“Ekhem … tadi kamu bilang apa barusan?”“Wah, nggak beres, nih, gelagat kamu. Ayo jujur, kemarin malam kamu ….”“Iya, iya. Sudah, jangan dibahas lagi.”“Dia yang bergerak duluan atau kamu …?” tanya Yolanda, tapi seketika itu dia menyadari ada bekas cupang samar-samar di leher Winda. “Kayaknya, dia yang duluan, ya?”Winda segera menutupi wajahnya, tapi tanpa disadari dia mulai tersenyum. Siapa peduli siapa yang mulai duluan? Yang penting asalkan itu bisa membuktikan bahwa Hengky masih memiliki perasaan kepada Winda, itu sudah cukup. Cepat atau lambat, Winda pasti akan membuat Hengky jatuh cinta padanya.“Ya sudah, cepat tarik lagi senyum konyolmu itu. Padahal dulu kamu itu jadi cewek idaman di kampus, lho. Kalau sampai cowok-cowok yang dulu ngejar kamu ngelihat kamu jadi kayak begini cuma gara-gara Hengky, mereka pasti sakit hati.”“Nggak apa-apa, aku rela,” sahut Winda. “Ayo makan dulu.”“Mau makan apa lagi, aku sudah kenyang.”“Kamu juga buruan cari pacar, gih.”“Ah … sudahlah. Kehidu
Spontan Luna membalikkan kepalanya dan menatap Carol, tapi tatapan matanya yang menyimpan kebencian itu masih belum menghilang seutuhnya. Sebelumnya Carol tidak pernah melihat Luna seperti ini sebelumnya. Dia pun kaget sampai-sampai bubble tea yang ada di tangannya terjatuh.“A-aku ngelihat kamu kayaknya serius banget, jadi aku panggil, deh ….”Suara Carol makin lama makin mencit karena takut melihat ekspresi wajah Luna yang menyeramkan itu.Menyadari yang ada di hadapannya itu adalah Carol, Luna langsung mengubah wajahnya secepat mungkin menjadi pribadi yang lembut, “Eh, maaf, Carol. Aku bikin kamu kaget, ya?”Seraya berbicara, Luna menyibak poni yang menjuntai ke belakang telinga, dan dengan suaranya yang lemah lembut dia berkata, “Tadi aku digodain sama cowok aneh pas kamu belum datang. Makanya tadi mukaku kelihatannya beda ….”“Ooh, pantas saja. Makanya aku heran tumben amat Kak Luna kelihatan galak begitu.”Luna menanggapinya dengan senyuman sembari menyipitkan matanya guna menutu
“Pasti dia yang godain Kakak duluan! Aku harus bikin perhitungan sama dia!” seru Carol.Dalam pemikiran Carol, wanita yang sudah menikah seperti Winda mana pantas untuk kakaknya? Kalau bukan karena Winda yang cukup royal, Carol tidak sudi melihat dia dekat-dekat dengan Jefri!“Kalau kakakmu tahu kamu cari ribut sama Winda, dia pasti bakal marah. Mending kamu tahan saja dulu,” tutur Luna menasihati.Carol yang mulai jengkel pun membantah nasihat Luna dan berkata dengan lantas, “Memangnya dia itu siapa? Kenapa aku harus tahan?”“Karena kakakmu suka sama dia.”“Kakak sayang sama aku. Kalau aku nggak setuju, Winda nggak akan bisa masuk ke keluargaku!”Luna merasa geli melihat tingkah laku Carol yang begitu percaya diri. Jika bukan dia yang meminta Jefri untuk sengaja mendekati Winda, memang apa yang Carol dapatkan selama ini? Kendati dalam hati berpikir seperti itu, Luna masih bertingkah lugu. Dia menghela napas dan menepuk bahu Carol seraya berkata, “Carol, sekarang sudah nggak sama lagi
“Carol, kalau kamu masih berani, tanganku bakal mendarat di mukamu,” ancam Winda.Carol dibuat ketakutan oleh ancaman itu dan segera menurunkan tangannya, tapi dia masih tidak hentinya memaki, “Siapa takut? Kalau kamu berani mukul aku, kakakku nggak bakal tinggal diam.”Melihat tingkah laku Carol yang begitu percaya diri, Winda menerka kemungkinan besar dia masih belum tahu kalau usaha keluarganya sudah bangkrut.“Coba saja kalau begitu. Aku mau lihat bakal gimana dia menghadapi aku.”Carol hanya bisa menghentakkan kakinya dengan perasaan tidak puas, tapi dia tidak berani memukul Winda duluan. Luna diam-diam saja menikmati pertunjukan itu. Dalam hati dia pun sempat mencibir Carol sebagai orang yang tak berguna ketika dia gentar.“Kak Winda, kamu sudah tahu Jefri suka sama kamu. Dia pasti nggak bakal ngapa-ngapain,” ujar Luna. “Carol, diam dulu. Kondisi perusahaan keluarga kamu sudah begini sekarang, jangan bikin kakakmu tambah pusing.”Seketika Luna mengatakan itu, Carol langsung menat
Seiring Carol memakinya, Winda langsung melayangkan sebuah tamparan keras ke wajahnya, “Jaga mulutmu!”“Berani kamu mukul aku?! Winda, memangnya apa yang aku bilang salah? Sudah menikah tapi masih saja godain kakakku. Kamu … mmmph!”Winda tanpa ragu-ragu mencengkeram mulut Carol sehingga ucapannya pun jadi terdengar tidak jelas.“Carol, kesabaranku ada batasnya. Kalau kamu masih nggak berhenti juga, aku nggak keberatan bikin perusahaan keluargamu jadi makin tragis.”Seusai berkata itu dan menghempas wajah Carol jauh-jauh, Winda menunjuk ke sebuah gelang yang sedang Yolanda dan berkata kepada pegawai toko, “Gelang yang ini dibungkus sekalian sama kalung yang tadi, ya.”Sembari berkata, Winda menyerahkan kartu pembayaran kepada si pegawai toko.“Winda ….”Saat Yolanda hendak berbicara, si pegawai toko memungut pecahan perhiasan yang berserakan di lantai. Dia menatap Carol sekilas dan berkata pada Winda, “Maaf, Bu, tapi gelangnya rusak, jadi tetap harus dibayar.”Harga gelang itu hampir m
Dua orang satpam yang berjaga di pintu masuk dengan sigap segera mencegat Luna dan Carol. Dengan wajah dihiasi senyum lebar, pegawai toko itu memberikan perhiasan yang sudah dia kemas rapi ke dalam kotak dan kartu pembayaran ke Winda, kemudian dia mendatangi Carol dan berkata dengan senyum palsu khas seorang pegawai toko pada umumnya, “Maaf, gelangnya masih belum dibayar.”“Rusaknya sama siapa, yang diminta tanggung jawab siapa! Kalau masih nahan aku di sini, aku bakal laporin ke polisi!” bentak Carol seraya berjalan mengitari dua satpam. Namun kedua satpam itu segera menahan Carol, kali ini dengan raut wajah yang lebih menyeramkan lagi.“Kalian tahu aku ini siapa? Kalau kalian masih begini terus, jangan harap besok masih kerja di sini!”Senyuman di wajah si pegawai toko seketika menghilang, lalu dia berkata kepada Carol dengan serius, “Maaf, kalau Ibu masih bikin keributan dan nggak mengganti kerugian kami, saya terpaksa harus lapor polisi.”“Lapor saja! Kamu pikir aku takut?” balas C
Luna hanya menggelengkan kepalanya melihat Carol dan menjawabnya dengan enggan, “Kamu tahu sendiri di keluargaku, aku ini ….”Luna menundukkan kepalanya dan memasang tampang sedih, yang berguna untuk membuat orang lain merasa kasihan padanya. Namun sayang saat ini Carol sedang tidak mood untuk itu.“Kak Luna kan anak kesayangan, segini doang pasti bisa, dong? Kak Luna nggak bakal ninggalin aku di sini, ‘kan?”Mau bagaimanapun juga, Luna tetaplah anaknya James. Seharusnya James tidak akan memperlakukan kedua anaknya begitu jauh berbeda, bukan?“Bukannya aku nggak mau bantu, tapi aku juga benar-benar nggak punya duit ….”Ada uang pun Luna tidak akan mau membantunya. Sekarang dia sudah diusir dari keluarganya, jadi jelas tidak mudah meminta uang dari James, dan lagi dia juga masih harus menyimpan uangnya untuk hal lain yang lebih penting.Carol terus menatap Luna seolah tidak percaya dengan apa yang dia katakan, dan juga curiga bahwa bukannya Luna tidak punya uang, tapi memang dia yang ti
Walaupun Carol tidak suka dengan cara Jefri menanggapinya, dari suaranya Carol bisa merasakan bahwa Jefri benar-benar sedang lelah.“Transferin aku empat miliar, ini urgent.”“Empat miliar? Buat apaan?”“Aku nggak sengaja mecahin gelang perhiasan, jadi aku harus ganti rugi.”“Carol! Kamu bisa nggak, sih, jadi orang itu baik-baik sedikit. Kamu ….”“Kakak kenapa galak banget, sih? Ini semua gara-gara si Winda itu. Kalau dia ….”Selagi Carol masih berbicara, Jefri langsung menyelanya, “Carol, kemarin aku sudah ingatin kamu untuk jangan gangguin dia. Masih nggak ngerti juga, ya?”“Kakak benar-benar sudah diguna-guna sama cewek siluman itu. Masa jadi aku yang disalahin? Pulang nanti aku ngadu ke Mama!” ujar Carol dan langsung menutup teleponnya.Carol menggenggam erat ponselnya dan membayangkan kata-kata kejam yang tadi Jefri ucapkan demi membela Winda, hingga panggilan dari si pegawai toko menyadarkannya dan di saat itulah Carol baru sadar, kalau Jefri masih belum mentransfer uangnya. Sela