Sebulan kemudian Lina sama Ibu Video call pada jam istirahat siangku. Terlihat anakku tengah bermain gembira di atas karpet tebal cantik. Karpet Turki kirimanku.“Masya Allah Teteh, jangan beli barang mewah seperti ini, sayang uangnya. Pakai tikar biasa juga cukup Ibu mah.”Aku tersenyum. “Itu dikasih sama majikan Teteh, Bu. Enggak mungkin Teteh beli barang mewah seperti itu. Sayang uangnya, mending buat nabung bikin rumah.”“Ya Allah, majikan kamu itu baik banget ya. Kata Lina itu harganya jutaan ya. Bilang terima kasih dari Ibu sama majikan Teteh ya. Teteh juga kerja yang betul biar majikan seneng.” Ibu menasihatiku dengan lembut.“Aku udah bilang dikasih majikan Teteh, Ibu malah enggak percaya.” Kali ini Lina yang bicara membuat kami tertawa.“Bubu … Ucil maen cini. Enak empuk.” Anakku tengkurap sambil bermain mobil-mobilan.“Teh, tapi yang satu nggak muat di rumah kita. Panjang sekali karpetnya.” Lina memperlihatkan
Rasanya lelah sekali setelah menerima telpon dari adik semata wayang. Aku ke dapur menghampiri Ayu yang tengah makan nasi kebuli kambing dengan lahap. Tanpa banyak kata aku ikut makan dengan sangat lahap.“Ish ish ish … lapar atau doyan, Jeng? Enggak biasanya makan kayak kesetanan gitu.” Aku meringis mendengar komentar sahabatku.“Abis telponan sama Lina, ipar kembar datang ke rumah maksa minta karpet. Pake bilang aku harus balas budi karena dikasih makan gratis setahun sama mereka.” Aku ngadu pada Ayu.“Bener-bener tuh orang ya. Wajar aja kamu tinggal dan makan di rumah mertuamu. Toh mereka juga sama-sama numpang kan? Apalagi mereka meras keringat kamu tanpa dibayar. Harusnya impas bahkan mereka masih punya utang tuh sama kamu,” cerocos Ayu kayak petasan. Perasaan Ayu sama Lina tuh mirip banget kalau udah nyeroscos.“Aku yakin, ipar kembarmu itu pasti akan nelpon maksa kamu buat kasih mereka karpet. Pokoknya kamu harus tegas, La. Sekalinya
Hari ini rumah terasa lebih sibuk. Saat bangun tidur Ummi langsung minta dibantu buat mandi. Lalu salat subuh, tilawah dan minta sarapan lebih awal. Beliau juga mau minum obat tanpa dibujuk seperti biasanya. Pukul delapan sudah siap berjemur di depan jendela besar kamarnya. Beruntung sekali kamar ini menghadap timur, sehingga tak perlu keluar rumah untuk sekadar menikmati cahaya matahari.“Ini pertama kali Latifah melihat acara seperti ini. Silaturahmi yang sangat seru bersama keluarga besar. Kalian juga boleh kumpul bersama para TKW yang akan dibawa keluargaku. Nanti kamu harus makan yang banyak biar kamu enggak terlalu kurus begitu,” kata majikanku saat aku menanyakan akan ada acara apa.Kulihat Madam Hindun pun sudah sibuk sejak pagi. Beliau mengasapi pakaiannya dan pakaian ibunya dengan wangi-wangian khas Timur Tengah. Sore nanti keluarga mereka akan berkumpul di rumah ini. Semacam arisan keluarga mungkin kalau di Indonesia. Bila kemarin Ayu sibu
Para khadimat menghampiri kami di dapur. Mereka membantu menghidangkan makanan dan piring-piring. Di dapur pun suasana tak kalah serunya. Mereka seperti reunian. Hanya aku yang cuma bisa tersenyum-senyum karena baru kenalan. Mereka menjelaskan siapa majikan mereka dan hubungannya sama Ummi Maimunah.“Aku Tita, kerja di Madam Dewi. Itu lho yang wajahnya Indonesia sendiri. Dia dulunya seperti kita juga, lalu dijadikan istri ketiga Babah Khalid, majikannya.” Gadis Cianjur itu menjelaskan. Lalu obrolan pun jadi merumpi seputar Madam Dewi.“Beruntung banget ya dia. Sekarang sudah jadi sultanah. Ke mana-mana naik mobil mewah, tinggal di rumah mewah, mau apa-apa tinggal perintah.”“Aku juga mau lah jadi madam meski jadi istri ketiga.” Ayu nyeletuk. “Dari pada istri satu-satunya tapi direcokin ipar sama mertua mulu, miskin pula.”“Iya, terus gaya kamu jadi selangit. Merasa lebih madam dari madam Arab.” Mereka tertawa. Tita terlihat senyum masam, mung
“Kenapa, Ummi?” “Perutku sakit banget. Melilit. Aduh aku nggak kuat.”Kudengar suara kentut dengan suara aneh. Ah, tak salah lagi Ummi mencret. Aku pernah melihat Mama mertua seperti ini juga waktu salah makan. Ukh, baunya semerbak memenuhi kamar.“Aduh, bocor.” Ummi meraba bagian bawah belakang tubuhnya. Kotorannya keluar dari diapers. Cepat kubantu majikanku membersihkan diri. Setelah selesai kupasangkan lagi diapers yang tak berapa lama kemudian terkena lagi kotoran baru. Ummi bolak-balik mengeluarkan kotoran encer dan aku bolak-balik membersihkannya. Badan perempuan sepuh itu terlihat sangat lemas, kuberikan air minum putih hangat.“Telpon dokter, khawatir dehidrasi,” bisik Ayu yang ternyata telah berdiri di belakangku.Pukul sepuluh malam, belum terlalu larut untuk menelpon dokter keluarga ini. Telpon diangkat pada deringan ketiga. Dokter bilang akan segera meluncur ke rumah ini. Rumah beliau tiga puluh menit perjalan
Menjelang Subuh aku terbangun mendengar suara rintihan majikanku. Masya Allah ini mata kayak dikasih lem tembak, lengket banget rasanya susah buat dibuka. Pasti ini akibat kelelahan kemarin. Tapi mana sempat bermalas-malasan, majikanku tengah sangat membutuhkanku. Tergesa kulangkahkan kaki menuju kamar majikanku. Kulihat Ummi Maimunah merintih sambil tetap memejamkan mata. Dahinya mengernyit. Kusapa dengan pelan agar tak membuatnya kaget.“Ummi, ada yang bisa Latifah bantu? Ummi mau apa?”Perempuan sepuh yang masih cantik itu membuka kelopak matanya yang sayu. Lalu menunjuk perutnya sambil menggumam sakit.“Latifah ambilkan kompres air panas ya, Ummi, biar agak enakan.”Kuambilkan kompresan dan membantu majikanku untuk menyandar di bantal agar lebih nyaman. Kupasang kompresan di perut dan punggungnya setelah dilapisi kain karena khawatir terlalu panas. Kulihat Ummi menikmati kompresan di perut dan punggungnya.“Lumayan bikin nyaman. Makasih ya, Latifah.” Seulas senyum tersungging di b
“Apakah menurutmu mereka harus dikabari?”Aku bingung harus menjawab apa. Bukankah seorang ibu biasanya ingin ditengok anak-anaknya saat sakit.“Tolong panggikan saja Hindun.”Aku melakukan perintah majikanku. Madam Hindun terlihat kaget saat mengetahui ibunya sakit dari semalam. Pasti beliau lelap tidurnya karena lelah dan kenyang makan-makan kemarin.“Kamu kabari sodara-sodaramu. Bilang Ummi sakit tapi tak usah khawatir karena sudah ditangani dokter. Ada Latifah juga yang merawatku. Kalau tak dikabari nanti mereka menyalahkanmu.”Aku memberikan sarapan lebih awal supaya Ummi bisa segera minum obat. Kompresan air panas juga kuganti karena airnya sudah agak dingin.“Ummi kenapa kok bisa jadi sakit?” aku bertanya dengan hati-hati.“Sepertinya kemarin kebanyakan makan, maklum perut tua, salah dikit langsung protes hehe.” Syukurlah majikanku sudah bisa tertawa.“Masakan kalian kemarin itu enak-enak banget. Apalagi kue semut itu, Ummi makan banyak sekali. Semua orang juga bilang kue itu le
Tak terasa tiga bulan aku berjauhan dengan keluarga. Sekarang hatiku sudah mulai terbiasa, tak lagi sering menangis diam-diam menjelang tidur. Tapi air mata tetap tak bisa ditahan setiap kali bersujud di sepertiga malam, dan menyebut nama orang-orang tersayang dalam doa. Lina pun bilang Yusril sudah ceria dan aktif, dia punya banyak teman main yang membuatnya aktif seharian. Hal itu pun membuatnya selalu makan dengan lahap sehingga badannya semakin kuat. Hatiku menghangat bahagia mendengarnya, kuputar lagi video Yusril yang Lina kirimkan.{Teh, Amang Dasep sudah ngontak belum? Kemarin minta nomor Teteh katanya ada perlu.} Chat dari Lina masuk saat aku istirahat siang di kamarnya. Dia sudah tahu waktu-waktu aku agak santai.{Belum. Memangnya ada apa? Tumben Amang Dasep mau ngontak Teteh.}{Kurang tahu, Teh. Mungkin mau pesen karpet Turki hehe ….}{Maksudnya gimana?}Bukan tak senang dikontak saudara, tapi rasanya aneh saja. Selama ini adik Bapak yang kaya itu nyaris tak pernah bersilatu
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu