Ketika para veteran Pasukan Zirah Hitam ini berbicara tentang pengalaman mereka mengikuti Panglima Dirga dalam peperangan, mereka terdengar sangat bangga. Kemudian, salah satu dari mereka mengungkit tentang kematian Panglima Dirga. Mereka semua lantas mengutuk sang Raja, lalu minum dan menangis tanpa henti.Wira, Danu, Doddy, dan sekelompok pemuda mengawasi mereka dari luar pintu, lalu berlalu dari sana. Setelah kembali ke halaman belakang, Wira melambaikan tangannya sambil berkata, "Istirahatlah lebih awal, akan ada pertempuran besar besok!"Sekelompok orang itu pergi, tetapi Danu dan Doddy tetap tinggal. Doddy berkata, "Kak Wira, bisakah kamu membujuk ayahku untuk mengizinkanku ikut berperang?"Danu ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia menelan kata-katanya kembali. Dia juga ingin pergi ke medan perang, tetapi setelah ayahnya datang, mereka tidak diizinkan untuk pergi."Aku bisa membujuk Paman Hasan untuk hal lainnya, dia pasti akan mendengarkanku. Tapi, untuk hal yang satu ini, nggak
"Jangan takut, kita akan menang!" jawab Wira. Dia berbalik untuk menghapus air mata di wajah cantik Dian, lalu menghiburnya dengan lembut."Ya!" kata Dina. Saat jemari Wira menelusuri wajah cantiknya, tubuh gemulai Dian bergetar. Dian mengumpulkan keberanian, lalu berkata, "Tuan, aku ....""Aku tahu kalau kamu takut," ujar Wira. Dia menghela napas, lalu melanjutkan, "Sebenarnya, aku juga takut."Dian terkejut, lalu berkata, "Tuan, kamu juga takut?"Wira mengangkat jarinya ke depan mulut sambil berkata, "Ssst, jangan bicara terlalu keras. Kalau orang lain mendengar kalau aku, sang penasihat militer, juga merasa takut, aku harus taruh ke mana wajahku?"Pfftt!Dian tersenyum dan berkata, "Aku kira Tuan nggak takut pada apa pun.""Aku takut pada banyak hal, kalian saja yang nggak tahu," kata Wira. Kemudian, dia mengubah topik pembicaraan dengan berkata, "Ada yang mau kamu katakan padaku, ya?""Eh ... nggak, nggak ada!" dusta Dian. Dia buru-buru menundukkan kepala. Keberaniannya tadi sudah
"Kita nggak akan kalah dalam pertempuran ini," ujar seseorang.Banyak anggota keluarga pejabat yang belum meninggalkan kota memasang ekspresi cemas. Tidak seperti warga sipil dan prajurit biasa yang mudah percaya pada perkataan orang lain, mereka berwawasan luas dan memiliki pendapat sendiri.....Di balai prefektur Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, Sinardi yang mengenakan seragam resmi rapi sedang duduk di aula dengan hati gelisah. Tidak lama kemudian, seorang ajudannya mendekat dengan tergesa-gesa.Sinardi berkata, "Apa semuanya sudah diatur?""Lapor, Pak. Nyonya, Tuan Muda, dan aset keluarga yang Anda kumpulkan selama bertahun-tahun sudah dikirim ke luar kota setengah bulan yang lalu. Sekarang, semuanya sudah tiba dengan selamat di kampung halaman Anda!" jawab si ajudan.Ajudan itu berbisik, "Pak Sinardi, Anda benar-benar tidak ingin pergi?""Pergi? Aku mana bisa pergi?" ujar Sinardi. Sinardi tersenyum pahit, lalu berkata, "Aku adalah prefektur kerajaan ini. Kalau Kota Pusat Pemerint
Di ruang baca kerajaan di ibu kota. Raja Bakir, 2 penasihat, dan 6 menteri terdiam sambil mengerutkan dahi. Peperangan ini akan memengaruhi nasib Kerajaan Nuala selanjutnya.Kalau kalah, bangsa Agrel akan menyerbu wilayah selatan, lalu tiba di Provinsi Jawali dalam waktu kurang dari 1 bulan. Setelah melewati kota provinsi dan menyerang ibu kota kerajaan, perjalanan mereka akan lancar tanpa ada hambatan apa pun.Raja Bakir sedikit menyesal. Seharusnya, dia tidak bertaruh waktu itu, melainkan segera memberi perintah untuk menjaga kota dan tidak boleh berperang.Sekarang sudah terlambat. Namun, Raja Bakir sudah melaksanakan upaya pengamanan dengan mengerahkan pasukan ke kota Provinsi Jawali untuk melakukan pertahanan.....Di tembok kota bagian utara, Wira tampak sangat gagah. Di sampingnya ada Fandi yang memiliki kemampuan memanah paling hebat di antara tentara senior Pasukan Zirah Hitam. Dia juga memakai baju zirah.Selain itu, ada Danu yang membawa Pedang Treksha di pinggangnya dan pem
