***
“Kalian semua yang berada di sini memangnya sebegitu luang sampai tidak punya hal lain yang harus dikerjakan? Uwaah aku iri sekali, orang sibuk sepertiku benar-benar ingin sesekali merasakan kebebasan seperti kalian.”
“Ck! Menyebalkan.”
“Ini cewek mulutnya pedes juga, ya?”
“Lo nggak usah kepedean, deh! Jijik tau!”
Salah satu dari perempuan itu menarik rambut Liza, kemudian yang lainnya terlihat mengeluarkan sebuah gunting. Sepertinya mereka ingin menjahili Liza dengan menggunting beberapa helai-genggam rambutnya. Tetapi sebelum niat jahat mereka terlaksanakan, seseorang tiba-tiba muncul dan melompat sambil dikejar oleh dua orang perempuan— anggota mereka yang berjaga di depan pintu masuk gang sempit itu.
“Za! Kenapa tiba-tiba duluan? Bukannya tadi kita udah janji mau makan dulu habis pulang sekolah tadi?” Tanyanya tiba-tiba.
“Oh, iya! Kalian-kalian yang berdiri di sana. Bisa tolong enyah dari sini? Melihat pantat babi yang bergoyang mungkin bisa jadi hiburan yang lebih menarik dari pada memaksa diri untuk melihat wajah kalian.”
Kelompok perempuan-perempuan itu kabur terbirit-birit sambil membawa tas mereka karena ucapan orang tadi. Seperti yang bisa diduga dari alur cerita mainstream, orang itu tentunya adalah Randi. Yah meski misalnya Randi tidak akan muncul, Liza sudah menyiapkan banyak dialog untuk dia katakan sebagai pengulur waktu, berharap agar tetangga di sekitarnya lewat dan dia bisa meminta pertolongan, atau menyelinap kabur.
“Mau apa kamu?” Liza dengan ketus melontarkan pertanyaan.
“Kenapa marah begitu? Terima kasihnya mana?” Randi balik bertanya.
“Ayo makan.”
Randi gantian menjadi tokoh yang kebingunan dalam bagian ini, dia merasa aneh dengan ajakan Liza. Tetapi diam-diam, Randi begitu menyukai sisi Liza yang aneh itu. Mereka berdua makan di salah satu warung bakso yang ada di dekat rumah Liza. Saat sedang makan, tiba-tiba Randi menanyakan sesuatu yang aneh.
“Kamu sebenarnya siapa?”
“UHUK UHUK!” Liza terbatuk dengan keras, hampir saja dia tersedak bulatan bakso yang cukup besar. “K-kenapa tanya begitu?” Jawabnya tergagap.
Kipas gantung yang terpasang di dinding warung bakso itu sampai berputar dua kali hingga Randi menjawab pertanyaan itu, membuat Liza merasa cemas setengah mati.
“Bukan apa-apa. Aku tahu kamu ceroboh, tapi tidak mungkin sampai lupa alasan kita berpacaran, kan?”
“Memangnya ada maksud lain?” Tanya Liza penasaran.
“Sungguhan, kamu ini sebenarnya siapa? Nada suara Randi terdengar meninggi tetapi ditahan dari perut.
“A-a, aku ya aku. Eliza Anggraini, lima belas tahun.”
“Bukan itu maksudku.” Randi sepertinya sudah putus asa.
“Baiklah, akan kuperjelas lagi. Tetapi sebelum itu, aku sedikit merasa kalau sudah mengulangi dialog ini puluhan kali.”
“Ya?”
“Kita pacaran karena aku memaksamu, kan? Kenapa kamu bicara seolah kamu memanfaatkan momen dan langsung bilang tertarik kepadaku secara lurus dan langsung? Aku hanya bosan dengan perempuan-perempuan yang selalu saja hanya peduli dan melihat wajah atau tingkahku yang berandalan. Tidak ada yang pernah memperhatikan hal-hal baik yang aku lakukan.”
Ternyata apa yang dipikirkan oleh Liza-Rani selama ini benar, Papanya hanyalah seorang bajingan yang selalu mempermainkan wanita dan mencampakkannya. Pasti Papanya menakut-nakuti Mamanya saat insiden perundungan waktu itu, membuat Mamanya terpaksa menuruti kemauan Randi.
“Oh begitu?” Jawab Liza dengan nada kesal. Dia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan emosinya yang meluap tinggi agar tidak meledak.
“Kenapa jawabanmu begitu?”
“Tentu saja aku tau itu. Kamu pikir aku sudah pikun hingga tidak mampu lagi mengingat sesuatu yang sederhana seperti itu? Oh yang benar saja.” Elak Liza sambil menutupi kenyataan kalau dia sebelumnya tidak tahu apa-apa.
“Aku hanya berkata begitu agar perempuan-perempuan yang menatapku dengan sinis, mereka yang benar-benar mengganggu pemandanganku itu bisa berhenti melakukan hal yang kekanak-kanakan.”
“Lagi pula memangnya kamu menyukaiku? Kenapa protes sebegitunya? Bukannya dengan wajah yang tampan dan keahlian menggodamu, kamu bisa menggaet tiga atau empat perempuan lagi? Ayo sana cari yang banyak!” Liza menambahkan jawabannya dengan kesan menantang.
“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang bisa jadi akan menganggumu nanti? Tidak ada yang akan melindungimu lagi.”
“Oh sungguh? Pria jantan dengan senyum iblis yang menggoda ini bertaruh bisa melindungiku? Tenang saja, aku bisa mengatasi semua masalah yang akan aku hadapi nantinya. Tidak usah repot-repot memusingkan urusanku.” Balas Liza lagi.
Randi merasa kesal dengan perkataan Liza yang begitu tajam, ia pun pergi keluar dari warung bakso itu. Liza kemudian masih duduk di sana untuk menghabiskan baksonya. Tetapi ketika ia membayar, mamang bakso itu menolak uang Liza, “Udah dibayar tadi, Neng.” Katanya.
“Aneh, kenapa dia sempat sempatnya membayar bagianku? Terus juga mamang itu ada rejeki nomplok bukannya diterima.”
Randi yang di masa depan kabur sambil meninggalkan sejumlah hutang yang banyak ternyata pernah mau mentraktir gadis yang sudah menolak mentah harga dirinya. Entah apa yang terjadi pada Randi di masa depan. Tapi sayangnya hari itu Liza tidak memikirkan hal-hal begitu jauh.
Setelah makan, Liza memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Ia melewati banyak tetangga dan menyapanya dengan ramah. Dari yang Liza pelajari saat menjadi Rani, menjadi tetangga yang baik dan dikenal banyak orang adalah modal yang bagus untuk masa depan. Karena Rani memiliki Mama yang terkena stroke sedang dia sendiri harus bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga, memiliki tetangga yang peduli dan responsif adalah bantuan yang sangat berguna. Boleh jadi ke depannya Liza bisa meminjam alat-alat kebun atau panci dari tetangganya tanpa sungkan.
Meskipun Liza mencoba mengakrabkan diri dengan berbagai tetangga, dia sama sekali tidak bisa berdiri dekat dengan kakaknya sendiri.
“HUSH HUSH AWAS! TIGA METER YO TIGA METER! INGAT!”
Liza selalu memperingati kakaknya dengan raut wajah yang khas dan nada yang khusus pula. Setelah sampai di rumah, dia mandi dan pergi ke dapur untuk membantu ibunya mengerjakan tugas dapur. Kemudian saat malam hari dia belajar untuk materi esok hari. Sesekali untuk melepas bosan, Liza mencoba menggambar. Untungnya bakat yang dia peroleh ketika menjadi Rani tidak hilang meskipun tubuh dan tangannya berubah menjadi milik Mama.
Ponsel Liza berdering, menyala, lalu menampilkan pratinjau pesan.
“Kita putus?” Ternyata pesan yang dikirimkan oleh Randi
“Ya.” Balas Liza dengan benar-benar singkat.
Pukul sebelas malam, Liza terlelap dalam mimpinya yang menenangkan. Liza bermimpi sedang berada di sebuah ruangan beralaskan karpet lembut bersama Ayah dan Ibu-Mamanya. Mereka berdua sedang setengah duduk setengah tidur sambil mendengarkan cerita Rani kecil tentang sekolahnya.
Oh tunggu, di sebelah sana ada orang tua Ayah, Kakek dan Nenek duduk tersenyum mengangkat tangan ingin menggendong gadis mungil itu. Rani kecil berjalan ke arah mereka juga. Nenek menciumi pipinya dan menyelipkan uang ke dalam saku kecil Rani.
Sungguh suasana keluarga yang begitu hangat. Situasi yang benar-benar dirindukan oleh Rani-Liza selama ini. Tanpa di sadari dalam tidurnya yang nyenyak, air mata mulai turun membasahi pipi dan bantal Liza. Tampak jelas bagaimanya tersakitinya ia selama ini oleh keadaan yang memaksa.
______________________________
Catatan: Sungguhan ada orang yang membaca ini? Aku berpikir kalau cerita yang belum ditanda-tangani tidak akan dibaca oleh siapapun? Mengesampingkan hal itu, terima kasih sudah membaca!
***Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendeka
***Liza dan Anggi setuju untuk menginap di rumah Nabila karena besok juga merupakan hari libur. Liza meminta izin untuk menelepon rumahnya dan memberitahu soal ini, Ibunya yang mengangkat mengizinkannya untuk menginap. Kemudian di pagi hari, mereka bangun dan sarapan bersama. Liza masih sungkan memakai pakaian Nabila untuk dibawa berjalan ke rumah, tetapi dia juga tidak enak kalau mengembalikannya begitu saja.“Bajunya aku masukin tas, tapi nanti aku cuci, kok. Mungkin sore aku bakal mampir ke sini buat ngembaliinnya.” Ujar Liza.“Ya ampun nggak apa apa kali, Za. Anggi aja pakai sampai pulang, tuh.” Balas Nabila sambil menunjuk Anggi.“Hehehehe.” Anak yang ditunjuk itu hanya cengengesan dan memiringkan kepalanya. “Nggak apa apa kali, Za. Jangan malu beda dikit,” jelasnya pada Liza.“Nggak, deh.”Liza naik angkot bersama dengan Anggi setelah diantar Nabila ke jalan raya. Liza juga s
“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”“Yaudah, ayok!”Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.“Nabilaaa! Ini aku Liza!”“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melih
***“Dek, dek! Boleh banget nih dilihat-lihat dulu selebarannya! Nanti kami mau mampir ke kelas kalian, lho! Ditunggu, yaa!”Beberapa anak dari anggota inti berbagai klub terlihat sibuk mengelilingi lorong sekolah, mereka juga mengunjungi berbagai tempat di mana anak-anak baru berkumpul. Hari ini adalah hari pengenalan ekstra kurikuler, dengan kata lain hari berburu anggota baru.Sekolah tempat Liza dan teman-temannya belajar ini bisa dibilang adalah satu dari beberapa sekolah yang sangat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Membuat urusan biaya dan jaminan pendidikannya begitu terkendali dan efisien.Permasalahan soal dana pemasukan klub bahkan tidak menjadi perkara yang memusingkan. Anggota-anggota yang tergabung tidak perlu susah-susah mengutip dan mendatai satu persatu siapa saja yang belum membayar iuran rutin. Sebab di sekolah ini, semua klub yang sudah terdaftar akan mendapatkan suntikan dana dari sekolah. Bisa saja disebut se
***Mengadaptasi dari sebuah set lakon drama percintaan klasik remaja sekolah menengah atas yang sempat ramai di awal abad ke dua puluh satu —meskipun penulis tidak tahu pasti kapan sebenarnya set ini diperkenalkan pada publik, boleh jadi ini berasal dari kisah nyata. Tetapi bila benar demikian, sungguh dua orang yang dijadikan referensi dari semua akar kisah tabrak-tabrakan itu patutnya menjadi kekasih yang tak terpisahkan—. Dua orang insan dengan karakter yang jomplang, atau mereka dengan ketertarikan yang cukup kecil, bertabrakan ketika salah satu dan/atau keduanya sedang terburu-buru. Biasanya ide kreatif pengatur adegan akan ‘bermain’ setelah tabrakan itu berlangsung.Ada yang barang bawaanya terjatuh, keduanya merasa perlu untuk mengambilkannya, mungkin di beberapa kejadian mereka akan secara tidak sengaja berpegangan tangan. Ada yang mengelus kepalanya, terantuk cukup keras lalu terkejut karena bertemu musuh bebuyutannya, atau bisa jadi s
***Bel sudah