Indri meringis kuda. "Maaf, Mas, aku ganggu kerjanya. Kukira sudah kelar dan kita bisa pulang segera, eh." Indri langsung menutup mulutnya karena merasa keceplosan. "Jadi ... kamu mau ngajak aku pulang bareng?" Fabian terkekeh."Aku minta maaf atas kejadian tempo lalu. Aku pulang lebih dulu karena Pak Dave tiba-tiba memberi ultimatum. Kukira ada yang penting. Ternyata hanya mengantarku pulang saja. Aku pikir ada kerjaanku yang belum kelar." Indri menjelaskan panjang lebar. Sungguh, dia merasa bersalah pada lelaki tampan di hadapannya. Fabian yang baru saja memotong rambutnya di salon membuat Indri pangling. Bak aktor Korea favoritnya. "Aku tidak masalah. Aku pun heran ternyata keluarga calon ipar kamu ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar Tuan Dave. Kamu jadi lebih dekat dengan dia," ujar Fabian. Ada yang lain dari ucapannya. Indri masih merasa tak enak."Mas, sekali lagi aku minta maaf. Sebagai permintaan maafku, aku akan mengundang kamu makan di rumah, gimana? Kebetulan
Lepas makan malam itu, Indri lebih sering melamun. Di kantor, ia tak begitu bersemangat. Ada yang mengganjal rasanya di hati. Wanita muda itu menatap layar segi empat di hadapannya seolah tampilan putaran kisah hidupnya yang pelik.Ia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Fabian. Sejak awal lelaki itu sudah menarik perhatiannya. Namun, kenyataan pahit jika dia saudara kandung mantan suaminya yang kejam dulu. Niat hati ingin lepas dari kehidupan yang berhubungan dengan Rasya, malah terjebak dengan perasaan yang tak biasa. Terlanjur hati terikat dengan harapan yang telah membumbung tinggi. "Dit, kenapa melamun?" Sapaan lembut mengarah kepadanya. Saat ia tengah duduk di kursi kerja, tak sadar jika Fabian telah masuk. Bola matanya terisi dengan bayangan ketus Alma. "Eh, Mas. Ak ... aku lagi ngerjain ini," bohong Indri. Ia berpura-pura mengetik sesuatu padahal kosong."Jangan bohong, aku tahu apa yang sejak tadi kamu lakukan." Fabian menahan tawanya. Menutup mulutnya dengan tangan kanan
"Kamu yang sabar. Harus terus berjuang jika ingin mendapatkan cinta yang sudah layu. Indri sudah tidak percaya lagi dengan keluarga kamu, masalahnya. Jadi, bersabarlah sedikit." Ali memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia pergi setelah mendapat anggukan dari Fabian.."Masuk!" Indri membuka pintu ruangan lelaki sedingin puncak Alpen itu. Wajah datar masih mengunci langkah wanita itu."Ini, Pak." Indri menyerahkan berkas berbalut map biru di meja Dave."Hem." Dave membukanya. Memeriksa setiap larik tulisan dan garis-garis yang dibuat Indri juga corak warna yang dia ajukan untuk produk baru. Dave memang masih membuka berkas di tangannya, tetapi matanya terfokus pada Indri yang menunduk dengan wajah sendu."Kamu kenapa? Kalau tidak enak badan lagi, mending pulang!"Mendengar ucapan ketus itu, Indri kaget. Ia segera membenahi mimik wajahnya. "Saya baik-baik saja, Pak. Kalau sudah tidak ada yang diperintah lagi, saya izin undur diri untuk mengerjakan yang lain." Dave mendesah. Ia berdiri l
"Pak, katanya ke kafe? Kenapa belok?" Indri menoleh jalanan yang tak biasanya ia lewati. "Sudah, jangan banyak tanya. Nanti kalau sampai juga kamu tahu sendiri." Dave memutar kemudi. Ia memarkirkan mobilnya dan mesin mati kemudian. "Dah, turun!" Dave lebih dulu membuka pintu.Indri berjalan di belakang lelaki itu. Memasuki sebuah restoran lain yang lebih jauh dari kantor tadi. Di sana mereka langsung disambut istimewa. Sampai di lantai dua, mereka bertemu lelaki sepuh yang usianya di atas enam puluh tahun. Dave memeluknya seraya menepuk punggung yang tak lagi kuat lama-lama berdiri itu.Begitu juga dengan Indri memberikan hormat pada direktur utama. Mereka bertiga mulai duduk. Dave terlihat menoleh kanan kiri. Tak kunjung menemukan wanita yang ia cari. "Mama, mana, Pa?" "Mamamu ke salon. Biasa, spa." George tertawa.Pelayan datang bersama menu istimewa yang didorong di atas meja beroda. Sebuah menu santapan laut yang terkenal super mahal mulai terhidang. Dalam hati Indri, ia tak doy
