Share

Muntah Darah

Penulis: Aw safitry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 10:53:02

Meski terasa sakit, namun Bai pun tetap berusaha tenang agar tetap bisa mengendalikan dirinya. 

Ekor matanya melirik sang Istri yang juga terlihat mengerang kesakitan akibat dicekik oleh Sumi. Ken berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya. Tapi, tidak bisa. Tenaga Sumi benar-benar luar biasa. 

Bai membacakan surah Al-Baqarah aya 255 dengan bibir bergetar karena menahan sakit. Tangannya yang terbebas berusaha melepas tangan Sumi dari lehernya sembari meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang tengah menguasai tubuh Sumi. 

Detik berikutnya, Sumi langsung melepas kedua tangannya dari lehernya juga leher Ken. 

"Panas!" pekiknya sambil mengibaskan kedua telapak tangannya yang terasa panas bagai tersulut bara api.

Ken pun langsung terbatuk dan hampir saja terjungkal ke belakang. Untung saja, Bai dengan sigap menangkap tubuh istrinya. 

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.

Ken pun menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu harus hati-hati, dia bukan lawan yang sembarangan."  Ken memperingatkan suaminya. "Aku mengira, dia itu ... Mas, awas!" pekiknya saat melihat Sumi tiba-tiba hendak menyerangnya dan Bai saat mereka lengah. 

Ken menyingkirkan Bai ke arah samping dan dia langung menendang perut Sumi hingga tubuh wanita itu terjungkal ke belakang. Refleks alaminya melindungi diri dan suami. 

Ken sendiri sudah dibekali dengan ilmu bela diri sebelum menikah dengan Bai. Jadi, dia sudah terbiasa dengan serangan-serangan semacam itu. Bahkan mudah saja baginya menghalau. 

"Sayang ...." Bai mendekat ke sisi sang Istri dan menatap Sumi dengan waspada. 

"Kita harus kerjasama menuntaskan iblis jahanam ini, Mas," ucap Ken yang juga menatap Sumi yang berdiri dan akan kembali menyerang mereka. 

Bai dan Ken kembali membacakan ayat-ayat rukiyah. Mulai dari surah Al-fatihah, Surah Al-Baqarah, hingga Surah Ali Imron. 

Membuat tubuh Sumi berguling ke segala arah saat merasa tubuhnya terasa seperti terbakar api. 

Di tempat itu, hanya tinggal tersisa Sumi, Bai, Ken, dan Husain. Orang-orang yang tadinya berkerumun memilih masuk ke rumah masing-masing karena takut dengan reaksi Sumi saat kerasukan tadi yang dinilai bisa membahayakan siapa saja yang ada di dekatnya. 

Mereka mengintip dari jendela kaca rumah masing-masing.

"Ampun ... panas ...," teriak Sumi yang terus berguling sambil bereaksi. 

Bai pun mencoba mendekat dan menyentuh tengkuk Sumi. Tapi, Sumi menepisnya, kemudian malah mencengkram lengan tangan Bai dan hampir membantingnya. 

Namun, Bai yang kini sudah lebih waspada pun bisa menghalau serangan Sumi. Dia pun berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Sumi. 

"Ampun ... Ustadz ... cukup!" teriak Sumi dengan bola mata yang melebar sempurna. "Kamu akan mati di tanganku, Ustadz Bai!" Sumi menunjuk tepat di depan wajah Bai. 

"Hanya Allah yang bisa menentukan kematian seseorang. Bukan iblis laknatullah sepertimu," jawab Bai dengan santai. 

Dia pun melanjutkan membacakan ayat-ayat rukiyah. 

"Ampun ... sakit, Ustadz ...."

Sumi semakin berteriak histeris saat Bai berhasil menyentuh tengkuk Sumi. Tubuhnya bergetar dengan kedua bola mata yang semakin terbuka lebar. Urat-urat di lehernya semakin terlihat.

"Ayo keluar! Atau aku bakar kamu atas izin Allah!" tegas Bai sambil terus membaca ayat-ayat rukiyah. Membuat setan yang  merasuk ke dalam tubuh Sumi semakin mengerang kesakitan.

