“Sudah Zuhur, Ade mau salat sambil duduk atau di mushala?” Tepukan lembut Bu Mulia di lengan menyadarkanku. Rupanya pesawat sudah mengudara dengan stabil. Pramugari berlalu lalang membagikan makan siang para penumpang. “Ikan atau ayam?” tawar pramugari padaku dan Bu Mulia.“Ikan,” aku mengikuti jawaban bu Mutia karena agak kikuk belum terbiasa dengan pesawat.Pramugari cantik itu memberikan sebaki makanan dengan lauk utama ikan.“Aku mau salat di mushola, wudlunya di mana, Bu?”“Wudlunya tayamum aja, De. Kalau mau ke toilet itu tapi nggak bisa wudlu. Kamu lihat sendiri aja biar nggak penasaran.”Aku menuju toilet yang tak jauh dari tempat duduk. Seperti bukan toilet, kering nyaris tak ada air dan tempatnya bagus banget. Pantesan kata Bu Mulia tak bisa wudlu, pipis aja terbatas buat bersih-bersihnya. Lalu aku menuju mushola yang tak jauh dari toilet. Rupanya tempat ini difungsikan sebagai mushola hanya saat masuk w
Tak terasa sudah seminggu aku menjadi perawat di kota Madinah. Salah satu kota impianku juga impian berjuta-juta kaum muslimin di dunia. Sebenarnya aku tak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan sama sekali. Hanya modal pengalaman merawat Mama mertua beberapa bulan ini. Ditambah tekad kuat untuk mengubah tarap hidup agar lebih baik.Sebelumnya kudengar dari informasi yang disampaikan melalui adikku, para perawat sebelumnya tidak betah karena mulut tajam majikan kami. Biarlah akan kutahan semua ujian itu agar aku bisa bertahan. Toh aku juga sudah biasa menghadapi mulut tajam ipar kembarku. Semoga Allah melipatgandakan kesabaranku dalam menghadapinya.Saat melihat rumah majikanku dari luar terlihat biasa saja, kotak dengan warna coklat susu seperti yang lainnya. Tapi saat masuk masya Allah buatku seperti masuk istana. Karpet tebal terhampar hampir di seluruh ruang tamu dan ruang keluarga. Gordennya tinggi-tinggi dan sangat bergaya. Saat itu aku malah berpikir bagaimana cara members
Ayu memperlihatkan foto kalung dan beberapa buah cincin. Kutaksir semuanya bisa sampai 20 gram. Sungguh beruntung Ayu mampu mengambil hati majikan. Dari obrolan para tetangga yang pernah jadi TKW aku menyimpulkan tipe majikan itu sangat beragam. Ada yang bicaranya baik tapi tak pernah ngasih hadiah dan ada pula yang sebaliknya, mulutnya tajam tapi suka ngasih hadiah. Yang paling apes tentu saja sudah pelit, bermulut tajam pula.“Dari cerita kamu mengurus ibu mertua selama itu aku yakin kok kamu bakal mudah menjadi kesayangan Ummi sama Madam.” Ayu membesarkan hatiku.“Doakan ya. Saat ini aku masih terkendala Bahasa. Kadang nggak ngerti majikanku bilang apa. Akhirnya dia ngomel-ngomel sambil nunjuk-nunjuk.” Aku menunduk sedih menceritakan kendala yang kualami saat ini.“Yang sabar ya. Lama-lama juga telinga kamu terbiasa dengan Bahasa mereka. Aku juga dulu sama kayak kamu. Nanti malam kita latihan percakapan yang biasa majikan kita ucapkan ya.” Aku sangat berterima kasih pada perhatian t
Saat turun dari taksi aku melihat seorang balita laki-laki tengah bermain bersama teman-temannya di depan rumah Ibu. Dia tertawa dengan riang. Tawanya menular padaku membuat hatiku hangat. Dia pasti Yusril anak kesayanganku. Kurentangkan tangan sambil menyapanya.“Ucil, sini Sayang. Ini Ibu, Nak!”Dia menghentikan tawanya dan menatapku tak suka. Semakin kudekati semakin menghindar. Ibu dan Lina keluar rumah untuk membujuknya tapi dia tak mau mendengarkan. Dia malah menangis dan menjerit-jerit. Kami menjadi tontonan para tetangga dan anak-anak yang tengah bermain. Aku menangis sesenggukkan, rasanya sakit sekali ditolak anak sendiri. Aku masih sesenggukan saat seseorang mengguncang-guncang badanku.“Kamu mimpi buruk, La?’Syukurlah ternyata hanya mimpi. Rasanya sesakit itu, seperti nyata. Ayu menatapku dengan khawatir. Dia mengusap-usap punggungku. Bukannya tenang, aku malah makin meledakkan tangis dalam pelukan kawan baruku yang baik hati itu.Setelah tenang kuceritakan mimpiku. Meski
Selesai menyuapi Ummi makan siang dan membantu salat Dzuhur, aku segera salat dan makan dengan cepat. Sudah tak sabar mendengar celoteh cadel balitaku.“Bubuu …. “ Suara menggemaskan buah hatiku langsung membelai gendang telinga begitu telpon tersambung. “Ucil Sayang, Bubu kangeen banget sama Ucil. Udah maem belum?”“Udah, Ucil maem ican.”“Wah, anak Bubu pinter banget mau makan ikan. Makan sayur juga kan?” “Maem dikit.”Lalu aku mengobrol ke sana ke mari sama anakku. Sesekali Ibu menjelaskan maksud perkataan anakku. Alhamdulillah perkembangan bahasanya semakin baik. Anakku pasti banyak yang suka ngajak ngobrol sehingga sebelum dua tahun sudah mulai cerewet. Berbeda dengan waktu di rumah mertua, hanya aku saja yang suka ngajak dia bicara, ayahnya sesekali saja.“Aku itu bukan nggak mau ngajak ngobrol anakku, tapi aku nggak ngerti kalau dia bicara. Lagi pula sama anak balita memangnya mau ngobrol apaan sih.” Begitu alasan Mas Agi saat aku memintanya sering mengajak Yusril ngobrol.Set
Pukul tiga belas waktu Madinah hp ku berbunyi. Di Indonesia tentu sudah sore. Ada panggilan telpon via aplikasi hijau dari Mas Agi. Apa ada hal penting dia sampai nelpon? Biasanya kami hanya komunikasi via chat aplikasi hijau. Untunglah majikan tengah tidur siang.“Halo, assalamualaikum, Mas.”“Hai Lala, apa kabar? Kamu pasti dapat majikan kaya banget ya sampe bisa dikasih HP? Syukurlah aku ikut bahagia.” Ternyata bukan Mas Agi, Yuni yang bicara. Ada apa ini? Perasaanku tiba-tiba nggak enak.“La, kok diam aja. Betul kan yang aku bilang?”“Ya memang betul majikanku kaya banget. Tapi apa hubungannya sama aku. Itu juga dia kasih HP bekas bukan HP baru, lumayanlah aku jadi bisa pakai WA.”“Terserahlah. Aku cuma mau ngingetin janji kamu buat nyewa perawat untuk Mama. Ini udah lebih lama ya, kami udah kewalahan ngurus rumah sama Mama sekaligus. Aku udah nggak tahan banget, jadi aku minta besok kamu transfer uangnya biar perawatnya segera dikirim,” Yuni nyeroscos k
Benar saja, selesai aku bicara terdengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Seperti biasa aku membantu Ummi untuk shalat sambil duduk. Meski sudah sepuh tapi beliau sangat disiplin salat tepat waktu. Begitu juga putrinya. Setiap selesai alat Subuh dan Maghrib mereka tilawah bersama meski hanya beberapa halaman. Lututnya sudah lemah sehingga selalu memerlukan bantuan kursi roda. Sebelum berwudlu kubantu Ummi mengganti diapers dan membersihkan diri. Untunglah aku sudah terbiasa merawat Mama mertua, sehingga tak kaku lagi saat merawat majikanku. Sebagai manusia normal tentu saja masih ada rasa jijik saat harus membersihkan kotoran. Tapi karena saking terbiasanya aku merasa tak ada bedanya mengurus kotoran orang dewasa dengan bayi. Asal jangan lupa tahan napas aja saat prosesnya hehe.Suatu hari mertuaku itu bertanya, “Lala tidak jijik membersihkan kotoran Mama?”Aku tersenyum sebelum menjawab. “Aku juga manusia biasa, Ma. Jangankan kotora
