"Aku tidak akan mudah percaya padamu apalagi kau orang asing di hidupku. Suster Kiya! Lihat saja apa yang akan kuperbuat sampai kau pergi dari rumah ini," gumam Arvin dengan wajah yang mengekspresikan rasa ketidaksukaannya.
Namun, Kiya justru menunjukkan profesionalisme dalam menangani situasi tersebut. Meskipun disinggung oleh Arvin, Kiya masih dapat memberikan pelayanan dengan baik. "Tuan, Kiya ke dapur dulu ya," pamit Kiya setelah berhasil membersihkan makanan yang dibuang oleh Arvin. Namun, Arvin hanya diam dan memberikan jawaban yang singkat yaitu "Hmm".Arvin lalu mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas diterima oleh Kiya. "Aku akan buat kamu ilfil, malu," gumam Arvin. Meskipun begitu, Kiya tetap menjalankan tugasnya tanpa menunjukkan perasaan yang terlalu dirugikan oleh kata-kata kasar dari Arvin.Kiya merasa terkesima melihat dapur yang penuh dengan ornamen glamor. Ia hanya bisa merenung sejenak dan teringat akan kampung tempat ia dibesarkan, dimana segala sesuatunya terbilang sederhana. Namun, Kiya mencoba untuk tidak terlalu fokus pada hal tersebut dan segera beralih untuk menyelesaikan tugasnya.Tiba-tiba, Anya menyodorkan makanan pada Kiya dan bertanya, "Eeh suster mau makan?" Kiya menggeleng dan menjawab dengan lembut, "Bukan untuk Kiya, tapi tuan yang nggak mau makan masakan ini katanya nggak enak." Kiya memang memiliki kebijaksanaan dalam mengurus hal-hal yang berkaitan dengan makanan.Tanpa menunggu jawaban dari Kiya, Anya langsung menawarkan diri untuk mengganti makanannya dengan yang baru. Ia sadar bahwa Arvin merupakan orang yang sangat memperhatikan rasa makanan yang dimakannya. "Biar aku yang buat," ujar Anya dengan tulus.Namun, Kiya menolak dengan tegas. "Tidak usah, Kiya bisa sendiri," tolak Kiya dengan sopan.Namun, Anya tetap insisiten dan menjawab, "Ini bukan tugas suster. Nanti Nyonya Ratih marah jika bukan tugasnya ia lakukan." Kiya merasa terharu dengan tindakan baik Anya dan terpaksa menerima tawaran bantuan tersebut."Benarkah?" tanya Kiya. Anya menjawab tegas, "Benar, Sus. Suster Kiya duduk saja dulu." Anya dengan sigap membersihkan bahan makanan dan memulai proses memasak.Saat tengah memasak di dapur, tampak Kiya dan Anya berbincang-bincang sambil menyiapkan bahan-bahan makanan yang akan digunakan. Kiya kemudian mengeluarkan komentar yang cukup mengejutkan. "Orang kaya doyan pete jengkol juga," katanya sambil tersenyum kecil.Anya kemudian memberikan jawaban yang cukup mengejutkan pula. "Tuan muda paling suka semur jengkol buatannya aku," ujar Anya dengan percaya diri. Kiya terkesima mendengar hal tersebut dan bertanya lebih lanjut."Ooh begitu ya," ucap Kiya sambil terkekeh. Ia tidak menyangka bahwa Arvin ternyata memiliki selera makan yang cukup khas.Tiba-tiba, Kiya mendengar suara seorang lelaki memanggilnya dengan suara keras, "Suster! Suster!" Kiya pun spontan menoleh dan mencari asal suara tersebut."Ada apa, Pak?" Tanya Kiya pada petugas yang sedang berjaga di depan kamar Arvin. Lelaki berwajah tua itu menyahut dan memberitahukan kabar buruk."Tuan muda muntah-muntah," jawab lelaki itu. Mendengar hal tersebut, Kiya langsung berusaha menenangkan dirinya dan berpikir untuk menanganinya dengan tepat."Kiya permisi dulu," ucap Kiya sambil langsung berlari menuju kamar Arvin. Kiya berusaha mengambil tindakan yang cepat dan tepat untuk membantu Arvin.Lelaki yang memuntahkan isi perutnya begitu banyak pada selimutnya terus merintih kesakitan. Bahkan Nyonya Ratih, ibu Arvin, sudah berada di situ dan menatap Kiya dengan tatapan tajam."Kamu kasih makan apa pada anakku?" tanya Nyonya Ratih dengan suara tegas. Kiya lalu menjawab dengan jujur, "Kiya nggak kasih makan apa-apa, Nyonya. Tadi makan saja di lepeh minta yang baru.”Nyonya Ratih melotot ke arah Kiya dengan sifat curiga dan marah. "Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bisa