"Ampun, Ustadz ... sakit ... panas ...," isak Sumi yang kini mulai melemah. Tak seberingas tadi.

Ken dan Husain pun mulai mendekat ke arah Sumi. 

"Masuk Islam, ya. Dan jangan pernah lagi ganggu Bu Sumi!" tegas Bai. 

"Nggak bisa, Ustadz. Tugas aku belum selesai. Hanya dari wanita ini aku bisa mendapat makanan."

"Hah ... panas ... cukup!" 

Penampilan wanita itu kini sudah awut-awutan, bahkan kerudungnya kini entah di mana. Dia menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya saat tubuhnya semakin terasa terbakar api ketika mendengar Ken dan Husain membacakan dzikir dan sholawat. 

"Makanya, keluar sekarang. Jika kamu masih tetap di dalam tubuh Bu Sumi, maka kamu akan semakin tersiksa. Ayo keluar sekarang!" 

Bai sengaja sedikit menekan tengkuk Sumi. Membuat wanita itu kembali mengerang kesakitan. 

"Iya ... ampun, Ustadz. Aku keluar! Panas!" erang Sumi. 

Tak berselang lama, tubuh Sumi melemah dan akhirnya jatuh pingsan. 

"Alhamdulillah ...," gumam Bai sambil mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan. 

Ken mendekat ke arah sang Suami. Lalu mengelap keringat yang membasahi wajah Bai. "Mas, kamu baik-baik saja kan?" tanyanya cemas. 

Bai mengangguk dengan senyum tipis. "Kita bawa Bu Sumi ke dalam," ujarnya pada Husain yang mengangguk dan langsung membawa tubuh Sumi masuk ke dalam rumah. 

Husain merebahkan tubuh kakaknya di atas sofa ruang tamu. Ken pun mendekat dan mencoba menyadarkan Sumi sambil mengolesi minyak kayu putih di area telapak kaki dan keningnya sembari memijitnya pelan.

Tak berselang lama, Sumi pun sadar dan membuka kedua matanya perlahan. 

"Alhamdulillah ... Bu Sumi sudah sadar," ucap Ken dengan seulas senyum. 

Sumi mengerjapkan kedua matanya karena silau saat terkena cahaya lampu. Perlahan ... dia pun mengambil posisi duduk dengan dibantu Ken. 

"Apa yang terjadi pada saya, Mbak, Ustadz Bai, Husain?" tanya Sumi sambil menatap mereka satu persatu. 

"Mbak Sumi tadi kerasukan. Aku yang panik jadi panggil Ustadz Bai buat nanganin Mbak," jawab Husain yang kini sudah lebih tenang dari sebelumnya.

"Astaghfirullahal'adzim ...," desis Sumi sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

"Sebelumnya, apa yang terjadi, Bu?" tanya Ken sambil menatap Sumi. 

Sumi membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya. "Tadi ... saya sempat melihat sesosok makhluk di dapur saat sedang membuat teh. Makhluk itu tidak jelas bentuknya dan langsung menyerang saya. Setelah itu ... saya tidak ingat apa-apa lagi," jelasnya sembari memijit pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut. 

"Diminum dulu, Bu Sumi." Bai menyerahkan segelas air putih hangat yang dicampur dengan madu. Sebelumnya, dia sudah merukiyah air tersebut. 

Sumi pun meminumnya hingga tandas. Dan setelah itu ... dia pun merasa mual dan muntah darah. 

"Astaghfirullahal'adzim, Mbak!" pekik Husain saat melihat darah segar di lantai rumahnya yang keluar dari mulut sang Kakak. 

