Mata kami saling memandang satu sama lain, seakan saling menilai perubahan setelah hampir dua tahun tak bersua. Mulut kami seakan terkunci padahal dalam benakku riuh rendah suara-suara. Aku yakin dalam benak Mas Agi pun tak beda. “Apa kabar, La?”Dengan gugup Mas Agi bertanya hal yang sama beberapa kali. Aku menjawab singkat lalu kemudian diam lagi. Sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal. Kemana dia selama ini? Apa pekerjaannya? Kenapa dia tak dapat dihubungi? Mengapa dia tega menduakanku? Tapi semuanya tertahan di kerongkongan. Lelaki yang masih menjadi suamiku ini rasanya seperti orang asing saat ini. Dia terlihat lebih gagah dan tampan. Pakaiannya bagus dan dia terlihat berwibawa sebelum bertemu denganku barusan. Rupanya harta telah mengubah suamiku sedemikian rupa.Mama rupanya geregetan melihat kami yang hanya diam-diaman dari tadi. Beliau duduk bersama kami dan minta Lina membawakan air dan camilan. Aku jadi menyesal tak mengajakku
Mas Agi terlihat kaget melihatku bercucuran air mata tiba-tiba. Dia merengkuh badanku dan mengusap punggungku. Seolah mendapat dukungan, amarah dan rasa kecewa luar biasa yang selama ini bergolak dalam hati meledak keluar. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya air mataku tak ada habisnya. Lala yang biasanya tegar kini luruh sudah. Mas Agi menyodorkan air minum dan aku meminumnya dalam sekali tegukan. Ternyata banyak menangis membuatku haus. Entah berapa lama aku mengucurkan air mata hingga kelopak mata rasanya bengkak, gatal, dan pedih. Biarlah aku menangis sampai puas dalam pelukan Mas Agi saat ini. Setelah ini aku bertekad tak akan lagi mengeluarkan air mata dihadapannya atau karena dirinya. Bahkan saat kemudian dia berterus terang tentang istri keduanya, aku seolah kehabisan air mata bahkan mati rasa. Sejak mengetahui dengan jelas dia mengkhianati segala pengorbananku, aku sudah belajar membekukan hatiku padanya.“Maaf ya, La. Mas melakukan ini un
“Bukan ini yang kuinginkan! Kamu jangan egois, Lala! Pikirkan juga masa depan anak kita!” Teriak Mas Agi dengan raut terluka.“Kamu bilang aku egois? Apa tak kebalik? Kemana kamu selama ini saat aku diperlakukan tak adil oleh adik-adikmu? Kemana kamu saat aku kelabakan mencari sepeser uang untuk makan kita? Kemana kamu saat aku menangis diam-diam karena lelah dengan segala beban hidup tapi tak ada bahu untuk bersandar? Dan kemana kamu saat kehormatan istrimu dipertaruhkan karena kita tak memiliki kamar? Lalu setelah semua pengorbananku kamu bilang aku egois. Baik, aku terima. Dan supaya kamu lepas dari perempuan egois ini maka segeralah lepaskan aku pada keluargaku.” Pertama kalinya dalam pernikahan aku berteriak pada suamiku. Mas Agi terlihat sangat shock. Biarin, biar dia tahu sedalam apa istrinya ini terluka.Dari sudut mata kulihat Mama mertua dan Lina mengintip di balik pintu. Pasti mereka pun sangat kaget. Aku tak peduli lagi. Rasanya aku sudah sangat l
Sebenarnya aku deg degan kalau akan ketemu ipar kembar. Malas saja harus meladeni nyinyiran mereka yang tak pernah bosan menyerangku. Tapi syukurlah ternyata mereka sedang tak ada di rumah. Mama bilang mereka sedang reuni dengan teman-teman SMU nya dan akan menginap dua hari.Kami jalan kaki dari rumah baru Mas Agi ke rumah Mama karena jaraknya tak terlalu jauh. Hanya beda RT saja. Kugamit lengan Mama dan menuntunnya berjalan. Meski sudah sembuh tapi beliau tak boleh jalan tergesa-gesa.“Lala seneng banget Mama sekarang sudah sembuh. Jangan sakit lagi ya, Ma.”Mama Mertua merangkul pundakku, tinggi kami sepantaran. “Ini berkat kamu, La. Kamu yang selalu telaten merawat Mama. Bahkan setelah merantau pun kamu menyewakan perawat untuk Mama. Kasih sayangmu untuk Mama melebihi yang diberikan anak-anak Mama.”Kulihat Mas Agi tertegun. Mungkin dia baru menyadari artiku bagi Mama. Dia mengalihkan perhatiannya dengan menggoda Yusril yang digendongnya
