Share

Perjalanan Petualang Terkuat
Perjalanan Petualang Terkuat
Author: Ideabadar

1. Wira dan Hari Aneh!

Tangan wanita itu memegang kepala anak kecil yang baru berumur lima tahun, dia mengecup kening bocah lelaki itu.

”Wira, Ibu pergi tidak akan lama. Ibu harus menjemput Ayahmu, kamu ikut bibimu selama Ibu pergi ya.”

Senyuman wanita itu menguatkan putra satu-satunya, dia harus pergi. Wanita itu, Rania berdiri dan menyentuh rambut putera kecilnya. Dia berpamitan pada adiknya dan memegang koper untuk pergi. Senyumannya terlihat berat tapi tetap dipaksakan. Mobil sudah berada di depan gerbang, wanita itu meninggalkan si kecil dengan lambaian tangan berat.

BROOOOOOMMM!

”IBUUUUUUUU!”

Hah! Hah! Hah!

Seorang lelaki muda terbangun dari mimpinya, mimpi yang selalu datang saat tidurnya. Saat terakhir dia bertemu dengan ibunya setelah hampir dua puluh tahun. Wira, mengusap wajahnya dan mengambil air wudhu. Hari masih tepat di waktu shalat subuh.

Pagi harinya, Wira sepertinya biasanya berangkat kuliah. Hidupnya sebatang kara, kuliah di tempat kampus yang cukup terkenal di kota Jakarta. Wira mendapatkan beasiswa sejak sekolah menengah. Sejak ditinggal ibunya saat kecil, lima tahun kemudian bibinya membuang Wira ke panti asuhan. Sang Bibi mengambil harta peninggalan Ibunya dan menitipkan Wira ke panti asuhan. Tidak ada yang mau mengadopsinya, semua takut melihat tingkahnya yang tak bersahabat dengan mata tajam yang menakutkan.

Wira bekerja di panti asuhan, tak punya teman dan kebanyakan mereka melihat Wira sebagai anak penyendiri. Begitulah kisah Wira, dan dia pun tak betah lalu kabur dari panti asuhan setelah mendapatkan beasiswa sekolah menengahnya.

Wira naik motor yang dipesannya dengan aplikasi, dia naik mobil itu dan saat dekat dengan kampus dia turun. Dia menuju sebuah rumah kompleks tidak jauh dari kampusnya, itu adalah rumah Paman Gani, seorang security di kampus. Paman Gani adalah guru bela diri Wira selama tiga tahun terakhir ini. Entah kenapa, saat semester dua, Paman Gani mendekatinya dan meminta Wira berlatih bela diri. Wira pun mengiyakan, dan Paman Gani adalah salah satu kenalannya.

Rumah paman Gani terlihat sepi, dia benar-benar sudah pergi. Hari kemarin, Paman Gani pamit dengan Wira saat latihan terakhir dan dia akan pergi jauh.

Ada kertas yang menempel di pintu paling bawah.

’Wira! Masuklah!”

Kunci di atas pintu, seperti biasanya. Wira mengambil kunci itu, dan membuka pintu.

Kreetttt!

Pintu yang sudah tua terbuka. Wira masuk ke dalam, tak ada siapapun. Semua ruangan terlihat dibersihkan, dan secarik kertas ada di atas meja ruang tamu.

’Jika kamu menemukan surat ini, kamu harus memulai perjalananmu sendiri, Wira. Aku sudah membekalimu dengan latihan bela diri. Tugasku sudah selesai, jika kita bertakdir maka kita bisa bertemu lagi. Paman harus pergi, dan bersiaplah jika suatu hari nanti, kiamat terjadi!

Pamanmu, Gani!’

Apa maksudnya? Wira tak paham. Dia pun menyimpan kertas itu, tak ada satupun yang bisa dilihat. Wira pun pergi dari ruma itu dan menuju ke kampus sambil mencerna tulisan terakhir dari paman Gani.

Sudah hampir empat tahun Wira kuliah, sekarang hanya tinggal sedikit lagi dan menulis skripsi. Hari ini, masih ada mata kuliah meskipun hanya satu yang harus diikuti oleh Wira. Tadi malam hujan cukup lebat, Wira teringat kembali mimpinya semalam tentang Ibunya.

Hidup memang seperti ini, tak ada teman bagi Wira. Mungkin, selamanya, Wira hanya akan sebatang kara ..., oh Ibu ...

BRUSH!

Scrap!

Saat berjalan ke arah kampus, cipratan air mengenai baju di sebelah kanan Wira. Sebuah mobil terlihat sengaja melewati genangan air agar airnya mengenai Wira. Wira bahkan kaget dan melompat ke kanan agar air tidak banyak yang mengenai bajunya. Siapa yang melakukannya? Saat Wira menoleh, tahulah dia siapa yang melakukannya.

TET!

Mobil itu behenti lima meter setelah mengerjai Wira, kepala seorang lelaki menyembul dari jendela depan, Roni, pemimpin geng tersebut.

”Hei, mahasiswa miskin! Harusnya kamu jauh-jauh dari kampus ini. Mobilku jadi tidak sengaja menargetkan dirimu, ha.. ha.. ha.!” tawa Roni dan diikuti oleh tiga mahasiswa di dalam mobil. Di dalam mobil itu, tiga lainnya adalah satu gengnya; Darto, Malin, dan Reka.

”Makanya, jalan pakai mata, dasar miskin!” kata Raka, satu-satunya wanita di dalam mobil itu dan dia berada di samping Roni.

Jendela bagian belakang mobil pun terbuka, ”Hei Wira kamu pikir kamu pahlawan yang tak mempan ditabrak! Hati-hati kalau jalan!” lagi-lagi, Darto yang tertawa menghina pada Wira.

Begitulah empat orang itu, berlalu dengan deru mobil yang dijalankan meninggalkan Wira. Wira tak membalas apapun, dia hanya melihat kepongahan mereka dari jauh. Wira sudah menyembunyikan ekspresi wajahnya dengan baik. Tak ada teman, tak ada apapun. Wira menahan dirinya untuk berkelahi, sepanjang bersekolah. Hal itu karena prestasinya bisa dibatalkan jika dia berbuat hal anarkis.

Wira berjalan lagi ke kampus, tak perlu dipikirkan. Hal itu sudah sering ditemui dalam kehidupan Wira.

”Hei, Wira!”

Dari belakang, seorang lelaki merangkul Wira. Dia adalah Bisma, satu-satunya teman Wira di kampus yang dia miliki selama ini. Benar! Wira hanya memiliki satu teman yang tak membedakan dirinya, itulah Bisma. Bisma anak yang berkecukupan dan dia tidak sombong. Bism selalu memberi Wira semangat.

”Kamu dari tadi melihatku kan, Bisma.”

”Oh, iya. Mereka berempat memang begitu, biarin saja! Sudah jangan hiraukan mereka, mereka hanya pengecut yang beraninya bergerombol. Makanya, mereka membuat geng agar telihat hebat. Oke, tak perlu dirisaukan, jika mereka mengganggumu lagi, aku akan menendang mereka semua!”

Wira tersenyum, ada-ada saja lelucon Bisma. Padahal, Wira tahu bahwa Bisma adalah pemuda yang paling penakut. Namun, Wira jadi terhibur dan melupakan kelakukan geng Roni.

Keduanya pun tertawa dan menuju kelas, hari ini ada mata kuliah Penulisan Artikel Ilmiah, itu adalah mata kuliah akhir untuk pembuatan skripsi mahasiswa.

”Kamu sudah selesai membuat makalah dari DR. Salim kan?” tanya Bisma dan matanya melihat tajam ke arah Wira. Mereka mendapatkan tugas kelompok berdua.

”Sip! Sudah kukerjakan semalam!”

”Alhamdulillah, kamu memang pahlawanku, Wira!”

Wira hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Keduanya berjalan memasuki kampus, sambil bercerita tentang hobi yang hampir sama, hal-hal mistis. Teori konspirasi, makhluk dari dunia lain seperti alien, makhluk mitologi yang menyeramkan dan juga makhluk yang ada di tembok antartika; makhluk raksasa, makhluk purba, dan manusia supranatural. Hal itu karena, banyak video amatir yang bocor tentang hal-hal mistis tersebut.

Keduanya adalah penggemar game RPG dan fantasi, tapi hanya Bisma yang memainkannya sedangkan Wira hanya membaca tentang strategi game dari mesin pencari internet. Meskipun Wira tak memainkan game, tapi dia jago dalam strategi dengan membaca banyak hal di permainan game.

”Hei, Bisma. Kamu berhenti main game untuk sekarang, siapkan skripsi lebih dahulu agar bisa lulus bersamaku!”

”Okelah, tapi aku tak bisa berhenti main game, Wira.”

”Dasar Bisma!”

”Tenanglah pak Ustadz, kan ada dirimu. He.. he.. he.., nanti aku akan diajari olehmu saat deadline.”

Wira menggelengkan kepalanya, keduanya pun tertawa kembali.

Mereka sampai di kelas, saat masuk kelas, Roni kembali berulah.

”Ha.. ha.. ha.. pasangan sejoli sedang bahagia! Dua pecundang bodoh dan pengecut!”

Tawa beberapa orang terdengar, Bisma menggerakkan telunjuknya.

”Hei, sialan!”

Bisma kehabisan kesabarannya.

”Apa!” Roni dan rekan se-gengnya berdiri. Mata mereka saling melotot.

”Sudahlah, Bisma.”

Tap! Tap!

Langkah kaki menghentikan mereka semua, DR. Salim masuk kelas, semuanya pun bubar. Mereka kembali duduk, Wira dan Bisma ke tempat duduknya.

Salim duduk, melepas kacamatanya dan menaruhnya di meja. Dia berdiri dan menanyakan tugasnya kepada para mahasiswa. Namun, sesuatu terjadi, sebuah suara memekakkan telinga mereka semua.

TEEEEEEEEEEEEEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!

Suara terompet menggema, dan gempa bumi skala ringan menggoncang ruangan tersebut. Gempa terjadi. Beberapa meja bergeser dan semua menunduk dan berteriak.

GEMPA!

”Ada gempa!”

”TOLOOOONNNG!”

Wira melihat ke jendela sambil memegang dinding di jendela, dia melihat langit yang berkilauan seolah ada begitu banyak cahaya bermekaran di seluruh langit. Seperti ada, ledakan-ledakan cahaya di semua tempat.

Ada apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status