Bai baru saja pulang dari masjid pesantren setelah salat Isya berjamaah.
Dia pun berniat untuk langsung istirahat karena merasa sangat lelah menjalani aktivitas mengajar di pondok dengan jadwal yang padat.
Bukan hanya mengajar pelajaran, namun dia juga mengajar ilmu bela diri dan terapi rukiyah. Itulah yang membuat tenaganya lebih cepat terkuras habis.
"Mau dipijit?" tawar Ken saat melihat kelelahan di wajah sang Suami.
"Boleh. Sebentar saja lah. Pengin langsung tidur," jawabnya dengan tetap menatap sang istri dengan senyum menawan.
"Oke."
Ken pun dengan senang hati memijit bahu sang Suami dengan pelan. Asal membuat tubuh Bai rileks saja.
"Sambil setor hafalan coba, Sayang. Sudah sampai mana hafalannya?" pinta Bai sembari memejamkan kedua matanya.
"Sampai surah Yusuf kemarin, Mas. Lanjutin, ya ...."
Ken pun mulai melantunkan suaranya membaca Al-Qur'an. Hampir enam bulan dia mulai menghafal Al-Qur'an dengan fasih. Memahami setiap ayatnya dan berusaha menerapkannya dengan baik dalam kehidupannya.
Tubuh Bai yang semakin merasa rileks membuatnya akhirnya tertidur.
"Ya ampun ... udah tidur aja," ucap Ken dengan senyum tipis sambil memperhatikan wajah tampan suaminya.
Namun, baru lima belas menit suaminya terlelap. Ponsel Bai yang ada di atas meja dekat tempat tidurnya berdering.
Ken yang baru saja masuk ke dalam kamarnya setelah membersihkan dirinya di kamar mandi langsung mengambil ponsel Bai dan melihat siapa yang meneleponnya.
Keningnya berkerut saat membaca nama yang tertera di layar ponsel sang Suami.
BU SUMI
"Ada apa Bu Sumi malam-malam telepon suami aku?" gumamnya. Dia menatap suaminya dan layar ponsel bergantian.
Agak ragu, dia pun akhirnya menjawab telepon tersebut.
"Assalamu'alaikum, Bu ... Sumi ...."
["Wa'alaikumsalam, Ustadzah tolong Mbak Sumi. Dia kerasukan di rumah saya."]
Suara seorang laki-laki terdengar sangat cemas.
Kedua bola mata Ken melebar seketika. "Hah, kerasukan? Di mana? Ini siapa? Kok pakai nomor Mbak Sumi?" tanya Ken yang juga ikut panik sampai tidak sadar, dia pun setengah berteriak.
Membuat sang Suami yang terlelap mengerjapkan kedua matanya dan menatap istrinya dengan kening berkerut.
["Ini, Husain. Adiknya Mbak Sumi. Tolong Ustadz Bai disuruh ke sini ya, Ustadzah. Cepat tolong Mbak Sumi."] pintanya dengan penuh harap.
"Di mana rumahnya?"
["Tidak jauh dari Pondok Pesantren Al-Anwar. Nanti saya kirim lokasinya. Saya minta tolong sangat, Ustadzah."]
"Iya. Nanti saya dan suami ke rumah Mas Husain."
Bai pun memicingkan kedua matanya ke arah Ken saat mendengar sang Istri menyebut nama laki-laki di depannya. Apalagi, dengan nada cemas.
"Sayang, siapa sih?" tanya Bai penasaran. Dia kini sudah mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada sandaran tempat tidur.
Ken menoleh ke arah Bai setelah mematikan sambungan teleponnya.
"Mas, gawat ini."
"Apa yang gawat?" tanya Bai dengan kening berkerut.
Ken mendekat dan duduk di depan suaminya. "Tadi itu Mas Husain, adiknya Bu Sumi telepon. Katanya Bu Sumi kerasukan lagi di rumah adiknya."
Kedua bola mata Bai terbuka lebar-lebar. Memaksa kesadarannya pulih seutuhnya.
"Astaghfirullahal'adzim ... di mana rumahnya? Kita ke sana sekarang!" Bai bangkit dan langsung berlari kecil ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar hilang rasa kantuknya.
Akhirnya, mereka pun menuju lokasi yang sebelumnya sudah dikirim oleh Husain dengan mengendarai motor matic-nya. Untung saja, jarak dari pesantren ke rumah Husain tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit perjalanan.
Tak perlu waktu lama, Bai dan Ken sampai di lokasi yang ternyata sudah ramai sekali orang.
"Astaghfirullahal'adzim ... kenapa jadi seramai ini, Mas?" gumam Ken sembari menatap kerumunan orang-orang yang tengah berkumpul di depan rumah Husain.
"Nggak tahu. Tapi ... Bu Suminya di mana?" Bai mengitari pandangannya ke sekitar. Mencari keberadaan Sumi yang belum terlihat batang hidungnya.
Hingga sebuah tawa yang sangat keras terdengar di telinganya. Dia pun mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara yang ternyata ada di atap rumah Husain.
"Astaghfirullahal'adzim ... itu Bu Sumi, Sayang!" pekik Bai sambil menunjuk ke arah Sumi yang tengah berdiri sambil tertawa di atap rumah.
"Astaghfirullahal'adzim ... bahaya sekali itu, Mas. Aduh ... kalau nanti Bu Sumi jatuh bagaimana?" Ken pun tak kalah panik.
Mereka berjalan memecah kerumunan. Dan saat sampai di depan, Husain langsung menghampirinya.
"Ustadz, tolong bantu Mbak Sumi. Saya takut sekali Mbak Sumi kenapa-kenapa, Ustadz," pinta Husain dengan menatap Bai dan Ken penuh harap. Terlihat jelas di wajahnya ada guratan kekhawatiran.
"Ya. InsyaAllah ... saya akan bantu sebisanya," sahut Bai sedikit panik. Namun, dia berusaha mengendalikannya agar tetap tenang.
Dia menatap ke arah Sumi yang tengah tertawa lagi di atap.
"Bu Sumi, turun!" teriak Bai sembari terus mengucap dzikir sambil memutar tasbih di telapak tangannya.
"Jangan ikut campur urusanku!" balas Sumi sambil menatap tajam ke arah Bai dan Ken.
"Bu Sumi telah meminta tolong padaku. Jadi ... sudah menjadi kewajibanku untuk membantunya mengusirmu dari tubuh Bu Sumi. Ayo cepat turun dan jangan sakiti raga Bu Sumi." Bai mencoba membujuk Sumi untuk turun.
"Tidak. Aku akan membawa raga wanita munafik ini pergi sejauh mungkin dan membuatnya mati tersiksa." Sumi tertawa melengking.
Bersamaan dengan itu, angin besar berembus sangat kencang. Hingga menjatuhkan dahan pohon mangga yang ada di belakang kerumunan.
Refleks, semua orang menoleh ke arah belakang dan berlari menyelamatkan diri. Dan saat Bai menoleh ke arah atap rumah Husain, Sumi sudah tidak berada di sana.
Dia pun mengitari pandangannya ke sekitar dan dikejutkan lagi oleh suara Sumi yang ada di belakang Bai dan Ken.
"Kamu mencariku, Ustadz Bai?" tanya Sumi dengan suara berat dan tatapan mata merah tajam.
Tanpa aba-aba, Sumi langsung mencekik leher Bai dengan erat. Tubuh Bai yang tidak siap pun terdorong ke belakang hingga punggungnya menabrak pohon mangga yang cukup besar.
"Siapa pun yang ikut campur dalam urusanku akan mati!" tegasnya sambil terus mencekik leher Bai hingga wajahnya memucat.
"Lepaskan suamiku!" Ken pun langsung mencoba melepaskan cengkraman tangan Sumi dari leher suaminya.
Namun, sayang. Dia malah jadi ikut dicekik lehernya dan dan diperlakukan seperti Bai.
Semua orang yang melihatnya pun panik dan mereka semakin ketakutan melihat hal tersebut. Mereka tidak ada yang berani mendekat. Takut jika Bai dan Ken gagal dan malah mati tercekik oleh Sumi.
Meski terasa sakit, namun Bai pun tetap berusaha tenang agar tetap bisa mengendalikan dirinya. Ekor matanya melirik sang Istri yang juga terlihat mengerang kesakitan akibat dicekik oleh Sumi. Ken berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya. Tapi, tidak bisa. Tenaga Sumi benar-benar luar biasa. Bai membacakan surah Al-Baqarah aya 255 dengan bibir bergetar karena menahan sakit. Tangannya yang terbebas berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya sembari meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang tengah menguasai tubuh Sumi. Detik berikutnya, Sumi langsung melepas kedua tangannya dari lehernya juga leher Ken. "Panas!" pekiknya sambil mengibaskan kedua telapak tangannya yang terasa panas bagai tersulut bara api.Ken pun langsung terbatuk dan hampir saja terjungkal ke belakang. Untung saja, Bai dengan sigap menangkap tubuh istrinya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.Ken pun menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu harus hati-hati, dia bukan lawan y
Tubuh Sumi kembali melemah setelah memuntahkan darah segar. Dahinya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. "Nggak apa-apa, Mas Husain. Ini bagian reaksi dari rukiyah. Biar enteng badannya," sahut Bai santai. Ken pun sibuk memijit tengkuk Sumi sambil membacakan Surah Al-fatihah dengan suara pelan. "Memang semua Rekasi Rukiyah begitu, Ustadz?" tanya Husain penasaran. "Tidak semua. Reaksi setiap orang berbeda-beda. Bahkan, ada yang setelah dirukiyah biasa saja.""Kok bisa? Apa memang tidak ada jinnya?" tanya Husain sambil mengerutkan keningnya."Biasa saja dalam artian ... bisa berpengaruhnya pada jiwa. Misal, seseorang setelah dirukiyah timbul rasa bahagia, merasa hatinya tenang begitu," jelas Bai menatap Husain yang menganggukkan kepala. "Karena nggak semua itu terjadi karena jin. Bisa jadi karena memang ada penyakit dalam hatinya. Bisa jadi karena luka masa lalu dan berefek seperti orang kerasukan jin," paparnya lagi. "Mbak gimana sekarang?" tanya Husain yang menatap kakaknya se
"Kenapa kamu menemui dua orang itu lagi? Sudah kubilang, kalau mereka itu hanya akan menguras harta kita saja, Sumi!" bentak Agus dengan kesal sembari memukul setir mobil sebagai pelampiasan kekesalannya. Sumi menundukkan kepalanya sambil terisak. "Aku ... tadi kerasukan lagi, Mas. Dan ... Husain memanggil mereka," jawab Sumi pelan. Agus mengepalkan telapak tangan kirinya. "Besok aku bawa kamu ke orang pintar lagi. Sudah kubilang, kalau dirukiyah itu hanya akan menambah penyakitmu itu semakin parah."Sumi mengangkat wajahnya dan menatap sang Suami. "Aku nggak mau, Mas. Aku lebih baik seperti ini daripada harus datang kembali pada orang pintar. Itu dosa besar, Mas. Ibadah salat kita tidak akan diterima selama empat puluh malam!" "Terus, kamu lebih percaya pada kedua orang itu?" Agus membuang napas kasar. Lalu menoleh sekilas ke arah sang Istri sebelum kembali fokus pada jalanan. "Mereka juga sama. Cuma bajunya aja sok alim buat menutupi kebohongan mereka. Mau saja dibodohi dukun be
"Mas nggak lihat emang?" Ken bertanya balik pada suaminya. Bai menggeleng sambil memperhatikan gerobak bakso, mencari sesuatu yang mungkin terlihat aneh. "Aku nggak lihat sesuatu yang mencurigakan deh, Sayang." "Btw, kita begini jadi kayak detektif tahu nggak sih?" kekeh Ken yang membuat Bai ikut tersenyum. Lalu kembali memasang wajah serius. "Kamu lihat baik-baik deh. Beneran nggak lihat?" "Nggak. Memang kamu lihat apa?"Bukannya menjawab pertanyaan sang Suami. Ken yang masih tahu cara membuka mata batin itu malah membuka mata batin sang Suami. "Mas, kamu perhatikan baik-baik, ya. Di gerobak bakso, dan beberapa meja yang ada orang makan baksonya," ucap Ken sambil menunjuk tempat yang dimaksud itu dengan lirikan matanya. Bai yang menunduk pun menganggukkan kepalanya. Mengikuti perintah sang Istri.Bai mengangkat kepalanya dan melihat ke arah yang dimaksud sang Istri. "Astaghfirullahal'adzim," pekik Bai saat itu juga saat dia kini melihat apa yang juga dilihat oleh Ken. Sesosok po
