Rasanya lelah sekali setelah menerima telpon dari adik semata wayang. Aku ke dapur menghampiri Ayu yang tengah makan nasi kebuli kambing dengan lahap. Tanpa banyak kata aku ikut makan dengan sangat lahap.“Ish ish ish … lapar atau doyan, Jeng? Enggak biasanya makan kayak kesetanan gitu.” Aku meringis mendengar komentar sahabatku.“Abis telponan sama Lina, ipar kembar datang ke rumah maksa minta karpet. Pake bilang aku harus balas budi karena dikasih makan gratis setahun sama mereka.” Aku ngadu pada Ayu.“Bener-bener tuh orang ya. Wajar aja kamu tinggal dan makan di rumah mertuamu. Toh mereka juga sama-sama numpang kan? Apalagi mereka meras keringat kamu tanpa dibayar. Harusnya impas bahkan mereka masih punya utang tuh sama kamu,” cerocos Ayu kayak petasan. Perasaan Ayu sama Lina tuh mirip banget kalau udah nyeroscos.“Aku yakin, ipar kembarmu itu pasti akan nelpon maksa kamu buat kasih mereka karpet. Pokoknya kamu harus tegas, La. Sekalinya
Hari ini rumah terasa lebih sibuk. Saat bangun tidur Ummi langsung minta dibantu buat mandi. Lalu salat subuh, tilawah dan minta sarapan lebih awal. Beliau juga mau minum obat tanpa dibujuk seperti biasanya. Pukul delapan sudah siap berjemur di depan jendela besar kamarnya. Beruntung sekali kamar ini menghadap timur, sehingga tak perlu keluar rumah untuk sekadar menikmati cahaya matahari.“Ini pertama kali Latifah melihat acara seperti ini. Silaturahmi yang sangat seru bersama keluarga besar. Kalian juga boleh kumpul bersama para TKW yang akan dibawa keluargaku. Nanti kamu harus makan yang banyak biar kamu enggak terlalu kurus begitu,” kata majikanku saat aku menanyakan akan ada acara apa.Kulihat Madam Hindun pun sudah sibuk sejak pagi. Beliau mengasapi pakaiannya dan pakaian ibunya dengan wangi-wangian khas Timur Tengah. Sore nanti keluarga mereka akan berkumpul di rumah ini. Semacam arisan keluarga mungkin kalau di Indonesia. Bila kemarin Ayu sibu
Para khadimat menghampiri kami di dapur. Mereka membantu menghidangkan makanan dan piring-piring. Di dapur pun suasana tak kalah serunya. Mereka seperti reunian. Hanya aku yang cuma bisa tersenyum-senyum karena baru kenalan. Mereka menjelaskan siapa majikan mereka dan hubungannya sama Ummi Maimunah.“Aku Tita, kerja di Madam Dewi. Itu lho yang wajahnya Indonesia sendiri. Dia dulunya seperti kita juga, lalu dijadikan istri ketiga Babah Khalid, majikannya.” Gadis Cianjur itu menjelaskan. Lalu obrolan pun jadi merumpi seputar Madam Dewi.“Beruntung banget ya dia. Sekarang sudah jadi sultanah. Ke mana-mana naik mobil mewah, tinggal di rumah mewah, mau apa-apa tinggal perintah.”“Aku juga mau lah jadi madam meski jadi istri ketiga.” Ayu nyeletuk. “Dari pada istri satu-satunya tapi direcokin ipar sama mertua mulu, miskin pula.”“Iya, terus gaya kamu jadi selangit. Merasa lebih madam dari madam Arab.” Mereka tertawa. Tita terlihat senyum masam, mung
“Kenapa, Ummi?” “Perutku sakit banget. Melilit. Aduh aku nggak kuat.”Kudengar suara kentut dengan suara aneh. Ah, tak salah lagi Ummi mencret. Aku pernah melihat Mama mertua seperti ini juga waktu salah makan. Ukh, baunya semerbak memenuhi kamar.“Aduh, bocor.” Ummi meraba bagian bawah belakang tubuhnya. Kotorannya keluar dari diapers. Cepat kubantu majikanku membersihkan diri. Setelah selesai kupasangkan lagi diapers yang tak berapa lama kemudian terkena lagi kotoran baru. Ummi bolak-balik mengeluarkan kotoran encer dan aku bolak-balik membersihkannya. Badan perempuan sepuh itu terlihat sangat lemas, kuberikan air minum putih hangat.“Telpon dokter, khawatir dehidrasi,” bisik Ayu yang ternyata telah berdiri di belakangku.Pukul sepuluh malam, belum terlalu larut untuk menelpon dokter keluarga ini. Telpon diangkat pada deringan ketiga. Dokter bilang akan segera meluncur ke rumah ini. Rumah beliau tiga puluh menit perjalan
