Situasi seperti ini terjadi di berbagai tempat di Kota Pusat Pemerintahan Jagabu. Begitu prajurit pengirim pesan menyampaikan pesan bahwa veteran Pasukan Zirah Hitam dipanggil Panglima Yudha, selalu ada orang yang ikut pergi.Ada bandit yang melepaskan posisinya, ada pemilik toko yang meninggalkan tokonya, dan ada petugas patroli yang menyingkirkan pisaunya. Namun, ada lebih banyak lagi rakyat jelata yang membuang cangkulnya.Mereka melakukan ini bukan demi istana, tetapi demi memenuhi panggilan Panglima Yudha yang membutuhkan dukungan para veteran Pasukan Zirah Hitam. Para pria yang telah meninggalkan senjata mereka selama bertahun-tahun bergegas pergi ke Kota Pusat Pemerintahan Jagabu dari segala arah.Dalam perjalanan ini, tidak ada yang tahu berapa banyak dari mereka yang bisa kembali, tetapi tidak ada yang merasa gentar.....Di tenda besar bangsa Agrel, Raja Tanuwi tengah membaca surat-surat rahasia yang diletakkan di atas meja. Sebagian kecil dari surat rahasia ini berisi tentan
Papan kayu sejauh 1.000 meter meledak. Krak! Papan kayu sejauh 1.050 meter ditembus. Pluk! Pada papan kayu sejauh 1.100 meter, anak panah hanya membuat satu goresan sebelum jatuh ke tanah.Yudha, Fandi, dan Hasan pergi mengendarai kuda untuk melihat hasilnya. Kemudian, Wira menyimpulkan, "Melalui banyak uji coba, kurasa jangkauan efektif dari misil tiga busur paling jauh hanya 1.000 meter. Kalau lebih jauh dari itu, serangannya nggak cukup mematikan.""Ini saja sudah luar biasa!" ujar Yudha.Yudha, Fandi, dan Hasan mendecakkan lidah mereka. Jarak tembak sejauh ini benar-benar berbeda dengan busur besar yang hanya mencakup 300 meter."Ayo, kita pindahkan semua misil tiga busur ajaib ini ke tembok kota!" kata salah satu dari tiga orang itu.Wira lantas memperingatkan, "Personel yang ditugaskan untuk menjaganya harus dapat diandalkan, jangan sampai ada rahasia yang bocor. Kulihat cuacanya nggak bagus, hindari misil-misil ini dari cuaca ekstrem!"Belakangan ini, telah ditemukan mata-mata b
Ketika para veteran Pasukan Zirah Hitam ini berbicara tentang pengalaman mereka mengikuti Panglima Dirga dalam peperangan, mereka terdengar sangat bangga. Kemudian, salah satu dari mereka mengungkit tentang kematian Panglima Dirga. Mereka semua lantas mengutuk sang Raja, lalu minum dan menangis tanpa henti.Wira, Danu, Doddy, dan sekelompok pemuda mengawasi mereka dari luar pintu, lalu berlalu dari sana. Setelah kembali ke halaman belakang, Wira melambaikan tangannya sambil berkata, "Istirahatlah lebih awal, akan ada pertempuran besar besok!"Sekelompok orang itu pergi, tetapi Danu dan Doddy tetap tinggal. Doddy berkata, "Kak Wira, bisakah kamu membujuk ayahku untuk mengizinkanku ikut berperang?"Danu ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia menelan kata-katanya kembali. Dia juga ingin pergi ke medan perang, tetapi setelah ayahnya datang, mereka tidak diizinkan untuk pergi."Aku bisa membujuk Paman Hasan untuk hal lainnya, dia pasti akan mendengarkanku. Tapi, untuk hal yang satu ini, nggak
"Jangan takut, kita akan menang!" jawab Wira. Dia berbalik untuk menghapus air mata di wajah cantik Dian, lalu menghiburnya dengan lembut."Ya!" kata Dina. Saat jemari Wira menelusuri wajah cantiknya, tubuh gemulai Dian bergetar. Dian mengumpulkan keberanian, lalu berkata, "Tuan, aku ....""Aku tahu kalau kamu takut," ujar Wira. Dia menghela napas, lalu melanjutkan, "Sebenarnya, aku juga takut."Dian terkejut, lalu berkata, "Tuan, kamu juga takut?"Wira mengangkat jarinya ke depan mulut sambil berkata, "Ssst, jangan bicara terlalu keras. Kalau orang lain mendengar kalau aku, sang penasihat militer, juga merasa takut, aku harus taruh ke mana wajahku?"Pfftt!Dian tersenyum dan berkata, "Aku kira Tuan nggak takut pada apa pun.""Aku takut pada banyak hal, kalian saja yang nggak tahu," kata Wira. Kemudian, dia mengubah topik pembicaraan dengan berkata, "Ada yang mau kamu katakan padaku, ya?""Eh ... nggak, nggak ada!" dusta Dian. Dia buru-buru menundukkan kepala. Keberaniannya tadi sudah