“Nyi Iteung jangan bengong aja dong, soalnya enggak ada Kang Kabayan yang nolongin hahaha.” Ini anak suka banget menggoda. Lagian dia orang Jawa kok tahu tokoh dongeng Sunda.Sepanjang berbelanja aku mendorong Ummi Maimunah ke sana ke mari. Aku jadi teringat saat menemani Mama mertua berbelanja ke pasar. Dulu sebelum Mama kena stroke kami sering berbelanja bersama. Setelah itu masak bersama dan terakhir makan bersama. Yuni dan Yani tak pernah mau menemani Mama ke pasar, becek dan bau katanya.“Mama itu punya mantu kamu seperti punya tambahan anak perempuan, bisa diajak ke mana aja. Yuni sama Yani mana mau diajak ke pasar, maunya ke salon sama supermarket aja. Padahal di pasar itu asik bisa nawar dan murah. Lihat ini, mana bisa di supermarket sebanyak ini lima ribu’” kata Mama mertua suatu hari saat kami ke pasar. Di tangannya ada sekantong bumbu dapur seharga lima ribu rupiah. Kalau di warung itu bisa berlipat harganya.Aku memang selalu mau diajak wanita
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka
“Jodoh kan takdir. Yang namanya takdir kan kita bisa berikhtiar enggak pasrah gitu aja. Kayaknya enggak mungkin sultan Arab itu tiba-tiba jatuh hati pada, maaf ya, seorang pembantu.”Jleb! Meski benar aku pembantu di negeri orang, tapi tak usahlah sampai ditegaskan begitu. Pembantu juga manusia yang punya hati. Rasanya malas sekali menghadapi tamu tak diundang ini. Sudah mah minta tips yang aneh-aneh eh malah menghina yang diminta tipsnya pula.“Eh, ada de Linda sama Melin, tumben ke mari. Ada hal penting ya?” Ibu masuk dari warung dan langsung menyapa. “Iya nih, Teh, ada yang mau ditanyakan sama Lala, tapi Lalanya kayak enggak mau berbagi ilmu yang dia punya.” Eh, Bi Linda malah ngadu.“Ooh mau minta ilmu jualan kurma mungkin ya? Kasih tahu atuh, Teh.” Aku jadi ingin ketawa lihat ekspresi melongo Bi Linda.“Sebentar ya, Uwa ambilin rujak, Melin suka rujak, kan?’ Ah, ibu yang selalu baik sama semua orang meski orang itu tak pernah menganggapnya.Setelah Ibu ke warung, Bi Linda dan
“Anak Ibu sama ponakan Ibu sama-sama cantiknya. Apalagi cantiknya keluar dari hati, makinlah keluar aura cantiknya.” Ibu menepuk-nepuk lengan kami. Kulihat Wak Yati tertawa dengan wajah berseri meski juga tak dapat menyembunyikan kelelahan setelah seharian keliling kota.Ucil yang tertidur dalam pelukan Wak Yati menggeliat-geliat. Sepertinya dia kelelahan dan merasa kurang nyaman tidurnya. Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa mampir sebentar membeli ikan bakar untuk makan malam di rumah. Rasanya hari ini banyak orang bertingkah lucu. Dimulai dengan pagi-pagi ada tamu teman sekolahku. Sebenarnya kami dulu tidak bisa dibilang dekat, dia yang lumayan kaya bergaul dengan teman selevelnya. Entah angina apa yang membawanya kemari. Dia tak sendiir, membawa dua orang temannya yang tinggal di desa sebelah juga katanya. Dan kedua temannya itu masing-masing membawa dua temannya juga. Jadilah pagi ini aku menerima tamu rombongan dadakan yang sebenarnya tak kukenal. Ibu yang men
Kami sepakat untuk menggunakan jasa WO temannya Lina. Setelah itu kami mengobrolkan banyak hal seputar persiapan walimah. Sebenarnya aku malu harus walimahan yang kedua kali, cukup syukuran keluarga. Tapi suamiku tetap pada pendiriannya ingin mengadakan walimahan sekalian mengenal handai tolan kami katanya. Betul juga sih, kalau mengunjungi satu-satu kapan waktunya. Hari ini kami akan berbelanja kebutuhan walimah ke kota. Aku, Ibu, Lina, Yusril, Wak Yati, dan Imah, Kami menggunakan jasa rental mobil plus sopirnya. Sengaja kami menggunakan mobil yang agak besar karena nanti akan berbelanja cukup banyak. Suamiku yang kaya dan baik hati itu memberikan uang rupiah dalam kartu ATM-ku.“Ajak Ibu dan siapa pun yang Adik mau untuk berbelanja ke kota. Terserah mau belanja apa pun yang Adik inginkan dan butuhkan terutama untuk walimah kita. Kalian bersenang-senanglah sesekali. Makan di restoran, perawatan di salon, apa pun. Abang ingin Adik bahagia dengan keluarga. Seharian ini Abang akan sibu