Bab terkait

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kemarahan Agus

    Tubuh Sumi kembali melemah setelah memuntahkan darah segar. Dahinya dipenuhi keringat sebesar biji jagung. "Nggak apa-apa, Mas Husain. Ini bagian reaksi dari rukiyah. Biar enteng badannya," sahut Bai santai. Ken pun sibuk memijit tengkuk Sumi sambil membacakan Surah Al-fatihah dengan suara pelan. "Memang semua Rekasi Rukiyah begitu, Ustadz?" tanya Husain penasaran. "Tidak semua. Reaksi setiap orang berbeda-beda. Bahkan, ada yang setelah dirukiyah biasa saja.""Kok bisa? Apa memang tidak ada jinnya?" tanya Husain sambil mengerutkan keningnya."Biasa saja dalam artian ... bisa berpengaruhnya pada jiwa. Misal, seseorang setelah dirukiyah timbul rasa bahagia, merasa hatinya tenang begitu," jelas Bai menatap Husain yang menganggukkan kepala. "Karena nggak semua itu terjadi karena jin. Bisa jadi karena memang ada penyakit dalam hatinya. Bisa jadi karena luka masa lalu dan berefek seperti orang kerasukan jin," paparnya lagi. "Mbak gimana sekarang?" tanya Husain yang menatap kakaknya se

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Penyamaran

    "Kenapa kamu menemui dua orang itu lagi? Sudah kubilang, kalau mereka itu hanya akan menguras harta kita saja, Sumi!" bentak Agus dengan kesal sembari memukul setir mobil sebagai pelampiasan kekesalannya. Sumi menundukkan kepalanya sambil terisak. "Aku ... tadi kerasukan lagi, Mas. Dan ... Husain memanggil mereka," jawab Sumi pelan. Agus mengepalkan telapak tangan kirinya. "Besok aku bawa kamu ke orang pintar lagi. Sudah kubilang, kalau dirukiyah itu hanya akan menambah penyakitmu itu semakin parah."Sumi mengangkat wajahnya dan menatap sang Suami. "Aku nggak mau, Mas. Aku lebih baik seperti ini daripada harus datang kembali pada orang pintar. Itu dosa besar, Mas. Ibadah salat kita tidak akan diterima selama empat puluh malam!" "Terus, kamu lebih percaya pada kedua orang itu?" Agus membuang napas kasar. Lalu menoleh sekilas ke arah sang Istri sebelum kembali fokus pada jalanan. "Mereka juga sama. Cuma bajunya aja sok alim buat menutupi kebohongan mereka. Mau saja dibodohi dukun be

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Rencana Ken

    "Mas nggak lihat emang?" Ken bertanya balik pada suaminya. Bai menggeleng sambil memperhatikan gerobak bakso, mencari sesuatu yang mungkin terlihat aneh. "Aku nggak lihat sesuatu yang mencurigakan deh, Sayang." "Btw, kita begini jadi kayak detektif tahu nggak sih?" kekeh Ken yang membuat Bai ikut tersenyum. Lalu kembali memasang wajah serius. "Kamu lihat baik-baik deh. Beneran nggak lihat?" "Nggak. Memang kamu lihat apa?"Bukannya menjawab pertanyaan sang Suami. Ken yang masih tahu cara membuka mata batin itu malah membuka mata batin sang Suami. "Mas, kamu perhatikan baik-baik, ya. Di gerobak bakso, dan beberapa meja yang ada orang makan baksonya," ucap Ken sambil menunjuk tempat yang dimaksud itu dengan lirikan matanya. Bai yang menunduk pun menganggukkan kepalanya. Mengikuti perintah sang Istri.Bai mengangkat kepalanya dan melihat ke arah yang dimaksud sang Istri. "Astaghfirullahal'adzim," pekik Bai saat itu juga saat dia kini melihat apa yang juga dilihat oleh Ken. Sesosok po

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kesaksian Pegawai Agus

    Tanpa banyak tanya lagi, Bai pun menuruti permintaan istrinya untuk mengikuti perempuan yang dia tahu adalah salah satu karyawan di warung bakso Agus. Karena seragam yang dia pakai.Tapi, apa yang membuat Ken ingin mereka mengikutinya? Itu yang ada di pikiran Bai saat ini. "Mas, lebih kencang lagi!" pinta Ken sambil menepuk bahu Bai. "Memangnya ada apa sih? Kamu ada perlu apa sama perempuan itu, Sayang?" tanya Bai penasaran. "Dia itu baru saja dipecat sama suaminya Bu Sumi." Jawaban yang keluar dari mulut sang Istri membuat kening Bai menciptakan kerutan tipis."Terus apa hubungannya sama kamu?" Bai masih belum mengerti maksud dari istrinya. Entah rencana apa yang sedang dia susun. "Jadi, tadi waktu aku ke toilet ...."Ken pun menceritakan apa yang didengarnya tadi saat di toilet. Saat Agus memarahi perempuan yang sedang dikejarnya itu karena tidak sengaja memasuki ruangan terlarang yang ada di warung bakso tersebut. "Jadi, aku tuh mau cari informasi tentang warung bakso milik

