Setelah membuat pengaturan, mereka pun berpencar. Ada yang mengikuti Wira ke utara dan ada yang menuju ke kota.Baris baru naik takhta. Izhar dan Sucipto pasti akan mengambil alih urusan pemerintahan sehingga penjagaan akan menjadi makin ketat.Jika itu orang lain yang mengumpulkan informasi di ibu kota, Wira tentu akan merasa sangat cemas. Namun, dia bisa merasa tenang karena orang yang diutus adalah Biantara. Biantara tidak akan mengecewakannya ataupun membuat kesalahan."Kamu mau ikut kami ke suku atau menjaga Biantara? Kamu pilih sendiri," ujar Wira sambil menatap Leli.Leli adalah orang kepercayaan Osman. Sejak Jihan sakit parah, dia yang terus menemani Osman. Sekarang adalah masa kritis, apalagi Osman dikurung. Wira tidak ingin memaksa Leli melakukan apa pun, jadi membiarkannya membuat keputusan."Nggak ada gunanya aku ke kota." Leli menghela napas, lalu melirik ke arah Biantara pergi sambil meneruskan, "Izhar dan Sucipto tahu kamu punya jaringan mata-mata, juga tahu Biantara ada
"Memangnya kamu mau mengurung Wira di sini? Kalau membunuhnya, apa bawahannya bakal melepaskan kita begitu saja? Apalagi rakyat sangat menyukai Wira. Kalau terjadi sesuatu padanya di Kerajaan Nuala, mungkin ajal akan segera menjemput kita," sahut Izhar.Izhar tahu betul bahwa rakyat mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu negara. Kalau sampai rakyat murka, situasi akan berubah drastis."Tapi, Wira membawa Leli pergi. Wanita itu sangat berbahaya," keluh Sucipto yang menghela napas panjang.Izhar menyipitkan mata sambil membalas dengan dingin, "Bukan masalah besar. Kita memang nggak punya cara untuk melawan Wira di ibu kota karena harus memikirkan pendapat rakyat.""Tapi, sekarang Wira sudah pergi, bahkan menuju ke utara. Kamu juga tahu kalau orang-orang di sana sangat kasar. Kalau Wira mati di tengah jalan, bukan salah kita, 'kan?"Seketika, Sucipto memahami maksud Izhar. Dia mengacungkan jempol kepada Izhar, lalu berucap, "Ternyata licik memang sangat berguna. Cendekiawan seper
"Aku tentu tahu kita terus berputar di tempat yang sama. Kalau nggak, gimana caranya membuat orang-orang di belakang kebingungan?" sahut Wira yang tiba-tiba melirik ke arah belakang, seperti memeriksa sesuatu.Begitu mendengarnya, orang-orang segera mengelilingi Wira. Agha sontak berdiri dan memandang sekeliling dengan waspada. Wira sudah bertahun-tahun terjun di medan perang sehingga memiliki penilaian yang tajam."Kak, hutan gelap sekali. Kalaupun ada yang sembunyi, kita akan sulit untuk menemukannya, 'kan? Kamu yakin ada yang mengikuti kita?" tanya Agha sambil mengejapkan mata.Wira tidak menanggapi ucapannya, melainkan bertanya, "Kita seharusnya sudah tiba di pedalaman hutan, 'kan? Aku rasa kalian sudah boleh menyerang kami. Kalau kami meninggalkan hutan ini, kalian yang akan kehilangan kesempatan lho."Wira meletakkan kedua tangannya di belakang punggung, membuatnya terlihat sangat berwibawa. Begitu ucapan ini dilontarkan, terdengar suara gemeresik dari semak-semak. Kemudian, satu
"Kejar! Jangan biarkan mereka kabur! Kalau gagal membunuh mereka, kita yang akan mati!" seru pemimpin itu. Saat berikutnya, para bawahannya pun mengejar Wira dan lainnya.Pemimpin itu mengira Wira berhenti karena sudah membuat persiapan untuk bertarung dengan mereka sampai mati. Tanpa diduga, Wira malah membawa orang-orangnya kabur? Jika hal ini tersebar, bukankah Wira yang akan malu?"Kalau belum siap, untuk apa menyuruh kami berhenti tadi? Kamu juga memancing mereka semua keluar. Kamu ini sengaja cari masalah ya!" tegur Thalia dengan jengkel. Leli hanya terus mengikuti tanpa berbicara."Kita cuma punya 24 orang. Dua puluh orang itu bahkan bersembunyi di kegelapan. Aku kira jumlah lawan nggak bakal sebanyak itu. Dengan begitu, aku bisa menghabisi mereka dengan mudah.""Aku pun nggak nyangka Sucipto akan mengutus begitu banyak orang untuk membunuh kita. Kalau bersikeras melawan, kita semua mungkin akan mati," sahut Wira segera.Thalia pun mengernyit dengan kesal. Sucipto ini memang ber
