“Duh gawat! Gara-gara terlalu mikirin soal ke depannya harus apa, aku sampai lupa nanya Mama sekolah di mana.” Keluh Liza dalam hatinya lagi.
“Eng, eh. Anu!”
“Kiri, bang!” sahut seorang laki-laki dengan seragam putih abu yang sebelumnya duduk di depannya.
“T-turun di sini juga, bang!” Ucapnya tergagap mengikutinya.
Liza merasa malu dengan kelakuannya. Dia juga kebingungan dengan siapa laki-laki yang berada di berjalan di depannya. Laki-laki itu memakai seragam yang sama dengannya, tetapi dia tetap tidak yakin apakah mereka berdua sekolah di tempat yang sama.
“Za! Dari tadi kenapa linglung nggak jelas sih? Abis kecopetan?” Tanya laki-laki itu memulai pembicaraan.
“HAH APA IYA ENGGAK!” Balas Liza tergagap.
“Hah apa?” Laki-laki itu kebingungan dengan jawaban Liza.
Jangan coba bertanya soal Liza, dia sendiri jelas kebingungan dengan jawabannya sendiri. Laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan ‘Za’, membuatnya bertanya-tanya apakah Mamanya satu sekolah dengan laki-laki itu.
“Eng-enggak, ini aku tadi pagi telat bangun, terus lupa sarapan.”
“Kayak biasanya emang kamu mah.”
“Ahaha? Eh, biasa?”
“Iya. Baru banget pas Ujian Nasional kemarin! Inget nggak kamu ngelamun pas kepsek bilang kalau yang libur itu khusus kelas 7 sama 8. Kenapa kamu ikutan libur juga? Untung datangnya hampiiirr banget telat.”
“Ahahaha... Pernah, ya?”
“Iya. Ceroboh banget! Hati-hati aja nanti jadi penyakit keturunan, bisa nular ke anak kamu nanti!”
“Ngomong ape lu monyet!?” Inginnya Liza menyindir dengan kata-kata itu, hanya saja dia pikir mereka masih belum sangat dekat.
Mamanya memang orang yang ceroboh, tapi gadis itu tidak menyangka kalau ini sudah biasa terjadi sejak dulu. Liza juga bertanya-tanya apakah laki-laki ini adalah teman masa kecilnya Mama.
Setelah turun dari angkot, Liza mengikuti laki-laki itu dari belakang. Meskipun beberapa kali dia memintanya untuk jalan di samping, Liza menolaknya dengan lurus. Dia berdalih kalau takut nanti bertemu kakak kelas, padahal itu karena dia tidak tahu harus jalan kemana. Meskipun sebenarnya dia bisa pura-pura lupa jalan dan dimaklumi, dengan memanfaatkan sifat Mama yang natural cerobohnya.
Tetapi sebelum itu, Liza harus memastikan nama laki-laki itu.
“WOY RANDI! SIALAN BISA MASUK SMA JUGA?” Teriak seorang anak laki-laki lain dari belakang mereka.
Nama itu mengejutkan Liza untuk sesaat.
“Ya bisa lah kunyuk. Emang dikira gue mau berhenti ampe SMP doang apa?”
“Yah soalnya pas SMP elo masuk sekolah aja sekali sebulan! Emang pas ujian kemarin nilainya cukup masuk sini?”
“CUKUP DONG HAHAHAHA!”
“Terus kalau jarang masuk, lo ke sekolah nyari apa heh?”
“Jajan sih yang jelas.”
“Kalo cewek?”
“NIH KAN UDAH ADA LIZA!”
Randi tiba-tiba memeluk Liza dari samping, membuatnya terkejut dan reflek menjauh. Dia kaget dengan perlakuan tiba-tiba dari laki-laki itu.
“OPSS! UDAH PUTUS NIH!”
Beberapa perempuan di dekat mereka menatap Liza dengan ekspresi yang bermacam-macam. Tapi kebanyakan wajahnya jadi berseri, bagai lega dengan pernyataan itu.