Saat aku memandangi wajah anakku yang terlelap dan mengusap-usap lengannya, Mas Agi menggeser duduknya mendekatiku. Dia mengusap kepalaku dengan lembut membuat hatiku menghangat. Mendapatiku yang menerima sentuhannya suamiku makin berani. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium pucuk kepalaku. Tubuhku mengejang.Kutatap matanya yang berjarak sejengkal di sepanku.sebuah kesalahan. Mata itu mengunci pandanganku. Mata yang selalu kurindukan kini seolah ingin menenggelamkanku di dasarnya. Aku menelan ludah saat mendapati kerinduan yang sangat besar di sana. membuatku tak dapat memalingkan wajah dari mata itu.Perlahan dia menarik kepalaku dan merengkuhnya dalam dekapan. Aku tergugu, menangis terisak di sana mencoba melarung segala luka dan kerinduan yang kupunya. Dadanya masih seperti yang kuingat, menawarkan kedamaian saat aku menenggelankan kepala di sana.Tangan yang kini terlihat lebih kokoh itu mengusap air mataku dan berbisik lirih. “Maafkan, Mas. Maafkan semua luka yang Mas beri untu
“Tolong jangan begini, La. Tolong maafkan Mas. Kamu perempuan paling pemaaf yang Mas pernah temui.” Mas Agi berusaha memelukku tapi aku terus menepisnya.“Iya aku memang pemaaf dan saking pemaafnya sampai mudah dibohongi dan disakiti.” Aku makin terisak. Tega sekali lelaki bergelar suami itu. Ingin sekali saat ini juga aku pulang ke rumah Ibu tapi kasihan anakku masih tidur nyenyak. Di sering bangun pukul tujuh. Kuhidangkan sarapan yang tadi kumasak di meja makan. Mama terlihat sangat gembira bisa sarapan bersama kami. Beliau banyak bercerita tapi kemudian terdiamsaat Melihat mata sembabku.“Lala habis nangis, Nak? Ada apa? Baru tadi Subuh Mama lihat kamu bersenandung ceria.” Aku hanya tersenyum terpaksa, bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan Mama. Inginnya mengutarakan keinginan minta cerai tapi tak tega sama Mama.“Ya, ampuuun ternyata ada babu Arab di rumah kita. Mau dong oleh-olehnya.” Suara Yani yang baru masuk rumah menambah buruk moodku.“Beruntung banget kita ya, pulang
Tiba di rumah Ibu aku langsung menyerahkan Yusril pada Lina supaya dibujuk untuk mandi dan makan. Lina menatapku dengan iba dan mengangguk tanpa banyak bicara. Dia pasti sudah menebak yang terjadidi rumah mertuaku dari mata bengkakku.“Ibuu … Teteh tadinya sudah akan memaafkan Mas Agi. Itu setelah melihat perlakuannya yang lembut dan hangat kemarin pada Yusril. Anak itu butuh ayahnya. Biarlah Teteh sebagai ibu berkorban untuknya. Apalagi kemarin Mas Agi pun baik sekali sama Teteh. Tapi ternyata hatinya bukan milik Teteh lagi.” Kuceritakan kejadian pagi tadi saat aku membangunkannya dan dia malah menyebut nama Melia.“Rasanya sakit sekali, Bu. Suamiku menyebut nama wanita lain bahkan saat bersamaku. Bagaimana pula saat dia jauh dariku.” Aku menangis terisak-isak dalam pelukan Ibu.Ibu tak bicara apa pun hanya memeluk dan mengusap-usap punggungku. Perempuan terkasihku itu memahami yang dibutuhkan putrinya saat ini hanya didengarkan.“Bu, Teteh minta Mas Agi kesini nanti siang. Teteh sud
“Mas juga sama terima kasih untuk segala pengorbananmu untuk keluarga kita. Mas juga minta maaf untuk semua kesalahan Mas selama ini. Sekarang mari kita lupakan yang sudah lalu dan fokus kedepan. Mas janji akan berusaha menjadi suami yang lebih baik untukmu juga ayah yang lebih baik untuk Yusril. Kita berjuang bersama ya, Sayang,” kata Mas Agi sambil mengenggam tanganku. Kubiarkan saja karena dia masih berhak melakukannya. Nampaknya dia masih percaya diri kalau aku akan tetap bertahan bersamanya, setelah apa yang kami lakukan semalam.“Lala mohon maaf karena tidak bisa lagi berjuang bersama Mas. Rasanya cukup hampir tiga tahun Lala berjuang sendiri dan sekarang ingin berhenti. Apalagi saat ini kedudukanku sudah tergantikan, dengan wanita yang lebih segalanya dari diri yang hina dina ini.” Lirih suaraku tapi membuat suamiku mendongak menatapku tajam.“Apa maksudmu? Kau jangan menakuti Mas.”“Maksudku sangat jelas, Mas. Aku sudah lelah berjuang sendrian. Kemarin aku sudah berusaha memaa