berbunyi, tetapi Liza dan Randi baru saja meninggalkan lorong tempat mereka berdua bertabrakan tadi. Mereka harus mampir ke toilet untuk ‘ritual siram lap’ dan Liza butuh mengganti seragamnya dengan kemeja yang dibawa Randi. Setelah mereka kembali ke kelas, meja-meja sudah disusun berdekatan menjadi beberapa kelompok. Sepertinya akan ada tugas presentasi atau semacamnya.Beberapa orang mungkin punya pendapatnya sendiri soal tugas kelompok. Ada yang sangat suka dengan aktivitas yang melibatkan banyak orang, mereka bisa mendengar berbagai pendapat yang berbeda, merasakan sensasi mengatur diatur, juga keterburu-buruan saat tenggat waktu sudah dekat tetapi anggota yang berpartisipasi tidak sampai setengahnya. Ada juga orang yang benci betul dengan kelompok, mungkin mereka tidak suka harus diatur, atau kelompoknya hanyalah pengikut tanpa salah satu calon pemimpin di dalamnya. Mereka yang benci juga kebanyakan tidak mau direpotkan oleh pekerjaan ang
***“Beneran ngikutin aku pulang nih?” Tanya Liza kepada Randi yang berjalan di sampingnya. Mereka berdua naik dan turun angkot bersama-sama, tetapi karena mood Liza yang tidak terlalu baik, mereka tidak bicara apapun sepanjang perjalanan. Randi yang bosan keusilannya tidak digubris sejak tadi memilih untuk bersiul sepanjang perjalanan.“Iya emang. Nggak boleh apa?” Tanya Randi menghentikan siulannya, kemudian memasukkan tangannya ke saku celana.“Nggak tahu.”“Eh, Ran. Di sana tadi itu tempat apa sih?”“Di sana di mana?”“Tadi pas persimpangan habis keluar dari jalan deket sekolah. Orang-orang di sana pada pake jas terus banyak bodyguard gitu.”“Oh itu. Biasaa, banyak hotel esek-esek di sana. Kamu masih bocil nggak usah kepo mau liat-liat.”“Dih sembarangan, siapa juga yang kepo.” Ujar Liza membantah ucapan Randi. “Lagian kamu
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k
***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya
***“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.“Apaan sih main sembur-sembur aja!”“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.“Terus? Masih pusing?”Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.&
***Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saat di mana orang-orang sudah mulai kembali lagi beraktivitas setelah istirahat sejenak saat jeda senja tadi.“Kami pulang dulu, ya, Zaa!”“Tante, titip salam buat Liza nanti ya? Masih tidur tuh dia.”“Iyaa.”“Kebo tuh, emang.”Nabila dan Anggi pulang bersama dengan motor Anggi, mengikuti Gilang yang mengantar Chaca di depan. Mereka menyusuri jalanan hingga akhirnya sampai ke rumah Nabila dan Chaca.“Ya udah, ya, Bil! Sampai ketemu besok!” Ucap Anggi berlalu setelah menurunkan Nabila di depan pagar.“Aku masuk duluan, ya, Kak!”Nabila meninggalkan kakaknya Chaca dan Gilang, sepasang kekasih yang sedang berduaan di depan pagar rumah mereka. Chaca sudah turun dari motor, sementara Gilang sedang duduk menyamping ingin melihat Chaca masuk ke rumah sebelum ia pergi.“Gilang...”Wanita m
***Di sebuah rumah kecil yang dulunya sempat hangat, hiduplah seorang anak bersama orang tuanya. Anak itu cukup jahil untuk ukuran gadis kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak. Dia sering usil terhadap temannya, berkelahi dengan anak laki-laki, sukanya memanjat pohon, bermain pedang-pedangan, dan semacamnya. Pokoknya gambaran gadis feminin yang lekat dengan make up atau permainan memasak dan boneka benar-benar jauh darinya. Bahkan pagi ini, gadis itu baru saja dimarahi oleh Papanya karena sudah mengusili teman di kelasnya.“Rani. Kenapa kamu usilin Wawan?” Tanya Papanya mengintrograsi ketika mereka sudah sampai di rumah.“Dia nggak mau main sama aku.” Jawabnya sambil mengelayutkan tangannya di belakang, kemudian memutar kepalanya ke samping dan ke bawah.“Lihat Papa kalau kita lagi bicara!”“I-iya, Pa...”“Wawan kamu apain aja?”“Mainannya aku ambil...”
