Di sebuah Pondok Pesantren Al-Anwar, Kediri, semua santriwati dari asrama Az-Zahra sedang berkumpul di aula karena datangan keluarga yang ingin mengunjunginya.
Setiap enam bulan sekali, Pondok Pesantren Al-Anwar selalu mengadakan penjengukan santri yang digilir setiap asrama.
Suasana haru menyelimuti aula terbuka yang bisa dibilang seperti taman dengan pendopo seluas 20x10 meter yang ada di tengah-tengah taman tersebut.
Di mana para orang tua terlihat bahagia karena bisa melepas rindu dengan anaknya yang tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Anwar, Kediri.
Namun, keharuan tersebut tiba-tiba berubah menjadi mencekam saat terdengar suara teriakan seorang wanita yang suaranya begitu memekakkan telinga. Membuat siapapun yang mendengarnya seketika itu merinding.
Membuat semua orang yang belum tahu pun kebingungan dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada apa sih?"
"Nggak tahu. Tapi, orang-orang pada lari. Kayak ketakutan."
Sebagian orang yang ada di dekat wanita tersebut berlari menjauh menyelamatkan diri saat wanita itu terlihat mengamuk dan memukul apa saja yang ada di dekatnya.
Bahkan, anaknya pun sempat menjadi korban pemukulan ibunya sendiri dan mengenai bagian pelipis. Hingga terbentur ke tiang yang ada di tengah-tengah aula.
Lantas, orang-orang pun menolong anak tersebut. Karena pelipisnya mengeluarkan darah.
"Ibu ...," isak gadis berkerudung merah marun sambil menatap wanita yang tengah tertawa terbahak-bahak tanpa sebab itu.
Dia ingin menolong Ibunya. Memeluknya dan memberi ketenangan agar Ibunya tidak mengamuk lagi. Namun, orang-orang menahannya.
"Jangan, Nak. Bahaya. Ibumu itu sedang kerasukan setan!" ujar salah satu wali santri yang menolongnya.
"Ngeri banget sih. Di pesantren kok bisa kerasukan setan!" sahut seorang wanita yang ada di belakangnya.
Dua orang pengurus pesantren datang dan berusaha menenangkan wanita tersebut agar tidak mengamuk lagi.
Namun, kedua orang itu malah ditendang hingga terpental oleh wanita tersebut.
"Jangan ikut campur urusanku!" tegasnya dengan tatapan mata yang tajam. Lalu kembali tertawa dengan suara yang melengking. Membuat orang-orang yang ada di sekitarnya pun semakin ketakutan.
"Astaghfirullahal'adzim ... tenaganya kuat sekali," ujar salah satu pengurus pondok pada temannya sambil memegangi dadanya yang terasa sedikit sesak karena terbentur tiang yang menjadi penyangga aula.
"Panggil Ustadz Bai sekarang!" titahnya pada temannya yang baru datang untuk menolongnya.
"Tapi Ustadz Zaki bagaimana?" tanyanya cemas.
"Cepat! Sebelum wanita itu semakin mengamuk dan mencelakakan yang lain!" titahnya lagi.
"I-iya, Ustadz!" Dia pun bergegas lari sambil mengangkat sarungnya menuju rumah Ustadz Bai yang ada di belakang asrama putra Al-furqan.
"Assalamu'alaikum, Ustadz!" ucap pengurus pondok tersebut sambil mengetuk pintu rumah Ustadz Bai dengan panik. Dia takut, wanita yang kerasukan itu semakin membabi buta dan mencelakakan yang lain.
"Assalamu'alaikum, Ustadz Bai, Mbak Ken! Ini Rahmat!" ucapnya lagi setengah berteriak. Dia pun semakin panik saat pemilik rumah tidak kunjung membuka pintu rumahnya.
Tak berselang lama, seorang laki-laki berperawakan sedang membuka pintu rumahnya sambil membalas salam dari Rahmat. "Wa'alaikumsalam. Ada apa, Mat?" tanya laki-laki yang mengenakan kemeja hitam dipadu dengan sarung hitam. Keningnya berkerut saat dia melihat Rahmat seperti orang yang ketakutan dan panik.