Tanpa banyak tanya lagi, Bai pun menuruti permintaan istrinya untuk mengikuti perempuan yang dia tahu adalah salah satu karyawan di warung bakso Agus. Karena seragam yang dia pakai.Tapi, apa yang membuat Ken ingin mereka mengikutinya? Itu yang ada di pikiran Bai saat ini. "Mas, lebih kencang lagi!" pinta Ken sambil menepuk bahu Bai. "Memangnya ada apa sih? Kamu ada perlu apa sama perempuan itu, Sayang?" tanya Bai penasaran. "Dia itu baru saja dipecat sama suaminya Bu Sumi." Jawaban yang keluar dari mulut sang Istri membuat kening Bai menciptakan kerutan tipis."Terus apa hubungannya sama kamu?" Bai masih belum mengerti maksud dari istrinya. Entah rencana apa yang sedang dia susun. "Jadi, tadi waktu aku ke toilet ...."Ken pun menceritakan apa yang didengarnya tadi saat di toilet. Saat Agus memarahi perempuan yang sedang dikejarnya itu karena tidak sengaja memasuki ruangan terlarang yang ada di warung bakso tersebut. "Jadi, aku tuh mau cari informasi tentang warung bakso milik
"Silakan masuk," ucap Sumi mempersilakan tamunya masuk. Orang berpakaian serba hitam itu pun mengangguk dan menampilkan senyum yang tidak bisa Sumi artikan. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. "Aneh," gumam Sumi dalam hati. Agus masuk terlebih dulu, diikuti laki-laki setengah baya dengan pakaian serba hitam serta udeng khas Jawa Timur yang melingkar di kepalanya. "Duduk dulu, Mbah Moyo." Agus mempersilakan laki-laki yang dipanggil Mbah Moyo itu duduk di ruang tamu. Lalu, dia menarik istrinya masuk ke ruang tengah dengan alasan membuatkan minuman. "Dengar, lakukan apapun yang diperintahkan Mbah Moyo nanti. Jangan dibantah sedikitpun!" ucap Agus dengan penuh penekanan. "Mas, ini tuh salah. Percaya pada dukun itu syirik. Salat kita tidak akan Allah terima selama empat puluh malam. Aku nggak mau!" tolak Sumi dengan tegas. Dia berbalik arah dan hendak masuk ke dalam kamar.Namun, dengan gerak cepat, Agus mencengkeram lengan Sumi dengan kuat. Sumi menoleh ke ara
Beberapa hari setelah kejadian itu, Sumi selalu waspada. Dia pun menjadi semakin takut jika berada di rumah sendirian. Jadilah ... dia sering ke rumah Husain. Dan pulang sebelum suaminya itu pulang ke rumah agar tidak menimbulkan curiga. "Mbak Ken, saya di rumah Husain. Bisakah datang ke sini bersama Ustadz Bai? Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Sumi melalui sambungan telepon. ["InsyaAllah, Bu Sumi. Nanti saya bilang sama suami saya untuk ke rumah Mas Husain. Kemungkinan setelah Isya?"] "Kalau bisa habis Ashar ini, Mbak. Soalnya, setelah Isya, saya kembali pulang ke rumah."["Oh. Ya, nanti saya tanya suami dulu. Ada jadwal ngajar lagi atau tidak setelah Ashar ini."]"Iya, Mbak Ken. Terima kasih."["Sama-sama, Bu Sumi."] Sambungan telepon pun terputus setelah keduanya saling membalas salam. Sumi menatap langit yang berwarna keabu-abuan. Kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Lalu, dia menoleh ke arah pohon mangga yang ada di depan rumah Husain. Seperti ada dorongan yang e
Hari yang dinanti pun tiba. Selasa sore hari, gerimis mulai turun membasahi sepanjang jalan yang dilalui Sumi. Matanya menatap keluar jendela mobil yang dia naiki. Hingga berhenti di depan sebuah pesantren cukup besar di daerah Kediri, Pondok Pesantren Al-Anwar. "Assalamu'alaikum, Mbak Ken. Saya sudah di depan pesantren," ujar Sumi melalui sambungan telepon. ["Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Saya sama suami keluar sekarang."] Sumi menjemput Bai dan Ken untuk melakukan sebuah misi. Membuntuti suaminya yang akan pergi ke luar kota menjelang Maghrib. Sumi pun menyewa mobil. Husain ikut sebagai sopirnya. Laki-laki itu selalu setia menemani kakak perempuannya dalam memecahkan masalah yang sedang di hadapinya.Tak berselang lama, sepasang suami istri terlihat berjalan keluar dari gapura Pondok Pesantren Al-Anwar dengan mengenakan payung. "Mereka serasi sekali, ya, Mbak. Ah, jadi pengin nikah," celetuk Husain dengan senyuman saat melihat Bai menggandeng tangan Ken. Sedangkan sebelah tanganny
“Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa
Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer
Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po
Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny
Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell
Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.
Berbekal uang juga beberapa informasi yang didapatkan dari Ken, setelah sampai di Terminal Giwangan, Ikhsan pun turun. Dia pun memesan ojek dan menyuruhnya mengantar ke alamat yang telah diberikan oleh Ken.Karena tempatnya lumayan jauh dari kota dan butuh beberapa waktu untuk sampai di lokasi. Ikhsan pun meminta diturunkan di suatu tempat yang letaknya kira-kira kurang dari satu kilometer dari rumah Bulek Tini.Dia pun memutuskan jalan kaki menuju tempat yang akan dijadikan tempat pengintaian.“Nanti di dekat sana ada masjid kecil. Kayak mushola. Kamu bisa minta izin sama warga untuk tinggal selama mengaku menjadi musafir,” ujar Ken saat itu.Ikhsan pun mengingatnya dan mencari mushola yang dimaksud oleh Ken. Setelah berjalan hampir lima ratus meter, dia bertanya pada salah satu warga yang ada di sebuah ladang.“Maaf, Pak. Mau tanya ….”“Iya, Mas. Ada apa?” Warag tersebut terlihat memperhatikan penampilan Ikhsan dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Saya musafir. Dan kebetulan dapat
“Tugas? Tugas apa, Ning?” tanyanya penasaran sekaligus takut.Takut jika yang dijalaninya merupakan tugas besar dan jika dia gagal, maka akan membuat suasana menjadi semakin rumit. Entah apa yang akan ditugaskan oleh Ken kepadanya ….Kedua mata Ken terlihat mengawasi sekitar. Setelah dirasa aman, dia pun mengungkapkan apa yang akan menjadi tugas santri tersebut.“Begini, Ustadz tahu kan apa yang terjadi di pesantren kita ini? Masalah serius yang sudah membuat reputasi pesantren tempat kita semua menuntut ilmu ini jatuh. Dengan Ustadz masih bertahan di sini, aku meyakini jika Ustadz yakin kalau apa yang diajarkan di pesantren ini bukanlah ajaran sesat. Betul?”Santri bernama Ikhasan itu mengangguk. Membenarkan apa yang diucapkan oleh istri dari gurunya itu. Kedua orangtuanya di kampung halaman pun yakin jika anaknya tidak salah dalam menuntut ilmu. Maka dari itu, mereka tidak ikut menarik putranya pulang ke rumah seperti orangtua yang lainnya. Ikut terpengaruh berita yang sedang viral
“Aku nggak akan biarkan ini terjadi begitu saja, Mas. Lihat? Reputasi pesantren Ayah jadi hancur gara-gara video itu viral! Licik sekali sih Bujang Lapuk itu,” omel Ken dengan penuh kekesalan.Satu minggu selepas kematian Bulek Tini, beredar video tentang tuduhan Paklek Bimo terhadap Ustadz Fathur juga Bai yang mengatakan mereka adalah dukun berkedok ustadz. Bahkan pesantren yang dijalankannya pun dikatakan aliran sesat.Tentu saja itu membuat para istri ustadz itu geram. Namun, baik Bai maupun Ustadz Fathur memilih untuk tetap berusaha tenang. Meski dalam hati pun ada rasa cemas karena akan kehilangan kepercayaan masyarakat tentang pesantren yang sudah dibangunnya dari zaman ayahnya Ustadz Fathur.“Sayang, tenang dulu. Kita mungkin akan mediasi dengan Paklek Bimo terkait masalah ini. Kita akan coba luruskan. Kamu diam saja dan berdoa. Jangan bertindak apapun yang bisa membahayakan diri kamu sendiri dan calon anak kita. Ingat, kamu sedang hamil!”Bai mengingatkan istrinya untuk tidak