Perjalanan malam itu ternyata tidaklah mudah. Mereka kerapkali diganggu dengan penampakan makhluk tak kasat mata. Namun Ki Ageng berpesan agar mereka tetap fokus berjalan dan tidak berhenti meski apapun yang terjadi. Terdengan suara tawa kuntilanak menggema di sepanjang jalan mereka. Bahkan terdengar pula suara gelak tawa anak kecil yang berwujud tuyul yang terlihat asik bermain. Sedangkan di ujung jalan terlihat sekumpulan pocong seolah menghadang mereka. Joko yang penakut hampir pisan melihat gangguan ini namun Adi terus menyemangatinya dengan mengatakan jika takut, sebaiknya pura-pura tidak melihat saja, dan terus membaca doa dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan yang menghabiskan waktu dua jam dengan jalan kaki, akhirnya rombongan itu tiba di daerah sumur keramat. Ki Ageng segera memimpin ritual yang bertujuan untuk meminta kekuatan pada leluhur kampung yang dianggap memiliki kekuatan agar membantu mereka. Tak lupa Ki Ageng meminta tetesan darah dari tiga pemuda yang masih perjaka itu sebagai syarat persetujuan atau penghormatan kepada leluhur mereka. Terlihat Ki Ageng merapalkan mantra-mantra yang seolah-olah ia memberikan energi tak kasat mata pada tiga pemuda tadi. Ketiganya mulai memejamkan mata sesuai perintah dukun sakti tersebut, seolah pasrah dengan keadaan yang ada, tangan mereka saling menggengam dan masing-masing tangan kiri mereka telah diikat oleh benang merah. Dukun itu berpesan agar mereka jangan sampai melepas benang merah tersebut. Ketika keduanya membuka mata terdengar Suara Ki Ageng yang samar namun jelas. “Kalian harus berjalan lurus hingga menemukan sebuah gua dengan 3 pintu, pilihlah pintu kiri karena disitulah tempat teman kalian di tawan! Kalian harus cepat karna waktu kalian tidak banyak dan gunakan belati untuk menusuk makluk yang mengganggu kalian,” Ucap Ki Ageng yang di dengar oleh ketiganya. Mereka mempercepat langkah kaki dengan harapan tidak kehabisan waktu, namun sejauh apapun melangkah terasa tidak ada ujungnya. Mereka seperti terjebak di dalam labirin ruang hampa, hanya sedikit cahaya yang terlihat akibat bulan purnama. Ketika dalam posisi siaga tiba-tiba langkah mereka berhenti, terlihat sepasang orang tua yang memanggil nama mereka. Ketiga lelaki itu kaget, bagaimana bisa ada orang tua di tempat seperti ini? Orang tua itu berpesan kepada mereka agar segera meninggalkan tempat ini karena tempat ini dikutuk. Awalnya mereka goyah namun Adi mencoba menguatkan dengan mengatakan bahwa mereka tidak boleh berhenti karena nyawa Susan dan Danan sedang dalam bahaya. Akhirnya mereka memilih mengabaikan pesan kedua orang tua tersebut dan berjalan sesuai dengan arahan Ki Ageng. Akhirnya tidak sia-sia perjuangan mereka menyusuri jalan yang nampak tak berujung itu hingga sampailah mereka di depan gua yang memiliki 3 pintu untuk masuk. Mereka segera menuju masuk pintu sebelah kiri, tak jauh dari penglihatan mereka terlihat makhluk berbulu yang mengerikan itu. Jumlahnya sangat banyak, mungkin puluhan. Berbekal pisau pemberian Ki Ageng, mereka berhasil melumpuhkan lawan. Meski mereka harus melawan rasa takut yang begitu bergejolak di dada. Akhirnya mereka menemukan penjara tempat Susan dan Danan terperangkap. Mereka berdua terkejut melihat kedua temannya berada pada sel penjara yang berdampingan, kondisi keduanya terlihat mengenaskan. Tanpa aba-aba mereka segera melepas kunci gembok sel itu dengan sekali sabetan dengan pisau kecil itu dan berhasil, kunci itu terbuka. Danan dan Susan berlarian menghampiri mereka. Ia bahkan tak henti-hentinya menangis dan memohon maaf atas kesalahannya selama ini. Mereka berdua sangat terharu dengan perjuangan ketiga lelaki itu, bahkan tidak ada pemikiran dibenaknya akan selamat dari kondisi tersebut. Suasana itu nampak mengharu biru, terlihat ekspresi lega dari sekelompok mahasiswa itu, setidaknya mereka bisa saling bertemu. Kedua anak manusia yang tersandera itu tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada ketiga lelaki itu. Setelah usai bersuka cita dalam alunan kelegaan pasca mengalami kejadian traumatis itu, Adi mengingatkan teman-temannya untuk segera bergegas meninggalkan tempat itu, mereka berlarian menuju jalan keluar. Di sepanjang jalan mereka terus berlari beriringan. Adi yang berada di posisi depan terus menoleh ke belakang seolah memastikan tidak ada siapapun yang tertinggal. Hingga sampailah mereka di tempat orang tua tadi. Kemudian sang orang tua tersenyum dan mengeluarkan suara menggema yang berhasil masuk di relung hati mereka, memberikan percikan rasa ketakutan dan keraguan, apakah benar yang dikatakan orang tua itu? “kalian bodoh, iblis itu tidak hanya akan mengambil sukma kedua temanmu itu. Tapi kalian semua. Kalian akan semua akan mati,” teriaknya diiringi tawa yang sangat menyeramkan. Jam telah menunjukkan pukul 04.00 WIB menjelang shubuh, Ki Ageng nampak cemas karena sekumpulan mahasiswa itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ketiga lelaki itu mengalami perjalanan supranatural, sukma mereka berpacu dengan waktu sebelum matahari terbit untuk menyelamatkan kedua temannya. Terlihat tubuh ketiga lelaki itu mulai bergerak terkecuali kedua orang yang telah menghilang itu. Ki Ageng mulai merasakan energi positif yang mendekati dirinya, hal itu menunjukkan bahwa mereka telah kembali. Adi, Joko dan Ardan terbangun dengan nafas terengah-engah. Mereka saling berpelukan untuk menguatkan. Mereka sangat bersyukur karena berhasil menyelamatkan kedua teman mereka yang hilang itu dengan selamat. “Kalian tidak perlu khawatir, teman kalian hanya pingsan saja, itu wajar karena sukma mereka baru saja kembali dari alam gaib. Mereka akan sadar setelah tiga hari. Sekarang baiknya mereka dipindah di rumah warga terdekat dan kami akan segera mengantar ke kontrakan kalian jika mobil itu sudah datang,” ucap Ki Ageng yang membuat ketiga lelaki itu lega. Setelah beristirahat sejenak, mereka melanjutkan kembali perjalanan pulang menuju rumah kontrakan itu. Saat itu perasaan Adi tidak nyaman, ia merasakan hal buruk telah terjadi selama mereka tidak ada. Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat Sekar dan Mila tergeletak di halaman rumah dan dikerumuni warga yang heran melihat pemandangan itu. Bergegas mereka memindahkan tubuh keduanya di kamar. Adi nampak terkejut melihat pemandangan itu karena ia menyangka teror telah usai. “Permisi Ki, mengapa Sekar dan Mila pingsan di halaman ini? Apa yang telah terjadi pada mereka?” cecar Adi pada dukun itu. Ia mengira hanya mendapat semacam firasat saja namun apa nampak seolah benar. “Sekar telah bertarung dengan beberapa demit yang akan menghalangi kalian, itu dia lakukan untuk meringankan misi penyelamatan kalian. Puncaknya saat ia menghadapi perempuan bergaun merah kemarin dan sundel bolong itu, energi mereka cukup kuat dan berpengaruh, jika mereka dikalahkan maka energi demit dari kelas bawah akan mudah ditakhlukkan.” Tutur Ki Ageng dengan ekspresi serius. Ki Ageng meminta warga untuk memindahkan tubuh Sekar dan Mila ke kamar mereka. Lalu ia terlihat komat-kamit merapalkan mantra-mantra untuk menetralisir kondisi sekitar. “Sinden itu ternyata memiliki kekuatan luar biasa, tidak main-main ia mampu melumpuhkan anak buah tuanku dengan waktu yang relatif singkat. Aku harus melaporkan pada tuanku karena ini bisa mengancam kekuasaannya,” gumam Ki Ageng sambil menatap Sekar tanpa mengedipkan matanya sedikitpun.Disaat ketiga lelaki itu pergi, tinggal Sekar dan Mila yang berdiam diri di kamar. Mila tentunya tidak bisa tidur dan jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Ia mulai kepikiran tentang teman-temannya yang tak kunjung datang dan khawatir pula jika Sekar kesurupan lagi. Kemudian ia memutuskan untuk sholat agar perasaanya tenang. Baru rokaat pertama terdengar suara perempuan tertawa menambah kesan ngeri. Bulu kuduknya bergidik namun ia berusaha untuk terus merapalkan doa-doa dengan harapan akan datang pertolongan kepadanya. “Kamu perempuan munafik yang telah meninggalkan temanmu di sumur keramat, bahkan sering menjelekkannya di belakangnya. Padahal dia tulus berteman denganmu,” bisik perempuan itu terdengar pelan namun cukup terdengar di telinga Mila. Mila mulai tidak fokus ia segera mempercepat sholatnya dan berharap suara itu berhenti juga. Namun saat ia menyelesaikan sholat dan menoleh ke arah sahabatnya itu, sekar tidak ada. Ia terkejut dan segera mencarinya di segala sudut
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua mahasiswa yang mengikuti kegiatan KKN di desa terkutuk itu. Kabar mereka yang telah mengalami kesulitan telah viral di medsos. Hal ini menjadi landasan bagi otorita kampus untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut dengan menghentikan dan mengutus dosen penanggung jawab untuk memantau kondisi sebenarnya. Dosen muda itu tiba di desa X untuk memberikan pertolongan pertama kepada mahasiswanya. Ia merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas kegiatan KKN tersebut. Dosen muda itu berperawakan tinggi, berkulit sawo matang dan memiliki senyum manis. Ia memiliki ciri khas senyum menawan yang mampu membuat mahasiswinya terpesona. Ia belum menikah dan berusia sekitar 25 tahun. Ia tiba di desa itu sekitar pukul 14.00 WIB. “Selamat datang Pak Galih, kami senang sekali melihat bapak mengunjungi desa ini. Mohon maaf, kami belum bisa maksimal mengerjakan tugas KKN ini karena banyak peristiwa di luar nalar yang terjadi bel
“Alhamdulillah, akhirnya kita akan segera masuk kota,” ujar Adi penuh semangat. Ia menatap sekeliling memastikan teman-temannya mulai bangun dari tidurnya. Setelah mereka membuang makanan itu, jalan mereka seolah dimudahkan. Perjalanan menjadi lancar tanpa kendali berarti walau sesekali harus singgah untuk mengisi bahan bakar mobil atau mengisi perut mereka yang terasa kosong. Wajah-wajah penuh lelah itu seolah menyiratkan kesedihan dan trauma mendalam. KKN yang seharusnya berlangsung selama dua minggu, hanya dapat terlaksana selama kurang dari satu minggu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan disana kecuali berjuang untuk bertahan hidup menghadapi teror dedemit penunggu desa terkutuk itu. Di tengah wajah-wajah penuh luka traumatis itu ternyata ada yang berbeda. Galih sang dosen muda terus menatap Sekar tak henti-hentinya, pikirannya melayang-layang mencoba menerka siapakah perempuan berkebaya hijau itu? Kenapa dia bisa berada di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memberondon
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian viral KKN itu namun perbincangan di tengah khalayak kampus sepertinya belum juga reda bahkan semakin menjadi-jadi. Kini beredar kabar bahwa Sekar telah mengencani beberapa pria. Entah darimana rumor itu berasal, pembicaraan miring tentang gadis berkhodam itu seolah tidak ada habis. “Kamu tahu nggak, Sekar itu katanya dekat juga lo dengan salah satu dosen kita, dosen muda malah,” bisik perempuan berkerudung hitam itu, bibirnya terlihat komat-kamit seperti mbah dukun baca mantra padahal yang dibicarakan adalah gadis yang duduk didepannya namun sang gadis nampak pura-pura tak mendengarnya. “Iya, aku pernah melihat mereka berduaan aja di ruangan dosen, ngapain coba? Terus aku denger kayak ada pecahan gelas gitu? Apa iya main gila sampai gelas-gelas pada pecah?” sahut perempuan berambut pendek yang duduk disebelahnya sambil cekikikan, seolah ia melihat langsung peristiwa itu. Mereka berdua saling pandang kemudian tertawa pelan, mereka tidak meny
Masih dalam pergumulan asmara yang kian membara terlihat seorang lelaki tampan berupaya menuntaskan permainannya malam itu, sang gadis seolah pasrah dan sangat menikmatinya. Namun diluar prediksi, tiba-tiba sang gadis berteriak dan mendorong lelaki itu hingga ia jatuh seolah terpental. Entah darimana sang gadis memiliki kekuatan sebesar itu. Ia mulai menyadari kesalahannya dan bergegas memakai pakaiannya. Tak lupa ia mengemasi barang-barangnya dan pergi dari villa itu. Gadis itu berjalan seorang diri seolah meratapi nasibnya. Ia merasa apa yang dilakukan salah dan hampir melampaui batas. Ia masih mendengar suara sinden yang terkesan terus menerus memakinya. Sinden itu nampak murka, ia kesal karena gadis itu tidak terjerumus dalam permainan cinta penuh hasrat lelaki tampan selingkuhannya. Padahal Sinden itulah yang selama ini terus berbisik pada Sekar agar dia menerima cinta dari Aldo. Aldo adalah lelaki yang sering gonta-ganti pasangan, sebagai vokalis band yang cukup tampan dan te
Pasca kejadian di Villa, Pengaruh Sulastri terlihat mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh niat dan upaya Sekar untuk terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Sekar mulai rutin beribadah seperti sholat, mengaji dan mengikuti kajian-kajian keagamaan. Melihat Sekar yang mulai menjaga jarak dengannya, khodam itu terlihat tak berdaya dah hanya mampu mengamati dari jauh. Sekar mulai sibuk mencari penghasilan sampingan, ia mendapat kabar jika orang tuanya belum bisa mengirimkan uang karena upah mereka tidak seberapa akibat cuaca buruk yang mengakibatkan gagal panen. Berbekal relasi yang dimiliki, Sekar akhirnya bekerja di sebuah warung makan yang menjual masakan khas jogja. Di tengah kesibukan bekerja, Sekar yang baru saja bekerja tiba-tiba seringkali terganggu oleh hal-hal gaib. Mulai dari piring yang tiba-tiba pecah, air kamar mandi yang terus menyala padahal tidak ada orang di dalam, hingga terdengar suara samar-samar yang memanggil namanya. Teror itu tidak hanya berlaku baginya namun
“Aku lebih cantik daripada gadis itu, kenapa dia lebih banyak dilirik kaum laki-laki daripada aku?” Desis Ningrum. Seorang Pesinden yang tengah dipuncak kariernya. Ia seringkali mendapat panggilan sebagai penyanyi di acara hajatan kampung atau acara pagelaran seni yang melibatkan grup pewayangan. Namun pesonanya seolah sirna saat ia mulai menikah dan memiliki anak. Ningrum kerapkali pulang ke rumah dengan wajah penuh kekesalan, sang suami selalu menghiburnya dengan kata-kata manis agar sang istri tak lagi bersedih. Namun lama kelamaan ucapan sang suami ibarat hiburan bagi anak kecil yang sia sia baginya. Ia semakin kesal hingga bersitegang dengan suaminya. “Sudahlah mas, kamu itu tidak tahu tadi saat manggung, penonton itu selalu melirik ke arah Si Sari! Padahal dia masih baru dan suara juga pas-pasan!” Tegas Ningrum seolah tak segan mulai membantah perkataan sang suami. “Ning, kamu itu sudah menikah, dan punya anak kecil. Lebih baik kamu berhenti dululah jadi pesinden. Fokus me
Sekar terbangun dari tidurnya pasca mimpi buruk semalaman. Batinnya terasa tak tenang karena ia terus memikirkan mimpi tentang perjanjian yang telah dilakukan neneknya. Perjanjian itu berhasil membuat sang ibu menjadi anak broken home. Sekar mulai menyadari bahwa sang ibu selalu menceritakan kebaikan kakeknya yang tak pernah menikah lagi pasca bercerai dengan sang nenek. Tak terasa air matanya terus menetes membasahi pipinya. Ia bersedih seolah turut merasakan rasa sakit dan kesedihan yang pernah dialami ibunya setelah kehilangan sosok ibu sejak masih kecil. Sekar menatap sekeliling kamar kosnya dan terasa sepi. Ia tidak mendapati sang sahabat tidur di ranjang miliknya. Ia terkejut melihat meja belajar dan beberapa barang Mila yang biasa berantakan tiba-tiba hilang lenyap begitu saja. Sekar beranjak dari ranjang dan berjalan perlahan menuju lemari. Dibukanya lemari Mila yang seolah sengaja tidak dikunci, namun hasilnya nihil. Lemari itu telah kosong melompong mengibaratkan sang pem
Pov Sekar Tidak terasa aku telah seminggu berada di rumah Galih. Sulastri tak pernah muncul semenjak pertengkaran kami. Tidak ada luka serius dalam tubuhku hanya saja rasanya susah sekali untuk sekedar menggerakkan badan. Aku tersadar dua hari kemudian pasca kecelakaan tunggal, itulah yang kudengar dari anggota keluarga Galih. Hari ketiga aku mulai bisa membuka mataku, yang tentu disambut gegap gempita oleh anggota keluarga ini terutama sang ayah. Aku bisa melihat senyuman manis di wajahnya yang mengingatkanku pada Galih, orang yang telah tiada tapi jiwanya seolah tetap berada di sisiku. Hari selanjutnya, aku mulai bisa menggerakkan tubuhku hingga kini tepat seminggu, aku telah duduk di meja makan ini, bersama keluarga Galih. "Bagaimana kondisimu Sekar? Apa perlu kita ke kota untuk mencari dokter terbaik? Selama ini kami hanya bisa memanggil bidan desa untuk memeriksa kondisimu?" tanya Ayah Galih yang perhatian padaku seperti biasanya. "Aku baik-baik saja Pak, terima kasih s
Pov Sekar Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Meski aku dapat merasakan kasur empuk telah menopang tubuhku yang mati rasa. Perlahan aku mulai membuka mata meski terasa berat. Samar-samar aku mendengar percakapan dua pria yang berada di dekatku. "Bagaimana kondisinya, apakah dia baik-baik saja? Warga menemukannya pingsan di jalanan dekat pabrik terbengkalai. Dia seperti mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan dekat pabrik tua itu," ujar pria dengan suara beratnya. "Dia baik-baik saja, hanya sedikit luka di bagian kepala akibat benturan kepala, mungkin dia hanya kelelahan," sahut pria lain. "Jika baik-baik saja mengapa tak kunjung sadarkan diri sejak kemarin? Dia sudah pingsan selama dua hari!" Aku terkejut mendengar pernyataan pria dengan suara berat itu, sepertinya aku mengenal suaranya! Tidak salah lagi, dia adalah Ayah Galih! lalu dengan siapa ia berbicara? Aku yang sebenarnya mulai perlahan tersadar dari pingsanku, mencoba unt
POV Sekar "Maaf, Mbak tahu dari mana info bahwa saya adalah istri Galih?" tanyaku penasaran. "Pak Kades kemarin memberitahukan pada kami jika istri Mas Galih yang akan membantu kami melakukan pencarian orang-orang hilang," jawab wanita muda itu. Aku kasihan melihatnya, wanita muda tengah menggendong seorang bayi yang terlelap beserta kedua anak laki-laki yang bermain di sekitar halaman. Aku rasa tidak ada salahnya mengikuti permainan Pak Kades atau Ayah Galih. Status palsuku sebagai Istri Galih tentu akan memudahkanku menyelidiki atas hilangnya beberapa pemuda desa. "Tolong Mbak ceritakan padaku, kronologi kejadian tentang hilangnya suami Mbak?" tanyaku. "Waktu itu, kami sekeluarga menghadiri hajatan yang diselenggarakan oleh pak kades. Menjelang tengah malam, suamiku berkata padaku jika ia berniat kembali untuk begadang bersama teman-temannya, aku yang sudah lelah hanya menganggukkan kepala lalu lanjut tidur dan keesokan harinya hingga saat ini, ia tak pernah kembali," sahu
Pov Sekar Arum Tok... Tok... Tok. Aku mendengar ketukan pintu yang begitu keras hingga membangunkanku dari tidur lelapku. Perlahan aku membuka mata, mengamati sekitarku yang terasa begitu dingin. Mungkin hujan semalam membuat hawa di desa ini semakin membuat tubuhku menggigil. Perlahan aku bangkit dari ranjang milik pacarku, Galih. Tatapanku terpaku pada setangkai mawar yang tergeletak di samping ranjangku, apakah benar ini dari Galih? Mawar itu masih basah, seperti baru saja diambil dari kebunnya. Aku mencoba membuka pintu, melihat siapa yang mengetuk pintu di pagi buta ini. Ku lirik jam di dinding masih pukul 5 pagi. Pintu perlahan terbuka dan aku celingukan melihat siapa yang berada di balik pintu tapi nihil, tidak ada seorangpun di sana. Mungkin aku salah dengar, itulah yang kupikirkan lalu kututup pintu kembali. Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku, "Sekar, jika kamu terus berada di sini, kamu akan mati!" bisiknya seperti memperingatkanku. Saat aku menoleh ke arah sua
Pov Sekar Aku terkejut mendengar perkataan Ayah Galih tentang kemampuanku menemukan orang hilang hanya berdasarkan pada penglihatanku atas arwah Galih. Apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga ini? "Sekar, aku sangat berterima kasih atas kesediaanmu membantu keluarga kami untuk menemukan beberapa warga yang hilang selama kurang lebih tiga bulan ini," ujar Ayah Galih membuka percakapan di meja makan yang makanannya tidak hangat lagi. Aku menghentikan makanku untuk sekedar mendengarkan keluh kesah pria yang sangat Galih hormati. "Awal mulanya bagaimana Pak? Apakah sudah melapor pada polisi?" tanyaku mencoba berempati atas kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. "Aku masih ingat saat kami mengadakan hajatan desa dalam bentuk rasa syukur kami atas panen berlimpah. Semua orang hadir untuk memeriahkan acara yang digelar sampai tengah malam. Aku masih ingat ada beberapa pria yang memilih untuk bertahan karena mereka ingin begadang, sekitar lima orang," ungkap Ayah Galih sambil mena
POV Sekar "Masuklah, anggap rumah sendiri," ujar Ayah Galih sambil tersenyum padaku, lalu kubalas dengan senyum ramah pula. Aku memutuskan untuk mengiyakan permintaan pacarku karena rasa bersalah yang begitu besar padanya. Aku mengkhianatinya dengan bercinta dengan rekan kerjaku tapi ia justru tetap mencintaiku sampai akhir. Warisan yang diberikan padaku menunjukkan bahwa perasaanya tidak main-main. Aku bisa merasakan tatapan tidak suka dari kedua perempuan ini, ibu dan kakak perempuannya. Sebuah tatapan yang bermakna rasa tidak suka seolah aku adalah seseorang yang akan membahayakan mereka. Aku tidak menyangka bahwa Galih adalah seorang putra yang terlahir di keluarga kaya raya di sebuah desa yang terbilang maju. Keberadaan transportasi yang berlalu-lalang serta adanya minimarket membuatku yakin bahwa perekonomian desa ini lebih maju daripada desaku sendiri. Mereka memberiku kamar Galih sebagai tempatku beristirahat. Aku takjub melihat kamar yang begitu rapi dan wangi, sert
"Nak, apa kamu yakin pergi bersama keluarga dosen itu? Ibu khawatir akan terjadi hal buruk padamu," tanya Surti kembali memastikan keputusan anaknya. Sekar terdiam sejenak, menatap ibunya dengan tatapan penuh keyakinan meski air matanya belum mengering. Ia menghentikan aktivitasnya yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam tasnya. "Bu, aku sudah banyak melewati kesulitan hidup, hampir mati berkali-kali tapi untungnya, aku masih bisa bertemu ibu saat ini. Anggap saja sudah saatnya aku membalas budi Mas Galih, orang yang selama ini telah menolongku," sahut Sekar sambil memegang tangan ibunya, seolah meminta restu. Surti tak bisa lagi menahan keinginan anaknya, meski dalam hati rasanya berat. Ia mencoba mengikhlaskan kepergian anaknya dan berharap sang anak dapat pulang dengan selamat. "Mbak, tolong hubungi aku jika butuh bantuan, aku dan Mas Aryo akan siap membantu," ujar Seno, adik laki-lakinya yang selama ini selalu mengkhawatirkan kakaknya. "Kamu nggak perlu khawatir, c
"Bu, tenanglah! Kita ke sini ingin menyampaikan amanat terakhir anak kita agar dia bisa tenang di alam sana, bukan malah membuat keributan seperti ini!" bentak Ayah Galih mencoba menenangkan istrinya yang justru melabrak Sekar. "Pak! Gara-gara menolong gadis ini, anak kita mati Pak! Apa kamu nggak paham perasaanku?" teriak Ibu Galih yang masih berduka, ia memperoleh informasi dari Rika jika ritual itu gagal karena Galih hendak menyelamatkan Sekar dengan mengorbankan dirinya sendiri. "Kalian jika ingin menyakiti anakku, pergilah! Jangan buat kekacauan di rumahku!" bentak Surti yang geram melihat tindakan semena-mena tamu tak di undang itu. "Bu, Maafkan kami, ijinkan saya meminta maaf pada kalian atas nama keluarga saya. Tujuan kami datang ke mari hanya untuk memberikan sebuah surat wasiat dari anak kami, Galih," ujar Ayah Galih dengan wajah penuh kesedihan, menyesal karena tidak bisa menyelamatkan anaknya. Ibu Galih nyaris pingsan, tubuhnya semakin lemah. Dengan kebesaran hati Surt
"Dok, bagaimana kondisi tunangan saya?" tanya Rika yang cemas dengan kondisi pacarnya yang masih kritis dan belum menunjukkan perubahan lebih baik. "Berdasarkan observasi yang sudah kita lakukan, belum ada tanda-tanda kondisi pasien membaik, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya," sahut dokter yang membuat semua orang yang berada di sana semakin sedih. "Dok, lakukan sesuatu! Aku tidak ingin kehilangan anak lelakiku satu-satunya!" teriak Ibu Galih yang baru tiba di rumah sakit, bersama dengan anak perempuan dan suaminya. "Bu, tenanglah, ini rumah sakit jangan berbuat keributan," ujar Ayah Galih yang mencoba menenangkan istrinya. Tiba-tiba beberapa polisi mendatangi rumah sakit, mereka hendak menangkap Rika atas tuduhan dalang dari menghilangnya orang-orang di pabrik garmen dan kematian para pekerja yang dinilai janggal oleh keluarga. Rika nampak pasrah saat di gelandang ke kantor polisi. Ibu Galih yang mendengar alasan penangkapan, mendadak pingsan sebab shock saat menge