memberinya makan pada Arvin?" ucap Nyonya Ratih dengan suara keras. Namun, Arvin tampak tetap mempertahankan kesadarannya dan menolong Kiya untuk membela diri."Anya dan Mbok Marini," timpal Arvin dengan suara lemas, sebelum kembali lagi memuntahkan isi perutnya di selimut.Nyonya Ratih kemudian melirik ke arah Arvin setelah melihat kondisi anaknya yang terus muntah-muntah. "Panggil semua juru masak!" serunya pada bodyguard Arvin. Dengan begitu, para juru masak pun datang untuk bersama-sama mencari tahu penyebab muntah-muntah yang dialami Arvin.Setelah Arvin sudah cukup baik dan berhasil memulihkan kesehatannya, Kiya mengambil selimut barunya sebelum memanggil para asisten rumah tangga untuk berkumpul di kamar itu. Kiya kemudian memberikan pijatan lembut dan balutan minyak angin pada Arvin, sehingga membuatnya merasa nyaman dan mudah untuk tertidur."Tuan pasti lelah," ucap Kiya sambil terus memijat kening Arvin. Ia memberikan perawatan yang istimewa dan hati-hati pada majikannya yang telah menjadi seperti keluarganya sendiri.Salah satu asisten rumah tangga pun datang dan berkata, "Permisi," sambil membawa pasukannya yang siap untuk melaksanakan tugas mereka. Kiya pun mendorong orang-orang keluar dari kamarnya agar Arvin bisa terus tidur dengan nyaman.Nyonya Ratih terus mengitari satu persatu asisten rumah tangganya dari 8 rumah tangganya. Dalam pandangan lingkar mata, ia memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh para asistennya. Tanpa mengeluarkan sepatahpun suara, Nyonya Ratih tampak sedang memeriksa setiap gerakan yang dilakukan oleh para asisten rumah tangganya."Saya minta juru masak pada Arvin maju pada hari ini yang bertugas," pinta Nyonya Ratih. Tentu saja, jantung Anya dan Mbok Marini yang bertugas merasakan detak yang berbeda, mereka memisahkan diri dari barisan.Nyonya Ratih kembali mengitari Anya dan Mbok Marini. "Siapa di antara kalian berdua yang memasak?" tanya Nyonya Ratih dengan suara sedikit tegas."Anya, Nyonya," jawab Mbok Marini sambil menunjuk Anya. Tapi, Anya dengan tegas memperbaiki jawabannya. "Tapi kan siang itu, Mbok Marini yang memasak bukan aku."Mendengar penjelasan Anya, Mbok Marini tersenyum sinis dan menjawab, "Tapi saya tahu kebusukan kamu, Anya."Nyonya Ratih mengambil peran sebagai mediator dan bertanya pada Mbok Marini, "Apa maksud dari kata-kata kamu Mbok Marini?”Mbok Marini menatap Anya dan Kiya dengan tatapan curiga. "Kamu sudah tahu bahwa Tuan Muda alergi pada jengkol, kenapa kamu masih membuat makanan yang mengandung jengkol?" tanya Mbok Marini dengan suara tegas.Anya langsung menjawab dan menunjuk Kiya, "Itu permintaan suster, bukan ide saya. Kiya yang pertama kali menawarkan untuk membuat makanan dengan menggunakan jengkol dan petai, karena katanya itu adalah makanan kesukaan Tuan Muda."Ketika Kiya terpanggil dan ditanyakan, ia langsung berdiri dan membenarkan perkataan Anya. "Semua tudingan tidak benar. Awalnya saya ingin masak tapi Mbak Anya yang menawarkan buat makanan menggunakan jengkol dan petai karena itu adalah makanan kesukaan Tuan Muda," jawab Kiya.Anya langsung menyangkal dan mengatakan bahwa Kiya sedang berbohong. "Bohong, Nyonya!" ucap Anya dengan tegas.Namun, Kiya kembali berbicara dengan percaya diri, "Beneran, Nyonya. Saya nggak bohong.""Mengapa kamu bicara seperti itu, Mbak Anya? Kiya harus ke dapur sekarang karena tuan meminta makanan yang lain untuk disantap," ucap Kiya tanpa menatap Anya dengan fokus pada Arvin yang berkeringat yang sedang ia usap keningnya.Anya menghela nafas dan berusaha menjelaskan. "Aku hanya menyatakan pendapatku, Ki. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa itu adalah fakta yang sebenarnya.""Tetapi, pada dasarnya apa yang kamu katakan itu benar, tanpa kebohongan," sela Kiya dengan nada serius."Mbak Anya, tolong jangan memutarbalikkan fakta. Saya merasa terluka dengan perlakuan yang tidak sopan dari Mbak Anya. Ya, saya memang berasal dari desa dan mungkin belum tahu banyak tentang dunia modern, tetapi saya tetap memiliki kemampuan untuk membantu tuan dengan baik," ucap Kiya membela diri dengan suara yang tegas.Mbok Marini terus membela Kiya dan mengambil kesempatan untuk menambahkan, "Tapi tingkat pendidikan Anda jauh lebih tinggi dari Kiya, Mbak. Itulah mengapa kesalahan tersebut terjadi. Namun, saya merasa kesalahan tersebut adalah tanggung jawab saya. Seharusnya saya yang menjemput dan mengantar makanan untuk tuan. Sekali lagi, saya memohon maaf kepada Nyonya.”Nyonya Ratih membuktikan kebesarannya dengan mengambil tindakan tegas dan memberikan solusi untuk situasi tersebut, "Sudah saya putuskan, dalam satu minggu ini Mbok Marini yang akan mengantar makanan dan Mbak Anya yang akan memasak makanan untuk tuan," ucap Nyonya Ratih dengan suara yang tegas.Kiya, Anya dan Mbok Marini mengangguk sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan keputusan Nyonya Ratih dan siap untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik.Nyonya Ratih begitu cemas tentang kesehatan putranya dan menatap Kiya dengan tatapan harap-harap cemas. Takut jika putranya akan tamnah sakit dan semakin hari semakin memburuk. “Aku meminta padamu suster Kiya,” kata nyonya Ratih, menggenggam tangannya dengan erat. “Hanya bisa berharap padamu untuk kesembuhan putraku,” tambahnya dengan nada khawatir dalam suaranya.Kiya merasakan kekhawatiran Nyonya Ratih dan melepaskan satu tangannya seraya mengusap bahu ibu yang cemas itu. Dia ingin menenangkan orang tua itu agar tidak khawatir berlebihan, "Ini sudah tanggung jawab Kiya," jawabnya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. "Nyonya tidak perlu khawatir, Kiya akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan tuan arvin nyonya.”"Terima kasih banyak, jika gaji kamu kurang akan saya tambah," ucapnya dengan nada tulus.Namun, Kiya menolak tawaran tersebut dan mengatakan bahwa itu tidak perlu, "Tidak nyonya, itu sudah sangat cukup dan malah lebih banyak dari gaji saya di kampung halaman.""P
Kiya sudah berkali-kali memperingatkan Tuan Muda Arvin untuk mandi setiap hari, tetapi kali ini Tuan Muda Arvin menolak untuk mandi karena ia begitu lelah setelah seharian bekerja.Kiya dengan nada lembut bertanya, "Tuan Muda, apakah Tuan masih tak ingin mandi?”Tuan Muda Arvin dalam nada sombongnya menjawab kembali, "Saya tidak butuh mandi untuk merasa bersih, Kiya. Saya selalu merawat kebersihan tubuh saya dengan cara lain."Kiya dengan sabar mencoba mengubah pikiran Tuan Muda Arvin dan menjaga kesehatannya dengan berkata, "Mandi itu penting, Tuan Muda. Mandi bukan hanya untuk membuat kita merasa bersih, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh kita dari berbagai penyakit yang bisa menyerang kulit dan tubuh."Tuan Muda Arvin masih terlihat enggan dan menjawab, "Sudahlah, Kiya. Saya tidak butuh mandi. Saya cukup merasa bersih dengan cara saya sendiri.""Tak perlu lagian aku ini menjijikkan dan hina," ucap Tuan Muda ArvinKiya menunjukkan foto seorang wanita di ponselnya dan berkata,
Tidak diragukan lagi bahwa aroma yang tak sedap bisa mengusik penciuman seseorang. Kiya harus berurusan dengan aroma yang sangat menyengat dan tak diinginkannya saat ini, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti permintaan Nyonya Ratih untuk mencuci pakaian kotor milik Arvin.Kiya mencuci dengan kedua tangannya karena ia tak terbiasa menggunakan mesin cuci. Hujan turun dengan derasnya, tetesan air kembali membasahi tubuh Kiya dengan perlahan. Tak ada yang tahu bahwa saat ini Kiya berada di bawah guyuran hujan.Walaupun Kiya merasa tak nyaman dan tak ingin melakukannya, ia tetap bersikap sabar dan mengikuti permintaan Nyonya Ratih.Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, termasuk Mbok Marini yang bekerja hingga larut malam. Pukul 22.30 WIB, ia melihat Kiya sedang menjemur pakaian dalam keadaan basah kuyup di tempat gantungan yang khusus.“Suster main air?” tanya Mbok Marini.“Iya Mbok, sebentar lagi selesai. Tinggal beberapa ember lagi,” jawab Kiya. “Tidak usah dibantu, nan