Liza yang dari awal sudah bingung jadi tambah bingung lagi. Belum lagi perkataan laki-laki yang menghampiri mereka tadi soal ‘putus’. Mungkinkah mamanya pernah berpacaran dengan laki-laki ini? Liza sedikit meragukan pemikirannya, sebab laki-laki ini bernama Randi, seseorang dengan nama yang sangat familiar di telinganya. Dia memohon-mohon agar kesimpulan yang dia pikirkan itu salah.
“Nggak! Mana ada putus! Ya kan, Za?”
“Eng, mmhm!” gumam Liza sambil mengangguk.
“Elo sih tiba-tiba ngomongin cewek. Ngamuk kan dia?”
LIza memperhatikan sekeliling, perempuan-perempuan yang menatap mereka tadi tiba-tiba sudah mengganti ekspresi.
“Uwah ada apa dengan cewek-cewek ini?” Batinnya. Mereka semua tanpa disadari sudah memasang muka masam.
“Udah, yuk, Za! Langsung ke kelas!” Ajak Randi sambil menggandeng tangan Liza.
“Denger-denger kepsek emang nggak masuk nih, semoga aja nggak ada upacara pembukaan apa dah.” Kata teman Randi tadi menambahkan.
Setelah memeriksa papan pengumuman, ternyata Liza dan Randi berada di kelas yang sama. Mereka pun masuk ke ruangan dan duduk bersampingan. Tetapi wali kelas yang masuk di jam pertama berinisiatif untuk langsung mengatur tempat duduk, membuat wajah Randi cemberut sepanjang pelajaran.
Tetapi bagi Liza, event atur tempat duduk ini benar-benar menakutkan hingga membuatnya hampir menangis.
“Randi Wijaya. Hmm kamu lumayan tinggi, ya? Ke baris paling belakang paling kiri.” Kata wali kelasku mengatur tempat duduk.
Liza terus-terusan meyakinkan dirinya atas kenyataan yang tidak terhindarkan lagi. Ia berdoa agar semua ini hanyalah kebetulan, sebab ia berpendapat kalau semua ini terjadi terlalu cepat. Laki-laki yang ditemuinya di angkot pagi ini adalah Randi Wijaya, seseorang yang akan jadi Papanya nanti di masa depan.
“Eliza Anggraini, paling depan paling kanan.”
***
“Bu, pikir-pikir ulang dong! Masa saya ditaruh di paling belakang sudut gini, tar kalau saya main main mulu gimana?” Randi mengeluh setelah pembagian tempat duduk selesai.
“Ya kamu belajar dong! Siswa ke sekolah kan emang tujuannya belajar.”
“Ah anu, Bu! Saya minus!” Katanya membela diri.
Wali kelas mereka mengeluarkan gestur melempar Randi dengan spidol. Sialnya randi merespon lemparan palsu itu dengan menutupi kepalanya dan mengelak ke samping.
“Ngapain kamu? Bukannya mata kamu minus?”
“Mata saya emang minus, Bu. Tapi khusus buat Ibu saya fokusnya mati-matian!” Gombalan Randi membuat kelas riuh dengan sorakan, tetapi tetap saja tidak ada perubahan. Randi harus mau duduk di tempat yang sudah diputuskan. Walaupun sebenarnya Liza yang memaksanya untuk duduk di tempat masing-masing, sebab kalau tidak begitu, Randi akan memaksa menggelar koran untuk duduk di samping Liza sepanjang jam pelajaran berlangsung
“Nggak usah ah. Malu-maluin!” Tolaknya tegas.
