Terlahir dari keluarga petani padi, kondisi keuangan keluarganya hanya bergantung pada hasil panen. Seorang gadis berusia 21 tahun yang baru saja menerima ijazah dengan status perawat memilih untuk mencoba mencari pekerjaan di kota untuk memperbaiki keadaan keuangan keluarganya.
Selain itu, dia juga ingin menghindari kejaran juragan tanah seorang lelaki tua bangka. Zakiya Zahira yang lebih akrab dipanggil Kiya sangat menunjukkan keteguhan dan kebijaksanaannya. Terlepas dari kenyataan bahwa Kiya merupakan gadis kampung yang masih naif, dia tidak melupakan prinsip hidupnya. Ia tidak ingin menerima tawaran dari juragan sekalipun dengan iming-iming apapun."Apakah Mbak Kiya benar-benar pergi ke kota hari ini?" tanya Ara kepada kakaknya."Tidakkah kamu melihat Mbak membawa koper sebesar ini?" Kiya replied sambil merapikan rambut Ara."Ara tidak punya teman di sini," kata Ara dengan polos.Kiya tersenyum melihat adiknya yang polos. Kemudian, dengan lembut dia merangkul Ara dan berkata, "Tidak perlu khawatir, ada mas danu, ibu, dan ayah . Mbak kiya akan mencari pekerjaan yang baik agar bisa membeli Ara makanan ringan dan mainan baru."Ara pun mengangguk dan berkata, "Mbak Kiya, janji akan membelikan banyak mainan kan?""Iya, Mbak Kiya janji membeli banyak mainan untuk adik-adik jika berhasil mendapatkan pekerjaan di kota," jawab Kiya dengan mantap.Ara tersenyum bahagia mendengar itu dan merasa lega bahwa kakaknya pergi ke kota untuk bekerja dan membantu keluarga mereka. Kiya senang bisa membuat adik-adiknya bahagia dan berjanji akan selalu berusaha untuk memberikan kebahagiaan bagi keluarganya.Awalnya, Kiya sangat berat hati untuk meninggalkan keluarganya di desa, tapi takdir memilihnya untuk merantau ke luar kota. Kiya merasa sangat prihatin jika sang ayah harus bekerja sendirian untuk menghidupi istri dan tiga orang anak mereka. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan dan membantu keluarganya dari jauh.Walau jarak antara Kiya dan Danu cukup jauh, hampir 8 tahun, banyak yang menganggap Kiya adalah adik dari Danu karena tubuhnya yang kecil. Kendati demikian, ia tak memperdulikannya dan tetap berusaha untuk membantu meringankan beban keluarganya dengan caranya sendiri.Dan hari malam ini Kiya bersama temannya di kampung perjalanan mereka dimulai dengan travel yang membawa mereka ke kota. Perjalanan yang jauh dan panjang ada 15 jam perjalanan hingga mereka tiba di yayasan.Setelah menjalani pelatihan selama dua bulan dan memperoleh sertifikatnya, Kiya mendapatkan alamat penempatan dari ibu yayasan dan diberi tugas untuk menjenguk pasien di rumah sakit yang sudah ditentukan."Ini nih rumahnya," ujar Kiya sambil melihat nomor rumah yang tertera di dinding.Di saat yang sama, seorang petugas keamanan yang berjaga di sana mendekati dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Neng?”“Ini betulkan rumah Bapak Arvin? Perumahan Adonara Jalan Nirwana nomor 45 gang Anggur Merah?” tanya Kiya, menyambut sapaan dari seorang pria di seberang telepon.“Betul, ada perlu apa nona?” tanya pria itu dengan sopan.”"Saya Kiya, seorang perawat inaugurasi yang diperintahkan oleh yayasan untuk melakukan pengecekan pasien di rumah ini," jawab Kiya sopan sambil menunjukkan surat pengantar dari yayasan pada petugas keamanan.