Tak terasa sudah seminggu aku menjadi perawat di kota Madinah. Salah satu kota impianku juga impian berjuta-juta kaum muslimin di dunia. Sebenarnya aku tak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan sama sekali. Hanya modal pengalaman merawat Mama mertua beberapa bulan ini. Ditambah tekad kuat untuk mengubah tarap hidup agar lebih baik.Sebelumnya kudengar dari informasi yang disampaikan melalui adikku, para perawat sebelumnya tidak betah karena mulut tajam majikan kami. Biarlah akan kutahan semua ujian itu agar aku bisa bertahan. Toh aku juga sudah biasa menghadapi mulut tajam ipar kembarku. Semoga Allah melipatgandakan kesabaranku dalam menghadapinya.Saat melihat rumah majikanku dari luar terlihat biasa saja, kotak dengan warna coklat susu seperti yang lainnya. Tapi saat masuk masya Allah buatku seperti masuk istana. Karpet tebal terhampar hampir di seluruh ruang tamu dan ruang keluarga. Gordennya tinggi-tinggi dan sangat bergaya. Saat itu aku malah berpikir bagaimana cara members
Ayu memperlihatkan foto kalung dan beberapa buah cincin. Kutaksir semuanya bisa sampai 20 gram. Sungguh beruntung Ayu mampu mengambil hati majikan. Dari obrolan para tetangga yang pernah jadi TKW aku menyimpulkan tipe majikan itu sangat beragam. Ada yang bicaranya baik tapi tak pernah ngasih hadiah dan ada pula yang sebaliknya, mulutnya tajam tapi suka ngasih hadiah. Yang paling apes tentu saja sudah pelit, bermulut tajam pula.“Dari cerita kamu mengurus ibu mertua selama itu aku yakin kok kamu bakal mudah menjadi kesayangan Ummi sama Madam.” Ayu membesarkan hatiku.“Doakan ya. Saat ini aku masih terkendala Bahasa. Kadang nggak ngerti majikanku bilang apa. Akhirnya dia ngomel-ngomel sambil nunjuk-nunjuk.” Aku menunduk sedih menceritakan kendala yang kualami saat ini.“Yang sabar ya. Lama-lama juga telinga kamu terbiasa dengan Bahasa mereka. Aku juga dulu sama kayak kamu. Nanti malam kita latihan percakapan yang biasa majikan kita ucapkan ya.” Aku sangat berterima kasih pada perhatian t
Saat turun dari taksi aku melihat seorang balita laki-laki tengah bermain bersama teman-temannya di depan rumah Ibu. Dia tertawa dengan riang. Tawanya menular padaku membuat hatiku hangat. Dia pasti Yusril anak kesayanganku. Kurentangkan tangan sambil menyapanya.“Ucil, sini Sayang. Ini Ibu, Nak!”Dia menghentikan tawanya dan menatapku tak suka. Semakin kudekati semakin menghindar. Ibu dan Lina keluar rumah untuk membujuknya tapi dia tak mau mendengarkan. Dia malah menangis dan menjerit-jerit. Kami menjadi tontonan para tetangga dan anak-anak yang tengah bermain. Aku menangis sesenggukkan, rasanya sakit sekali ditolak anak sendiri. Aku masih sesenggukan saat seseorang mengguncang-guncang badanku.“Kamu mimpi buruk, La?’Syukurlah ternyata hanya mimpi. Rasanya sesakit itu, seperti nyata. Ayu menatapku dengan khawatir. Dia mengusap-usap punggungku. Bukannya tenang, aku malah makin meledakkan tangis dalam pelukan kawan baruku yang baik hati itu.Setelah tenang kuceritakan mimpiku. Meski
Selesai menyuapi Ummi makan siang dan membantu salat Dzuhur, aku segera salat dan makan dengan cepat. Sudah tak sabar mendengar celoteh cadel balitaku.“Bubuu …. “ Suara menggemaskan buah hatiku langsung membelai gendang telinga begitu telpon tersambung. “Ucil Sayang, Bubu kangeen banget sama Ucil. Udah maem belum?”“Udah, Ucil maem ican.”“Wah, anak Bubu pinter banget mau makan ikan. Makan sayur juga kan?” “Maem dikit.”Lalu aku mengobrol ke sana ke mari sama anakku. Sesekali Ibu menjelaskan maksud perkataan anakku. Alhamdulillah perkembangan bahasanya semakin baik. Anakku pasti banyak yang suka ngajak ngobrol sehingga sebelum dua tahun sudah mulai cerewet. Berbeda dengan waktu di rumah mertua, hanya aku saja yang suka ngajak dia bicara, ayahnya sesekali saja.“Aku itu bukan nggak mau ngajak ngobrol anakku, tapi aku nggak ngerti kalau dia bicara. Lagi pula sama anak balita memangnya mau ngobrol apaan sih.” Begitu alasan Mas Agi saat aku memintanya sering mengajak Yusril ngobrol.Set
Pukul tiga belas waktu Madinah hp ku berbunyi. Di Indonesia tentu sudah sore. Ada panggilan telpon via aplikasi hijau dari Mas Agi. Apa ada hal penting dia sampai nelpon? Biasanya kami hanya komunikasi via chat aplikasi hijau. Untunglah majikan tengah tidur siang.“Halo, assalamualaikum, Mas.”“Hai Lala, apa kabar? Kamu pasti dapat majikan kaya banget ya sampe bisa dikasih HP? Syukurlah aku ikut bahagia.” Ternyata bukan Mas Agi, Yuni yang bicara. Ada apa ini? Perasaanku tiba-tiba nggak enak.“La, kok diam aja. Betul kan yang aku bilang?”“Ya memang betul majikanku kaya banget. Tapi apa hubungannya sama aku. Itu juga dia kasih HP bekas bukan HP baru, lumayanlah aku jadi bisa pakai WA.”“Terserahlah. Aku cuma mau ngingetin janji kamu buat nyewa perawat untuk Mama. Ini udah lebih lama ya, kami udah kewalahan ngurus rumah sama Mama sekaligus. Aku udah nggak tahan banget, jadi aku minta besok kamu transfer uangnya biar perawatnya segera dikirim,” Yuni nyeroscos k
Benar saja, selesai aku bicara terdengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Seperti biasa aku membantu Ummi untuk shalat sambil duduk. Meski sudah sepuh tapi beliau sangat disiplin salat tepat waktu. Begitu juga putrinya. Setiap selesai alat Subuh dan Maghrib mereka tilawah bersama meski hanya beberapa halaman. Lututnya sudah lemah sehingga selalu memerlukan bantuan kursi roda. Sebelum berwudlu kubantu Ummi mengganti diapers dan membersihkan diri. Untunglah aku sudah terbiasa merawat Mama mertua, sehingga tak kaku lagi saat merawat majikanku. Sebagai manusia normal tentu saja masih ada rasa jijik saat harus membersihkan kotoran. Tapi karena saking terbiasanya aku merasa tak ada bedanya mengurus kotoran orang dewasa dengan bayi. Asal jangan lupa tahan napas aja saat prosesnya hehe.Suatu hari mertuaku itu bertanya, “Lala tidak jijik membersihkan kotoran Mama?”Aku tersenyum sebelum menjawab. “Aku juga manusia biasa, Ma. Jangankan kotora
“Nyi Iteung jangan bengong aja dong, soalnya enggak ada Kang Kabayan yang nolongin hahaha.” Ini anak suka banget menggoda. Lagian dia orang Jawa kok tahu tokoh dongeng Sunda.Sepanjang berbelanja aku mendorong Ummi Maimunah ke sana ke mari. Aku jadi teringat saat menemani Mama mertua berbelanja ke pasar. Dulu sebelum Mama kena stroke kami sering berbelanja bersama. Setelah itu masak bersama dan terakhir makan bersama. Yuni dan Yani tak pernah mau menemani Mama ke pasar, becek dan bau katanya.“Mama itu punya mantu kamu seperti punya tambahan anak perempuan, bisa diajak ke mana aja. Yuni sama Yani mana mau diajak ke pasar, maunya ke salon sama supermarket aja. Padahal di pasar itu asik bisa nawar dan murah. Lihat ini, mana bisa di supermarket sebanyak ini lima ribu’” kata Mama mertua suatu hari saat kami ke pasar. Di tangannya ada sekantong bumbu dapur seharga lima ribu rupiah. Kalau di warung itu bisa berlipat harganya.Aku memang selalu mau diajak wanita
“Kamu lagi bikin apaan?” aku melongok pada adonan yang dibikin Ayu. Sepagi ini dia sudah sibuk di dapur.“Bolu karamel alias sarang semut. Madam ketagihan setelah waktu itu aku bikinin.”Wangi gula merah menguar di dapur. Wangi bubur ayam yang kubikin sampai kesilep.“Kalau Ummi udah selesai tolong bantuin aku ya, La. Setelah ini masih banyak yang harus kubikin.”Aku mengacungkan dua jempol.“Memang berapa orang biasanya yang hadir?” tanyaku sambil terus mengaduk bubur.“Nggak sampe dua puluh. Tapi semuanya doyan ngunyah. Tahulah kalau keluarga besar udah ngumpul, paling asyik memang ngobrol sambil ngunyah hahaha.” Aku ikut tertawa. Memang seperti itu juga yang kurasakan saat ngumpul sama keluarga besar.Bubur sudah matang, tinggal masukkan ke mangkok. Ayam suwir, goreng bawang, telur rebus, sudah siap tinggal ditaburin merica sedikit, sip.Aku menyuapi Ummi sarapan dan tersenyum senang melihatnya lahap. Perempuan cantik khas Arab itu mengac