Whoosh! Wira tiba-tiba bergidik ngeri dan merasakan firasat buruk. Dia segera memeluk Leli dan Thalia, lalu melemparkan diri ke tanah.Terlihat banyak anak panah memelesat di atas kepala mereka dengan cepat. Jika reaksi Wira terlalu lambat, dia mungkin sudah mati.Di sisi lain, kondisi Agha kurang baik. Dada dan lengannya terkena anak panah. Kondisinya sungguh mengenaskan."Agha! Kamu baik-baik saja?" teriak Wira dengan cemas.Agha menyeringai, lalu menggeleng dan menyahut, "Nggak apa-apa, cuma luka luar. Ini lebih baik daripada diserang binatang buas."Ketika berbicara, Agha mencabut kedua anak panah itu dari tubuhnya. Dia dan Najib sering berburu sehingga sering bertemu binatang buas. Agha bahkan pernah bertarung dengan beruang."Kalian baik-baik saja, 'kan?" tanya Wira kepada Leli dan Thalia yang berada di pelukannya."Kami baik-baik saja," sahut keduanya secara serempak."Wira!" Saat ini, terdengar suara familier di belakang. "Sebaiknya jangan menyia-nyiakan tenagamu. Orang-orangku
Agha segera bersembunyi di belakang pohon untuk melindungi diri. Meskipun tidak takut sakit, dia bisa saja mati kehabisan darah jika tertembak begitu banyak anak panah.Whoosh! Whoosh! Whoosh! Ketika situasi sangat menegangkan, tiba-tiba terdengar deru angin. Ahli bela diri yang bersembunyi di kegelapan akhirnya maju untuk melawan musuh."Tuan, serahkan semuanya kepada kami!" ujar seseorang kepada Wira. Wira pun merasa terharu. Dia menggertakkan giginya tanpa mengatakan apa pun, juga tidak memilih untuk kabur.Jika meninggalkan para ahli bela diri ini di sini, mereka mungkin akan mati. Wira tidak ingin hidup dengan mengorbankan nyawa saudaranya sendiri."Kalian pergi dulu, aku akan membantu mereka," ujar Wira kepada Thalia, Leli, dan Agha."Kak, apa yang kamu katakan? Kita ini saudara angkat. Sebelum kakekku meninggal, dia menyuruhku memperlakukanmu layaknya saudara sendiri. Mana mungkin aku meninggalkanmu? Aku yang akan membantu mereka, kamu bawa para wanita itu pergi.""Aku terus ber
Malam itu juga, Wira dan lainnya meninggalkan hutan dan menuju ke suku. Tempat ini pada dasarnya memang terpencil, jadi Wira mengeluarkan peta pemberian Bobby.Setelah memastikan lokasinya, Wira menunjuk ke arah utara sambil berkata, "Menurut petunjuk di peta, suku itu seharusnya di depan sana. Jaraknya sisa 50 kilometer. Kita bisa berkumpul dengan mereka sebentar lagi. Begitu masuk ke suku, kita sudah aman."Semuanya segera mengangguk. Meskipun 50 kilometer tidak termasuk dekat, mereka tetap harus berjuang untuk keselamatan sendiri. Mereka baru bisa aman setelah memasuki suku.Ketika Wira dan lainnya hendak maju, terdengar tawa dingin seseorang dari belakang. Mereka pun bergidik ngeri. Tanpa diduga, orang-orang itu berhasil mengejar mereka!"Wira! Sayang sekali, kalian nggak bisa ke mana-mana lagi!" Pemimpin itu berdiri di atas pohon. Dia melepaskan topengnya, lalu menghunuskan pedangnya. Tatapannya dipenuhi niat membunuh."Semua bawahanmu sudah mati! Kasihan sekali orang-orang yang m
Namun, jumlah pihak lawan benar-benar terlalu banyak. Meskipun Wira dan lainnya menguasai keterampilan yang hebat, mereka segera merasa lelah.Bagaimana mungkin 4 orang bisa melawan 100 orang? Apalagi semuanya adalah prajurit elite yang dipilih secara cermat. Satu prajurit sudah cukup untuk menjatuhkan beberapa orang! Sucipto tidak memberi ampun kali ini!"Kalau tahu akan begini, aku nggak bakal membawa kalian bertiga bersamaku," ujar Wira. Mereka berempat sudah berkumpul dan saling membelakangi untuk mengamati situasi di sekeliling.Pasukan musuh sudah mengepung mereka dan siap untuk menyerang kapan saja. Wira dan lainnya benar-benar buntu. Jika diserbu, mereka mungkin akan mati."Mereka nggak bisa macam-macam lagi! Ayo, semangat! Setelah membunuh mereka, kalian semua akan mendapat hadiah!" seru pemimpin itu dengan semangat.Ini adalah momen bersejarah. Wira memiliki posisi penting, bahkan dihormati oleh seluruh rakyat. Semuanya menganggap Wira sebagai dewa.Namun, sekarang Wira akan