Tuan Muda Arvin menatap mbok Marini dengan tatapan tajam. Wajahnya terlihat curiga dan penuh dengan pertanyaan. "Kenapa mbok Marini yang memandikanku? Kemana suster itu? Dia nggak betah kerja disini?" tanya Tuan Muda Arvin dengan gaya bicara yang tegas dan to the point.Mendengar pertanyaan tersebut, mbok Marini merasa sedikit kesulitan untuk memberikan jawaban yang pasti. Namun, ia masih mampu memberikan penjelasan singkat. "Dia pingsan tadi saat akan ke kamar tuan," jawab Mbok Marini sambil menyuapinya.Tuan Muda Arvin terdiam sejenak. Ia masih belum puas dengan jawaban tersebut. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Ia merasa bahwa suster tersebut memiliki alasan yang jelas untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai suster di rumah ini menjalani sebagai perawat pribadinya."Bagus kalau dia sakit. Aku juga malas melihat wajahnya." Mbok Marini merasa geram dan kesal mendengar perkataan tersebut. Namun, ia masih tetap menjaga sopan santun dan memberikan penjelasan
Tuan Muda Arvin mengumpulkan semua pekerjanya yang bekerja dengannya dan menanyakan apakah ada yang tahu tentang keadaan kesehatan susternya. "Siapa yang tahu susterku sakit? Sudah berapa lama sakit?" tanya Tuan Muda Arvin dengan rasa khawatir yang terlihat jelas.Namun, para pekerja yang berkumpul di sekitarnya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Dinda, salah satu pekerja Tuan Muda Arvin yang sangat dekat dengan suster Kiya, bahkan tidak tahu secara pasti kapan dan mengapa susternya bisa sakit.Tuan Muda Arvin terlihat semakin khawatir dan kesal ketika para pekerjanya yang berhubungan dengannya tidak memberikan jawaban yang pasti mengenai keadaan kesehatan suster Arvin. "Tidak ada yang menjawab? Atau aku pecat kalian semua," ancamnya sekali lagi.Namun, suara Anya terdengar dari balik kerumunan. "Dinda kan yang satu kamar," ujarnya. Diapun memberikan jawaban yang diminta Tuan Muda Arvin."Iya, memang aku satu kamar tapi kan suster Kiya nggak bicara apa-apa kalau sakit. Hanya t
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan harmonis antara ibu dan ayah telah berakhir dalam perceraian yang menyedihkan. Kini, sang ayah, Gagan, hanya bisa duduk di atas kursi roda seperti sebuah sampah bagi keluarga mereka. Keadaan ini sangat memilukan, terlebih lagi mengingat sejarah masa lalu yang penuh kasih sayang dalam keluarga tersebut.Di usianya yang masih terbilang sangat muda, yaitu 5 tahun, Rey sering terpaksa pindah-pindah antara rumah Ayah dan ibunya. Selain itu, Rey juga kondisi yang sangat sulit , terutama melihat ayahnya yang kini lumpuh.Rey merasa agak asing dan canggung saat bertemu dengan Arvin setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, meskipun sedang mengalami masalah besar, Arvin tetap harus mempertahankan citra positif sebagai seorang ayah dan ingin menjaga agar Rey tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan Rey dengan polos, "Papa, kenapa nggak jalan-jalan kaya Rey?". Pertanyaan
"Kiya, apakah kamu baik-baik saja? Jika tuan muda marah, apakah kamu masih merasa sakit?" tanya Keen sambil menahan tangan Kiya yang berusaha melepaskan selang infusnya."Kiya baik-baik saja, Pak. Saya hanya merasa sakit perut biasa, tapi saya sudah merasa lebih baik saat ini. Saya akan minum obat setelah ini, dan pasti Tuan Muda akan mencari saya," ucap Kiya dengan mantap.“Baiklah, jika itu sudah keputusan suster. Jika ada apa-apa gimana?” tanya Keen.“Tenang saja, Pak. Kiya akan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri,” jawab Kiya dengan lirih, seperti merasakan keprihatinan dari Keen.Keen terus memperhatikan Kiya yang duduk di sebelahnya dengan rasa prihatin. Ia melihat sahabatnya itu sedang lemas tanpa tertarik dengan sekitarnya. Kiya hanya menatap keluar jendela dan membiarkan sebagian anak rambutnya terombang-ambing tersapu angin dengan lesu. Perasaan cemas menyelimuti hati keen, ia ingin membantu tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk Kiya.Kiya pasti merasakan lemas k
