“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”
“Yaudah, ayok!”
Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.
“Nabilaaa! Ini aku Liza!”
“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”
Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melihat tingkah kakaknya yang seenaknya merasa kebingungan dan sebal di saat yang bersamaan.
“Kak! Apa apaan, sih? Nggak sopan banget tahu! Akunya aja baru kenal banget sama Nabila. Jangan bikin malu dong!” Seru Liza ke arah kakaknya yang duduk tidak peduli sambil memperhatikan bunga di taman depan rumah. Beberapa saat kemudian pintu depan rumah Nabila terbuka dan keluar seorang wanita yang melambaikan tangan ke arah Kakaknya Liza.
“Hai, Chaca.”
“Hai, Gilang.”
“Kakak siapa?” Liza bertanya kebingungan karena kakaknya terlihat begitu akrab dengan tuan rumah yang sepertinya bukan lah Nabila.
“Aku kakaknya Bila, Za.”
“Terus kok kenal sama kakakku? Dan, aku?” Liza bertanya dengan raut wajah kebingungan.
“Kami kan... pacaran...? Kamu nggak ingat? Kakak kan juga dulu sering main ke rumah kamu?”
“Beneran?”
“Cuma sih emang ya akhir-akhir ini enggak, sibuk nugas terus ada kepanitian di kampus.”
“Oohhh.”
Sesaat Liza bingung juga kenapa Ibunya juga seperti sudah kenal dekat dengan Nabila, padahal dia belum bercerita banyak dan hanya menaruh pakaian Nabila d mesin cuci. Pakaian itu juga bukan seragam dengan nama yang tercetak di atasnya. Kakaknya juga, hanya dengan satu arahan yang sebenarnya rancu, dia sudah langsung tahu ke mana harus membawa motornnya. Sebelumnnya Liza hanya berpikir kalau kakaknya jenius, atau mungkin esper yang bisa membaca pikiran orang lain. Tetapi kalau benar begitu dia akan jadi sangat seram, mungkin Liza bisa saja memaksa kakaknya untuk angkat kaki dari rumah, mengusirnya dengan seluruh kemungkinan.
“Lizaaaaa! Jadi mampir, ya?” Seru Nabila setelah menampakkan wajahnya dari balik pintu. Suaranya memecah keheningan sejenak dari kecanggungan Liza yang terlihat seperti orang bodoh, meskipun Liza hanya fokus pada pikirannya sendiri.
“Hai, Bil! Ini nih baju aku udah aku cuci. Makasih banget yaa udah pinjemin kemarin, juga udah ngizinin nginap.”
“Lagian kemarin kakak sempat manggil kamu pas kamu keluar dari WC, kan? Kamu aja yang nggak ngelirik.” Chaca menyinggung soal kejadian semalam, ditambah lagi ia masih sedikit banyak penasaran bagaimana Liza bisa lupa dengannya.
“Oh iya ya, kak? Maaf ya?”
Liza sebenarnya mendengar kalau ada suara yang halus memanggilnya dari satu tempat di belakangnya. Tetapi perlu di ketahui kalau seberani apapun Liza dengan berbagai tantangan dan tekanan, dia benar-benar takut dengan hantu dan perkara mistis. Tentu saja dia segera menjinjit dan masuk ke kamar Nabila tanpa menunggu lama. Dia juga tidak mau bicara soal adanya ‘hantu’ di rumah Nabila. Selain pembicaraan tentang hal itu tidak akan berlangsung sekejap, dia juga tidak ingin membuat Nabila merasa tidak nyaman berada di dalam rumahnya sendiri.
“Kamu juga terakhir main ke rumah Liza pas liburan kemarin kan, Bil? Masa Liza nggak ingat kakak.”
“Iyaa! Pas pertama ketemu di SMA aja Liza pake perkenalan diri segala. Tau nggak, kak? Lengkap sama jabat tangan dan salam selamat pagi yang formal banget!”
Meskipun itu bukan salah Liza-Rani sama sekali, wajah gadis itu menjadi merah pucat menahan malu. Pembicaraan itu sedikit membuatnya merasa ingin kabur untuk buang air. Tapi dia belum tahu, atau tidak ingat dengan denah rumah ini.
“Aku jadi malu gara-gara kitanya udah kenal dari SD. Nah awalnya aku pikir dia bercanda, tapi mukanya serius banget!” Jelas Nabila lagi, membuat kedua kakak adik perempuan itu tertawa terbahak-bahak sambil melihat ke arah Liza.
