Indri terus menolak. Ia sudah lelah dengan drama yang tengah dimainkan oleh Rasya. Terlebih mereka saat ini berada di kantor. Tidak ada yang tahu mereka adalah mantan suami istri kecuali Ali. Indri geram. Ia menghentikan jemarinya yang tadinya merangkai design. "Cukup, Mas! Kita bukan siapa-siapa lagi. Lagian sekarang kita di kantor, tolong jaga sikap." Indri mengembus napas kasar. "Aku minta tolong, sekarang kamu keluar dari ruangan ini. Aku tidak mau ada fitnah nanti.""Ndri, please. Aku hanya ingin meminta maaf atas kesalahanku dulu. Kalau kau memaafkan, maka aku akan pergi." Pria dengan kemeja hijau muda itu menyunggingkan senyum. Ia meletakkan makanan di meja kerja Indri."Mungkin untuk memaafkan itu mudah saja, Mas. Tapi, aku tidak bisa menjamin akan bisa melupakan. Aku juga minta tolong, bersikaplah seolah kita tidak ada apa-apa dan tidak pernah kenal. Karena semua hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang kau gores dengan belati lisanmu." Indri mendorong kursinya lalu beranjak
Indri meringis kuda. "Maaf, Mas, aku ganggu kerjanya. Kukira sudah kelar dan kita bisa pulang segera, eh." Indri langsung menutup mulutnya karena merasa keceplosan. "Jadi ... kamu mau ngajak aku pulang bareng?" Fabian terkekeh."Aku minta maaf atas kejadian tempo lalu. Aku pulang lebih dulu karena Pak Dave tiba-tiba memberi ultimatum. Kukira ada yang penting. Ternyata hanya mengantarku pulang saja. Aku pikir ada kerjaanku yang belum kelar." Indri menjelaskan panjang lebar. Sungguh, dia merasa bersalah pada lelaki tampan di hadapannya. Fabian yang baru saja memotong rambutnya di salon membuat Indri pangling. Bak aktor Korea favoritnya. "Aku tidak masalah. Aku pun heran ternyata keluarga calon ipar kamu ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar Tuan Dave. Kamu jadi lebih dekat dengan dia," ujar Fabian. Ada yang lain dari ucapannya. Indri masih merasa tak enak."Mas, sekali lagi aku minta maaf. Sebagai permintaan maafku, aku akan mengundang kamu makan di rumah, gimana? Kebetulan
Lepas makan malam itu, Indri lebih sering melamun. Di kantor, ia tak begitu bersemangat. Ada yang mengganjal rasanya di hati. Wanita muda itu menatap layar segi empat di hadapannya seolah tampilan putaran kisah hidupnya yang pelik.Ia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Fabian. Sejak awal lelaki itu sudah menarik perhatiannya. Namun, kenyataan pahit jika dia saudara kandung mantan suaminya yang kejam dulu. Niat hati ingin lepas dari kehidupan yang berhubungan dengan Rasya, malah terjebak dengan perasaan yang tak biasa. Terlanjur hati terikat dengan harapan yang telah membumbung tinggi. "Dit, kenapa melamun?" Sapaan lembut mengarah kepadanya. Saat ia tengah duduk di kursi kerja, tak sadar jika Fabian telah masuk. Bola matanya terisi dengan bayangan ketus Alma. "Eh, Mas. Ak ... aku lagi ngerjain ini," bohong Indri. Ia berpura-pura mengetik sesuatu padahal kosong."Jangan bohong, aku tahu apa yang sejak tadi kamu lakukan." Fabian menahan tawanya. Menutup mulutnya dengan tangan kanan
"Kamu yang sabar. Harus terus berjuang jika ingin mendapatkan cinta yang sudah layu. Indri sudah tidak percaya lagi dengan keluarga kamu, masalahnya. Jadi, bersabarlah sedikit." Ali memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia pergi setelah mendapat anggukan dari Fabian.."Masuk!" Indri membuka pintu ruangan lelaki sedingin puncak Alpen itu. Wajah datar masih mengunci langkah wanita itu."Ini, Pak." Indri menyerahkan berkas berbalut map biru di meja Dave."Hem." Dave membukanya. Memeriksa setiap larik tulisan dan garis-garis yang dibuat Indri juga corak warna yang dia ajukan untuk produk baru. Dave memang masih membuka berkas di tangannya, tetapi matanya terfokus pada Indri yang menunduk dengan wajah sendu."Kamu kenapa? Kalau tidak enak badan lagi, mending pulang!"Mendengar ucapan ketus itu, Indri kaget. Ia segera membenahi mimik wajahnya. "Saya baik-baik saja, Pak. Kalau sudah tidak ada yang diperintah lagi, saya izin undur diri untuk mengerjakan yang lain." Dave mendesah. Ia berdiri l