***Tiiit.... tiiiiit.....Brmmm.... brmmmmm.....Suara klakson dan bunyi kendaraan yang saling berisik bersahutan memenuhi jalanan terminal. Keringat bercampur debu membuat kulit menjadi lengket dan gerah, ditambah lagi dengan keadaan sumpek dari hiruk piruk perkotaan. Keadaan ini seringkali memicu stress bagi orang yang baru saja sampai ke kota, urbanisasi, orang-orang yang berpindah ke daerah ramai dengan tujuannya masing-masing.Tetapi bagi mereka selama beberapa tahun tinggal di sana, bahkan tidur di samping perlintasan kereta api ketika besoknya adalah hari penting di mana seluruh karirmu dipertaruhkan, itu semua sudah biasa. Mungkin hanya mereka dengan hak-hak khusus bisa tinggal di mansion mahal atau sebuah kamar apartemen yang begitu luas untuk ditinggali sendiri.Tidak ada yang bisa benar-benar mengatur hidupmu, tidak ada yang bisa mengekang dirimu. Kau selalu bisa bersembunyi dibalik tameng pribadi yang kau ciptakan sendiri. Kau bisa saj
***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp
***Kemarin adalah hari pertama kelas tambahan, jam pelajaran ekstra yang kali ini ditujukan kepada siswa yang gagal pada ujian tengah semester. Liza terpaksa mengikuti kelas tambahan hari ini, selain karena dia tidak mau nilainya menjadi nol saat pengakumulasian skor nanti, klub sastra yang biasa diikutinya hari sabtu juga libur untuk sementara. Tetapi beda cerita dengan hari ini, hari minggu, akhir pekan yang biasanya benar-benar dinikmati dengan bersantai. Liza terpaksa harus masuk ke sekolah untuk mengejar remedial. Klub seni yang melakukan kegiatannya di hari minggu kali ini tidak libur, meskipun Liza meminta gurunya untuk memberinya remedial di hari sabtu kemarin, gurunya tetap menolak.“Soal-soalnya baru ibu selesaikan. Bahaya kalau kamu bocorkan nanti ke siswa yang lain.”“Buu, saya nggak sepicik itu ya ampun!”“Ya kan, siapa tahu.”Pagi ini Liza bangun dengan malas, sebal karena respon gurunya kemarin. S
***Manusia yang hidup di dunia ini bergerak megikuti tujuannya masing-masing. Beberapa orang mungkin menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan peran dengan peta yang sangat besar. Tidak ada keharusan di mana kamu harus mengikuti objektif yang diberikan. Tidak ada tuntutan kamu harus menjadi raja, kepala negara, pekerja kantoran, pemadam kebakaran, pengangguran, orang biasa, orang jahat, bos suatu kelompok kriminal, atau apapun. Semua itu adalah pilihan dan kendalimu atas dirimu sendiri. Meskipun ada beberapa tatanan yang membantu menyusun dan mengatur kehidupan manusia dalam bentuk pedoman yang diyakini banyak pengikutnya.Berbuatlah kebaikan, hindarilah kejahatan, sederhananya begitu.Ya mungkin terkadang alam bawah sadar memberikan beberapa pengaruh di luar dari kontrol manusia sebagai pengguna dari permainan peran multi pemain raksasa ini.Orang yang tidak memiliki tujuan besar di hidupnya cenderung akan merasa bosan dan lelah sepanjang waktu. T
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k