"Aku pikir sebagai pemimpin pasukan, aku nggak terkalahkan dan nggak ada yang mampu bertarung denganku!" kata Raja Tanuwi dengan sombong.Nada bicara Raja Tanuwi tiba-tiba berubah, lalu dia berucap dengan perasaan kecewa, "Sampai aku bertemu dengan Dirga, aku baru tahu rasanya kalah untuk pertama kali. Dirga yang mengalahkanku sampai aku kabur dengan kondisi menyedihkan!"Giandra merasa ada yang tidak beres. Dia bertanya, "Ayah, kenapa kamu menceritakan semua ini? Sekarang perang sedang dalam masa genting."Raja Tanuwi mengangkat alis sembari mencibir, lalu menjawab, "Karena pendeta pernah bilang aku lahir dan mati di tengah salju, bahkan di medan perang."Giandra mengernyit. Pendeta sebelumnya sudah meninggal, tetapi kabarnya ramalan pendeta itu sangat akurat.Raja Tanuwi memandang langit seraya menjelaskan, "Tapi, Dirga hanya mengalahkanku dan nggak bisa membunuhku! Sekarang, Dirga sudah mati.""Saat ini sedang bersalju dan ini adalah medan perang. Siapa yang bisa membunuhku? Panglim
Wira tidak bisa melihat dengan jelas dalam jarak sekitar 720 meter. Fandi yang merasa tidak puas karena tidak bisa mengembangkan tekniknya mengomel, "Wira, orang bodoh pun bisa menembak dengan akurat kalau memakai teknik bidikan sejajar yang kamu buat.""Raja Tanuwi sudah terpaku di kereta tempur. Busurnya begitu besar, dia pasti sudah mati!" lanjut Fandi.Wira mengembuskan napas panjang, lalu bersandar di tembok kota seraya berteriak, "Prajurit pengirim pesan, Raja Tanuwi sudah mati. Sebarkan ke seluruh pasukan dan kota!"Prajurit pengirim pesan berseru dengan gembira, "Kabar bagus, Tuan Wahyudi sudah menembak mati Raja Tanuwi!"Semua prajurit di seluruh kota seketika bersorak! Raja Tanuwi, dewa perang bangsa Agrel, ditembak mati oleh Wira. Benar-benar sulit percaya! Namun, respons bangsa Agrel membuktikan kepada semua prajurit bahwa ini memang benar!"Terus tembakkan busur dan bidik jenderal bangsa Agrel. Habisi mereka!" perintah Wira. Dia berani menghadapi pertarungan ini karena mis
Setelah melancarkan serangan berturut-turut, prajurit bangsa Agrel akhirnya maju sampai 120 meter. Kemudian, Yudha mengangkat tangannya. Saat berikutnya, 4.000 ahli busur di baris kedua mengangkat busur dan menembak.Kekuatan busur panah ini memang tidak sekuat misil panah, tetapi bisa menembus baju zirah dalam jarak sekitar 100 meter. Empat ribu hujan panah langsung menembak mati prajurit bangsa Agrel yang berada pada jarak 100 meter."Paman Fandi!" seru Wira yang berada di atas tembok kota. Dia menunjuk Giandra sambil memerintah, "Habisi komandan itu!""Gampang!" sahut Fandi yang mengoperasikan misil tiga busur. Dia menyiapkan satu anak panah dan membidik Giandra.Namun, pengawal pribadi yang melihat ini bergegas, lalu menghalangi di depan Giandra dan mengadang tembakan panah."Maju!" seru Giandra yang memacu kudanya untuk bergegas ke depan."Kalian bersepuluh, bidik orang itu dan habisi dia di medan perang!" perintah Wira yang langsung mengerahkan sepertiga misil tiga busur. Dia tah
Setelah menyampaikan perintah, Giandra yang menggendong jasad Raja Tanuwi kembali ke markas dengan memacu kudanya. Dia bukan tidak ingin menyerang, tetapi busur di tembok kota sedang mengincarnya dan terus menembak."Siap!" sahut Raharja yang terpaksa bertarung. Bawahannya adalah infanteri yang bertugas memindahkan logistik militer di bagian belakang sehingga mereka belum masuk ke medan perang.Saat ini, 10.000 prajurit yang mendapatkan komando ketakutan, tetapi tidak sabar ingin bertarung. Sepuluh ribu prajurit melawan 2.000 prajurit. Dengan berbagai macam serangan, Raharja yakin Yudha pasti tidak sanggup menghadapinya.Asalkan membunuh Yudha, Raharja termasuk memberikan kontribusi besar sehingga bisa naik pangkat lagi. "Bunuh!" seru Raharja.Raharja mengambil bendera, lalu mengibarkannya. Sepuluh ribu prajurit di tempat dibagi menjadi 3 tim. Dua tim bertugas mengepung dan satu tim bertugas menyerang. Hal ini menunjukkan kemampuan Raharja dalam menyusun strategi perang."Berpencar!" p