"Kamu yang sabar. Harus terus berjuang jika ingin mendapatkan cinta yang sudah layu. Indri sudah tidak percaya lagi dengan keluarga kamu, masalahnya. Jadi, bersabarlah sedikit." Ali memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia pergi setelah mendapat anggukan dari Fabian.."Masuk!" Indri membuka pintu ruangan lelaki sedingin puncak Alpen itu. Wajah datar masih mengunci langkah wanita itu."Ini, Pak." Indri menyerahkan berkas berbalut map biru di meja Dave."Hem." Dave membukanya. Memeriksa setiap larik tulisan dan garis-garis yang dibuat Indri juga corak warna yang dia ajukan untuk produk baru. Dave memang masih membuka berkas di tangannya, tetapi matanya terfokus pada Indri yang menunduk dengan wajah sendu."Kamu kenapa? Kalau tidak enak badan lagi, mending pulang!"Mendengar ucapan ketus itu, Indri kaget. Ia segera membenahi mimik wajahnya. "Saya baik-baik saja, Pak. Kalau sudah tidak ada yang diperintah lagi, saya izin undur diri untuk mengerjakan yang lain." Dave mendesah. Ia berdiri l
"Pak, katanya ke kafe? Kenapa belok?" Indri menoleh jalanan yang tak biasanya ia lewati. "Sudah, jangan banyak tanya. Nanti kalau sampai juga kamu tahu sendiri." Dave memutar kemudi. Ia memarkirkan mobilnya dan mesin mati kemudian. "Dah, turun!" Dave lebih dulu membuka pintu.Indri berjalan di belakang lelaki itu. Memasuki sebuah restoran lain yang lebih jauh dari kantor tadi. Di sana mereka langsung disambut istimewa. Sampai di lantai dua, mereka bertemu lelaki sepuh yang usianya di atas enam puluh tahun. Dave memeluknya seraya menepuk punggung yang tak lagi kuat lama-lama berdiri itu.Begitu juga dengan Indri memberikan hormat pada direktur utama. Mereka bertiga mulai duduk. Dave terlihat menoleh kanan kiri. Tak kunjung menemukan wanita yang ia cari. "Mama, mana, Pa?" "Mamamu ke salon. Biasa, spa." George tertawa.Pelayan datang bersama menu istimewa yang didorong di atas meja beroda. Sebuah menu santapan laut yang terkenal super mahal mulai terhidang. Dalam hati Indri, ia tak doy
Hari ini, Indri tidak ingin pulang bersama Fabian atau Dave. Ia sengaja pulang lebih dulu dan mencari taksi sendiri. Ia ingin mencari kado untuk kakaknya nanti yang tinggal menghitung hari pernikahan dengan Shalsabila. Indri pergi ke pusat perbelanjaan di tengah kota. Kebetulan ia juga belum selesai haid, jadi tidak mampir ke masjid atau mushalla. Menilik barang-barang yang terpajang di toko-toko, dirinya melihat sebuah tas cantik tetapi harganya selangit. Indri mengurungkan niatnya. Saat menyentuh tas dengan harga agak ringan, secara bersamaan tangannya menyentuh barang tersebut dengan seorang wanita cantik."Eh, buat kamu aja, deh. Aku bisa pilih yang lebih bagus di sana." Senyum wanita itu mengembang. "Tidak apa-apa, saya yang akan cari tas lain. Saya akan mencari toko lain saja," balas Indri. Ia ingat betul siapa wanita yang pernah membuatnya hancur itu."Tidak perlu! Kamu mana mampu beli barang mahal begini, secara setelah diceraikan oleh Rasya, kamu hanya menjadi karyawan rend
"Bangun!" Suara kasar serta tarikan lelaki bengis itu membuat Indri terbangun. Ia melihat sekelilingnya terang. Akan tetapi, diantara dua lelaki yang menyeretnya itu masih mengenakan penutup kepala. Mereka kembali membawa Indri ke jalanan beraspal. Indri sudah lemah. Ia tak mampu lagi menegakkan punggungnya. Perut yang dalam keadaan kosong, serta keringnya tenggorokan membuat wanita jelang usia 26 tahun itu tergolek lemas.Pandangannya kabur, masih bernapas saja sudah syukur. Karena tak kuat berdiri lagi, akhirnya seorang lelaki membopongnya.Tubuh bekas lebam akibat tamparan dan hantaman benda tumpul membekas di mana-mana. Ia tak tahu di mana kesalahannya, hanya terdengar samar-samar suara wanita dan beberapa orang lelaki yang sama sekali tak ia kenal. "Habisi dia!"Indri melebarkan matanya mendengar kalimat terakhir seorang wanita dari balik panggilan. Ia mendengar percakapan salah seorang dari mereka di dalam mobil. Mobil masih melaju, kebetulan mereka berhenti sejenak untuk bert