"Gawat, Ustadz! Di aula ada yang kerasukan dan ngamuk-ngamuk. Ustadz Zaki dan Ustadz Haikal saja jadi korbannya dan ditendang hingga membentur tiang penyangga aula," jelas Rahmat dengan cemas.
"Astaghfirullahal'adzim. Ya sudah, kamu tolong mereka dulu. Saya segera menyusul ke aula," sahut Bai yang juga ikut panik.
"Ya sudah, Ustadz. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamu'alaikum."
"Hati-hati. Wa'alaikumsalam."
Bai pun masuk lagi ke dalam rumah dan menemui istrinya yang sedang mencuci piring bekas makan siangnya tadi untuk berpamitan.
"Ada apa, Mas? Kok kayaknya buru-buru banget," tanya Ken-istri Bai-sembari mengeringkan telapak tangannya usai mencuci piring.
"Ada yang kerasukan di aula, Sayang," jawab Bai gugup. "Aku ke aula dulu, ya!" pamitnya sambil memakai peci hitam di kepalanya.
Kedua bola mata Ken melebar seketika. "Astaghfirullahal'adzim ... aku ikut, Mas! Tunggu sebentar!"
"Ya udah. Cepat, Sayang!"
Ken masuk ke dalam kamarnya mengambil khimar dan niqobnya. Lalu memasang keduanya sebelum pergi ke aula.
Mereka berdua berlari kecil menuju aula. Sesampainya di sana, dia langsung memecah kerumunan.
Kedua matanya terbelalak saat mendapati seorang wanita berjilbab cokelat yang sudah berantakan dengan gamis panjangnya dan sudah terikat pada salah satu tiang penyangga. Di sebelahnya, ada santriwati yang tengah terisak tak tega melihat ibunya diperlakukan seperti itu.
"Astaghfirullahal'adzim," desis Bai dan Ken hampir bersamaan.
"Ibu ini terpaksa kita ikat, Bai. Agar tidak mencelakakan yang lain," ujar Haikal saat melihat Bai dan Ken datang.
"Lepaskan aku!" teriak wanita itu sambil terus memberontak berusaha melepaskan diri dari ikatan yang mengikat tubuhnya.
Perlahan, Bai berjalan mendekat ke arah wanita tersebut.
"Mas, hati-hati," kata Ken khawatir pada suaminya itu.
"Kamu tetap di sini!" titah Bai pada Ken yang mengangguk patuh pada suaminya.
Wanita itu terdiam sambil menatap tajam ke arah Bai yang saat ini sudah berdiri di hadapannya dengan mulut bergumam terus menyebut nama Allah dengan suara yang sangat pelan.
"Siapa kamu?" tanya wanita itu dengan tatapan nyalang.
"Aku Bai. Hamba Allah. Siapa kamu?" Bai bertanya balik dengan tatapan mengunci.
Wanita tadi tertawa dengan keras. Lalu berhenti dan kembali menatap Bai tajam. "Jangan ikut campur urusanku!" sergahnya. Lalu membuang ludah hingga mengenai wajah Bai.
Bai pun memejamkan kedua matanya untuk meredam emosi. Ada sedikit rasa tidak terima karena diludahi. Namun, dia harus tetap sabar. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa menyadarkan wanita tersebut.
"Rasakan itu!" Wanita itu kembali tertawa puas.
"Mas ...." Ken hendak mendekat ke arah Bai. Namun, laki-laki itu memberi isyarat dengan tangan kirinya agar tidak mendekat.
Sungguh, dia khawatir dengan apa yang terjadi setelah ini. Karena dia yakin, lawannya kini tidak akan mudah. Dia paham itu.