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Sumi Diteror

    "Silakan masuk," ucap Sumi mempersilakan tamunya masuk. Orang berpakaian serba hitam itu pun mengangguk dan menampilkan senyum yang tidak bisa Sumi artikan. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. "Aneh," gumam Sumi dalam hati. Agus masuk terlebih dulu, diikuti laki-laki setengah baya dengan pakaian serba hitam serta udeng khas Jawa Timur yang melingkar di kepalanya. "Duduk dulu, Mbah Moyo." Agus mempersilakan laki-laki yang dipanggil Mbah Moyo itu duduk di ruang tamu. Lalu, dia menarik istrinya masuk ke ruang tengah dengan alasan membuatkan minuman. "Dengar, lakukan apapun yang diperintahkan Mbah Moyo nanti. Jangan dibantah sedikitpun!" ucap Agus dengan penuh penekanan. "Mas, ini tuh salah. Percaya pada dukun itu syirik. Salat kita tidak akan Allah terima selama empat puluh malam. Aku nggak mau!" tolak Sumi dengan tegas. Dia berbalik arah dan hendak masuk ke dalam kamar.Namun, dengan gerak cepat, Agus mencengkeram lengan Sumi dengan kuat. Sumi menoleh ke ara

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berhalusinasi

    Beberapa hari setelah kejadian itu, Sumi selalu waspada. Dia pun menjadi semakin takut jika berada di rumah sendirian. Jadilah ... dia sering ke rumah Husain. Dan pulang sebelum suaminya itu pulang ke rumah agar tidak menimbulkan curiga. "Mbak Ken, saya di rumah Husain. Bisakah datang ke sini bersama Ustadz Bai? Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Sumi melalui sambungan telepon. ["InsyaAllah, Bu Sumi. Nanti saya bilang sama suami saya untuk ke rumah Mas Husain. Kemungkinan setelah Isya?"] "Kalau bisa habis Ashar ini, Mbak. Soalnya, setelah Isya, saya kembali pulang ke rumah."["Oh. Ya, nanti saya tanya suami dulu. Ada jadwal ngajar lagi atau tidak setelah Ashar ini."]"Iya, Mbak Ken. Terima kasih."["Sama-sama, Bu Sumi."] Sambungan telepon pun terputus setelah keduanya saling membalas salam. Sumi menatap langit yang berwarna keabu-abuan. Kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Lalu, dia menoleh ke arah pohon mangga yang ada di depan rumah Husain. Seperti ada dorongan yang e

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Mengikuti Jejak Agus

    Hari yang dinanti pun tiba. Selasa sore hari, gerimis mulai turun membasahi sepanjang jalan yang dilalui Sumi. Matanya menatap keluar jendela mobil yang dia naiki. Hingga berhenti di depan sebuah pesantren cukup besar di daerah Kediri, Pondok Pesantren Al-Anwar. "Assalamu'alaikum, Mbak Ken. Saya sudah di depan pesantren," ujar Sumi melalui sambungan telepon. ["Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Saya sama suami keluar sekarang."] Sumi menjemput Bai dan Ken untuk melakukan sebuah misi. Membuntuti suaminya yang akan pergi ke luar kota menjelang Maghrib. Sumi pun menyewa mobil. Husain ikut sebagai sopirnya. Laki-laki itu selalu setia menemani kakak perempuannya dalam memecahkan masalah yang sedang di hadapinya.Tak berselang lama, sepasang suami istri terlihat berjalan keluar dari gapura Pondok Pesantren Al-Anwar dengan mengenakan payung. "Mereka serasi sekali, ya, Mbak. Ah, jadi pengin nikah," celetuk Husain dengan senyuman saat melihat Bai menggandeng tangan Ken. Sedangkan sebelah tanganny