***
Beberapa guru sudah masuk ke kelas untuk berkenalan dengan para siswa, mereka bicara soal sistem pembelajaran dan mau pakai buku yang bagaimana, juga sesekali bergosip ria tentang apapun yang terlintas di pikiran mereka. Liza mulai teringat lagi perasaan saat-saat SMA nya dulu. Pagi tadi istirahat pertama ditiadakan karena bel sekolah belum diatur dan sepertinya semua siswa baru terlalu taat peraturan untuk tidak keluar dan berkeliling tanpa arah. Cukup berbeda dengan SMA yang bisa Liza bayangkan.
Kecuali manusia satu ini, Randi, dia benar-benar tidak bisa diam. Belum lama ini dia sudah mengajak semua anak cowok di kelas untuk adu panco. Liza mengelus dada pertanda tidak mengerti bagaimana Mama bisa berakhir pacaran dengannya. Mungkin kalau lah Liza mendengar bahwa Mama yang menyatakan perasaan duluan kepadanya, jantungnya bisa copot.
Liza masih menaruh harapan kalau paling tidak ada satu juta orang dengan nama Randi Wijaya yang tersebar di dunia.
“Seperti ayolah, tidak mungkin dia, bukan?”
Tidak lama kemudian bel istirahat kedua dibunyikan, mungkin sebagai kompensasi, atau karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi— juga hari pertama bukanlah hari yang sibuk karena kebanyakan guru sepertinya masih mengurus masalah arsip dan dokumen, mereka semua bebas melakukan apa saja hingga bel pulang sekolah berbunyi. Randi mengajak Liza makan ke kantin. Tetapi sebelum itu dia memeriksa dulu isi tasnya, kalau tidak salah tadi Ibunya sudah menitapkan bekal untuk dibawa.
Liza menolak ajakan Randi dan memilih untuk makan di kelas. Sepengalamannya yang berpikir kalau uang jajan tiga tahun selama SMA baiknya ditabung, dia lebih memilih untuk membawa bekal dari rumah. Sebab dia bisa foya-foya saat sudah lulus nanti. Hanya saja anak ini benar-benar keras kepala, sepertinya Randi ini adalah tipe orang yang tidak pernah menerima penolakan. Dia membawa kabur kotak bekal Liza ke kantin, membuat gadis itu terpaksa mengikuti kemauannya. Sungguh anak yang merepotkan.
Mereka berdua makan di kantin dengan situasi yang canggung. Mungkin karena sudah lama sejak terakhir kali Liza makan berdua dengan laki-laki. Lebih-lebih situasi ini terasa aneh karena tidak ada orang yang makan di dekat mereka. Kebanyakan perempuan di sekitar kantin bahkan menatap Liza dengan sinis.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kami masih siswa baru kan, ya? Tidak mungkin sudah pernah bikin kasus? Aku bahkan sudah bersiap kalau-kalau ada kakak kelas yang menggoda atau tiba-tiba datang meminjam uang.” Pikir Liza.
“Eh, Randi! Kamu nggak ngerasa aneh banyak yang ngejauhin kita?”
“Kha? Apha? Gluk gluk gluk gluk.”
“Ih apaan dah. Lagian kok bisa minum sambil nyebut gluk gluk gitu?”
“Ahh seger. Kenapa kenapa?”
“Kenapa orang ngejauhin kita?”
“WOY RANDI PACARAN BAE NIH!”
Seorang laki-laki tiba-tiba datang dan menepuk punggung Randi. Liza kesal karena pertanyaannya di potong. Tapi tunggu, sepertinya laki-laki ini adalah teman Randi yang menyapa mereka tadi. Liza melirik sedikit ke arah seragamnya
“Namanya... Joko, ya?” gumamnya kecil.
“Eh Joko, kamu tau nggak kenapa orang-orang dari tadi nyikapin kami aneh banget?” Tanya Liza langsung.
“Lah bukannya emang udah biasa ya?”
“Maksud kamu?”
“Itu, loh! Semenjak kejadian palak-palakan pas SMP.”
Liza melirik ke arah Randi yang tidak peduli. Dia asyik sendiri menyeruput kuah baksonya.
“Aku lupa...”
“Kamu kan pernah jadi panitia pas kelas 8 buat nyiapin perpisahan. Nah pas acaranya beres, ada kakak kelas yang narik kamu ke belakang. Kamu dituduh nilep uang acara berapa juta gitu. Nah kakak kakak kelas ini bawa anak cowok tiga orang terus nahan kamu. Ya mungkin kalau nggak ada Randi kamu udah diperkosa, kelihatannya emang juga mereka benci banget sama kamu— ADAW! SAKIT BEGO!”
Randi tiba-tiba menoyor kepala Joko dengan garpu.
“Yah tapi orang mana percaya sama apa yang kejadian di belakang. Anak-anak taunya Randi sama cowok-cowok itu bonyok, udah. Terus kakak kelas yang manggil kamu tadi nuduh kalau Randi manggil mereka buat nantang berantem. Padahal dipikir baek-baek juga itu karangan banget— ADAW! DIBILANGIN JUGA SAKIT BEGO!”
“Gara-gara itu yang bikin Randi di skors 2 minggu. Tapi si kampret keterusan jarang masuk sekolah lama banget. Masuk juga buat ngelengkapin kehadiran minimal. Tapi pinter juga lo ya jarang masuk masih lulus ujian? Joki di mana, Bos?”
Randi bersiap menjitak kepala Joko, tetapi terlambat karena anak itu segera berdiri menjauh.
“Ops kagak kena! Gue balik dulu bre!” Pamit Joko.
“Pacaran jangan sampai kebablasan yee!” Tambahnya lagi.
“Berisik banget tuh anak.” Dengus Randi sambil membawa mangkok miliknya ke depan. Padahal dia sendiri adalah anak dengan tipe yang sama.
Perkataan Joko memang menjawab pertanyaan Liza soal kenapa Randi dijauhi. Randi salah dikira sebagai berandalan yang suka mengajak adu jotos. Tetapi dia masih belum paham kenapa perempuan-perempuan itu masih terus-terusan menatapnya dengan sudut mata yang tajam?
“Maaa! Mama dulu ngapain aja sih?” Batin Liza.
Setelah makan siang Randi meminta agar Liza langsung ke kelas, katanya dia ada urusan serius dengan lubang WC, padahal bisa saja langsung bilang kalau butuh buang air. Liza berjalan menyusuri lorong untuk kembali ke kelas, tetapi ketika di tengah jalan tiba-tiba Joko menghampirinya dan bicara sesuatu.
“Dipikir-pikir, Za. Lo berani juga langsung nembak Randi di depan anak-anak, guru, sama kakak kelas yang bonyok pas kejadian itu? Audiens-nya nggak kira-kira, Bos!”
Lutut Liza lemas, hampir tidak sanggup kalau disuruh terus menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.
Kalau lah tidak malu, ingin rasanya dia berteriak ‘MAMAAA!’ begitu keras hingga rasa kesalnya terpuaskan.
Liza kehilangan akal sesaat karena Mamanya, bisa-bisanya jatuh cinta segampang itu.“Ah tapi, ya, tentu saja. Ini kan ‘Mama’?” Pikirnya kemudianPadahal sampai akhir hayat Liza pun harusnya dia sadar, karena masih melihat bagaimana Mamanya begitu mencintai Papa. Hati kecil Liza-Rani berharap agar Papanya ada di sini dan hadir untuk memeluknya. Liza berharap punya seseorang untuk berbagi cerita tentang permasalahan yang dia hadapi selama ini.Dulu sebelum Ayah meninggal, ia memanggil orang tuanya dengan sebutan Ayah dan Ibu. Tetapi setelah Ibu menikah lagi, suami barunya meminta Liza untuk memanggil mereka dengan sebutan Papa dan Mama. Gadis itu agak sedikit meragukan ingatannya sendiri, mengenai bagaimana dulu dia mau mau saja menuruti permintaan Papanya. Tetapi satu hal pasti, Papanya adalah pria yang brengsek.Bel pulang sekolah berbunyi, Liza pun memilih untuk pulang naik angkot seperti tadi pagi. Tetapi masalahnya saat pergi se
***Terlepas dari kejadian kemarin yang merupakan pengecualian khusus tidak rasional, Liza harusnya berangkat sekolah cukup awal hari ini. Karena sebenarnya dia itu bukanlah pribadi yang pemalas dan sering terlambat, Liza sendiri berpikir kalau dia harusnya bisa bangun lebih pagi dan membantu ibu-nenek memasak. Dia sudah bertahun-tahun menjadi wanita karir yang sekaligus merangkap jadi tulang punggung keluarga berusia dua puluh delapan tahun, kemudian mati dan berpindah tubuh menjadi Mama nya sendiri.Tetapi pagi ini Liza disibukkan untuk memilah-milah lajur mana yang harus aku ambil untuk menaklukan kehidupan Mama ini. Sebab siapa sangka kalau ternyata selama ini dia memiliki seorang kakak laki-laki-paman. Liza-Rani yang dulu hampir belum pernah datang ke rumah keluarga Mama atau Papa, tetapi cukup sering bermain ke rumah Ayah. Mungkin dulu beberapa kali pernah saat bayi, ketika Liza masih gadis kecil nan lugu, yang belum bisa mengingat banyak hal.Sebelum Mama
***“Kalian semua yang berada di sini memangnya sebegitu luang sampai tidak punya hal lain yang harus dikerjakan? Uwaah aku iri sekali, orang sibuk sepertiku benar-benar ingin sesekali merasakan kebebasan seperti kalian.”“Ck! Menyebalkan.”“Ini cewek mulutnya pedes juga, ya?”“Lo nggak usah kepedean, deh! Jijik tau!”Salah satu dari perempuan itu menarik rambut Liza, kemudian yang lainnya terlihat mengeluarkan sebuah gunting. Sepertinya mereka ingin menjahili Liza dengan menggunting beberapa helai-genggam rambutnya. Tetapi sebelum niat jahat mereka terlaksanakan, seseorang tiba-tiba muncul dan melompat sambil dikejar oleh dua orang perempuan— anggota mereka yang berjaga di depan pintu masuk gang sempit itu.“Za! Kenapa tiba-tiba duluan? Bukannya tadi kita udah janji mau makan dulu habis pulang sekolah tadi?” Tanyanya tiba-tiba.“Oh, iya! Kalian-kalian yang
***Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendeka
***Liza dan Anggi setuju untuk menginap di rumah Nabila karena besok juga merupakan hari libur. Liza meminta izin untuk menelepon rumahnya dan memberitahu soal ini, Ibunya yang mengangkat mengizinkannya untuk menginap. Kemudian di pagi hari, mereka bangun dan sarapan bersama. Liza masih sungkan memakai pakaian Nabila untuk dibawa berjalan ke rumah, tetapi dia juga tidak enak kalau mengembalikannya begitu saja.“Bajunya aku masukin tas, tapi nanti aku cuci, kok. Mungkin sore aku bakal mampir ke sini buat ngembaliinnya.” Ujar Liza.“Ya ampun nggak apa apa kali, Za. Anggi aja pakai sampai pulang, tuh.” Balas Nabila sambil menunjuk Anggi.“Hehehehe.” Anak yang ditunjuk itu hanya cengengesan dan memiringkan kepalanya. “Nggak apa apa kali, Za. Jangan malu beda dikit,” jelasnya pada Liza.“Nggak, deh.”Liza naik angkot bersama dengan Anggi setelah diantar Nabila ke jalan raya. Liza juga s
“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”“Yaudah, ayok!”Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.“Nabilaaa! Ini aku Liza!”“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melih
***“Dek, dek! Boleh banget nih dilihat-lihat dulu selebarannya! Nanti kami mau mampir ke kelas kalian, lho! Ditunggu, yaa!”Beberapa anak dari anggota inti berbagai klub terlihat sibuk mengelilingi lorong sekolah, mereka juga mengunjungi berbagai tempat di mana anak-anak baru berkumpul. Hari ini adalah hari pengenalan ekstra kurikuler, dengan kata lain hari berburu anggota baru.Sekolah tempat Liza dan teman-temannya belajar ini bisa dibilang adalah satu dari beberapa sekolah yang sangat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Membuat urusan biaya dan jaminan pendidikannya begitu terkendali dan efisien.Permasalahan soal dana pemasukan klub bahkan tidak menjadi perkara yang memusingkan. Anggota-anggota yang tergabung tidak perlu susah-susah mengutip dan mendatai satu persatu siapa saja yang belum membayar iuran rutin. Sebab di sekolah ini, semua klub yang sudah terdaftar akan mendapatkan suntikan dana dari sekolah. Bisa saja disebut se
***Mengadaptasi dari sebuah set lakon drama percintaan klasik remaja sekolah menengah atas yang sempat ramai di awal abad ke dua puluh satu —meskipun penulis tidak tahu pasti kapan sebenarnya set ini diperkenalkan pada publik, boleh jadi ini berasal dari kisah nyata. Tetapi bila benar demikian, sungguh dua orang yang dijadikan referensi dari semua akar kisah tabrak-tabrakan itu patutnya menjadi kekasih yang tak terpisahkan—. Dua orang insan dengan karakter yang jomplang, atau mereka dengan ketertarikan yang cukup kecil, bertabrakan ketika salah satu dan/atau keduanya sedang terburu-buru. Biasanya ide kreatif pengatur adegan akan ‘bermain’ setelah tabrakan itu berlangsung.Ada yang barang bawaanya terjatuh, keduanya merasa perlu untuk mengambilkannya, mungkin di beberapa kejadian mereka akan secara tidak sengaja berpegangan tangan. Ada yang mengelus kepalanya, terantuk cukup keras lalu terkejut karena bertemu musuh bebuyutannya, atau bisa jadi s
***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya
***“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.“Apaan sih main sembur-sembur aja!”“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.“Terus? Masih pusing?”Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.&
***Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saat di mana orang-orang sudah mulai kembali lagi beraktivitas setelah istirahat sejenak saat jeda senja tadi.“Kami pulang dulu, ya, Zaa!”“Tante, titip salam buat Liza nanti ya? Masih tidur tuh dia.”“Iyaa.”“Kebo tuh, emang.”Nabila dan Anggi pulang bersama dengan motor Anggi, mengikuti Gilang yang mengantar Chaca di depan. Mereka menyusuri jalanan hingga akhirnya sampai ke rumah Nabila dan Chaca.“Ya udah, ya, Bil! Sampai ketemu besok!” Ucap Anggi berlalu setelah menurunkan Nabila di depan pagar.“Aku masuk duluan, ya, Kak!”Nabila meninggalkan kakaknya Chaca dan Gilang, sepasang kekasih yang sedang berduaan di depan pagar rumah mereka. Chaca sudah turun dari motor, sementara Gilang sedang duduk menyamping ingin melihat Chaca masuk ke rumah sebelum ia pergi.“Gilang...”Wanita m
***Di sebuah rumah kecil yang dulunya sempat hangat, hiduplah seorang anak bersama orang tuanya. Anak itu cukup jahil untuk ukuran gadis kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak. Dia sering usil terhadap temannya, berkelahi dengan anak laki-laki, sukanya memanjat pohon, bermain pedang-pedangan, dan semacamnya. Pokoknya gambaran gadis feminin yang lekat dengan make up atau permainan memasak dan boneka benar-benar jauh darinya. Bahkan pagi ini, gadis itu baru saja dimarahi oleh Papanya karena sudah mengusili teman di kelasnya.“Rani. Kenapa kamu usilin Wawan?” Tanya Papanya mengintrograsi ketika mereka sudah sampai di rumah.“Dia nggak mau main sama aku.” Jawabnya sambil mengelayutkan tangannya di belakang, kemudian memutar kepalanya ke samping dan ke bawah.“Lihat Papa kalau kita lagi bicara!”“I-iya, Pa...”“Wawan kamu apain aja?”“Mainannya aku ambil...”
***Tiiit.... tiiiiit.....Brmmm.... brmmmmm.....Suara klakson dan bunyi kendaraan yang saling berisik bersahutan memenuhi jalanan terminal. Keringat bercampur debu membuat kulit menjadi lengket dan gerah, ditambah lagi dengan keadaan sumpek dari hiruk piruk perkotaan. Keadaan ini seringkali memicu stress bagi orang yang baru saja sampai ke kota, urbanisasi, orang-orang yang berpindah ke daerah ramai dengan tujuannya masing-masing.Tetapi bagi mereka selama beberapa tahun tinggal di sana, bahkan tidur di samping perlintasan kereta api ketika besoknya adalah hari penting di mana seluruh karirmu dipertaruhkan, itu semua sudah biasa. Mungkin hanya mereka dengan hak-hak khusus bisa tinggal di mansion mahal atau sebuah kamar apartemen yang begitu luas untuk ditinggali sendiri.Tidak ada yang bisa benar-benar mengatur hidupmu, tidak ada yang bisa mengekang dirimu. Kau selalu bisa bersembunyi dibalik tameng pribadi yang kau ciptakan sendiri. Kau bisa saj
***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp
***Kemarin adalah hari pertama kelas tambahan, jam pelajaran ekstra yang kali ini ditujukan kepada siswa yang gagal pada ujian tengah semester. Liza terpaksa mengikuti kelas tambahan hari ini, selain karena dia tidak mau nilainya menjadi nol saat pengakumulasian skor nanti, klub sastra yang biasa diikutinya hari sabtu juga libur untuk sementara. Tetapi beda cerita dengan hari ini, hari minggu, akhir pekan yang biasanya benar-benar dinikmati dengan bersantai. Liza terpaksa harus masuk ke sekolah untuk mengejar remedial. Klub seni yang melakukan kegiatannya di hari minggu kali ini tidak libur, meskipun Liza meminta gurunya untuk memberinya remedial di hari sabtu kemarin, gurunya tetap menolak.“Soal-soalnya baru ibu selesaikan. Bahaya kalau kamu bocorkan nanti ke siswa yang lain.”“Buu, saya nggak sepicik itu ya ampun!”“Ya kan, siapa tahu.”Pagi ini Liza bangun dengan malas, sebal karena respon gurunya kemarin. S
***Manusia yang hidup di dunia ini bergerak megikuti tujuannya masing-masing. Beberapa orang mungkin menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan peran dengan peta yang sangat besar. Tidak ada keharusan di mana kamu harus mengikuti objektif yang diberikan. Tidak ada tuntutan kamu harus menjadi raja, kepala negara, pekerja kantoran, pemadam kebakaran, pengangguran, orang biasa, orang jahat, bos suatu kelompok kriminal, atau apapun. Semua itu adalah pilihan dan kendalimu atas dirimu sendiri. Meskipun ada beberapa tatanan yang membantu menyusun dan mengatur kehidupan manusia dalam bentuk pedoman yang diyakini banyak pengikutnya.Berbuatlah kebaikan, hindarilah kejahatan, sederhananya begitu.Ya mungkin terkadang alam bawah sadar memberikan beberapa pengaruh di luar dari kontrol manusia sebagai pengguna dari permainan peran multi pemain raksasa ini.Orang yang tidak memiliki tujuan besar di hidupnya cenderung akan merasa bosan dan lelah sepanjang waktu. T
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k