“Oh begitu. Baik, akan saya sambungkan sebentar,” jawab pria itu sambil mempersiapkan transfer panggilan.Kiya menunggu sebentar sambil menyesap kopi panas yang masih menghangat di tangan kirinya. Dia sebenarnya cukup nervous untuk bertemu dengan Bapak Arvin, tapi sebagai perawat dari yayasan, ini adalah tugas yang harus ia lakukan.Kiya diam menunggu selama beberapa menit sambil mendengarkan petugas keamanan berbicara melalui telepon. Setelah itu, petugas keamanan mempersilakan Kiya untuk masuk ke dalam rumah yang megah dan mewah tersebut.Setelah memasuki rumah, Kiya bisa melihat bahwa barang-barang mewah tersusun rapi di ruangan tersebut. Meski merasa kagum dengan tampilan rumah yang begitu mewah, Kiya sudah berada di dalam rumah dan melihat barang-barang mewah tersusun dengan rapi.Kiya merasa terkagum-kagum melihat keindahan rumah tersebut. Dia dapat melihat bagaimana perabotan dan dekorasi digunakan secara maksimal untuk menciptakan suasana yang mewah dan elegan di dalam rumah tersebut.“Nyonya Ratih, ini saya bawakan suster untuk tuan muda,” ucap petugas keamanan pada wanita muda yang duduk dengan menonton televisi tanpa menatap siapa yang diajak berbicara.“Boleh pergi,” suara wanita itu dengan tegas.Setelah petugas keamanan pergi, perempuan dengan sanggul dan beberapa perhiasan emas terpasang di jari, pergelangan tangan, dan lehernya masuk ke ruangan. Nyonya Ratih memandang Kiya dengan penuh skeptis, tidak percaya bahwa suster seperti Kiya dapat menjadikannya perawat putranya.“Kamu Zakiya?” tanya Nyonya Ratih sambil menarik dagu Kiya naik untuk menatapnya.Kiya menjawab dengan suara lembut, “Ya Nyonya, salam kenal.”Nyonya Ratih masih tidak yakin tentang kemampuan Kiya untuk merawat anaknya. Namun, Kiya tetap tersenyum dan dengan sopan memperkenalkan dirinya serta pengalaman yang dimilikinya sebagai perawat. Seiring berjalannya waktu, Kiya membuktikan bahwa dirinya mampu menjalankan tugasnya sebagai perawat putra Nyonya Ratih dengan baik.Nyonya Ratih menatap Kiya dengan pandangan skeptis dan mempertanyakan kemampuan perawat tersebut.“Tapi kok saya tidak percaya dengan kamu yang seperti ini ya,” ucap Nyonya Ratih dengan suara ragu.Kiya merasa terpukul namun tetap sabar dan memperkenalkan dirinya serta pengalaman kerjanya sebagai perawat. Kiya memberikan penjelasan bahwa meskipun dia tidak memiliki tubuh yang besar, dia memiliki kekuatan yang cukup untuk menjalani pekerjaannya sebagai perawat.“Meskipun badan saya kecil, saya kuat kok menjadi perawat Pak Arvin, Nyonya,” tutur Kiya dengan penuh keyakinan.Nyonya Ratih makin tertarik dan menanyakan kemampuan Kiya dalam mengangkat pasien lumpuh. Kiya dengan tegas menjawab bahwa dia mampu melakukan tugas tersebut dengan baik.“Kamu kuat mengangkat pasien lumpuh?” tanya Nyonya Ratih lagi.“Kuat, Nyonya,” jawab Kiya mantap.Mendengar jawaban Kiya yang mantap, Nyonya Ratih mulai merasa yakin dan memberikan kesempatan kepada Kiya untuk bekerja sebagai perawat putranya. Kiya membuktikan bahwa dirinya memang memiliki kemampuan dalam merawat pasiennya, terbukti putra Nyonya Ratih semakin sembuh berkat perawatan yang diberikan Kiya.Nyonya Ratih memberikan instruksi pada Kiya untuk istirahat setelah Arvin bangun dengan menambahkan, “Nanti setelah Arvin bangun, saya panggil kamu.”Kiya mengangguk dan pamit untuk istirahat. Namun, sebelum dia beranjak pergi, Nyonya Ratih memanggil asisten rumah tangganya dengan nama Anya.“Anya!!” teriak Nyonya Ratih dengan suara keras.Seorang wanita yang mengenakan seragam asisten rumah tangga segera datang ke ruangan, dengan sepiring cempal di pundaknya dan kemoceng di tangannya. Anya memandang Nyonya Ratih yang terlihat serius.“Ya, Nyonya Ratih?” tanya Anya.Nyonya Ratih memperhatikan waktunya dan merasa tidak sabar menunggu. Sesaat kemudian, Anya datang dengan terburu-buru, yang membuat Nyonya Ratih bertanya dengan kesal.