“Oekkk.. oekkk.. oekkk”. Terdengar suara tangis bayi yang awalnya sayup-sayup menjadi semakin keras. Sekar terkejut dan mencoba mencari sumber suara itu. Ia bergegas mengelilingi rumah yang ukurannya cukup luas. Rumah itu memiliki 4 kamar, dapur, 2 kamar mandi dan ruang tamu yang luas.
Mereka akan menginap selama dua minggu namun di hari pertama, suasana cukup terasa menegangkan. Sekar cukup terganggu dengan suara bayi yang semakin keras itu. Teman-temannya mulai keheranan melihat tingkah laku perempuan berkepang dua itu, namun mereka hanya bisa mengernyitkan dahinya. Penyebabnya karena tak seorangpun yang mendengar suara tangis bayi itu kecuali Sekar. Sekar bergegas membuka pintu masing-masing kamar dengan cepat namun ia tidak menemukan seorangpun disana. Ketika ia hendak membuka kamar terakhir yang terletak di belakang, ia dikejutkan dengan tepukan tangan di bahunya, Sekar menoleh dan terkejut bukan main. Ia melihat lelaki seusia ayahnya berdiri tegak menghadapnya. lelaki itu tersenyum penuh makna melihat tingkah laku gadis berkepang dua itu. “Mbak, cari apa? Ini gudang, hanya berisi perkakas atau barang tidak dipakai saja,” ucapnya dengan nada ramah dan senyum yang terkesan mengerikan. “Maaf pak, saya sedari tadi mendengar bayi menangis, dan sepertinya sumber suaranya dari ruang ini,” jawabnya dengan penuh keyakinan, Sekar merasa firasatnya tidak salah. “Maaf mbak, rumah ini sudah kosong selama lima tahun karena pemiliknya pergi ke kota, mereka menitipkan rumah ini pada saya, perkenalkan saja Sujito, adik pemilik rumah ini, mbak ini siapa ya?” ucapnya sambil mengulurkan tangannya yang kekar, terdapat bulu-bulu halus di tangannya yang semakin menunjukkan kesan gagah dan maskulin. “Maaf pak, jika saya kurang sopan, saya Sekar Arum. Mahasiswa semester lima dari Universitas X, kemarin saya menghubungi bapak untuk konfirmasi rumah ini sebagai tempat tinggal kami untuk melaksanakan KKN selama dua minggu.” Jawab Sekar sambil menyambut tangan itu, terasa dingin namun seolah tak ingin lepas. Sekar nampak berusaha melepaskan genggaman tangan itu sambil tersenyum seolah tak nyaman. Menyadari gelagat tak biasa, Pria kekar itu melepas genggamannya dengan senyum seperti menahan malu. Sekar merasa rumah ini tidak beres namun ia tidak bisa memuaskan rasa penasarannya, karena ini bukannlah rumahnya, sungguh tidak sopan jika menggeledah rumah orang lain hanya untuk mengobati rasa penasaran itu, lantas ia mencoba mengabaikannya. “Teman-teman, besok kita mulai survei. Siang ini kita istirahat dulu, nanti sore kita rapatkan tentang plan selama KKN disini.” Ungkap Adi sang ketua kelompok sambil memandangi wajah teman-temannya yang masih terlihat kelelahan. Adi membagi kamar agar mereka tidak saling berebut, dengan rincian sebagai berikut ; Adi dan Danan di kamar nomor 1, Ardan dan Joko di kamar nomor 2, Sekar, Mila dan Susan di kamar nomor 3. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, matahari mulai terbenam di ufuk barat tanda-tanda mulai menjelang maghrib. Suasana desa itu semakin sepi. nampak tidak ada aktivitas di luar rumah dan tidak terdengar suara adzan. Di dalam kesunyian itu, tiba-tiba muncul suara adzan yang membangunkan mereka dari lamunan masing-masing. Suara adzan maghrib itu terdengar dari gawai milik Adi sang ketua kelompok. “Teman-teman ayo kita sholat dulu sebelum lanjut diskusi. Susan kamu disini dulu ya, nanti akan ada orang kirim katering untuk makan malam kita,” Titah Adi pada Susan. Susan menganggukkan kepala tanda setuju. Ia satu-satunya mahasiswa yang beragama nasrani sehingga tidak keberatan jika harus berjaga-jaga sambil menunggu pihak katering datang. 10 menit setelah teman-temannya beranjak menuju kamar mereka masing-masing untuk sholat, mulai terdengar suara tawa anak-anak yang saling berkejaran di depan rumah kontrakan mereka. Kondisi kontrakan memang tidak jauh dari jalan raya, hanya terhalang oleh halaman yang luas namun gersang. Hanya terdapat satu pohon mangga berukuran besar. Susan reflek berdiri, ia mulai menyibak gorden dirumah itu agar pandangannya tidak terhalang karena ingin memuaskan rasa penasarannya. “Lho, kok sepi? Enggak ada orang? Perasaan baru saja aku dengar suara anak-anak bermain, apa aku salah dengar?” ia bergumam seolah-olah tak percaya apa yang di dengarnya. Kecewa dengan apa yang dilihatnya, Ia kembali duduk dan memainkan gawainya dan mengecek notifikasi di akun medsosnya. “Tok... tok... tok.” Terdengar pintu depan di ketok, Sekar reflek bangkit dari duduknya, ia mengira petugas catering mungkin telah datang. Saat ia membuka pintu rumah itu ternyata nihil. Tak seorangpun diluar sana, hanya hembusan angin yang membuat bulu kuduknya semakin merinding. Ia menutup kembali pintu itu namun seperti terhalang sesuatu, rambut panjang yang menjuntai kebawah hingga seolah menyapu lantai rumah itu. Susan terkejut, matanya melotot menatap rambut itu, ia mencari kemana sumber rambut itu, hingga ia melihat sesosok perempuan di halaman rumah yang sedang berdiri membelakanginya dengan punggung yang berlubang, terlihat belatung menari-nari menggerogotinya. “Setan... Sundel Bolong!” Teriaknya dengan keras sambil menutup pintu rumah itu, ia tersungkur sambil duduk bersimpuh memegangi wajahnya. Batinnya shock, detak jantungnya semakin berdetak cepat. Napasnya terengah-engah, Susan merasa jantungnya hampir copot. Mendengar teriakan itu, teman-temannya segera bergegas menghampiri Susan, semua nampak panik tidak terkecuali Sekar. Susan bercerita tentang kejadian seram yang baru saja ia alami meski terbata-bata. Penjelasan Susan membuat bulu kuduk mereka merinding, seolah-olah mereka bisa merasakan apa yang dialaminya. Beberapa saat kemudian terdengar kembali suara ketukan pintu. Semua orang saling menatap seolah tidak ada yang berani membukanya. Mereka seperti trauma dengan cerita Susan, khawatir akan mengalami terror serupa, Adi sebagai ketua mencoba memberanikan diri untuk membuka pintu itu. “Maaf dik, kami terlambat mengantar makanan ini karena tadi hujan,” sapa perempuan berkerudung merah itu, ia tersenyum sambil memberikan 10 kotak makanan untuk makan malam mereka. Padahal hari itu terlihat cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan bahkan seharian cuaca cukup panas. “Iya mbak, tidak apa-apa kami mengerti,” Ucap Adi menenangkan wanita muda itu. Mendengar penuturannya, wanita muda itu mohon undur diri, dia nampak berjalan tanpa alas kaki, menggunakan drees vintange warna merah lengkap dengan kerudungnya, terlihat berjalan cepat tanpa halangan. “Pantas, dia terlihat kelelahan mungkin karena lelah berjalan kaki,” gumam Adi. Ia segera beranjak dan menutup pintu. Ia mulai membagikan makanan dalam kotak itu pada teman-temannya. Danan dan Joko yang sudah kelaparan segera menyantap kotak yang berisi mie goreng yang masih hangat dengan toping ayam dan telur mata sapi diatasnya. Tika dan Susan hanya memandangi makanan diatas meja itu, mereka nampak tidak berselera sedangkan Adi memilih untuk mengambil minuman terlebih dahulu. Sekar mematung, ia merasa heran karena ia pesan nasi goreng namun malah mie goreng yang ada di hadapannya. Tiba-tiba gawai sekar bergetar, terlihat ada notifikasi pesan dari pihak katering yang mengatakan bahwa mereka akan terlambat sampai tujuan karena motor mereka mogok. Sekar terkejut hingga menjatuhkan gawainya, semua orang menatapnya. “Jangan makan makanan itu, itu bukan masakan manusia!” teriak Sekar mengejutkan teman-temannya, ia reflek mengambil makanannya dan membuangnya ke tong sampah. Teman-temannya terkejut seolah tak percaya tentang apa yang terjadi. Namun makanan itu seolah berubah disaat Sekar berteriak. Nampaklah mie goreng itu berwujudkan cacing yang masih hidup bahkan bergeliat, toping ayam suwir dan telur mata sapi ternyata adalah bangkai ayam dan bola mata sapi. Danan dan Joko reflek berlari keluar rumah dan memutahkan semua isi makanan dalam perutnya. Adi segera membantu Sekar membuang makanan itu ke tong sampah. Tika dan Susan terlihat pingsan setelah melihat makanan menjijikkan itu, suasana nampak kacau balau. “Ada yang tidak beres dengan desa ini,” gumam Sekar. Ia nampak mengawasi sekitar seperti merasa ada yang memperhatikannya. Sekar merasa energi makhluk halus itu kuat hingga membuat bulu kuduknya merinding. Adi selaku ketua segera meminta teman-temannya untuk beristirahat di kamar termasuk Sekar. “pulanglah... ini bukan tempatmu!” teriak perempuan berkerudung merah itu, sorot matanya tajam, seolah mencabik-cabik Sekar yang berlarian tunggang langgang. Sekar berlari menerobos hutan dalam pekatnya malam, berbekal cahaya rembulan, ia terus berlari untuk menghindari perempuan itu. Tiba-tiba di ujung pohon besar, terlihat perempuan menggunakan pakaian sinden, kulitnya bersih berjenis kuning langsat, ia tersenyum menatapnya dan berteriak “lawan, perempuan bergaun merah itu!”Sekar terperanjat, ia mulai memperhatikan sekitar, kemudian ia menyadari bahwa baru saja ia mengalami mimpi buruk. Mimpi yang terasa nyata baginya. Ia mulai bangkit dari tempat tidurnya, perlahan berjalan menuju kamar mandi untuk melaksanakan sholat shubuh, sambil berharap semua akan baik-baik saja. Sebelum itu Sekar mulai membangunkan Mila yang tidur di sampingnya namun responnya hanya tersenyum lalu melanjutkan tidurnya. Sekar hanya bisa menarik nafas panjang melihat tingkah sahabatnya itu dan bergegas menuju kamar mandi. Di depan kamar mandi terdapat sebuah lemari kuno yang terlihat usang. Di pintu lemari terdapat kaca seukuran badan yang menarik perhatian Sekar. Ia berkaca sebelum ke kamar mandi, terlihat wajahnya sendu, matanya nampak lelah seperti kurang tidur. Ketika sedang asyik bercermin ria, tiba-tiba muncul Pesinden yang ada di mimpinya kala itu. Senyumnya terlihat menyeramkan hingga sekar bergidik, ia merinding melihat pantulan bayangannya di cermin itu. Ketika ia meno
Perjalanan malam itu ternyata tidaklah mudah. Mereka kerapkali diganggu dengan penampakan makhluk tak kasat mata. Namun Ki Ageng berpesan agar mereka tetap fokus berjalan dan tidak berhenti meski apapun yang terjadi. Terdengan suara tawa kuntilanak menggema di sepanjang jalan mereka. Bahkan terdengar pula suara gelak tawa anak kecil yang berwujud tuyul yang terlihat asik bermain. Sedangkan di ujung jalan terlihat sekumpulan pocong seolah menghadang mereka. Joko yang penakut hampir pisan melihat gangguan ini namun Adi terus menyemangatinya dengan mengatakan jika takut, sebaiknya pura-pura tidak melihat saja, dan terus membaca doa dalam hati. Setelah menempuh perjalanan yang menghabiskan waktu dua jam dengan jalan kaki, akhirnya rombongan itu tiba di daerah sumur keramat. Ki Ageng segera memimpin ritual yang bertujuan untuk meminta kekuatan pada leluhur kampung yang dianggap memiliki kekuatan agar membantu mereka. Tak lupa Ki Ageng meminta tetesan darah dari tiga pemuda yang masih pe
Disaat ketiga lelaki itu pergi, tinggal Sekar dan Mila yang berdiam diri di kamar. Mila tentunya tidak bisa tidur dan jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Ia mulai kepikiran tentang teman-temannya yang tak kunjung datang dan khawatir pula jika Sekar kesurupan lagi. Kemudian ia memutuskan untuk sholat agar perasaanya tenang. Baru rokaat pertama terdengar suara perempuan tertawa menambah kesan ngeri. Bulu kuduknya bergidik namun ia berusaha untuk terus merapalkan doa-doa dengan harapan akan datang pertolongan kepadanya. “Kamu perempuan munafik yang telah meninggalkan temanmu di sumur keramat, bahkan sering menjelekkannya di belakangnya. Padahal dia tulus berteman denganmu,” bisik perempuan itu terdengar pelan namun cukup terdengar di telinga Mila. Mila mulai tidak fokus ia segera mempercepat sholatnya dan berharap suara itu berhenti juga. Namun saat ia menyelesaikan sholat dan menoleh ke arah sahabatnya itu, sekar tidak ada. Ia terkejut dan segera mencarinya di segala sudut
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN di desa terkutuk itu. Kabar mereka yang telah mengalami kesulitan telah viral di medsos. Hal ini menjadi landasan bagi otorita kampus untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut dengan menghentikan dan mengutus dosen penanggung jawab untuk memantau kondisi sebenarnya. Dosen muda itu tiba di desa X untuk memberikan pertolongan pertama kepada mahasiswanya. Ia merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas kegiatan KKN tersebut. Dosen muda itu berperawakan tinggi, berkulit sawo matang dan memiliki senyum manis. Ia memiliki ciri khas senyum menawan yang mampu membuat mahasiswinya terpesona. Ia belum menikah dan berusia sekitar 25 tahun. Ia tiba di desa itu sekitar pukul 14.00 WIB. “Selamat datang Pak Galih, kami senang sekali melihat bapak mengunjungi desa ini. Mohon maaf, kami belum bisa maksimal mengerjakan tugas KKN ini karena banyak peristiwa di luar nalar yang terjadi bel
“Alhamdulillah, akhirnya kita akan segera masuk kota,” ujar Adi penuh semangat. Ia menatap sekeliling memastikan teman-temannya mulai bangun dari tidurnya. Setelah mereka membuang makanan itu, jalan mereka seolah dimudahkan. Perjalanan menjadi lancar tanpa kendali berarti walau sesekali harus singgah untuk mengisi bahan bakar mobil atau mengisi perut mereka yang terasa kosong. Wajah-wajah penuh lelah itu seolah menyiratkan kesedihan dan trauma mendalam. KKN yang seharusnya berlangsung selama dua minggu, hanya dapat terlaksana selama kurang dari satu minggu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan disana kecuali berjuang untuk bertahan hidup menghadapi teror dedemit penunggu desa terkutuk itu. Di tengah wajah-wajah penuh luka traumatis itu ternyata ada yang berbeda. Galih sang dosen muda terus menatap Sekar tak henti-hentinya, pikirannya melayang-layang mencoba menerka siapakah perempuan berkebaya hijau itu? Kenapa dia bisa berada di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memberondon
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian viral KKN itu namun perbincangan di tengah khalayak kampus sepertinya belum juga reda bahkan semakin menjadi-jadi. Kini beredar kabar bahwa Sekar telah mengencani beberapa pria. Entah darimana rumor itu berasal, pembicaraan miring tentang gadis berkhodam itu seolah tidak ada habis. “Kamu tahu nggak, Sekar itu katanya dekat juga lo dengan salah satu dosen kita, dosen muda malah,” bisik perempuan berkerudung hitam itu, bibirnya terlihat komat-kamit seperti mbah dukun baca mantra padahal yang dibicarakan adalah gadis yang duduk didepannya namun sang gadis nampak pura-pura tak mendengarnya. “Iya, aku pernah melihat mereka berduaan aja di ruangan dosen, ngapain coba? Terus aku denger kayak ada pecahan gelas gitu? Apa iya main gila sampai gelas-gelas pada pecah?” sahut perempuan berambut pendek yang duduk disebelahnya sambil cekikikan, seolah ia melihat langsung peristiwa itu. Mereka berdua saling pandang kemudian tertawa pelan, mereka tidak meny
Masih dalam pergumulan asmara yang kian membara terlihat seorang lelaki tampan berupaya menuntaskan permainannya malam itu, sang gadis seolah pasrah dan sangat menikmatinya. Namun diluar prediksi, tiba-tiba sang gadis berteriak dan mendorong lelaki itu hingga ia jatuh seolah terpental. Entah darimana sang gadis memiliki kekuatan sebesar itu. Ia mulai menyadari kesalahannya dan bergegas memakai pakaiannya. Tak lupa ia mengemasi barang-barangnya dan pergi dari villa itu. Gadis itu berjalan seorang diri seolah meratapi nasibnya. Ia merasa apa yang dilakukan salah dan hampir melampaui batas. Ia masih mendengar suara sinden yang terkesan terus menerus memakinya. Sinden itu nampak murka, ia kesal karena gadis itu tidak terjerumus dalam permainan cinta penuh hasrat lelaki tampan selingkuhannya. Padahal Sinden itulah yang selama ini terus berbisik pada Sekar agar dia menerima cinta dari Aldo. Aldo adalah lelaki yang sering gonta-ganti pasangan, sebagai vokalis band yang cukup tampan dan te
Pasca kejadian di Villa, Pengaruh Sulastri terlihat mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh niat dan upaya Sekar untuk terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Sekar mulai rutin beribadah seperti sholat, mengaji dan mengikuti kajian-kajian keagamaan. Melihat Sekar yang mulai menjaga jarak dengannya, khodam itu terlihat tak berdaya dah hanya mampu mengamati dari jauh. Sekar mulai sibuk mencari penghasilan sampingan, ia mendapat kabar jika orang tuanya belum bisa mengirimkan uang karena upah mereka tidak seberapa akibat cuaca buruk yang mengakibatkan gagal panen. Berbekal relasi yang dimiliki, Sekar akhirnya bekerja di sebuah warung makan yang menjual masakan khas jogja. Di tengah kesibukan bekerja, Sekar yang baru saja bekerja tiba-tiba seringkali terganggu oleh hal-hal gaib. Mulai dari piring yang tiba-tiba pecah, air kamar mandi yang terus menyala padahal tidak ada orang di dalam, hingga terdengar suara samar-samar yang memanggil namanya. Teror itu tidak hanya berlaku baginya namun
Sekar segera terbangun dari tidurnya, tak menyangka jika dalang di balik menghilangnya pemuda desa adalah ulah dari Ibu Galih! Semua sudah terlambat, sebab kini dia berada di pabrik terbengkalai tempat Ibu Galih melakukan ritual sesat itu. "Sekar! Bukankah khodammu sudah mengingatkan agar kau tidak datang ke desa ini, kenapa kau masih nekat?" tanya Ibu Galih yang kini berdiri dengan tatapan mengintimidasi. Sekar yang tergelatak di lantai hanya beralaskan tikar, mencoba membuka ikatan tali yang membuat tubuhnya sulit digerakkan, kepalanya terasa pusing. "Ibu, kenapa anda tega menumbalkan anakmu sendiri? Galih meninggal karena ingin menyelamatkanku dan dia menutup mulutnya meski mengetahui bahwa anda adalah dalang di balik kekacauan ini?" tanya Sekar penasaran. "Aku tidak pernah menumbalkan anakku! Dia hanyalah anak bodoh yang merelakan nyawanya untuk gadis murahan sepertimu!" sanggahnya dengan mata yang memancarkan sinar merah. "Ibu, mengapa anda mengkhianati Ayah Galih? Buka
Kejadian pertama hilangnya warga desa. "Pak Kades baik ya, hampir tiga bulan sekali selalu mengadakan hajatan," ujar pria berkaos hitam, sambil menghisap rokoknya yang tinggal sebatang."Iya, bahkan bu kades sering datang ke rumahku untuk membagikan sembako," sahut Udin, pemuda desa yang cukup tampan tapi memilih untuk menikah muda."Masak sih? Kok ke rumahku enggak ya?" sahut Suro, pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun."Ah ... Kamu kan memang jarang di rumah, tau dari mana kalau bu kades bagi-bagi sembako," ujar Udin diiringi dengan gelak tawa meremehkan.Ketiga pria itu sedang asyik menyantap berbagai cemilan yang tersaji di depannya. Mereka terlihat tidak memperdulikan istrinya yang mengajak pulang. Terlalu asyik dalam iringan musik dangdut.Hajatan di desa itu berlangsung selama dua hari, hari pertama diisi dengan pengajian yang mendatangkan seorang penceramah dari desa lain. Sedangkan hari kedua diisi dengan konser musik dangdut yang sangat meriah karena menghadirkan bidua