Semua orang pun terkesiap dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu pada Bai. Berani-beraninya seorang wali santri meludahi seorang ustadz yang mengajar anaknya di pondok, begitu pikir mereka. "Wah ... kurang ajar kamu, ya!" ujar Zaki memicingkan kedua matanya pada wanita yang tertawa dengan sangat keras.Bai yang masih terlihat santai sambil mengusap wajahnya yang terkena ludah wanita tadi dengan ujung telapak tangannya tanpa jijik.Sedangkan Ken kembali mundur, sesuai dengan perintah suaminya. Meski dia sangat khawatir. Namun dia percaya, jika suaminya pasti bisa mengatasi wanita itu, atas izin Allah tentunya. Dia pun tak hentinya berdoa untuk keselamatan sang Suami.Bai mulai memfokuskan dirinya menatap mata perempuan itu sambil membaca ta'awudz dengan sepenuh hati dan tentunya memohon pertolongan pada Allah agar dimudahkan menyadarkan wanita yang tengah kerasukan tersebut.Berbekal ilmu yang dia peroleh dari sang Ayah yang juga peruqiyah dan juga doa-doa yang diajarkan oleh sang
"Apa yang membuat Bu Sumi curiga?" tanya Bai menatap wajah tirus Sumi serius. Sumi pun menceritakan awal mula kejadian tersebut secara detail kepada Bai dan Ken yang mendengarkannya dengan seksama. "Nah, usaha yang dirintis saya dan suami itu tidak berkembang, Ustadz. Bahkan, kami sempat berhenti meneruskan jualan bakso di depan rumah karena kehabisan modal," papar Sumi serius."Lalu?" tanya Ken yang meminta Sumi melanjutkan ceritanya. "Suatu hari, dia diajak teman lamanya ikut ke kota untuk membantu temannya itu yang membuka warung makan lesehan di kota. Usahanya sukses dan setiap hari dagangannya selalu ramai pembeli.""Selang satu bulan bekerja di sana, suami saya pun pulang ke rumah dan mengajak saya untuk kembali berjualan bakso. Tapi ... saya enggan karena memang belum ada modal. Jangankan modal jualan bakso lagi. Untuk makan saja kami masih kesulitan saat itu."Sumi menoleh ke arah Anindita yang duduk di sebelahnya. Lalu, dia menggenggam telapak tangan sang anak dengan lembu
"Siapa ini, Bu?" tanya Agus dengan tatapan penuh selidik. Sumi bangkit dari duduknya, lalu menuntun sang Suami agar ikut duduk di sebelahnya. Tentunya dengan senyum yang seolah dipaksa. Karena terlihat jelas di wajah wanita itu jika dia tengah ketakutan. "Ini Ustadz Bai sama Mbak Ken istrinya. Mau silaturahmi ke sini. Mereka itu yang mengajar Anindita di pondok," jelas Sumi memperkenalkan Bai dan Ken pada Agus. "Betul, Pak," sahut Bai dengan senyuman dan anggukan kepala. Sedangkan Ken hanya membalasnya dengan anggukan kepala. "Terus, ada urusan apa ke sini? Apa anak saya di pondok membuat kerusuhan?" tanya Agus lagi sambil menatap Bai dan Ken serius. "Oh, tidak, Pak. Justru, Anindita salah satu santri yang berprestasi di kelasnya," jawab Bai. "Seperti apa yang dikatakan oleh Bu Sumi, saya ke sini hanya ingin menjalin silaturahmi saja. Tidak lebih," sambungnya. Sumi menyentuh telapak tangan sang Suami dan menggenggamnya lembut. Sebagai kode untuk tidak terlalu curiga pada tamuny
"Mbak Ken ...," sapa Sumi sambil menganggukkan kepalanya. Ada sedikit rasa malu di hatinya mengingat kejadian beberapa hari lalu yang dilakukan suaminya pada Bai dan Ken saat di rumahnya. Namun, dia sangat membutuhkan bantuan dari Bai, jadilah dia datang ke rumah Bai dan Ken untuk silaturahmi sekaligus meminta maaf."Masuk dulu, Bu Sumi ...," ucap Ken mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah dengan senyum ramah. "Duduk, Bu.""Terima kasih, Mbak." Sumi mengangguk dan duduk di lantai dengan alas karpet yang tidak terlalu tebal, namun cukup empuk untuk diduduki.Meski Bai sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Bai dan Ken tetap memilih hidup sederhana. Memilih fasilitas yang diberikan oleh pondok sebagai tempat tinggal pengajar yang sudah berkeluarga. Mereka tetap menerapkan tawadhu dan qonaah dalam prinsip hidupnya."Apa kabar, Bu Sumi?" "Alhamdulillah baik, Mbak Ken," jawab Sumi tersenyum tipis. "Emm ... maaf kalau kedatangan saya mengganggu, Mba
Bai baru saja pulang dari masjid pesantren setelah salat Isya berjamaah. Dia pun berniat untuk langsung istirahat karena merasa sangat lelah menjalani aktivitas mengajar di pondok dengan jadwal yang padat. Bukan hanya mengajar pelajaran, namun dia juga mengajar ilmu bela diri dan terapi rukiyah. Itulah yang membuat tenaganya lebih cepat terkuras habis. "Mau dipijit?" tawar Ken saat melihat kelelahan di wajah sang Suami. "Boleh. Sebentar saja lah. Pengin langsung tidur," jawabnya dengan tetap menatap sang istri dengan senyum menawan. "Oke." Ken pun dengan senang hati memijit bahu sang Suami dengan pelan. Asal membuat tubuh Bai rileks saja. "Sambil setor hafalan coba, Sayang. Sudah sampai mana hafalannya?" pinta Bai sembari memejamkan kedua matanya."Sampai surah Yusuf kemarin, Mas. Lanjutin, ya ...."Ken pun mulai melantunkan suaranya membaca Al-Qur'an. Hampir enam bulan dia mulai menghafal Al-Qur'an dengan fasih. Memahami setiap ayatnya dan berusaha menerapkannya dengan baik da
Meski terasa sakit, namun Bai pun tetap berusaha tenang agar tetap bisa mengendalikan dirinya. Ekor matanya melirik sang Istri yang juga terlihat mengerang kesakitan akibat dicekik oleh Sumi. Ken berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya. Tapi, tidak bisa. Tenaga Sumi benar-benar luar biasa. Bai membacakan surah Al-Baqarah aya 255 dengan bibir bergetar karena menahan sakit. Tangannya yang terbebas berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya sembari meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang tengah menguasai tubuh Sumi. Detik berikutnya, Sumi langsung melepas kedua tangannya dari lehernya juga leher Ken. "Panas!" pekiknya sambil mengibaskan kedua telapak tangannya yang terasa panas bagai tersulut bara api.Ken pun langsung terbatuk dan hampir saja terjungkal ke belakang. Untung saja, Bai dengan sigap menangkap tubuh istrinya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.Ken pun menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu harus hati-hati, dia bukan lawan y
Tubuh Sumi kembali melemah setelah memuntahkan darah segar. Dahinya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. "Nggak apa-apa, Mas Husain. Ini bagian reaksi dari rukiyah. Biar enteng badannya," sahut Bai santai. Ken pun sibuk memijit tengkuk Sumi sambil membacakan Surah Al-fatihah dengan suara pelan. "Memang semua Rekasi Rukiyah begitu, Ustadz?" tanya Husain penasaran. "Tidak semua. Reaksi setiap orang berbeda-beda. Bahkan, ada yang setelah dirukiyah biasa saja.""Kok bisa? Apa memang tidak ada jinnya?" tanya Husain sambil mengerutkan keningnya."Biasa saja dalam artian ... bisa berpengaruhnya pada jiwa. Misal, seseorang setelah dirukiyah timbul rasa bahagia, merasa hatinya tenang begitu," jelas Bai menatap Husain yang menganggukkan kepala. "Karena nggak semua itu terjadi karena jin. Bisa jadi karena memang ada penyakit dalam hatinya. Bisa jadi karena luka masa lalu dan berefek seperti orang kerasukan jin," paparnya lagi. "Mbak gimana sekarang?" tanya Husain yang menatap kakaknya se