“Maaf ya Bila, Chaca. Kemarin pas liburan Liza sempat jalan-jalan ke pantai, terus sialnya kepala dia kejatuhan buah kelapa ampe pingsan seminggu. Pas sadar juga dia gabisa bedain mana kodok mana kecoa. Parah banget sih.” Gilang mencoba bercanda kepada Nabila dan Chaca dengan wajah serius. Tetapi kedua kakak adik itu cukup polos, mereka percaya saja dengan penjelasan Gilang.
“Bener, Za? GWS, yaa! Maaf banget kemarin nggak tahu kabar jadi nggak bisa jenguk. Dokter kamu bilang apa?”
“Nggak sampe geger otak, kan ya?”
“Iya emang kodok sama kecoa sama sama bikin jijik. Tapi poinnya bukan itu sableng!” Seru Liza sambil menendang bokong Gilang.
"Nggak Nabila, kak Chaca. Aku nggak kejatuhan apa apa, cuma banyak pikiran aja akhir-akhir ini. Itu aja kok!” Ujar Liza memberikan pembenaran, lebih dari kakaknya yang menyebalkan itu.
“Makasih yaa, dan maaf udah bikin khawatir.” Tambahnya lagi
“Nggak apa apa, Za. Santai aja kali.”
“Lagian mumpung udah di sini. Nggak mau sekalian mampir aja?”
“Nah iya, Za! Aku ke belakang dulu sama kakak bikinin minuman. Kak Gilang nggak keberatan kan kalau main dulu? Sekalian karena udah lama nggak ke sini jugaa!”
Gilang mengangguk perlahan sementara Nabila dan Chaca pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman dan membawa camilan. Liza duduk dengan sungkan di atas sofa yang sempat ia perhatikan tadi. Mungkin sugesti dari cerita Nabila soal dia sudah mengenal Nabila dan Chaca lebih dulu, dia merasa sudah pernah dan memang beberapa kali berkunjung ke sini.
Ruang tamu rumah Nabila memiliki dua sofa besar dan tiga sofa untuk satu orang, sebuah meja panjang dengan bunga di tengahnya, juga foto keluarga yang digantung di dinding. Beberapa kali terdengar gemburan suara mesin kendaraan dari luar, mengingat jalan di depan rumah Nabila cukup besar, meski tidak bisa disebut sebagai jalan utama.
“Kalau jalannya bagus gini dan nggak jauh dari sekolah, kenapa Nabila naik angkot, ya?” Pikir Liza.
“Maaf menunggu lamaa!” Nabila dan kakaknya Chaca datang membawa nampan berisi empat minuman, yang sepertinya adalah teh, juga sekaeng biskuit.
“Isinya bukan rengginang kan?” Celetuk Gilang tiba-tiba setelah memandangi kaleng biskuit itu dengan tatapan aneh.
Mereka berempat tertawa bersamaan. Gilang duduk menyandarkan punggungnya ke sofa sambil membuka kaleng itu dengan santai.
“LOH KRIPIK SINGKONG!”
***
Setelah berbicara selama satu jam di Rumah Nabila, Liza merasa sudah harus pulang karena di luar matahari sudah mulai turun dari kedudukannya yang tinggi. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa suasana sore yang menenangkan.
“Mampir lagi, yaa!”
“Iyaaa. Nanti kalau hujan lagi aku mampir deh!”
“Nggak gituu! Main aja! Nggak pake alasan juga nggak masalah. Nggak perlu nunggu hujan jugaa!”
“Bye Gilang.”
“Bye Chaca.”
Dua orang itu berpamitan dengan singkat. Tadi saat mengobrol keduanya juga tidak terlihat ingin berduaan atau mendekat satu sama lain. Liza sendiri juga cukup bingung kenapa Chaca mau saja berpacaran dengan kakaknya, pria yang membosankan dan tanpa daya tarik. Selain itu sepertinya mereka sudah berpacaran cukup lama. Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dimengerti dengan melihatnya sekilas. Mencoba sekeras apapun kedua orang yang ingin bersatu, bila keadaan dan garis yang menyatukan mereka tidak ada, mereka tidak akan punya akhir berdua di ujung jalan. Sedangkan bagi mereka yang terlihat datar dan tanpa ambisi, boleh jadi ada tali tambang kuat yang menahan mereka berdua untuk terus berhubungan.