“Lambat sekali, kamu dari mana kamu?” tanya Nyonya Ratih sambil membentak.Anya yang tersipu malu menjawab, “Ma-maaf, Nyonya. Saya habis menyiapkan kamar suster yang Nyonya perintahkan.”Mendengar jawaban Anya, Nyonya Ratih meminta Anya untuk membawa suster ke kamar nya.“Bawa suster ke kamarnya,” pinta Nyonya Ratih.Anya segera menuruti perintah Nyonya Ratih dan membawa suster ke kamarnya. Sebelum meninggalkan kamar, Anya memastikan bahwa suster telah merasa nyaman dan merawatnya dengan baik.“Kau bisa apa sekarang?” tanya Zee pada Arvin yang terbaring lemah di tempat tidur. Arvin tersenyum tipis, namun ia merasa terpojok oleh pertanyaan Zee. Ia tidak tahu harus menjawab apa, apa lagi menjelaskan kondisinya saat ini.“Saat ini, aku tidak bisa melakukan banyak hal.” Jawab Arvin dengan suara perlahan.Zeeshan Carameda Maida, wanita yang dicintai oleh Arvin Nirwan Kusuma, hampir saja kehilangan Arvin, kekasihnya, setahun sebelum pernikahannya. Lelaki 27 tahun itu mengalami kecelakaan hebat beberapa minggu sebelum hari anniversary . Saat itu, sebuah truk bermuatan berat menabrak mobil Arvin di dini hari.Mobil yang dikendarai Arvin terpental beberapa meter dari tempat kejadian, dan terguling beberapa kali sebelum akhirnya terhimpit oleh kendaraannya sendiri dan terbakar. Namun, beruntunglah beberapa warga sekitar segera menarik tubuh Arvin dari dalam mobil yang terbakar tersebut.Arvin merasa sakit hati mendengar kata-kata yang kasar dari Zee. Terlebih lagi, di waktu seperti i
Kiya berdiri dengan kedua tangan melipat di dadanya , memandang ke arah lelaki yang akan menjadi pasiennya. Dia melihat Arvin yang masih terus mengamuk, menyakitinya sendiri bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya."Biar kan saja dia mengamuk, nyonya jangan beri dia makan dan minum," ujar Kiya dengan tegas. Dia melihat Arvin terus mengamuk dan merasa bahwa memberikan makanan dan minuman mungkin akan membuat kondisi Arvin semakin parah.Namun, Nyonya Ratih lebih berfokus pada keadaan kesehatan Arvin. Dia berkata, "Tapi Arvin harus minum obat."Kiya merasa bahwa memberikan obat mungkin akan sulit saat Arvin masih dalam keadaan marah seperti ini dan merasa kesulitan untuk merawatnya. Namun, dia memberikan bantal yang tergeletak di lantai dan dengan lembut memasangnya di bawah kepala Arvin."Percayalah, tuan tidak akan mati sekarang. Cukup biarkan dia mengamuk dan jangan beri dia makan dan minum obat sekarang, Nyonya," jawab Kiya dengan penuh kehati-hatian.Kiya terus memandang Arvin de
"Aku tidak akan mudah percaya padamu apalagi kau orang asing di hidupku. Suster Kiya! Lihat saja apa yang akan kuperbuat sampai kau pergi dari rumah ini," gumam Arvin dengan wajah yang mengekspresikan rasa ketidaksukaannya.Namun, Kiya justru menunjukkan profesionalisme dalam menangani situasi tersebut. Meskipun disinggung oleh Arvin, Kiya masih dapat memberikan pelayanan dengan baik. "Tuan, Kiya ke dapur dulu ya," pamit Kiya setelah berhasil membersihkan makanan yang dibuang oleh Arvin. Namun, Arvin hanya diam dan memberikan jawaban yang singkat yaitu "Hmm".Arvin lalu mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas diterima oleh Kiya. "Aku akan buat kamu ilfil, malu," gumam Arvin. Meskipun begitu, Kiya tetap menjalankan tugasnya tanpa menunjukkan perasaan yang terlalu dirugikan oleh kata-kata kasar dari Arvin.Kiya merasa terkesima melihat dapur yang penuh dengan ornamen glamor. Ia hanya bisa merenung sejenak dan teringat akan kampung tempat ia dibesarkan, dimana segala sesuatunya terbila