Hari ini, Indri tidak ingin pulang bersama Fabian atau Dave. Ia sengaja pulang lebih dulu dan mencari taksi sendiri. Ia ingin mencari kado untuk kakaknya nanti yang tinggal menghitung hari pernikahan dengan Shalsabila. Indri pergi ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Kebetulan ia juga belum selesai haid, jadi tidak mampir ke masjid atau mushalla. Menilik barang-barang yang terpajang di toko-toko, dirinya melihat sebuah tas cantik tetapi harganya selangit. Indri mengurungkan niatnya. Saat menyentuh tas dengan harga agak ringan, secara bersamaan tangannya menyentuh barang tersebut dengan seorang wanita cantik."Eh, buat kamu aja, deh. Aku bisa pilih yang lebih bagus di sana." Senyum wanita itu mengembang. "Tidak apa-apa, saya yang akan cari tas lain. Saya akan mencari toko lain saja," balas Indri. Ia ingat betul siapa wanita yang pernah membuatnya hancur itu."Tidak perlu! Kamu mana mampu beli barang mahal begini, secara setelah diceraikan oleh Rasya, kamu hanya menjadi karyawan rend
"Bangun!" Suara kasar serta tarikan lelaki bengis itu membuat Indri terbangun. Ia melihat sekelilingnya terang. Akan tetapi, diantara dua lelaki yang menyeretnya itu masih mengenakan penutup kepala. Mereka kembali membawa Indri ke jalanan beraspal. Indri sudah lemah. Ia tak mampu lagi menegakkan punggungnya. Perut yang dalam keadaan kosong, serta keringnya tenggorokan membuat wanita jelang usia 26 tahun itu tergolek lemas.Pandangannya kabur, masih bernapas saja sudah syukur. Karena tak kuat berdiri lagi, akhirnya seorang lelaki membopongnya.Tubuh bekas lebam akibat tamparan dan hantaman benda tumpul membekas di mana-mana. Ia tak tahu di mana kesalahannya, hanya terdengar samar-samar suara wanita dan beberapa orang lelaki yang sama sekali tak ia kenal. "Habisi dia!"Indri melebarkan matanya mendengar kalimat terakhir seorang wanita dari balik panggilan. Ia mendengar percakapan salah seorang dari mereka di dalam mobil. Mobil masih melaju, kebetulan mereka berhenti sejenak untuk bert
Indri didorong hingga terjungkal menabrak muncung mobil, tangisnya sudah tak berharga lagi. Namun, semua orang di sana tiba-tiba panik karena sebuah mobil datang dan seorang lelaki keluar dari mobil menatap mereka penuh kemarahan."Lepaskan dia!" Indri mendelik melihat Dave datang. Ia seperti merasakan angin sejuk menembus dada. Sayang, semua itu lenyap karena rasa khawatir pasal Dave seorang diri. Bagaimana dia akan melawan begitu banyak penjahat dengan tangan hampa."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" balas bos besar mereka.Dave langsung mendapat serangan dari mereka. Lelaki itu meladeni satu persatu hingga beberapa kali mendapat tonjokan. Indri berteriak tetapi mulutnya masih dilakban. Ia tak tega melihat lagi, badannya luruh berjongkok.Tak lama kemudian bunyi sirine mobil polisi memenuhi jalanan mereka kabur dengan tergopoh-gopoh. Polisi terus mengejar mobil mereka yang baru saja pergi. "Kamu tidak apa-apa?" Dave dengan lebam di sudut bibir mendekati Indri yang masih
"Maafkan Papa, Dave. Sudah berburuk sangka denganmu. Kau perlu jaga dia, Dave." George menatap wanita muda yang belum juga membuka mata.Dave menghela napas panjang. Ia meninggalkan mereka semua di sana. Lelaki berpiyama tidur itu menuruni anak tangga. Berakhir pada ruang makan, lelaki itu meneguk air putih dalam gelas. Dari atas, Papa dan Mamanya turun. Karena tak tega melihat George berjalan dengan sangat pelan, akhirnya Dave berdiri dan membantu memegangi tangan keriput itu."Dave, Papa sudah tua. Kau, menikahlah. Mumpung ada wanita sebaik Dita." Dave melepas tangan Papanya setelah duduk di sofa. Ia duduk di sofa lain lalu menyalakan televisi. Tangannya mengusap wajah, tatapannya mengarah pada layar lebar tetapi hatinya tertinggal pada kalimat terakhir George."Sayang, dengarkan kata Papa! Kita semua menginginkan kamu membina rumah tangga yang bahagia. Dengan hadirkan anak-anak yang lucu-lucu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat yaitu jangan pernah mendekati wanita itu lagi. Wanit
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k