Semilir angin sore masih saja terus berhembus, melewati kedua kakak adik yang tidak akur menaiki motor berdua. Kalau saja mereka adalah sepanjang kekasih, mungkin seorang tukang potret yang kebingungan mencari referensi akan dengan senang hati mengambil gambar mereka tanpa dibayar. Tapi sayangnya mereka adalah Liza dan Gilang. Gilang bukanlah sebuah soal, tidak akan mempermasalahkan banyak hal, tetapi yang dibelakangnya itu adalah Liza. Gadis SMA tahun pertama itu duduk mundur di atas besi pegangan paling belakang motor dengan mengangkangkan kakinya jauh jauh dari kakaknya. Belum cukup dengan itu, dia juga memaksa kakaknya untuk duduk merosot ke depan, menyisakan jarak sekitar tiga atau empat puluh senti di anatara punggung dan perut mereka.
“TIGA METER WOY!” Kata liza memberi peringatan.”
“Nggak mungkin lah, geblek! Motor aja nggak sampai segitunya!”
“YA DIUSAHAIN!”
“MIKIR DONGGGG!”
Mereka berdua berdebat terus sepanjang jalan bahkan hingga sampai ke rumah. Tetapi culasnya Liza di depan Ibunya, dia akan berganti mode menjadi adik penyayang. Sebab ia benar-benar menganggap kalau omelan Ibu-Neneknya itu menyeramkan sekali.
***“Dek, dek! Boleh banget nih dilihat-lihat dulu selebarannya! Nanti kami mau mampir ke kelas kalian, lho! Ditunggu, yaa!”Beberapa anak dari anggota inti berbagai klub terlihat sibuk mengelilingi lorong sekolah, mereka juga mengunjungi berbagai tempat di mana anak-anak baru berkumpul. Hari ini adalah hari pengenalan ekstra kurikuler, dengan kata lain hari berburu anggota baru.Sekolah tempat Liza dan teman-temannya belajar ini bisa dibilang adalah satu dari beberapa sekolah yang sangat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Membuat urusan biaya dan jaminan pendidikannya begitu terkendali dan efisien.Permasalahan soal dana pemasukan klub bahkan tidak menjadi perkara yang memusingkan. Anggota-anggota yang tergabung tidak perlu susah-susah mengutip dan mendatai satu persatu siapa saja yang belum membayar iuran rutin. Sebab di sekolah ini, semua klub yang sudah terdaftar akan mendapatkan suntikan dana dari sekolah. Bisa saja disebut se
***Mengadaptasi dari sebuah set lakon drama percintaan klasik remaja sekolah menengah atas yang sempat ramai di awal abad ke dua puluh satu —meskipun penulis tidak tahu pasti kapan sebenarnya set ini diperkenalkan pada publik, boleh jadi ini berasal dari kisah nyata. Tetapi bila benar demikian, sungguh dua orang yang dijadikan referensi dari semua akar kisah tabrak-tabrakan itu patutnya menjadi kekasih yang tak terpisahkan—. Dua orang insan dengan karakter yang jomplang, atau mereka dengan ketertarikan yang cukup kecil, bertabrakan ketika salah satu dan/atau keduanya sedang terburu-buru. Biasanya ide kreatif pengatur adegan akan ‘bermain’ setelah tabrakan itu berlangsung.Ada yang barang bawaanya terjatuh, keduanya merasa perlu untuk mengambilkannya, mungkin di beberapa kejadian mereka akan secara tidak sengaja berpegangan tangan. Ada yang mengelus kepalanya, terantuk cukup keras lalu terkejut karena bertemu musuh bebuyutannya, atau bisa jadi s
***Bel sudah berbunyi, tetapi Liza dan Randi baru saja meninggalkan lorong tempat mereka berdua bertabrakan tadi. Mereka harus mampir ke toilet untuk ‘ritual siram lap’ dan Liza butuh mengganti seragamnya dengan kemeja yang dibawa Randi. Setelah mereka kembali ke kelas, meja-meja sudah disusun berdekatan menjadi beberapa kelompok. Sepertinya akan ada tugas presentasi atau