Pov Sekar "Aku juga nggak suka dengan dia! Cewek gampangan banget! Belum nikah sudah mau tinggal seatap! Benar-benar nggak tahu malu!" sambung Gina, kakak perempuan Galih yang sejak awal memang tidak menyukaiku. Aku bisa melihat Galih tengah menahan amarah, wajahnya memerah, menatap tajam ke arah ibu dan kakak perempuannya. "Bu, sudahlah! Galih sudah dewasa, dia tahu apa yang diperbuat, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri! Gina, kamu tidak boleh menuduh orang sembarangan!" bentak Ayah Galih sambil melotot ke arah istri dan anak perempuannya. Dibentak sang ayah, Gina memilih diam. Ia melanjutkan makannya sambil melirik tajam ke arah Galih. "Ayah! Bukankah kamu tahu bahwa hidup kita berkecukupan sampai saat ini karena Khodam Raja Jawa selalu bersama kita! Artinya jika Galih melanggar perjanjian dengan menikahi gadis yang berbeda khodam dengan kita maka hidup kita akan sengsara! Aku tidak mau kita miskin, Yah!" sanggah Ibu Galih. Aku hanya menjadi penonton dalam perdeb
Pov Sekar Tidak terasa aku telah seminggu berada di rumah Galih. Sulastri tak pernah muncul semenjak pertengkaran kami. Tidak ada luka serius dalam tubuhku hanya saja rasanya susah sekali untuk sekedar menggerakkan badan. Aku tersadar dua hari kemudian pasca kecelakaan tunggal, itulah yang kudengar dari anggota keluarga Galih. Hari ketiga aku mulai bisa membuka mataku, yang tentu disambut gegap gempita oleh anggota keluarga ini terutama sang ayah. Aku bisa melihat senyuman manis di wajahnya yang mengingatkanku pada Galih, orang yang telah tiada tapi jiwanya seolah tetap berada di sisiku. Hari selanjutnya, aku mulai bisa menggerakkan tubuhku hingga kini tepat seminggu, aku telah duduk di meja makan ini, bersama keluarga Galih. "Bagaimana kondisimu Sekar? Apa perlu kita ke kota untuk mencari dokter terbaik? Selama ini kami hanya bisa memanggil bidan desa untuk memeriksa kondisimu?" tanya Ayah Galih yang perhatian padaku seperti biasanya. "Aku baik-baik saja Pak, terima kasih s
Pov Sekar Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Meski aku dapat merasakan kasur empuk telah menopang tubuhku yang mati rasa. Perlahan aku mulai membuka mata meski terasa berat. Samar-samar aku mendengar percakapan dua pria yang berada di dekatku. "Bagaimana kondisinya, apakah dia baik-baik saja? Warga menemukannya pingsan di jalanan dekat pabrik terbengkalai. Dia seperti mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan dekat pabrik tua itu," ujar pria dengan suara beratnya. "Dia baik-baik saja, hanya sedikit luka di bagian kepala akibat benturan kepala, mungkin dia hanya kelelahan," sahut pria lain. "Jika baik-baik saja mengapa tak kunjung sadarkan diri sejak kemarin? Dia sudah pingsan selama dua hari!" Aku terkejut mendengar pernyataan pria dengan suara berat itu, sepertinya aku mengenal suaranya! Tidak salah lagi, dia adalah Ayah Galih! lalu dengan siapa ia berbicara? Aku yang sebenarnya mulai perlahan tersadar dari pingsanku, mencoba unt
POV Sekar "Maaf, Mbak tahu dari mana info bahwa saya adalah istri Galih?" tanyaku penasaran. "Pak Kades kemarin memberitahukan pada kami jika istri Mas Galih yang akan membantu kami melakukan pencarian orang-orang hilang," jawab wanita muda itu. Aku kasihan melihatnya, wanita muda tengah menggendong seorang bayi yang terlelap beserta kedua anak laki-laki yang bermain di sekitar halaman. Aku rasa tidak ada salahnya mengikuti permainan Pak Kades atau Ayah Galih. Status palsuku sebagai Istri Galih tentu akan memudahkanku menyelidiki atas hilangnya beberapa pemuda desa. "Tolong Mbak ceritakan padaku, kronologi kejadian tentang hilangnya suami Mbak?" tanyaku. "Waktu itu, kami sekeluarga menghadiri hajatan yang diselenggarakan oleh pak kades. Menjelang tengah malam, suamiku berkata padaku jika ia berniat kembali untuk begadang bersama teman-temannya, aku yang sudah lelah hanya menganggukkan kepala lalu lanjut tidur dan keesokan harinya hingga saat ini, ia tak pernah kembali," sahu
Pov Sekar Arum Tok... Tok... Tok. Aku mendengar ketukan pintu yang begitu keras hingga membangunkanku dari tidur lelapku. Perlahan aku membuka mata, mengamati sekitarku yang terasa begitu dingin. Mungkin hujan semalam membuat hawa di desa ini semakin membuat tubuhku menggigil. Perlahan aku bangkit dari ranjang milik pacarku, Galih. Tatapanku terpaku pada setangkai mawar yang tergeletak di samping ranjangku, apakah benar ini dari Galih? Mawar itu masih basah, seperti baru saja diambil dari kebunnya. Aku mencoba membuka pintu, melihat siapa yang mengetuk pintu di pagi buta ini. Ku lirik jam di dinding masih pukul 5 pagi. Pintu perlahan terbuka dan aku celingukan melihat siapa yang berada di balik pintu tapi nihil, tidak ada seorangpun di sana. Mungkin aku salah dengar, itulah yang kupikirkan lalu kututup pintu kembali. Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku, "Sekar, jika kamu terus berada di sini, kamu akan mati!" bisiknya seperti memperingatkanku. Saat aku menoleh ke arah sua
Pov Sekar Aku terkejut mendengar perkataan Ayah Galih tentang kemampuanku menemukan orang hilang hanya berdasarkan pada penglihatanku atas arwah Galih. Apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga ini? "Sekar, aku sangat berterima kasih atas kesediaanmu membantu keluarga kami untuk menemukan beberapa warga yang hilang selama kurang lebih tiga bulan ini," ujar Ayah Galih membuka percakapan di meja makan yang makanannya tidak hangat lagi. Aku menghentikan makanku untuk sekedar mendengarkan keluh kesah pria yang sangat Galih hormati. "Awal mulanya bagaimana Pak? Apakah sudah melapor pada polisi?" tanyaku mencoba berempati atas kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. "Aku masih ingat saat kami mengadakan hajatan desa dalam bentuk rasa syukur kami atas panen berlimpah. Semua orang hadir untuk memeriahkan acara yang digelar sampai tengah malam. Aku masih ingat ada beberapa pria yang memilih untuk bertahan karena mereka ingin begadang, sekitar lima orang," ungkap Ayah Galih sambil mena
POV Sekar "Masuklah, anggap rumah sendiri," ujar Ayah Galih sambil tersenyum padaku, lalu kubalas dengan senyum ramah pula. Aku memutuskan untuk mengiyakan permintaan pacarku karena rasa bersalah yang begitu besar padanya. Aku mengkhianatinya dengan bercinta dengan rekan kerjaku tapi ia justru tetap mencintaiku sampai akhir. Warisan yang diberikan padaku menunjukkan bahwa perasaanya tidak main-main. Aku bisa merasakan tatapan tidak suka dari kedua perempuan ini, ibu dan kakak perempuannya. Sebuah tatapan yang bermakna rasa tidak suka seolah aku adalah seseorang yang akan membahayakan mereka. Aku tidak menyangka bahwa Galih adalah seorang putra yang terlahir di keluarga kaya raya di sebuah desa yang terbilang maju. Keberadaan transportasi yang berlalu-lalang serta adanya minimarket membuatku yakin bahwa perekonomian desa ini lebih maju daripada desaku sendiri. Mereka memberiku kamar Galih sebagai tempatku beristirahat. Aku takjub melihat kamar yang begitu rapi dan wangi, sert