"Kita nggak akan kalah dalam pertempuran ini," ujar seseorang.Banyak anggota keluarga pejabat yang belum meninggalkan kota memasang ekspresi cemas. Tidak seperti warga sipil dan prajurit biasa yang mudah percaya pada perkataan orang lain, mereka berwawasan luas dan memiliki pendapat sendiri.....Di balai prefektur Kota Pusat Pemerintahan Jagabu, Sinardi yang mengenakan seragam resmi rapi sedang duduk di aula dengan hati gelisah. Tidak lama kemudian, seorang ajudannya mendekat dengan tergesa-gesa.Sinardi berkata, "Apa semuanya sudah diatur?""Lapor, Pak. Nyonya, Tuan Muda, dan aset keluarga yang Anda kumpulkan selama bertahun-tahun sudah dikirim ke luar kota setengah bulan yang lalu. Sekarang, semuanya sudah tiba dengan selamat di kampung halaman Anda!" jawab si ajudan.Ajudan itu berbisik, "Pak Sinardi, Anda benar-benar tidak ingin pergi?""Pergi? Aku mana bisa pergi?" ujar Sinardi. Sinardi tersenyum pahit, lalu berkata, "Aku adalah prefektur kerajaan ini. Kalau Kota Pusat Pemerint
Di ruang baca kerajaan di ibu kota. Raja Bakir, 2 penasihat, dan 6 menteri terdiam sambil mengerutkan dahi. Peperangan ini akan memengaruhi nasib Kerajaan Nuala selanjutnya.Kalau kalah, bangsa Agrel akan menyerbu wilayah selatan, lalu tiba di Provinsi Jawali dalam waktu kurang dari 1 bulan. Setelah melewati kota provinsi dan menyerang ibu kota kerajaan, perjalanan mereka akan lancar tanpa ada hambatan apa pun.Raja Bakir sedikit menyesal. Seharusnya, dia tidak bertaruh waktu itu, melainkan segera memberi perintah untuk menjaga kota dan tidak boleh berperang.Sekarang sudah terlambat. Namun, Raja Bakir sudah melaksanakan upaya pengamanan dengan mengerahkan pasukan ke kota Provinsi Jawali untuk melakukan pertahanan.....Di tembok kota bagian utara, Wira tampak sangat gagah. Di sampingnya ada Fandi yang memiliki kemampuan memanah paling hebat di antara tentara senior Pasukan Zirah Hitam. Dia juga memakai baju zirah.Selain itu, ada Danu yang membawa Pedang Treksha di pinggangnya dan pem
"Aku pikir sebagai pemimpin pasukan, aku nggak terkalahkan dan nggak ada yang mampu bertarung denganku!" kata Raja Tanuwi dengan sombong.Nada bicara Raja Tanuwi tiba-tiba berubah, lalu dia berucap dengan perasaan kecewa, "Sampai aku bertemu dengan Dirga, aku baru tahu rasanya kalah untuk pertama kali. Dirga yang mengalahkanku sampai aku kabur dengan kondisi menyedihkan!"Giandra merasa ada yang tidak beres. Dia bertanya, "Ayah, kenapa kamu menceritakan semua ini? Sekarang perang sedang dalam masa genting."Raja Tanuwi mengangkat alis sembari mencibir, lalu menjawab, "Karena pendeta pernah bilang aku lahir dan mati di tengah salju, bahkan di medan perang."Giandra mengernyit. Pendeta sebelumnya sudah meninggal, tetapi kabarnya ramalan pendeta itu sangat akurat.Raja Tanuwi memandang langit seraya menjelaskan, "Tapi, Dirga hanya mengalahkanku dan nggak bisa membunuhku! Sekarang, Dirga sudah mati.""Saat ini sedang bersalju dan ini adalah medan perang. Siapa yang bisa membunuhku? Panglim
Wira tidak bisa melihat dengan jelas dalam jarak sekitar 720 meter. Fandi yang merasa tidak puas karena tidak bisa mengembangkan tekniknya mengomel, "Wira, orang bodoh pun bisa menembak dengan akurat kalau memakai teknik bidikan sejajar yang kamu buat.""Raja Tanuwi sudah terpaku di kereta tempur. Busurnya begitu besar, dia pasti sudah mati!" lanjut Fandi.Wira mengembuskan napas panjang, lalu bersandar di tembok kota seraya berteriak, "Prajurit pengirim pesan, Raja Tanuwi sudah mati. Sebarkan ke seluruh pasukan dan kota!"Prajurit pengirim pesan berseru dengan gembira, "Kabar bagus, Tuan Wahyudi sudah menembak mati Raja Tanuwi!"Semua prajurit di seluruh kota seketika bersorak! Raja Tanuwi, dewa perang bangsa Agrel, ditembak mati oleh Wira. Benar-benar sulit percaya! Namun, respons bangsa Agrel membuktikan kepada semua prajurit bahwa ini memang benar!"Terus tembakkan busur dan bidik jenderal bangsa Agrel. Habisi mereka!" perintah Wira. Dia berani menghadapi pertarungan ini karena mis