"Pak, katanya ke kafe? Kenapa belok?" Indri menoleh jalanan yang tak biasanya ia lewati. "Sudah, jangan banyak tanya. Nanti kalau sampai juga kamu tahu sendiri." Dave memutar kemudi. Ia memarkirkan mobilnya dan mesin mati kemudian. "Dah, turun!" Dave lebih dulu membuka pintu.Indri berjalan di belakang lelaki itu. Memasuki sebuah restoran lain yang lebih jauh dari kantor tadi. Di sana mereka langsung disambut istimewa. Sampai di lantai dua, mereka bertemu lelaki sepuh yang usianya di atas enam puluh tahun. Dave memeluknya seraya menepuk punggung yang tak lagi kuat lama-lama berdiri itu.Begitu juga dengan Indri memberikan hormat pada direktur utama. Mereka bertiga mulai duduk. Dave terlihat menoleh kanan kiri. Tak kunjung menemukan wanita yang ia cari. "Mama, mana, Pa?" "Mamamu ke salon. Biasa, spa." George tertawa.Pelayan datang bersama menu istimewa yang didorong di atas meja beroda. Sebuah menu santapan laut yang terkenal super mahal mulai terhidang. Dalam hati Indri, ia tak doy
Hari ini, Indri tidak ingin pulang bersama Fabian atau Dave. Ia sengaja pulang lebih dulu dan mencari taksi sendiri. Ia ingin mencari kado untuk kakaknya nanti yang tinggal menghitung hari pernikahan dengan Shalsabila. Indri pergi ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Kebetulan ia juga belum selesai haid, jadi tidak mampir ke masjid atau mushalla. Menilik barang-barang yang terpajang di toko-toko, dirinya melihat sebuah tas cantik tetapi harganya selangit. Indri mengurungkan niatnya. Saat menyentuh tas dengan harga agak ringan, secara bersamaan tangannya menyentuh barang tersebut dengan seorang wanita cantik."Eh, buat kamu aja, deh. Aku bisa pilih yang lebih bagus di sana." Senyum wanita itu mengembang. "Tidak apa-apa, saya yang akan cari tas lain. Saya akan mencari toko lain saja," balas Indri. Ia ingat betul siapa wanita yang pernah membuatnya hancur itu."Tidak perlu! Kamu mana mampu beli barang mahal begini, secara setelah diceraikan oleh Rasya, kamu hanya menjadi karyawan rend
"Bangun!" Suara kasar serta tarikan lelaki bengis itu membuat Indri terbangun. Ia melihat sekelilingnya terang. Akan tetapi, diantara dua lelaki yang menyeretnya itu masih mengenakan penutup kepala. Mereka kembali membawa Indri ke jalanan beraspal. Indri sudah lemah. Ia tak mampu lagi menegakkan punggungnya. Perut yang dalam keadaan kosong, serta keringnya tenggorokan membuat wanita jelang usia 26 tahun itu tergolek lemas.Pandangannya kabur, masih bernapas saja sudah syukur. Karena tak kuat berdiri lagi, akhirnya seorang lelaki membopongnya.Tubuh bekas lebam akibat tamparan dan hantaman benda tumpul membekas di mana-mana. Ia tak tahu di mana kesalahannya, hanya terdengar samar-samar suara wanita dan beberapa orang lelaki yang sama sekali tak ia kenal. "Habisi dia!"Indri melebarkan matanya mendengar kalimat terakhir seorang wanita dari balik panggilan. Ia mendengar percakapan salah seorang dari mereka di dalam mobil. Mobil masih melaju, kebetulan mereka berhenti sejenak untuk bert
Indri didorong hingga terjungkal menabrak muncung mobil, tangisnya sudah tak berharga lagi. Namun, semua orang di sana tiba-tiba panik karena sebuah mobil datang dan seorang lelaki keluar dari mobil menatap mereka penuh kemarahan."Lepaskan dia!" Indri mendelik melihat Dave datang. Ia seperti merasakan angin sejuk menembus dada. Sayang, semua itu lenyap karena rasa khawatir pasal Dave seorang diri. Bagaimana dia akan melawan begitu banyak penjahat dengan tangan hampa."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" balas bos besar mereka.Dave langsung mendapat serangan dari mereka. Lelaki itu meladeni satu persatu hingga beberapa kali mendapat tonjokan. Indri berteriak tetapi mulutnya masih dilakban. Ia tak tega melihat lagi, badannya luruh berjongkok.Tak lama kemudian bunyi sirine mobil polisi memenuhi jalanan mereka kabur dengan tergopoh-gopoh. Polisi terus mengejar mobil mereka yang baru saja pergi. "Kamu tidak apa-apa?" Dave dengan lebam di sudut bibir mendekati Indri yang masih