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Bersekutu dengan Iblis

    "Masa sih, Mbak? Bukannya sudah dikubur?" tanya Husain heran. "Iya, katanya. Kan Mbak waktu itu masih dirawat di rumah sakit. Jadi, nggak tahu. Katanya aja gitu," balas Sumi sambil membuang napas panjang. Merasa kecewa dan bodoh karena percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bai dan Ken hanya bisa saling pandang. "Kita langsung buntuti saja ke mana mobil Pak Agus itu jalan," tukas Bai yang membuat Sumi kembali fokus pada tujuan awalnya hingga sampai di tempat ini. Melupakan rasa kecewanya pada sang Suami yang dinilai telah membohonginya. "Iya, Ustadz." Husain langsung menyalakan mesin mobilnya lagi. Kemudian membuntuti mobil Agus yang sudah kembali melaju dengan kecepatan sedang. Hampir dua jam perjalanan, mobil yang dikendarai Agus berhenti di pinggir jalan yang lumayan sepi. Lalu, Agus dan kedua dukun itu keluar dari mobil. Berjalan perlahan memasuki area sebuah pemakaman umum. "Daerah mana sih ini?" tanya Ken memperhatikan sekitar. "Kayaknya tadi masuk perbatas

Bab terbaru

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Meminta Tumbal

    Setelah kejadian itu, Sumi pun sudah hampir satu bulan ini memutuskan untuk tinggal di rumah Husain. Namun, masih memberi kesempatan bagi suaminya untuk bertaubat dan memperbaiki segalanya. Agus pun memilih untuk membiarkan Sumi. Karena dia masih kesal pasca istrinya meninggalkannya, bahkan meminta dirinya menceraikannya. "Kamu pikir, wanita hanya kamu saja apa? Sok jual mahal. Dengan kekayaan yang aku punya sekarang ini, aku bisa dapatkan wanita mana pun yang aku mau," ujar Agus dengan angkuh sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin. Meski begitu, hatinya yang terdalam tetap mencintai Sumi. Karena Sumi adalah cinta pertamanya dan hanya dia yang mau menerima laki-laki miskin seperti Agus saat itu.Dia pun sering menghabiskan waktu di warungnya. Dan lebih memperkaya hartanya dengan rencana menambah cabang warung bakso miliknya. Sumi sendiri semakin menjadi mudah melakukan terapi rukiyah pada Bai dan Ken untuk menghilangkan gangguan sihir yang ada pada dirinya. Kondisi Sumi

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Permintaan Sumi

    Bai menggeleng sembari menggenggam tangan istrinya. Dia menatap sekitar dengan waspada. "Baca doa, Sayang," titah Bai tanpa menoleh ke arah Ken yang juga menatap waspada. Ken pun hanya mengangguk sambil membaca doa-doa yang ada di dalam Al-Qur'an yang dipercaya bisa mengusir energi jahat makhluk astral. Selama hidup, dia sering berkesinambungan dengan makhluk-makhluk tersebut membuatnya tidak lagi terlalu takut. Angin pun semakin berembus kencang. Hingga gorden di rumahnya lepas. Tak lama setelah itu, muncul sebuah asap hitam pekat yang masuk lewat celah ventilasi rumahnya. Bai dan Ken mundur beberapa langkah sambil tetap waspada dan meminta perlindungan pada Allah dari gangguan makhluk jahat yang datang. Asap hitam itu semakin besar hingga wujudnya berubah menjadi sosok pocong yang wajahnya terlihat busuk. Bahkan, Ken pun dibuat mual karena bau busuknya yang sangat menusuk itu. "Tetap berdoa, Sayang." Bai semakin erat menggenggam telapak tangan istrinya."Astaghfirullah ... bau

