Pukul tiga belas waktu Madinah hp ku berbunyi. Di Indonesia tentu sudah sore. Ada panggilan telpon via aplikasi hijau dari Mas Agi. Apa ada hal penting dia sampai nelpon? Biasanya kami hanya komunikasi via chat aplikasi hijau. Untunglah majikan tengah tidur siang.“Halo, assalamualaikum, Mas.”“Hai Lala, apa kabar? Kamu pasti dapat majikan kaya banget ya sampe bisa dikasih HP? Syukurlah aku ikut bahagia.” Ternyata bukan Mas Agi, Yuni yang bicara. Ada apa ini? Perasaanku tiba-tiba nggak enak.“La, kok diam aja. Betul kan yang aku bilang?”“Ya memang betul majikanku kaya banget. Tapi apa hubungannya sama aku. Itu juga dia kasih HP bekas bukan HP baru, lumayanlah aku jadi bisa pakai WA.”“Terserahlah. Aku cuma mau ngingetin janji kamu buat nyewa perawat untuk Mama. Ini udah lebih lama ya, kami udah kewalahan ngurus rumah sama Mama sekaligus. Aku udah nggak tahan banget, jadi aku minta besok kamu transfer uangnya biar perawatnya segera dikirim,” Yuni nyeroscos k
Benar saja, selesai aku bicara terdengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Seperti biasa aku membantu Ummi untuk shalat sambil duduk. Meski sudah sepuh tapi beliau sangat disiplin salat tepat waktu. Begitu juga putrinya. Setiap selesai alat Subuh dan Maghrib mereka tilawah bersama meski hanya beberapa halaman. Lututnya sudah lemah sehingga selalu memerlukan bantuan kursi roda. Sebelum berwudlu kubantu Ummi mengganti diapers dan membersihkan diri. Untunglah aku sudah terbiasa merawat Mama mertua, sehingga tak kaku lagi saat merawat majikanku. Sebagai manusia normal tentu saja masih ada rasa jijik saat harus membersihkan kotoran. Tapi karena saking terbiasanya aku merasa tak ada bedanya mengurus kotoran orang dewasa dengan bayi. Asal jangan lupa tahan napas aja saat prosesnya hehe.Suatu hari mertuaku itu bertanya, “Lala tidak jijik membersihkan kotoran Mama?”Aku tersenyum sebelum menjawab. “Aku juga manusia biasa, Ma. Jangankan kotora
“Nyi Iteung jangan bengong aja dong, soalnya enggak ada Kang Kabayan yang nolongin hahaha.” Ini anak suka banget menggoda. Lagian dia orang Jawa kok tahu tokoh dongeng Sunda.Sepanjang berbelanja aku mendorong Ummi Maimunah ke sana ke mari. Aku jadi teringat saat menemani Mama mertua berbelanja ke pasar. Dulu sebelum Mama kena stroke kami sering berbelanja bersama. Setelah itu masak bersama dan terakhir makan bersama. Yuni dan Yani tak pernah mau menemani Mama ke pasar, becek dan bau katanya.“Mama itu punya mantu kamu seperti punya tambahan anak perempuan, bisa diajak ke mana aja. Yuni sama Yani mana mau diajak ke pasar, maunya ke salon sama supermarket aja. Padahal di pasar itu asik bisa nawar dan murah. Lihat ini, mana bisa di supermarket sebanyak ini lima ribu’” kata Mama mertua suatu hari saat kami ke pasar. Di tangannya ada sekantong bumbu dapur seharga lima ribu rupiah. Kalau di warung itu bisa berlipat harganya.Aku memang selalu mau diajak wanita
“Kamu lagi bikin apaan?” aku melongok pada adonan yang dibikin Ayu. Sepagi ini dia sudah sibuk di dapur.“Bolu karamel alias sarang semut. Madam ketagihan setelah waktu itu aku bikinin.”Wangi gula merah menguar di dapur. Wangi bubur ayam yang kubikin sampai kesilep.“Kalau Ummi udah selesai tolong bantuin aku ya, La. Setelah ini masih banyak yang harus kubikin.”Aku mengacungkan dua jempol.“Memang berapa orang biasanya yang hadir?” tanyaku sambil terus mengaduk bubur.“Nggak sampe dua puluh. Tapi semuanya doyan ngunyah. Tahulah kalau keluarga besar udah ngumpul, paling asyik memang ngobrol sambil ngunyah hahaha.” Aku ikut tertawa. Memang seperti itu juga yang kurasakan saat ngumpul sama keluarga besar.Bubur sudah matang, tinggal masukkan ke mangkok. Ayam suwir, goreng bawang, telur rebus, sudah siap tinggal ditaburin merica sedikit, sip.Aku menyuapi Ummi sarapan dan tersenyum senang melihatnya lahap. Perempuan cantik khas Arab itu mengac