"Kenapa kamu menemui dua orang itu lagi? Sudah kubilang, kalau mereka itu hanya akan menguras harta kita saja, Sumi!" bentak Agus dengan kesal sembari memukul setir mobil sebagai pelampiasan kekesalannya. Sumi menundukkan kepalanya sambil terisak. "Aku ... tadi kerasukan lagi, Mas. Dan ... Husain memanggil mereka," jawab Sumi pelan. Agus mengepalkan telapak tangan kirinya. "Besok aku bawa kamu ke orang pintar lagi. Sudah kubilang, kalau dirukiyah itu hanya akan menambah penyakitmu itu semakin parah."Sumi mengangkat wajahnya dan menatap sang Suami. "Aku nggak mau, Mas. Aku lebih baik seperti ini daripada harus datang kembali pada orang pintar. Itu dosa besar, Mas. Ibadah salat kita tidak akan diterima selama empat puluh malam!" "Terus, kamu lebih percaya pada kedua orang itu?" Agus membuang napas kasar. Lalu menoleh sekilas ke arah sang Istri sebelum kembali fokus pada jalanan. "Mereka juga sama. Cuma bajunya aja sok alim buat menutupi kebohongan mereka. Mau saja dibodohi dukun be
"Masa sih, Mbak? Bukannya sudah dikubur?" tanya Husain heran. "Iya, katanya. Kan Mbak waktu itu masih dirawat di rumah sakit. Jadi, nggak tahu. Katanya aja gitu," balas Sumi sambil membuang napas panjang. Merasa kecewa dan bodoh karena percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bai dan Ken hanya bisa saling pandang. "Kita langsung buntuti saja ke mana mobil Pak Agus itu jalan," tukas Bai yang membuat Sumi kembali fokus pada tujuan awalnya hingga sampai di tempat ini. Melupakan rasa kecewanya pada sang Suami yang dinilai telah membohonginya. "Iya, Ustadz." Husain langsung menyalakan mesin mobilnya lagi. Kemudian membuntuti mobil Agus yang sudah kembali melaju dengan kecepatan sedang. Hampir dua jam perjalanan, mobil yang dikendarai Agus berhenti di pinggir jalan yang lumayan sepi. Lalu, Agus dan kedua dukun itu keluar dari mobil. Berjalan perlahan memasuki area sebuah pemakaman umum. "Daerah mana sih ini?" tanya Ken memperhatikan sekitar. "Kayaknya tadi masuk perbatas
Hari yang dinanti pun tiba. Selasa sore hari, gerimis mulai turun membasahi sepanjang jalan yang dilalui Sumi. Matanya menatap keluar jendela mobil yang dia naiki. Hingga berhenti di depan sebuah pesantren cukup besar di daerah Kediri, Pondok Pesantren Al-Anwar. "Assalamu'alaikum, Mbak Ken. Saya sudah di depan pesantren," ujar Sumi melalui sambungan telepon. ["Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Saya sama suami keluar sekarang."] Sumi menjemput Bai dan Ken untuk melakukan sebuah misi. Membuntuti suaminya yang akan pergi ke luar kota menjelang Maghrib. Sumi pun menyewa mobil. Husain ikut sebagai sopirnya. Laki-laki itu selalu setia menemani kakak perempuannya dalam memecahkan masalah yang sedang di hadapinya.Tak berselang lama, sepasang suami istri terlihat berjalan keluar dari gapura Pondok Pesantren Al-Anwar dengan mengenakan payung. "Mereka serasi sekali, ya, Mbak. Ah, jadi pengin nikah," celetuk Husain dengan senyuman saat melihat Bai menggandeng tangan Ken. Sedangkan sebelah tanganny
Beberapa hari setelah kejadian itu, Sumi selalu waspada. Dia pun menjadi semakin takut jika berada di rumah sendirian. Jadilah ... dia sering ke rumah Husain. Dan pulang sebelum suaminya itu pulang ke rumah agar tidak menimbulkan curiga. "Mbak Ken, saya di rumah Husain. Bisakah datang ke sini bersama Ustadz Bai? Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Sumi melalui sambungan telepon. ["InsyaAllah, Bu Sumi. Nanti saya bilang sama suami saya untuk ke rumah Mas Husain. Kemungkinan setelah Isya?"] "Kalau bisa habis Ashar ini, Mbak. Soalnya, setelah Isya, saya kembali pulang ke rumah."["Oh. Ya, nanti saya tanya suami dulu. Ada jadwal ngajar lagi atau tidak setelah Ashar ini."]"Iya, Mbak Ken. Terima kasih."["Sama-sama, Bu Sumi."] Sambungan telepon pun terputus setelah keduanya saling membalas salam. Sumi menatap langit yang berwarna keabu-abuan. Kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Lalu, dia menoleh ke arah pohon mangga yang ada di depan rumah Husain. Seperti ada dorongan yang e
"Silakan masuk," ucap Sumi mempersilakan tamunya masuk. Orang berpakaian serba hitam itu pun mengangguk dan menampilkan senyum yang tidak bisa Sumi artikan. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. "Aneh," gumam Sumi dalam hati. Agus masuk terlebih dulu, diikuti laki-laki setengah baya dengan pakaian serba hitam serta udeng khas Jawa Timur yang melingkar di kepalanya. "Duduk dulu, Mbah Moyo." Agus mempersilakan laki-laki yang dipanggil Mbah Moyo itu duduk di ruang tamu. Lalu, dia menarik istrinya masuk ke ruang tengah dengan alasan membuatkan minuman. "Dengar, lakukan apapun yang diperintahkan Mbah Moyo nanti. Jangan dibantah sedikitpun!" ucap Agus dengan penuh penekanan. "Mas, ini tuh salah. Percaya pada dukun itu syirik. Salat kita tidak akan Allah terima selama empat puluh malam. Aku nggak mau!" tolak Sumi dengan tegas. Dia berbalik arah dan hendak masuk ke dalam kamar.Namun, dengan gerak cepat, Agus mencengkeram lengan Sumi dengan kuat. Sumi menoleh ke ara
Tanpa banyak tanya lagi, Bai pun menuruti permintaan istrinya untuk mengikuti perempuan yang dia tahu adalah salah satu karyawan di warung bakso Agus. Karena seragam yang dia pakai.Tapi, apa yang membuat Ken ingin mereka mengikutinya? Itu yang ada di pikiran Bai saat ini. "Mas, lebih kencang lagi!" pinta Ken sambil menepuk bahu Bai. "Memangnya ada apa sih? Kamu ada perlu apa sama perempuan itu, Sayang?" tanya Bai penasaran. "Dia itu baru saja dipecat sama suaminya Bu Sumi." Jawaban yang keluar dari mulut sang Istri membuat kening Bai menciptakan kerutan tipis."Terus apa hubungannya sama kamu?" Bai masih belum mengerti maksud dari istrinya. Entah rencana apa yang sedang dia susun. "Jadi, tadi waktu aku ke toilet ...."Ken pun menceritakan apa yang didengarnya tadi saat di toilet. Saat Agus memarahi perempuan yang sedang dikejarnya itu karena tidak sengaja memasuki ruangan terlarang yang ada di warung bakso tersebut. "Jadi, aku tuh mau cari informasi tentang warung bakso milik
"Mas nggak lihat emang?" Ken bertanya balik pada suaminya. Bai menggeleng sambil memperhatikan gerobak bakso, mencari sesuatu yang mungkin terlihat aneh. "Aku nggak lihat sesuatu yang mencurigakan deh, Sayang." "Btw, kita begini jadi kayak detektif tahu nggak sih?" kekeh Ken yang membuat Bai ikut tersenyum. Lalu kembali memasang wajah serius. "Kamu lihat baik-baik deh. Beneran nggak lihat?" "Nggak. Memang kamu lihat apa?"Bukannya menjawab pertanyaan sang Suami. Ken yang masih tahu cara membuka mata batin itu malah membuka mata batin sang Suami. "Mas, kamu perhatikan baik-baik, ya. Di gerobak bakso, dan beberapa meja yang ada orang makan baksonya," ucap Ken sambil menunjuk tempat yang dimaksud itu dengan lirikan matanya. Bai yang menunduk pun menganggukkan kepalanya. Mengikuti perintah sang Istri.Bai mengangkat kepalanya dan melihat ke arah yang dimaksud sang Istri. "Astaghfirullahal'adzim," pekik Bai saat itu juga saat dia kini melihat apa yang juga dilihat oleh Ken. Sesosok po