Nyonya Ratih begitu cemas tentang kesehatan putranya dan menatap Kiya dengan tatapan harap-harap cemas. Takut jika putranya akan tamnah sakit dan semakin hari semakin memburuk. “Aku meminta padamu suster Kiya,” kata nyonya Ratih, menggenggam tangannya dengan erat. “Hanya bisa berharap padamu untuk kesembuhan putraku,” tambahnya dengan nada khawatir dalam suaranya.Kiya merasakan kekhawatiran Nyonya Ratih dan melepaskan satu tangannya seraya mengusap bahu ibu yang cemas itu. Dia ingin menenangkan orang tua itu agar tidak khawatir berlebihan, "Ini sudah tanggung jawab Kiya," jawabnya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. "Nyonya tidak perlu khawatir, Kiya akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan tuan arvin nyonya.”"Terima kasih banyak, jika gaji kamu kurang akan saya tambah," ucapnya dengan nada tulus.Namun, Kiya menolak tawaran tersebut dan mengatakan bahwa itu tidak perlu, "Tidak nyonya, itu sudah sangat cukup dan malah lebih banyak dari gaji saya di kampung halaman.""P
Kiya sudah berkali-kali memperingatkan Tuan Muda Arvin untuk mandi setiap hari, tetapi kali ini Tuan Muda Arvin menolak untuk mandi karena ia begitu lelah setelah seharian bekerja.Kiya dengan nada lembut bertanya, "Tuan Muda, apakah Tuan masih tak ingin mandi?”Tuan Muda Arvin dalam nada sombongnya menjawab kembali, "Saya tidak butuh mandi untuk merasa bersih, Kiya. Saya selalu merawat kebersihan tubuh saya dengan cara lain."Kiya dengan sabar mencoba mengubah pikiran Tuan Muda Arvin dan menjaga kesehatannya dengan berkata, "Mandi itu penting, Tuan Muda. Mandi bukan hanya untuk membuat kita merasa bersih, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh kita dari berbagai penyakit yang bisa menyerang kulit dan tubuh."Tuan Muda Arvin masih terlihat enggan dan menjawab, "Sudahlah, Kiya. Saya tidak butuh mandi. Saya cukup merasa bersih dengan cara saya sendiri.""Tak perlu lagian aku ini menjijikkan dan hina," ucap Tuan Muda ArvinKiya menunjukkan foto seorang wanita di ponselnya dan berkata,
Tidak diragukan lagi bahwa aroma yang tak sedap bisa mengusik penciuman seseorang. Kiya harus berurusan dengan aroma yang sangat menyengat dan tak diinginkannya saat ini, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti permintaan Nyonya Ratih untuk mencuci pakaian kotor milik Arvin.Kiya mencuci dengan kedua tangannya karena ia tak terbiasa menggunakan mesin cuci. Hujan turun dengan derasnya, tetesan air kembali membasahi tubuh Kiya dengan perlahan. Tak ada yang tahu bahwa saat ini Kiya berada di bawah guyuran hujan.Walaupun Kiya merasa tak nyaman dan tak ingin melakukannya, ia tetap bersikap sabar dan mengikuti permintaan Nyonya Ratih.Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, termasuk Mbok Marini yang bekerja hingga larut malam. Pukul 22.30 WIB, ia melihat Kiya sedang menjemur pakaian dalam keadaan basah kuyup di tempat gantungan yang khusus.“Suster main air?” tanya Mbok Marini.“Iya Mbok, sebentar lagi selesai. Tinggal beberapa ember lagi,” jawab Kiya. “Tidak usah dibantu, nan