Menjelang Subuh aku terbangun mendengar suara rintihan majikanku. Masya Allah ini mata kayak dikasih lem tembak, lengket banget rasanya susah buat dibuka. Pasti ini akibat kelelahan kemarin. Tapi mana sempat bermalas-malasan, majikanku tengah sangat membutuhkanku. Tergesa kulangkahkan kaki menuju kamar majikanku. Kulihat Ummi Maimunah merintih sambil tetap memejamkan mata. Dahinya mengernyit. Kusapa dengan pelan agar tak membuatnya kaget.“Ummi, ada yang bisa Latifah bantu? Ummi mau apa?”Perempuan sepuh yang masih cantik itu membuka kelopak matanya yang sayu. Lalu menunjuk perutnya sambil menggumam sakit.“Latifah ambilkan kompres air panas ya, Ummi, biar agak enakan.”Kuambilkan kompresan dan membantu majikanku untuk menyandar di bantal agar lebih nyaman. Kupasang kompresan di perut dan punggungnya setelah dilapisi kain karena khawatir terlalu panas. Kulihat Ummi menikmati kompresan di perut dan punggungnya.“Lumayan bikin nyaman. Makasih ya, Latifah.” Seulas senyum tersungging di b
“Apakah menurutmu mereka harus dikabari?”Aku bingung harus menjawab apa. Bukankah seorang ibu biasanya ingin ditengok anak-anaknya saat sakit.“Tolong panggikan saja Hindun.”Aku melakukan perintah majikanku. Madam Hindun terlihat kaget saat mengetahui ibunya sakit dari semalam. Pasti beliau lelap tidurnya karena lelah dan kenyang makan-makan kemarin.“Kamu kabari sodara-sodaramu. Bilang Ummi sakit tapi tak usah khawatir karena sudah ditangani dokter. Ada Latifah juga yang merawatku. Kalau tak dikabari nanti mereka menyalahkanmu.”Aku memberikan sarapan lebih awal supaya Ummi bisa segera minum obat. Kompresan air panas juga kuganti karena airnya sudah agak dingin.“Ummi kenapa kok bisa jadi sakit?” aku bertanya dengan hati-hati.“Sepertinya kemarin kebanyakan makan, maklum perut tua, salah dikit langsung protes hehe.” Syukurlah majikanku sudah bisa tertawa.“Masakan kalian kemarin itu enak-enak banget. Apalagi kue semut itu, Ummi makan banyak sekali. Semua orang juga bilang kue itu le
Tak terasa tiga bulan aku berjauhan dengan keluarga. Sekarang hatiku sudah mulai terbiasa, tak lagi sering menangis diam-diam menjelang tidur. Tapi air mata tetap tak bisa ditahan setiap kali bersujud di sepertiga malam, dan menyebut nama orang-orang tersayang dalam doa. Lina pun bilang Yusril sudah ceria dan aktif, dia punya banyak teman main yang membuatnya aktif seharian. Hal itu pun membuatnya selalu makan dengan lahap sehingga badannya semakin kuat. Hatiku menghangat bahagia mendengarnya, kuputar lagi video Yusril yang Lina kirimkan.{Teh, Amang Dasep sudah ngontak belum? Kemarin minta nomor Teteh katanya ada perlu.} Chat dari Lina masuk saat aku istirahat siang di kamarnya. Dia sudah tahu waktu-waktu aku agak santai.{Belum. Memangnya ada apa? Tumben Amang Dasep mau ngontak Teteh.}{Kurang tahu, Teh. Mungkin mau pesen karpet Turki hehe ….}{Maksudnya gimana?}Bukan tak senang dikontak saudara, tapi rasanya aneh saja. Selama ini adik Bapak yang kaya itu nyaris tak pernah bersilatu
“Boleh juga idenya, Mang. Tapi Lala mau diskusi dulu sama Ibu dan Mas Agi ya.”“Sebagai pengganti Bapakmu, Amang hanya ingin menolongmu. Ibumu juga pasti setuju. Hanya soal Agi … bagaimana ya bilangnya ….”Amang Dasep menarik napas lalu menghembuskannya berat. Hatiku jadi tak enak. Ada apa dengan Mas Agi?“Ada apa dengan Mas Agi, Mang? Dia baik-baik saja? terakhir ngontak mau berangkat kerja.”“Begitulah, La. Kamu yang sabar ya. Si Agi itu ada selentingan kawin lagi dan sekarang tinggal di rumah istri mudanya.”Deg. Ada yang sakit di dalam sana, tanpa diundang setetes air turun di pipiku. Mang Dasep pasti salah informasi. Mas Agi kemarin-kemarin memang sedang galau, tapi dia bukan orang yang suka berkhianat.“Maaf ya, Mang, tapi Lala tak percaya. Mas Agi bukan orang seperti itu.”“Kamu jangan naif jadi perempuan. Laki-laki mana tahan ditinggal istrinya berbulan-bulan apalagi tahunan. Amang juga percaya tak percaya, tapi gimana ya bilangnya. Lihat saja sendiri fotonya.”Setelah telpon d