"Kenapa kamu menemui dua orang itu lagi? Sudah kubilang, kalau mereka itu hanya akan menguras harta kita saja, Sumi!" bentak Agus dengan kesal sembari memukul setir mobil sebagai pelampiasan kekesalannya. Sumi menundukkan kepalanya sambil terisak. "Aku ... tadi kerasukan lagi, Mas. Dan ... Husain memanggil mereka," jawab Sumi pelan. Agus mengepalkan telapak tangan kirinya. "Besok aku bawa kamu ke orang pintar lagi. Sudah kubilang, kalau dirukiyah itu hanya akan menambah penyakitmu itu semakin parah."Sumi mengangkat wajahnya dan menatap sang Suami. "Aku nggak mau, Mas. Aku lebih baik seperti ini daripada harus datang kembali pada orang pintar. Itu dosa besar, Mas. Ibadah salat kita tidak akan diterima selama empat puluh malam!" "Terus, kamu lebih percaya pada kedua orang itu?" Agus membuang napas kasar. Lalu menoleh sekilas ke arah sang Istri sebelum kembali fokus pada jalanan. "Mereka juga sama. Cuma bajunya aja sok alim buat menutupi kebohongan mereka. Mau saja dibodohi dukun be
Tubuh Sumi kembali melemah setelah memuntahkan darah segar. Dahinya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. "Nggak apa-apa, Mas Husain. Ini bagian reaksi dari rukiyah. Biar enteng badannya," sahut Bai santai. Ken pun sibuk memijit tengkuk Sumi sambil membacakan Surah Al-fatihah dengan suara pelan. "Memang semua Rekasi Rukiyah begitu, Ustadz?" tanya Husain penasaran. "Tidak semua. Reaksi setiap orang berbeda-beda. Bahkan, ada yang setelah dirukiyah biasa saja.""Kok bisa? Apa memang tidak ada jinnya?" tanya Husain sambil mengerutkan keningnya."Biasa saja dalam artian ... bisa berpengaruhnya pada jiwa. Misal, seseorang setelah dirukiyah timbul rasa bahagia, merasa hatinya tenang begitu," jelas Bai menatap Husain yang menganggukkan kepala. "Karena nggak semua itu terjadi karena jin. Bisa jadi karena memang ada penyakit dalam hatinya. Bisa jadi karena luka masa lalu dan berefek seperti orang kerasukan jin," paparnya lagi. "Mbak gimana sekarang?" tanya Husain yang menatap kakaknya se
Meski terasa sakit, namun Bai pun tetap berusaha tenang agar tetap bisa mengendalikan dirinya. Ekor matanya melirik sang Istri yang juga terlihat mengerang kesakitan akibat dicekik oleh Sumi. Ken berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya. Tapi, tidak bisa. Tenaga Sumi benar-benar luar biasa. Bai membacakan surah Al-Baqarah aya 255 dengan bibir bergetar karena menahan sakit. Tangannya yang terbebas berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya sembari meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang tengah menguasai tubuh Sumi. Detik berikutnya, Sumi langsung melepas kedua tangannya dari lehernya juga leher Ken. "Panas!" pekiknya sambil mengibaskan kedua telapak tangannya yang terasa panas bagai tersulut bara api.Ken pun langsung terbatuk dan hampir saja terjungkal ke belakang. Untung saja, Bai dengan sigap menangkap tubuh istrinya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.Ken pun menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu harus hati-hati, dia bukan lawan y