Tuan Muda Arvin menatap mbok Marini dengan tatapan tajam. Wajahnya terlihat curiga dan penuh dengan pertanyaan. "Kenapa mbok Marini yang memandikanku? Kemana suster itu? Dia nggak betah kerja disini?" tanya Tuan Muda Arvin dengan gaya bicara yang tegas dan to the point.Mendengar pertanyaan tersebut, mbok Marini merasa sedikit kesulitan untuk memberikan jawaban yang pasti. Namun, ia masih mampu memberikan penjelasan singkat. "Dia pingsan tadi saat akan ke kamar tuan," jawab Mbok Marini sambil menyuapinya.Tuan Muda Arvin terdiam sejenak. Ia masih belum puas dengan jawaban tersebut. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Ia merasa bahwa suster tersebut memiliki alasan yang jelas untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai suster di rumah ini menjalani sebagai perawat pribadinya."Bagus kalau dia sakit. Aku juga malas melihat wajahnya." Mbok Marini merasa geram dan kesal mendengar perkataan tersebut. Namun, ia masih tetap menjaga sopan santun dan memberikan penjelasan
Tuan Muda Arvin mengumpulkan semua pekerjanya yang bekerja dengannya dan menanyakan apakah ada yang tahu tentang keadaan kesehatan susternya. "Siapa yang tahu susterku sakit? Sudah berapa lama sakit?" tanya Tuan Muda Arvin dengan rasa khawatir yang terlihat jelas.Namun, para pekerja yang berkumpul di sekitarnya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Dinda, salah satu pekerja Tuan Muda Arvin yang sangat dekat dengan suster Kiya, bahkan tidak tahu secara pasti kapan dan mengapa susternya bisa sakit.Tuan Muda Arvin terlihat semakin khawatir dan kesal ketika para pekerjanya yang berhubungan dengannya tidak memberikan jawaban yang pasti mengenai keadaan kesehatan suster Arvin. "Tidak ada yang menjawab? Atau aku pecat kalian semua," ancamnya sekali lagi.Namun, suara Anya terdengar dari balik kerumunan. "Dinda kan yang satu kamar," ujarnya. Diapun memberikan jawaban yang diminta Tuan Muda Arvin."Iya, memang aku satu kamar tapi kan suster Kiya nggak bicara apa-apa kalau sakit. Hanya t
Ketika Dinda memasuki kamar Arvin, ia langsung memberikan salam pagi dengan ramah."Selamat pagi, Tuan," ucapnya sopan.Arvin memandang Dinda, masih terbaring di atas tempat tidur dan masih terlihat kurang segar. Namun, ia tak dapat menahan rasa penasaran saat melihat ke hadapan."Kok kamu bukan Kiya? mana Kiya?" tanya Arvin penasaran."Duh, Kiya terlambat bangun pagi. Ia sedang mandi," jawab Dinda sambil mempersiapkan sarapan Arvin. Ia meletakkan susu dan roti di atas meja kecil di sebelah tempat tidur Arvin.Arvin merespon jawaban Dinda dengan mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Ia masih menatap bingung ke depan, sementara Dinda merapikan meja makan.Arvin masih menatap ke arah lampu gantung di atas plafon kamar tidurnya, seakan tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walaupun mata terbuka lebar, raut wajahnya masih menampakkan tanda-tanda mengantuk.Namun, Dinda mengamati Arvin dari jauh dan terus memantau tubuh tuannya yang malas bangkit. Ia menunggu Kiya datang, sementara caha
Di sebuah meja makan, Kiya duduk bersama Arvin, Nyonya Ratih, dan seluruh staf pelayan yang lainnya. Makan malam disajikan dalam suasana yang indah di teras rumah keluarga Arvin yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan.Mereka duduk untuk menikmati makanan yang tersedia di meja. Kiya hanya memperhatikan Rey saat ia sedang menikmati santapannya dengan lahap."Aku ingin ayam bagian kanan," ucap Rey sambil menunjuk pada potongan ayam yang berada di depan Arvin."Yang mana yang kanan? Sejauh ini, aku tidak melihat adanya tanda penunjuk pada potongan ayam untuk membedakan antara kanan dan kiri," tanya Kiya dengan nada agak kesal."Kalau begitu, mohon ambilkan yang bagian kanan atau tanyakan pada si ayam sendiri," jawab Rey dengan sok cuek.Seketika suasan di dalam ruangan tersebut menjadi riuh gembira karena mereka menertawakan apa yang telah diucapkan oleh Rey. Tawa riang terdengar di seluruh ruangan dan bahkan seorang pria bernama Arvin pun tersenyum kecil ketika melihat Rey dengan
Ketika Tuan Muda Arvin melihat wajah Kiya, ia merasa khawatir. Wajah Kiya terlihat sembab dan pucat, menandakan bahwa ia masih sakit. Namun, meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, Kiya tetap bersedia menemani Arvin untuk berlatih berjalan.Arvin menginjak kedua kakinya pada lantai dengan berpegangan pada alat peraga di dekatnya. Kiya berdiri di sisinya dengan memperhatikan gerakan dan langkah Arvin. Meskipun Kiya diam dan tidak berkomentar apapun, jelas terlihat bahwa ia khawatir dan ingin memastikan Arvin aman selama berlatih.Namun, tiba-tiba Arvin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kiya cepat bereaksi untuk menolongnya, menarik lengannya agar Arvin tidak benar-benar jatuh."Biar Kiya bantu," ucap Kiya dengan suara lembut, menawarkan bantuan pada Arvin."Enggak, aku bisa sendiri," jawab Arvin dengan sedikit kesal. Dia ingin membuktikan pada Kiya bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.Kiya memperhatikan Arvin dengan seksama saat ia mencob
Kiya merasakan denyutan sakit yang menyengat tubuhnya, sementara rasa ketakutan memenuhi dirinya. Dia menyesal tiba-tiba datang ke ruangan yang salah, tempat yang seharusnya dihindarinya. Ruangan itu bau dan gelap, ada sepasang mata kejam yang menatapnya dengan penuh amarah.Saat tak bisa menahan ketakutannya, Kiya berteriak meminta tolong, berharap ada seseorang yang akan mendengarnya. Tapi, suaranya hanya bergema di dinding yang dingin, dengan tangisannya yang tak berdaya. Tanpa Nyonya Ratih, Kiya tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia mungkin akan kehilangan kesuciannya, yang sulit diraih dan dijaga selama ini.Mendadak ibu Kiya bertanya dengan nada tinggi, "Kamu ngapain ke juragan?"Kiya terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak ada yang dibahas lagi, Kiya nggak mau dijodohkan dengan juragan tua itu. Cocoknya itu buat ibu," ujarnya dengan sedikit keras.Sontak, ibunya merasa tersinggung dengan ucapan anaknya yang membandingkan dirinya dengan juragan tua itu dan membenta
🍒Rumah Sakit🍒Kiya yang baru saja dipindahkan ke ruangan perawatan merasa sangat lelah dan pusing. Infus menancap di tangannya dan tubuhnya terasa lemas. Namun, suasana yang semakin memanas antara ayah dan ibunya membuatnya semakin pusing.Kedua orang tua Kiya terus bertengkar mengenai calon pasangan hidup Kiya. "Kiya harus menikah dengan juragan Feri," ucap ibu dengan teguh pada pendiriannya.Namun, ayah Kiya tidak setuju dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. "Nggak! Masa depan anakku ada di tanganku," jawab ayah dengan tegas.Ibu Kiya masih tetap berpegang pada pendapatnya mengenai uang yang bisa didapatkan dari juragan Feri jika Kiya menikah dengan dia. "Uang juragan Feri itu banyak dan besar, kita bisa dapat untung berkali-kali lipat," ucap ibu Kiya dengan meyakinkan."Dari dulu kamu memikirkan uang terus. Nggak berubah jadi perempuan malah menjadi materialistik," ucap ayah dengan tegas.Ibu mencoba membela diri dengan mengingatkan bahwa ayah dan dia adalah pasangan yang tel