semacamnya.Beberapa orang mungkin punya pendapatnya sendiri soal tugas kelompok. Ada yang sangat suka dengan aktivitas yang melibatkan banyak orang, mereka bisa mendengar berbagai pendapat yang berbeda, merasakan sensasi mengatur diatur, juga keterburu-buruan saat tenggat waktu sudah dekat tetapi anggota yang berpartisipasi tidak sampai setengahnya. Ada juga orang yang benci betul dengan kelompok, mungkin mereka tidak suka harus diatur, atau kelompoknya hanyalah pengikut tanpa salah satu calon pemimpin di dalamnya. Mereka yang benci juga kebanyakan tidak mau direpotkan oleh pekerjaan ang
***“Beneran ngikutin aku pulang nih?” Tanya Liza kepada Randi yang berjalan di sampingnya. Mereka berdua naik dan turun angkot bersama-sama, tetapi karena mood Liza yang tidak terlalu baik, mereka tidak bicara apapun sepanjang perjalanan. Randi yang bosan keusilannya tidak digubris sejak tadi memilih untuk bersiul sepanjang perjalanan.“Iya emang. Nggak boleh apa?” Tanya Randi menghentikan siulannya, kemudian memasukkan tangannya ke saku celana.“Nggak tahu.”“Eh, Ran. Di sana tadi itu tempat apa sih?”“Di sana di mana?”“Tadi pas persimpangan habis keluar dari jalan deket sekolah. Orang-orang di sana pada pake jas terus banyak bodyguard gitu.”“Oh itu. Biasaa, banyak hotel esek-esek di sana. Kamu masih bocil nggak usah kepo mau liat-liat.”“Dih sembarangan, siapa juga yang kepo.” Ujar Liza membantah ucapan Randi. “Lagian kamu
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k
***Manusia yang hidup di dunia ini bergerak megikuti tujuannya masing-masing. Beberapa orang mungkin menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan peran dengan peta yang sangat besar. Tidak ada keharusan di mana kamu harus mengikuti objektif yang diberikan. Tidak ada tuntutan kamu harus menjadi raja, kepala negara, pekerja kantoran, pemadam kebakaran, pengangguran, orang biasa, orang jahat, bos suatu kelompok kriminal, atau apapun. Semua itu adalah pilihan dan kendalimu atas dirimu sendiri. Meskipun ada beberapa tatanan yang membantu menyusun dan mengatur kehidupan manusia dalam bentuk pedoman yang diyakini banyak pengikutnya.Berbuatlah kebaikan, hindarilah kejahatan, sederhananya begitu.Ya mungkin terkadang alam bawah sadar memberikan beberapa pengaruh di luar dari kontrol manusia sebagai pengguna dari permainan peran multi pemain raksasa ini.Orang yang tidak memiliki tujuan besar di hidupnya cenderung akan merasa bosan dan lelah sepanjang waktu. T
***Kemarin adalah hari pertama kelas tambahan, jam pelajaran ekstra yang kali ini ditujukan kepada siswa yang gagal pada ujian tengah semester. Liza terpaksa mengikuti kelas tambahan hari ini, selain karena dia tidak mau nilainya menjadi nol saat pengakumulasian skor nanti, klub sastra yang biasa diikutinya hari sabtu juga libur untuk sementara. Tetapi beda cerita dengan hari ini, hari minggu, akhir pekan yang biasanya benar-benar dinikmati dengan bersantai. Liza terpaksa harus masuk ke sekolah untuk mengejar remedial. Klub seni yang melakukan kegiatannya di hari minggu kali ini tidak libur, meskipun Liza meminta gurunya untuk memberinya remedial di hari sabtu kemarin, gurunya tetap menolak.“Soal-soalnya baru ibu selesaikan. Bahaya kalau kamu bocorkan nanti ke siswa yang lain.”“Buu, saya nggak sepicik itu ya ampun!”“Ya kan, siapa tahu.”Pagi ini Liza bangun dengan malas, sebal karena respon gurunya kemarin. S
***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp
***Kembali ke realita, meskipun kilas balik yang kemarin terhitung kasar sebagai fiksi dan yang ini juga fiksi.Keseluruhan karya ini benar-benar hanya fiksi, tentunya.Liza baru saja mendengar cerita Gilang mengenai kencan pertamanya dengan Chaca. Gadis itu kemudian mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah."Za. Mau nebeng aja?""Kenapa, kak? Tumben?""Aku lagi ada keperluan di kampus sih.""Ooh.""Jadi gimana? Mau nggak?"Liza menimbang-nimbang soal tawaran Gilang. Tak ada salahnya ia menerima kebaikan kakaknya kali ini, toh ia juga bisa menyimpan ongkos berangkat pagi ini"Yaudah sana buruan. Mandi aja belum dasar kambing!""Yeuu bawel."***Ketika jam istirahat kedua selesai, Liza makan bertiga dengan Nabila dan Anggi di kantin."Kak Gilang baru ngedate yaa..."Gumam Liza sambil memainkan bekalnya dengan sendok, tanpa sadar kalau teman semejanya bisa mendengar gumamannya
***“Aw!” Liza mengaduh karena tak sengaja menabrak Gilang pagi ini.“Mabok, po? Untung gelasku nggak jatuh.” Ucap Gilang sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.Liza mengusap dahinya, kemudian menggosok-gosok matanya.“Kenapa? Bulu mata jatuh? Jangan digosok-gosok gitu dong, elah.”Gilang memegang tangan Liza, menjauhkannya dari mata gadis itu, lalu meniupnya perlahan.“Apaan sih main sembur-sembur aja!”“Daripada matanya digosok-gosok gitu.”“Aku bukannya kelilipan gegara bulu mata.”Liza menyadari kalau dia sudah tidak begitu menjaga jarak dengan kakaknya. Tinggal serumah selama beberapa bulan ditambah fakta bahwa mereka berdua adalah saudara di dunia ini, membuat Liza terpaksa harus beradaptasi.“Terus? Masih pusing?”Liza mengangguk perlahan, kemudian berbalik dan menuju dispenser untuk mengambil segelas air.&
***Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, saat di mana orang-orang sudah mulai kembali lagi beraktivitas setelah istirahat sejenak saat jeda senja tadi.“Kami pulang dulu, ya, Zaa!”“Tante, titip salam buat Liza nanti ya? Masih tidur tuh dia.”“Iyaa.”“Kebo tuh, emang.”Nabila dan Anggi pulang bersama dengan motor Anggi, mengikuti Gilang yang mengantar Chaca di depan. Mereka menyusuri jalanan hingga akhirnya sampai ke rumah Nabila dan Chaca.“Ya udah, ya, Bil! Sampai ketemu besok!” Ucap Anggi berlalu setelah menurunkan Nabila di depan pagar.“Aku masuk duluan, ya, Kak!”Nabila meninggalkan kakaknya Chaca dan Gilang, sepasang kekasih yang sedang berduaan di depan pagar rumah mereka. Chaca sudah turun dari motor, sementara Gilang sedang duduk menyamping ingin melihat Chaca masuk ke rumah sebelum ia pergi.“Gilang...”Wanita m
***Di sebuah rumah kecil yang dulunya sempat hangat, hiduplah seorang anak bersama orang tuanya. Anak itu cukup jahil untuk ukuran gadis kecil yang masih bersekolah di taman kanak-kanak. Dia sering usil terhadap temannya, berkelahi dengan anak laki-laki, sukanya memanjat pohon, bermain pedang-pedangan, dan semacamnya. Pokoknya gambaran gadis feminin yang lekat dengan make up atau permainan memasak dan boneka benar-benar jauh darinya. Bahkan pagi ini, gadis itu baru saja dimarahi oleh Papanya karena sudah mengusili teman di kelasnya.“Rani. Kenapa kamu usilin Wawan?” Tanya Papanya mengintrograsi ketika mereka sudah sampai di rumah.“Dia nggak mau main sama aku.” Jawabnya sambil mengelayutkan tangannya di belakang, kemudian memutar kepalanya ke samping dan ke bawah.“Lihat Papa kalau kita lagi bicara!”“I-iya, Pa...”“Wawan kamu apain aja?”“Mainannya aku ambil...”
***Tiiit.... tiiiiit.....Brmmm.... brmmmmm.....Suara klakson dan bunyi kendaraan yang saling berisik bersahutan memenuhi jalanan terminal. Keringat bercampur debu membuat kulit menjadi lengket dan gerah, ditambah lagi dengan keadaan sumpek dari hiruk piruk perkotaan. Keadaan ini seringkali memicu stress bagi orang yang baru saja sampai ke kota, urbanisasi, orang-orang yang berpindah ke daerah ramai dengan tujuannya masing-masing.Tetapi bagi mereka selama beberapa tahun tinggal di sana, bahkan tidur di samping perlintasan kereta api ketika besoknya adalah hari penting di mana seluruh karirmu dipertaruhkan, itu semua sudah biasa. Mungkin hanya mereka dengan hak-hak khusus bisa tinggal di mansion mahal atau sebuah kamar apartemen yang begitu luas untuk ditinggali sendiri.Tidak ada yang bisa benar-benar mengatur hidupmu, tidak ada yang bisa mengekang dirimu. Kau selalu bisa bersembunyi dibalik tameng pribadi yang kau ciptakan sendiri. Kau bisa saj
***Goresan pensil dan suara lembaran kertas halus-halus mengisi keseriusan ruangan 10 x 8 meter itu. Meskipun pada awalnya terkesan antusias dan ramai, mereka ternyata cukup serius dalam melakukan kegiatan klubnya. Dua jam telah berlalu, akhirnya agenda dadakan menggambar itu selesai. Anak-anak yang tergabung sebagai anggota klub seni begitu bergembira dengan kedatangan Nathan sebagai model untuk mereka gambar.Tapi tidak dengan seorang gadis yang duduk di paling belakang itu, kertas besar yang disangga oleh sandaran kanvas miliknya sama sekali tidak tersentuh. Tidak ada guratan pensil atau bekas hapusan sama sekali, bersih seperti baru.「Padahal bisa difoto aja kan, sih?」Dengusnya dalam hati karena sebal, orang-orang itu begitu heboh karena seorang Nathan saja.「Memang apa spesialnya dia?」「Astaga, Zaaaa. Sadar. Dia calon ayahmu. Tanpanya kamu nggak bakal lahir di dunia ini. Kalau ada yang perlu disalahkan atas berbagai kesialan yang menimp
***Kemarin adalah hari pertama kelas tambahan, jam pelajaran ekstra yang kali ini ditujukan kepada siswa yang gagal pada ujian tengah semester. Liza terpaksa mengikuti kelas tambahan hari ini, selain karena dia tidak mau nilainya menjadi nol saat pengakumulasian skor nanti, klub sastra yang biasa diikutinya hari sabtu juga libur untuk sementara. Tetapi beda cerita dengan hari ini, hari minggu, akhir pekan yang biasanya benar-benar dinikmati dengan bersantai. Liza terpaksa harus masuk ke sekolah untuk mengejar remedial. Klub seni yang melakukan kegiatannya di hari minggu kali ini tidak libur, meskipun Liza meminta gurunya untuk memberinya remedial di hari sabtu kemarin, gurunya tetap menolak.“Soal-soalnya baru ibu selesaikan. Bahaya kalau kamu bocorkan nanti ke siswa yang lain.”“Buu, saya nggak sepicik itu ya ampun!”“Ya kan, siapa tahu.”Pagi ini Liza bangun dengan malas, sebal karena respon gurunya kemarin. S
***Manusia yang hidup di dunia ini bergerak megikuti tujuannya masing-masing. Beberapa orang mungkin menggambarkan kehidupan dunia sebagai permainan peran dengan peta yang sangat besar. Tidak ada keharusan di mana kamu harus mengikuti objektif yang diberikan. Tidak ada tuntutan kamu harus menjadi raja, kepala negara, pekerja kantoran, pemadam kebakaran, pengangguran, orang biasa, orang jahat, bos suatu kelompok kriminal, atau apapun. Semua itu adalah pilihan dan kendalimu atas dirimu sendiri. Meskipun ada beberapa tatanan yang membantu menyusun dan mengatur kehidupan manusia dalam bentuk pedoman yang diyakini banyak pengikutnya.Berbuatlah kebaikan, hindarilah kejahatan, sederhananya begitu.Ya mungkin terkadang alam bawah sadar memberikan beberapa pengaruh di luar dari kontrol manusia sebagai pengguna dari permainan peran multi pemain raksasa ini.Orang yang tidak memiliki tujuan besar di hidupnya cenderung akan merasa bosan dan lelah sepanjang waktu. T
***Tidak ada hal yang benar-benar sempurna di dunia ini, tidak ada mungkin kecuali hanya Tuhan. Bahkan ketika ada seseorang yang memiliki wajah rupawan, tubuh yang bagus, tapi seringnya diberkahi dengan otak yang tidak lebih baik dari kebanyakan orang. Biasanya orang-orang normal hanya berputar di antara tiga itu saja, paling banyak punya dua kelebihan dengans satu kekurangan pelengkap. Ya meskipun ada yang kurang beruntung membawa dua atau bahkan ketiga kekurangan itu, sedang ada orang baik yang terlihat memiliki segalanya— latar belakang, lingkaran pertemanan, semuanya terlihat hebat. Tetapi bila benar begitu, maka ia cukup hebat dalam menyembunyikan kekurangannya.Hal yang sama juga terjadi kepada Liza, gadis yang sebelumnya adalah wanita dewasa dengan ingatan yang sama namun berpindah ke tubuh perempuan berusia lima belas tahun, harusnya dia menjadi sosok panutan yang kata-katanya dapat diikuti oleh bocah-bocah di sekitarnya. Hanya saja satu hal, gadis ini k