“Kenapa kamu tertawa sambil tepuk tangan kegirangan begitu?” tanyanya sambil minta sepotong bolu caramel yang sudah matang. Ini majikan ternyata bisa kepo juga sama kehidupan pembantunya. “Aku seneng karena Latifah udah berubah jadi pemberani, Madam. Ipar-ipar dia jahat banget, Latifah suka disiksa. Tadi iparnya nelpon minta uang lagi tapi Latifah tolak. Aku seneng banget pokoknya hehehe.” Ayu bicara tanpa rasa sungkan pada majikannya. Madam Hindun pun tak terlihat tersinggung.Madam Hindun menatapku lekat. “Betul yang dikatakan temanmu?”Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang tak pernah disiksa secara pisik tapi hati dan mental.“Iya, Madam,” jawabku akhirnya.Madam menatapku iba sekarang. Lalu dia menyatakan dukungannya pada ucapan Ayu agar aku berani sehingga tidak ditindas. Ini sama sekali di luar bayanganku. Curhat pada majikan. Karena yang kudengar dari berita dan cerita majikan itu galak dan arogan. ***
Kufoto karpet-karpet itu dan sesekali Ayu memfotoku bersama karpet itu, sesekali kami berfoto berdua. Narsis bin norak pokoknya. Biar saja yang penting bahagia haha. “Posting La di WA sama efbe, pengen lihat reaksi ipar kamu.”Aku nurut. Kupilih foto-foto yang paling keren dan kupasang semua fotonya di WA dan FB. Kutambahkan caption: karpet cantik dari majikan yang super baik hati. Alhamdulillah.Tak lama kolom komentar di FB-ku segera ramai orang menulis. Rata-rata mereka memuji betapa cantiknya karpet yang kuposting. Ada juga yang mempertanyakan benarkah majikan kami sebaik itu hingga memberikannya pada kami. Ada juga yang julid bilang dikasih karpet bekas saja dibanggakan. Dan si Julid pun jadi bahan rundungan netizen yang bilang iri tanda tak mampu.Aku sama Ayu senyum-senyum saja membaca komentar netizen yang maha benar. “Coba buka WA, kayaknya banyak notif tuh. Penasaran komentar iparmu.” Ayu makin merapatkan duduknya.
Sebulan kemudian Lina sama Ibu Video call pada jam istirahat siangku. Terlihat anakku tengah bermain gembira di atas karpet tebal cantik. Karpet Turki kirimanku.“Masya Allah Teteh, jangan beli barang mewah seperti ini, sayang uangnya. Pakai tikar biasa juga cukup Ibu mah.”Aku tersenyum. “Itu dikasih sama majikan Teteh, Bu. Enggak mungkin Teteh beli barang mewah seperti itu. Sayang uangnya, mending buat nabung bikin rumah.”“Ya Allah, majikan kamu itu baik banget ya. Kata Lina itu harganya jutaan ya. Bilang terima kasih dari Ibu sama majikan Teteh ya. Teteh juga kerja yang betul biar majikan seneng.” Ibu menasihatiku dengan lembut.“Aku udah bilang dikasih majikan Teteh, Ibu malah enggak percaya.” Kali ini Lina yang bicara membuat kami tertawa.“Bubu … Ucil maen cini. Enak empuk.” Anakku tengkurap sambil bermain mobil-mobilan.“Teh, tapi yang satu nggak muat di rumah kita. Panjang sekali karpetnya.” Lina memperlihatkan
Rasanya lelah sekali setelah menerima telpon dari adik semata wayang. Aku ke dapur menghampiri Ayu yang tengah makan nasi kebuli kambing dengan lahap. Tanpa banyak kata aku ikut makan dengan sangat lahap.“Ish ish ish … lapar atau doyan, Jeng? Enggak biasanya makan kayak kesetanan gitu.” Aku meringis mendengar komentar sahabatku.“Abis telponan sama Lina, ipar kembar datang ke rumah maksa minta karpet. Pake bilang aku harus balas budi karena dikasih makan gratis setahun sama mereka.” Aku ngadu pada Ayu.“Bener-bener tuh orang ya. Wajar aja kamu tinggal dan makan di rumah mertuamu. Toh mereka juga sama-sama numpang kan? Apalagi mereka meras keringat kamu tanpa dibayar. Harusnya impas bahkan mereka masih punya utang tuh sama kamu,” cerocos Ayu kayak petasan. Perasaan Ayu sama Lina tuh mirip banget kalau udah nyeroscos.“Aku yakin, ipar kembarmu itu pasti akan nelpon maksa kamu buat kasih mereka karpet. Pokoknya kamu harus tegas, La. Sekalinya
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu