senapannya ke pria itu dan berkata, “Bagaimanapun juga kita harus tetap berhati-hati untuk sekarang ini. Meskipun dengan bantuan kakek, kita juga tidak boleh menganggap enteng masalah ini.”“Aku mau menghubungi Winda secara langsung,
Joji merasa pesimis dengan rencana pria itu. Dia belum belum pernah berhubungan dengan Hengky secara langsung, jadinya dia tidak tahu betapa menakutkan orang itu. Jika Hengky mengetahui kalau ini merupakan perbuatan mereka, sepertinya Hengky tidak akan melepaskan mereka, walaupun dengan bantuan Kakek juga.“Kita diskusikan masalah ini nanti. Sekarang, paling penting yaitu menyelesaikan masalah ini dulu,” ujar Joji.“Oke, aku akan menelpon kakek sekarang,” jawab pria itu mengambil telepon seluler dari kantongnya dan segera menelepon kakek dari buku kontak pada telepon.Teleponnya berdering selama kurang lebih sepuluh detik sebelum diangkat. Suara yang berat dan penuh keagungan terdengar dari teleponnya dan dari suaranya dia merendahkan suaranya dan berkata dengan ketidakpuasan, “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak meneleponku jika tidak ada urusan yang penting?”Pria itu menyeringai, matanya terlintas penuh dengan kebencian dan menjawab, “Kalau ga ada urusan penting, tentu aku nggak a