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Terbongkar

    Menjelang sore hari, terdengar ketukan pada pintu utama rumah Sumi. Wanita itu sudah bisa menebak siapa yang datang ke rumahnya. Dia pun gegas menuruni anak tangga, lalu membuka pintu. Senyum manis selalu dia tunjukkan untuk menyambut kepulangan suami tercintanya, Agus. Meski hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ingin segera menanyakan serentetan pertanyaan pada laki-laki itu atas apa yang dilihatnya tadi malam di hutan dekat pemakaman.Dia memilih mengubur rasa penasarannya. "Mas mau langsung mandi atau istirahat dulu?" tawar Sumi sambil meraih jaket hitam sang Suami. Lalu, mempersilakannya masuk. "Aku mandi dulu lah," sahut Agus dengan senyuman mengerikan. "Tapi ... mandinya sama kamu," godanya sambil mengusap pipi sang Istri.Sumi meradang, namun coba dia tahan. Sabar, Sumi. Layanilah dia sampai puas dulu. Baru kamu interogasi sampai dia rasa penasarannya terbayar lunas. "Aku baru saja mengalami keguguran, Mas. Dokter menyarankan paling tidak dua sampai empat minggu atau enam mi

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Mulai Terungkap

    "Sebentar saja, Pak," pinta Ken sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Laki-laki itu terdiam sesaat sambil menatap Ken diam. Dia seperti tahu sesuatu. Hingga akhirnya, laki-laki tua itu mengangguk. "Baiklah ...." Bai, Ken, Sumi, dan Husain mengembuskan napas lega dan tersenyum. "Lebih baik bicara di rumah saya saja. Tidak enak di sini," ujarnya yang kini melembutkan suaranya. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan sangat menentang. Karena menganggap rombongan Bai itu adalah orang-orang yang sering berbuat kesyirikan di hutan yang dekat desanya. "Di sebelah mana rumahnya, Pak?" tanya Bai. "Di sebelah sana." Telapak tangan laki-laki itu mengarah pada sebuah rumah kayu yang ada di sebelah masjid. "Mobil parkir di depan rumah saja. Biar aman. Nggak dilirik orang yang mungkin punya niat jahat," sambungnya. "Pindahkan saja, Husain," titah Sumi pada adiknya yang mengangguk. "Iya, Mbak," sahut Husain. Dia pun permisi untuk memindahkan mobilnya ke tempat yang aman. Ba

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Salah Sangka

    "Aduh ... gimana ini?" Ken dan Sumi pun mulai panik, takut jika Agus dan kedua dukun itu mengetahui jika ada yang mengawasi apa yang mereka lakukan. Bai pun mencoba memutar otak sembari mengawasi sekitar. Mencoba mencari tempat yang aman untuk lari jika nantinya Agus dan kedua dukun itu mengetahui lokasi persembunyian mereka. "Mundur pelan-pelan," titah Bai setengah berbisik. "Hati-hati." Bai menggenggam telapak tangan Ken saat gamis yang dia gunakan terinjak oleh kakinya sendiri dan membuatnya hampir terjatuh. "Astaghfirullah ... ribet banget sih. Salah kostum aku nih," gerutu Ken yang kesal sendiri karena baju yang dia gunakan terlalu panjang dan merasa tidak pas jika dibawa ke semak-semak seperti sekarang ini. Maklum, Ken sebelum ini memang sedikit tomboi meski wajahnya sangat cantik dengan kulit kuning langsatnya yang khas."Sayang ...," tegur Bai sambil memicingkan kedua matanya, mengingatkan istrinya agar tidak banyak suara. Takut Agus dan kedua dukun itu dengar. "Ah, iya.

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Bersekutu dengan Iblis

    "Masa sih, Mbak? Bukannya sudah dikubur?" tanya Husain heran. "Iya, katanya. Kan Mbak waktu itu masih dirawat di rumah sakit. Jadi, nggak tahu. Katanya aja gitu," balas Sumi sambil membuang napas panjang. Merasa kecewa dan bodoh karena percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bai dan Ken hanya bisa saling pandang. "Kita langsung buntuti saja ke mana mobil Pak Agus itu jalan," tukas Bai yang membuat Sumi kembali fokus pada tujuan awalnya hingga sampai di tempat ini. Melupakan rasa kecewanya pada sang Suami yang dinilai telah membohonginya. "Iya, Ustadz." Husain langsung menyalakan mesin mobilnya lagi. Kemudian membuntuti mobil Agus yang sudah kembali melaju dengan kecepatan sedang. Hampir dua jam perjalanan, mobil yang dikendarai Agus berhenti di pinggir jalan yang lumayan sepi. Lalu, Agus dan kedua dukun itu keluar dari mobil. Berjalan perlahan memasuki area sebuah pemakaman umum. "Daerah mana sih ini?" tanya Ken memperhatikan sekitar. "Kayaknya tadi masuk perbatas

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Mengikuti Jejak Agus

    Hari yang dinanti pun tiba. Selasa sore hari, gerimis mulai turun membasahi sepanjang jalan yang dilalui Sumi. Matanya menatap keluar jendela mobil yang dia naiki. Hingga berhenti di depan sebuah pesantren cukup besar di daerah Kediri, Pondok Pesantren Al-Anwar. "Assalamu'alaikum, Mbak Ken. Saya sudah di depan pesantren," ujar Sumi melalui sambungan telepon. ["Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Saya sama suami keluar sekarang."] Sumi menjemput Bai dan Ken untuk melakukan sebuah misi. Membuntuti suaminya yang akan pergi ke luar kota menjelang Maghrib. Sumi pun menyewa mobil. Husain ikut sebagai sopirnya. Laki-laki itu selalu setia menemani kakak perempuannya dalam memecahkan masalah yang sedang di hadapinya.Tak berselang lama, sepasang suami istri terlihat berjalan keluar dari gapura Pondok Pesantren Al-Anwar dengan mengenakan payung. "Mereka serasi sekali, ya, Mbak. Ah, jadi pengin nikah," celetuk Husain dengan senyuman saat melihat Bai menggandeng tangan Ken. Sedangkan sebelah tanganny

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berhalusinasi

    Beberapa hari setelah kejadian itu, Sumi selalu waspada. Dia pun menjadi semakin takut jika berada di rumah sendirian. Jadilah ... dia sering ke rumah Husain. Dan pulang sebelum suaminya itu pulang ke rumah agar tidak menimbulkan curiga. "Mbak Ken, saya di rumah Husain. Bisakah datang ke sini bersama Ustadz Bai? Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Sumi melalui sambungan telepon. ["InsyaAllah, Bu Sumi. Nanti saya bilang sama suami saya untuk ke rumah Mas Husain. Kemungkinan setelah Isya?"] "Kalau bisa habis Ashar ini, Mbak. Soalnya, setelah Isya, saya kembali pulang ke rumah."["Oh. Ya, nanti saya tanya suami dulu. Ada jadwal ngajar lagi atau tidak setelah Ashar ini."]"Iya, Mbak Ken. Terima kasih."["Sama-sama, Bu Sumi."] Sambungan telepon pun terputus setelah keduanya saling membalas salam. Sumi menatap langit yang berwarna keabu-abuan. Kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan. Lalu, dia menoleh ke arah pohon mangga yang ada di depan rumah Husain. Seperti ada dorongan yang e

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Sumi Diteror

    "Silakan masuk," ucap Sumi mempersilakan tamunya masuk. Orang berpakaian serba hitam itu pun mengangguk dan menampilkan senyum yang tidak bisa Sumi artikan. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. "Aneh," gumam Sumi dalam hati. Agus masuk terlebih dulu, diikuti laki-laki setengah baya dengan pakaian serba hitam serta udeng khas Jawa Timur yang melingkar di kepalanya. "Duduk dulu, Mbah Moyo." Agus mempersilakan laki-laki yang dipanggil Mbah Moyo itu duduk di ruang tamu. Lalu, dia menarik istrinya masuk ke ruang tengah dengan alasan membuatkan minuman. "Dengar, lakukan apapun yang diperintahkan Mbah Moyo nanti. Jangan dibantah sedikitpun!" ucap Agus dengan penuh penekanan. "Mas, ini tuh salah. Percaya pada dukun itu syirik. Salat kita tidak akan Allah terima selama empat puluh malam. Aku nggak mau!" tolak Sumi dengan tegas. Dia berbalik arah dan hendak masuk ke dalam kamar.Namun, dengan gerak cepat, Agus mencengkeram lengan Sumi dengan kuat. Sumi menoleh ke ara

DMCA.com Protection Status