Indri didorong hingga terjungkal menabrak muncung mobil, tangisnya sudah tak berharga lagi. Namun, semua orang di sana tiba-tiba panik karena sebuah mobil datang dan seorang lelaki keluar dari mobil menatap mereka penuh kemarahan."Lepaskan dia!" Indri mendelik melihat Dave datang. Ia seperti merasakan angin sejuk menembus dada. Sayang, semua itu lenyap karena rasa khawatir pasal Dave seorang diri. Bagaimana dia akan melawan begitu banyak penjahat dengan tangan hampa."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" balas bos besar mereka.Dave langsung mendapat serangan dari mereka. Lelaki itu meladeni satu persatu hingga beberapa kali mendapat tonjokan. Indri berteriak tetapi mulutnya masih dilakban. Ia tak tega melihat lagi, badannya luruh berjongkok.Tak lama kemudian bunyi sirine mobil polisi memenuhi jalanan mereka kabur dengan tergopoh-gopoh. Polisi terus mengejar mobil mereka yang baru saja pergi. "Kamu tidak apa-apa?" Dave dengan lebam di sudut bibir mendekati Indri yang masih
"Maafkan Papa, Dave. Sudah berburuk sangka denganmu. Kau perlu jaga dia, Dave." George menatap wanita muda yang belum juga membuka mata.Dave menghela napas panjang. Ia meninggalkan mereka semua di sana. Lelaki berpiyama tidur itu menuruni anak tangga. Berakhir pada ruang makan, lelaki itu meneguk air putih dalam gelas. Dari atas, Papa dan Mamanya turun. Karena tak tega melihat George berjalan dengan sangat pelan, akhirnya Dave berdiri dan membantu memegangi tangan keriput itu."Dave, Papa sudah tua. Kau, menikahlah. Mumpung ada wanita sebaik Dita." Dave melepas tangan Papanya setelah duduk di sofa. Ia duduk di sofa lain lalu menyalakan televisi. Tangannya mengusap wajah, tatapannya mengarah pada layar lebar tetapi hatinya tertinggal pada kalimat terakhir George."Sayang, dengarkan kata Papa! Kita semua menginginkan kamu membina rumah tangga yang bahagia. Dengan hadirkan anak-anak yang lucu-lucu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat yaitu jangan pernah mendekati wanita itu lagi. Wanit
"Mimpi dulu enggak apa-apa kali, Ndri. Orang mimpi baik kalau terwujud itu namanya rezeki." Rumi tersenyum."Tuh, apa aku bilang. Sekarang, semua keputusan ada di kamu. Seandainya, Tuan Dave benar-benar menyatakan hatinya padamu, apa kau akan menerimanya?" Ali menunggu jawaban dengan penasaran."Em, aku ... tidak mungkin itu, Mas." Wanita dengan napas berat itu tertawa. "Kita tidak usah mengharap yang tidak pasti. Kita harus tahu diri.""Halah, kalau jawaban kamu begitu, aku jadi curiga." Ali berdiri dan menggeliat hingga bunyi gemerutuk tulangnya terdengar oleh Ibu dan adiknya."Maksudnya apa, sih?" Indri masih terus menjawab. Rumi yang menyaksikan mereka beradu argumentasi hanya bisa menggeleng kepalanya. Mereka masih sama seperti anak-anaknya yang masih suka bertengkar. Terkadang, tak menyangka waktu bergulir begitu cepat. Rumi teringat sang suami yang sudah mendahuluinya. Rindu tak terkira, wanita tua itu juga membayangkan bagaimana jika mereka nanti berumah tangga semua. Ia past
Pagi yang dihiasi dengan embun menembus lubang hidung lelaki itu. Ia tidak mengatakan sepatah katapun melihat dua insan yang tengah menciptakan senyuman. Indri terdiam seketika begitu juga dengan Fabian yang menoleh dengan sungkan. Lelaki nomor satu di kantornya itu masih bergeming dengan menyandar kusen pintu kamar Indri."Pak," ucap Indri dengan spontan. "Kalian teruskan saja, aku akan ngobrol sama Ibu di luar." Kali ini, Dave tidak seketus biasanya. Dua orang di dalam kamar itupun terkejut lagi. Kenapa bisa sikap lelaki kaku itu berubah lain.Fabian membalik tubuhnya lagi setelah Dave keluar. "Ndri, aku kayaknya berangkat dulu, deh. Kamu baik-baik di rumah. Semoga cepat sembuh dan bisa ngantor lagi." Indri mengangguk seraya mengulas senyuman. "Mas, hati-hati di jalan. Makasih banyak sudah dijenguk." Fabian mundur dua langkah dan keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan Dave yang duduk di ruang tamu bersama dengan Rumi. Kakak dari Rasya itu berpamitan pada dua orang yang saling m