Botram yang kurindukan kini terhidang di depanku. Liwet, ayam goreng, bakar pete, ikan asin, dan jangan lupakan lalap dan sambel terasinya. Sungguh serasa surga dunia. Apalagi saat dinikmati dalam balutan canda tawa dengan keluarga yang menyayangi kita. Kali ini yang ikut gabung lebih banyak lagi dari saudara dan tetangga. Mereka semua penasaran dengan ceritaku yang kata mereka beda dari yang lain."Yang jadi TKW di kampung kita banyak, tapi enggak seru. Hanya soal majikan yang pelit atau tukang marah." Ceu Kokom tetanggaku nyeletuk di sela kunyahannya."Iya Lala mah dasar anak solehah dapat majikan pun solehah. Punya sahabat baik pula." Kali ini Wak Yati yang menanggapi."Kamu tahu La waktu Ramadhan kemarin itu setiap malam yang tarawih selalu penuh. Kurma yang dikirim majikan kami itu lezat tak ada duanya. Katanya langsung dipetik dari kebun Tuan Halim gitu ya?" Aku mengernyitkan dahi, kapan Tuan Halim ngirim kurma? Harus kutanya sama Lina yang ini sih."Waktu kamu ngirim karpet T
Malam ini kami berkumpul di ruang tengah mungil kami. Lina dengan tugas kuliahnya, Ibu dengan lipatan bajunya, dan aku dengan buku mewarnai Yusril. Meski dengan aktivitas yang berbeda obrolan kami selalu hangat."Ibu masih penasaran kok Teteh bisa diizinkan mudik padahal kan sebentar lagi selesai masa kontrak.""Iya, Bu maafin Teteh ya enggak bilang lagi sama Ibu. Setelah dipikir dibolak balik Teteh memutuskan untuk memperpanjang kontrak dua tahun lagi. Ibu tak keberatan bila ketitipan Yusril lagi?" tanyaku sambil memandang wanita terkasih."Sama sekali tidak. Ibu hanya kasihan sama Teteh yang harus membanting tulang terlalu keras.""Dulu Teteh pikir dengan waktu dua tahun cukup untuk membangun rumah karena bersama Mas Agi. Tapi sekarang tak yakin lagi." Aku menunduk menyembunyikan tangisan.Ibu beringsut mendekatiku yang duduk di depannya, lalu memelukku dari samping. Anakku sudah selesai mewarnai dan minta tidur berbantalkan pahaku. Kutepuk-tepuk pahanya agar cepat lelap. Lina meman
“Rumahnya oke juga. Semoga istri sama anakmu suka ya, Mas.” Seorang wanita cantik dengan dandanan sangat elegan bersandar pada sebuah mobil putih mewah. Matanya mengamati bangunan berlantai dua di depannya. Tangannya dari tadi mengait pada lengan lelaki di sebelahnya seolah enggan terpisah meski sejenak.“Aku harap juga begitu. Makasih ya, Sayang. Semua ini tak akan terwujud tanpa bantuanmu.”Laki-laki itu memeluk sang wanita dan mengecup bibirnya ringan. Sang wanita cantik ternyata lebih agresif, tanpa malu dia menarik tengkuk lelakinya membuat tubuh mereka sangat rapat.Aku memalingkan muka, tak sanggup lagi melihat kemesraan yang diumbar di depanku. Inilah definisi sebenar-benarnya sakit tak berdarah itu.“Aku bilang juga Teh Lala jangan lihatin mereka terus kalau tak kuat. Langsung labrak saja Mas Aginya.” Lina yang tadi asik nyemil snack sambil memperhatikan kakak iparnya bersuara. Aku mengusap air mata dan buru-buru menyedot teh manis yang sejak tadi kumainkan. Dulu Mas Agi be
Mata kami saling memandang satu sama lain, seakan saling menilai perubahan setelah hampir dua tahun tak bersua. Mulut kami seakan terkunci padahal dalam benakku riuh rendah suara-suara. Aku yakin dalam benak Mas Agi pun tak beda. “Apa kabar, La?”Dengan gugup Mas Agi bertanya hal yang sama beberapa kali. Aku menjawab singkat lalu kemudian diam lagi. Sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal. Kemana dia selama ini? Apa pekerjaannya? Kenapa dia tak dapat dihubungi? Mengapa dia tega menduakanku? Tapi semuanya tertahan di kerongkongan. Lelaki yang masih menjadi suamiku ini rasanya seperti orang asing saat ini. Dia terlihat lebih gagah dan tampan. Pakaiannya bagus dan dia terlihat berwibawa sebelum bertemu denganku barusan. Rupanya harta telah mengubah suamiku sedemikian rupa.Mama rupanya geregetan melihat kami yang hanya diam-diaman dari tadi. Beliau duduk bersama kami dan minta Lina membawakan air dan camilan. Aku jadi menyesal tak mengajakku
Mas Agi terlihat kaget melihatku bercucuran air mata tiba-tiba. Dia merengkuh badanku dan mengusap punggungku. Seolah mendapat dukungan, amarah dan rasa kecewa luar biasa yang selama ini bergolak dalam hati meledak keluar. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya air mataku tak ada habisnya. Lala yang biasanya tegar kini luruh sudah. Mas Agi menyodorkan air minum dan aku meminumnya dalam sekali tegukan. Ternyata banyak menangis membuatku haus. Entah berapa lama aku mengucurkan air mata hingga kelopak mata rasanya bengkak, gatal, dan pedih. Biarlah aku menangis sampai puas dalam pelukan Mas Agi saat ini. Setelah ini aku bertekad tak akan lagi mengeluarkan air mata dihadapannya atau karena dirinya. Bahkan saat kemudian dia berterus terang tentang istri keduanya, aku seolah kehabisan air mata bahkan mati rasa. Sejak mengetahui dengan jelas dia mengkhianati segala pengorbananku, aku sudah belajar membekukan hatiku padanya.“Maaf ya, La. Mas melakukan ini un
“Bukan ini yang kuinginkan! Kamu jangan egois, Lala! Pikirkan juga masa depan anak kita!” Teriak Mas Agi dengan raut terluka.“Kamu bilang aku egois? Apa tak kebalik? Kemana kamu selama ini saat aku diperlakukan tak adil oleh adik-adikmu? Kemana kamu saat aku kelabakan mencari sepeser uang untuk makan kita? Kemana kamu saat aku menangis diam-diam karena lelah dengan segala beban hidup tapi tak ada bahu untuk bersandar? Dan kemana kamu saat kehormatan istrimu dipertaruhkan karena kita tak memiliki kamar? Lalu setelah semua pengorbananku kamu bilang aku egois. Baik, aku terima. Dan supaya kamu lepas dari perempuan egois ini maka segeralah lepaskan aku pada keluargaku.” Pertama kalinya dalam pernikahan aku berteriak pada suamiku. Mas Agi terlihat sangat shock. Biarin, biar dia tahu sedalam apa istrinya ini terluka.Dari sudut mata kulihat Mama mertua dan Lina mengintip di balik pintu. Pasti mereka pun sangat kaget. Aku tak peduli lagi. Rasanya aku sudah sangat l
Sebenarnya aku deg degan kalau akan ketemu ipar kembar. Malas saja harus meladeni nyinyiran mereka yang tak pernah bosan menyerangku. Tapi syukurlah ternyata mereka sedang tak ada di rumah. Mama bilang mereka sedang reuni dengan teman-teman SMU nya dan akan menginap dua hari.Kami jalan kaki dari rumah baru Mas Agi ke rumah Mama karena jaraknya tak terlalu jauh. Hanya beda RT saja. Kugamit lengan Mama dan menuntunnya berjalan. Meski sudah sembuh tapi beliau tak boleh jalan tergesa-gesa.“Lala seneng banget Mama sekarang sudah sembuh. Jangan sakit lagi ya, Ma.”Mama Mertua merangkul pundakku, tinggi kami sepantaran. “Ini berkat kamu, La. Kamu yang selalu telaten merawat Mama. Bahkan setelah merantau pun kamu menyewakan perawat untuk Mama. Kasih sayangmu untuk Mama melebihi yang diberikan anak-anak Mama.”Kulihat Mas Agi tertegun. Mungkin dia baru menyadari artiku bagi Mama. Dia mengalihkan perhatiannya dengan menggoda Yusril yang digendongnya
Saat aku memandangi wajah anakku yang terlelap dan mengusap-usap lengannya, Mas Agi menggeser duduknya mendekatiku. Dia mengusap kepalaku dengan lembut membuat hatiku menghangat. Mendapatiku yang menerima sentuhannya suamiku makin berani. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium pucuk kepalaku. Tubuhku mengejang.Kutatap matanya yang berjarak sejengkal di sepanku.sebuah kesalahan. Mata itu mengunci pandanganku. Mata yang selalu kurindukan kini seolah ingin menenggelamkanku di dasarnya. Aku menelan ludah saat mendapati kerinduan yang sangat besar di sana. membuatku tak dapat memalingkan wajah dari mata itu.Perlahan dia menarik kepalaku dan merengkuhnya dalam dekapan. Aku tergugu, menangis terisak di sana mencoba melarung segala luka dan kerinduan yang kupunya. Dadanya masih seperti yang kuingat, menawarkan kedamaian saat aku menenggelankan kepala di sana.Tangan yang kini terlihat lebih kokoh itu mengusap air mataku dan berbisik lirih. “Maafkan, Mas. Maafkan semua luka yang Mas beri untu