“Nyi Iteung jangan bengong aja dong, soalnya enggak ada Kang Kabayan yang nolongin hahaha.” Ini anak suka banget menggoda. Lagian dia orang Jawa kok tahu tokoh dongeng Sunda.Sepanjang berbelanja aku mendorong Ummi Maimunah ke sana ke mari. Aku jadi teringat saat menemani Mama mertua berbelanja ke pasar. Dulu sebelum Mama kena stroke kami sering berbelanja bersama. Setelah itu masak bersama dan terakhir makan bersama. Yuni dan Yani tak pernah mau menemani Mama ke pasar, becek dan bau katanya.“Mama itu punya mantu kamu seperti punya tambahan anak perempuan, bisa diajak ke mana aja. Yuni sama Yani mana mau diajak ke pasar, maunya ke salon sama supermarket aja. Padahal di pasar itu asik bisa nawar dan murah. Lihat ini, mana bisa di supermarket sebanyak ini lima ribu’” kata Mama mertua suatu hari saat kami ke pasar. Di tangannya ada sekantong bumbu dapur seharga lima ribu rupiah. Kalau di warung itu bisa berlipat harganya.Aku memang selalu mau diajak wanita
“Kamu lagi bikin apaan?” aku melongok pada adonan yang dibikin Ayu. Sepagi ini dia sudah sibuk di dapur.“Bolu karamel alias sarang semut. Madam ketagihan setelah waktu itu aku bikinin.”Wangi gula merah menguar di dapur. Wangi bubur ayam yang kubikin sampai kesilep.“Kalau Ummi udah selesai tolong bantuin aku ya, La. Setelah ini masih banyak yang harus kubikin.”Aku mengacungkan dua jempol.“Memang berapa orang biasanya yang hadir?” tanyaku sambil terus mengaduk bubur.“Nggak sampe dua puluh. Tapi semuanya doyan ngunyah. Tahulah kalau keluarga besar udah ngumpul, paling asyik memang ngobrol sambil ngunyah hahaha.” Aku ikut tertawa. Memang seperti itu juga yang kurasakan saat ngumpul sama keluarga besar.Bubur sudah matang, tinggal masukkan ke mangkok. Ayam suwir, goreng bawang, telur rebus, sudah siap tinggal ditaburin merica sedikit, sip.Aku menyuapi Ummi sarapan dan tersenyum senang melihatnya lahap. Perempuan cantik khas Arab itu mengac
“Kenapa kamu tertawa sambil tepuk tangan kegirangan begitu?” tanyanya sambil minta sepotong bolu caramel yang sudah matang. Ini majikan ternyata bisa kepo juga sama kehidupan pembantunya. “Aku seneng karena Latifah udah berubah jadi pemberani, Madam. Ipar-ipar dia jahat banget, Latifah suka disiksa. Tadi iparnya nelpon minta uang lagi tapi Latifah tolak. Aku seneng banget pokoknya hehehe.” Ayu bicara tanpa rasa sungkan pada majikannya. Madam Hindun pun tak terlihat tersinggung.Madam Hindun menatapku lekat. “Betul yang dikatakan temanmu?”Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang tak pernah disiksa secara pisik tapi hati dan mental.“Iya, Madam,” jawabku akhirnya.Madam menatapku iba sekarang. Lalu dia menyatakan dukungannya pada ucapan Ayu agar aku berani sehingga tidak ditindas. Ini sama sekali di luar bayanganku. Curhat pada majikan. Karena yang kudengar dari berita dan cerita majikan itu galak dan arogan. ***
Kufoto karpet-karpet itu dan sesekali Ayu memfotoku bersama karpet itu, sesekali kami berfoto berdua. Narsis bin norak pokoknya. Biar saja yang penting bahagia haha. “Posting La di WA sama efbe, pengen lihat reaksi ipar kamu.”Aku nurut. Kupilih foto-foto yang paling keren dan kupasang semua fotonya di WA dan FB. Kutambahkan caption: karpet cantik dari majikan yang super baik hati. Alhamdulillah.Tak lama kolom komentar di FB-ku segera ramai orang menulis. Rata-rata mereka memuji betapa cantiknya karpet yang kuposting. Ada juga yang mempertanyakan benarkah majikan kami sebaik itu hingga memberikannya pada kami. Ada juga yang julid bilang dikasih karpet bekas saja dibanggakan. Dan si Julid pun jadi bahan rundungan netizen yang bilang iri tanda tak mampu.Aku sama Ayu senyum-senyum saja membaca komentar netizen yang maha benar. “Coba buka WA, kayaknya banyak notif tuh. Penasaran komentar iparmu.” Ayu makin merapatkan duduknya.
Sebulan kemudian Lina sama Ibu Video call pada jam istirahat siangku. Terlihat anakku tengah bermain gembira di atas karpet tebal cantik. Karpet Turki kirimanku.“Masya Allah Teteh, jangan beli barang mewah seperti ini, sayang uangnya. Pakai tikar biasa juga cukup Ibu mah.”Aku tersenyum. “Itu dikasih sama majikan Teteh, Bu. Enggak mungkin Teteh beli barang mewah seperti itu. Sayang uangnya, mending buat nabung bikin rumah.”“Ya Allah, majikan kamu itu baik banget ya. Kata Lina itu harganya jutaan ya. Bilang terima kasih dari Ibu sama majikan Teteh ya. Teteh juga kerja yang betul biar majikan seneng.” Ibu menasihatiku dengan lembut.“Aku udah bilang dikasih majikan Teteh, Ibu malah enggak percaya.” Kali ini Lina yang bicara membuat kami tertawa.“Bubu … Ucil maen cini. Enak empuk.” Anakku tengkurap sambil bermain mobil-mobilan.“Teh, tapi yang satu nggak muat di rumah kita. Panjang sekali karpetnya.” Lina memperlihatkan
Rasanya lelah sekali setelah menerima telpon dari adik semata wayang. Aku ke dapur menghampiri Ayu yang tengah makan nasi kebuli kambing dengan lahap. Tanpa banyak kata aku ikut makan dengan sangat lahap.“Ish ish ish … lapar atau doyan, Jeng? Enggak biasanya makan kayak kesetanan gitu.” Aku meringis mendengar komentar sahabatku.“Abis telponan sama Lina, ipar kembar datang ke rumah maksa minta karpet. Pake bilang aku harus balas budi karena dikasih makan gratis setahun sama mereka.” Aku ngadu pada Ayu.“Bener-bener tuh orang ya. Wajar aja kamu tinggal dan makan di rumah mertuamu. Toh mereka juga sama-sama numpang kan? Apalagi mereka meras keringat kamu tanpa dibayar. Harusnya impas bahkan mereka masih punya utang tuh sama kamu,” cerocos Ayu kayak petasan. Perasaan Ayu sama Lina tuh mirip banget kalau udah nyeroscos.“Aku yakin, ipar kembarmu itu pasti akan nelpon maksa kamu buat kasih mereka karpet. Pokoknya kamu harus tegas, La. Sekalinya
Hari ini rumah terasa lebih sibuk. Saat bangun tidur Ummi langsung minta dibantu buat mandi. Lalu salat subuh, tilawah dan minta sarapan lebih awal. Beliau juga mau minum obat tanpa dibujuk seperti biasanya. Pukul delapan sudah siap berjemur di depan jendela besar kamarnya. Beruntung sekali kamar ini menghadap timur, sehingga tak perlu keluar rumah untuk sekadar menikmati cahaya matahari.“Ini pertama kali Latifah melihat acara seperti ini. Silaturahmi yang sangat seru bersama keluarga besar. Kalian juga boleh kumpul bersama para TKW yang akan dibawa keluargaku. Nanti kamu harus makan yang banyak biar kamu enggak terlalu kurus begitu,” kata majikanku saat aku menanyakan akan ada acara apa.Kulihat Madam Hindun pun sudah sibuk sejak pagi. Beliau mengasapi pakaiannya dan pakaian ibunya dengan wangi-wangian khas Timur Tengah. Sore nanti keluarga mereka akan berkumpul di rumah ini. Semacam arisan keluarga mungkin kalau di Indonesia. Bila kemarin Ayu sibu
Para khadimat menghampiri kami di dapur. Mereka membantu menghidangkan makanan dan piring-piring. Di dapur pun suasana tak kalah serunya. Mereka seperti reunian. Hanya aku yang cuma bisa tersenyum-senyum karena baru kenalan. Mereka menjelaskan siapa majikan mereka dan hubungannya sama Ummi Maimunah.“Aku Tita, kerja di Madam Dewi. Itu lho yang wajahnya Indonesia sendiri. Dia dulunya seperti kita juga, lalu dijadikan istri ketiga Babah Khalid, majikannya.” Gadis Cianjur itu menjelaskan. Lalu obrolan pun jadi merumpi seputar Madam Dewi.“Beruntung banget ya dia. Sekarang sudah jadi sultanah. Ke mana-mana naik mobil mewah, tinggal di rumah mewah, mau apa-apa tinggal perintah.”“Aku juga mau lah jadi madam meski jadi istri ketiga.” Ayu nyeletuk. “Dari pada istri satu-satunya tapi direcokin ipar sama mertua mulu, miskin pula.”“Iya, terus gaya kamu jadi selangit. Merasa lebih madam dari madam Arab.” Mereka tertawa. Tita terlihat senyum masam, mung