Kiya berada di kamar bersama Dinda yang sangat perhatian padanya, sembari Dinda mengompresnya dengan hati-hati. Saat itu Kiya masih merasakan demam dan merasa tidak enak badan."Kamu panas kok nggak turun-turun dari tadi siang?" tanya Dinda dengan nada perhatian.Kiya mempersilahkan Dinda untuk merasakan suhu tubuhnya, dan Dinda langsung merasa kehangatan yang ada pada tubuh Kiya. Dinda langsung kebingungan mengikuti Kiya mengapa Kiya tidak mau memberitahukan hal ini dengan baik terlebih dahulu sebelum Kiya diserang sakit."Kamu harus istirahat dengan baik, kamu belum pulih sepenuhnya," ujar Dinda sambil memperhatikan Kiya dengan intensif.Di malam itu, rutinitas makan malam dimulai dan Dinda menjaga Rey, anak kecil yang susah diatur. Dinda sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian terhadap Rey, sambil mempersiapkan makan malam.Dinda mencoba membujuk Rey agar mau makan dan menyimpan makanan yang sehat untuknya. Namun, Rey tetap bersikeras bahwa dia tidak suka makan tersebut dan me
Di bawah terik matahari yang menyengat, Kiya sedang berada di ladang anggur yang luas. Dia berjalan pelan sambil menghirup aroma manis dari buah-buah anggur hijau yang matang sempurna dan, terdapat pohon-pohon pepaya yang menggoda dengan buah-buah segar yang bergelayutan di atasnya.Lemas dan pusing terus memeluknya saat ia mencoba untuk berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa, membuatnya sulit untuk melanjutkan aktivitasnya.Sesekali Kiya menahan rasa pusingnya dengan memegang kepalanya seraya berjalan kembali setelah selesai mencuci dan memotong buah-buahan yang diinginkan. Ia mencoba untuk tetap fokus meskipun rasa pusingnya semakin parah.Kiya tersenyum kecil pada Tuan Muda Arvin yang sedang disuapi makan oleh Bunga. Namun, tiba-tiba kepala Kiya terasa sangat tidak tertahankan sampai hampir melimburungkan tubuhnya. Kiya berusaha menahan sakit dan berusaha untuk tetap berdiri, namun ia kembali merosot dan hampir jatuh ke tanah.Untunglah,
"Kiya, apakah kamu baik-baik saja? Jika tuan muda marah, apakah kamu masih merasa sakit?" tanya Keen sambil menahan tangan Kiya yang berusaha melepaskan selang infusnya."Kiya baik-baik saja, Pak. Saya hanya merasa sakit perut biasa, tapi saya sudah merasa lebih baik saat ini. Saya akan minum obat setelah ini, dan pasti Tuan Muda akan mencari saya," ucap Kiya dengan mantap.“Baiklah, jika itu sudah keputusan suster. Jika ada apa-apa gimana?” tanya Keen.“Tenang saja, Pak. Kiya akan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri,” jawab Kiya dengan lirih, seperti merasakan keprihatinan dari Keen.Keen terus memperhatikan Kiya yang duduk di sebelahnya dengan rasa prihatin. Ia melihat sahabatnya itu sedang lemas tanpa tertarik dengan sekitarnya. Kiya hanya menatap keluar jendela dan membiarkan sebagian anak rambutnya terombang-ambing tersapu angin dengan lesu. Perasaan cemas menyelimuti hati keen, ia ingin membantu tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk Kiya.Kiya pasti merasakan lemas k
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan harmonis antara ibu dan ayah telah berakhir dalam perceraian yang menyedihkan. Kini, sang ayah, Gagan, hanya bisa duduk di atas kursi roda seperti sebuah sampah bagi keluarga mereka. Keadaan ini sangat memilukan, terlebih lagi mengingat sejarah masa lalu yang penuh kasih sayang dalam keluarga tersebut.Di usianya yang masih terbilang sangat muda, yaitu 5 tahun, Rey sering terpaksa pindah-pindah antara rumah Ayah dan ibunya. Selain itu, Rey juga kondisi yang sangat sulit , terutama melihat ayahnya yang kini lumpuh.Rey merasa agak asing dan canggung saat bertemu dengan Arvin setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, meskipun sedang mengalami masalah besar, Arvin tetap harus mempertahankan citra positif sebagai seorang ayah dan ingin menjaga agar Rey tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan Rey dengan polos, "Papa, kenapa nggak jalan-jalan kaya Rey?". Pertanyaan