Di bawah terik matahari yang menyengat, Kiya sedang berada di ladang anggur yang luas. Dia berjalan pelan sambil menghirup aroma manis dari buah-buah anggur hijau yang matang sempurna dan, terdapat pohon-pohon pepaya yang menggoda dengan buah-buah segar yang bergelayutan di atasnya.Lemas dan pusing terus memeluknya saat ia mencoba untuk berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa, membuatnya sulit untuk melanjutkan aktivitasnya.Sesekali Kiya menahan rasa pusingnya dengan memegang kepalanya seraya berjalan kembali setelah selesai mencuci dan memotong buah-buahan yang diinginkan. Ia mencoba untuk tetap fokus meskipun rasa pusingnya semakin parah.Kiya tersenyum kecil pada Tuan Muda Arvin yang sedang disuapi makan oleh Bunga. Namun, tiba-tiba kepala Kiya terasa sangat tidak tertahankan sampai hampir melimburungkan tubuhnya. Kiya berusaha menahan sakit dan berusaha untuk tetap berdiri, namun ia kembali merosot dan hampir jatuh ke tanah.Untunglah,
Ketika Dinda memasuki kamar Arvin, ia langsung memberikan salam pagi dengan ramah."Selamat pagi, Tuan," ucapnya sopan.Arvin memandang Dinda, masih terbaring di atas tempat tidur dan masih terlihat kurang segar. Namun, ia tak dapat menahan rasa penasaran saat melihat ke hadapan."Kok kamu bukan Kiya? mana Kiya?" tanya Arvin penasaran."Duh, Kiya terlambat bangun pagi. Ia sedang mandi," jawab Dinda sambil mempersiapkan sarapan Arvin. Ia meletakkan susu dan roti di atas meja kecil di sebelah tempat tidur Arvin.Arvin merespon jawaban Dinda dengan mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Ia masih menatap bingung ke depan, sementara Dinda merapikan meja makan.Arvin masih menatap ke arah lampu gantung di atas plafon kamar tidurnya, seakan tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walaupun mata terbuka lebar, raut wajahnya masih menampakkan tanda-tanda mengantuk.Namun, Dinda mengamati Arvin dari jauh dan terus memantau tubuh tuannya yang malas bangkit. Ia menunggu Kiya datang, sementara caha
Di sebuah meja makan, Kiya duduk bersama Arvin, Nyonya Ratih, dan seluruh staf pelayan yang lainnya. Makan malam disajikan dalam suasana yang indah di teras rumah keluarga Arvin yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan.Mereka duduk untuk menikmati makanan yang tersedia di meja. Kiya hanya memperhatikan Rey saat ia sedang menikmati santapannya dengan lahap."Aku ingin ayam bagian kanan," ucap Rey sambil menunjuk pada potongan ayam yang berada di depan Arvin."Yang mana yang kanan? Sejauh ini, aku tidak melihat adanya tanda penunjuk pada potongan ayam untuk membedakan antara kanan dan kiri," tanya Kiya dengan nada agak kesal."Kalau begitu, mohon ambilkan yang bagian kanan atau tanyakan pada si ayam sendiri," jawab Rey dengan sok cuek.Seketika suasan di dalam ruangan tersebut menjadi riuh gembira karena mereka menertawakan apa yang telah diucapkan oleh Rey. Tawa riang terdengar di seluruh ruangan dan bahkan seorang pria bernama Arvin pun tersenyum kecil ketika melihat Rey dengan
Ketika Tuan Muda Arvin melihat wajah Kiya, ia merasa khawatir. Wajah Kiya terlihat sembab dan pucat, menandakan bahwa ia masih sakit. Namun, meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, Kiya tetap bersedia menemani Arvin untuk berlatih berjalan.Arvin menginjak kedua kakinya pada lantai dengan berpegangan pada alat peraga di dekatnya. Kiya berdiri di sisinya dengan memperhatikan gerakan dan langkah Arvin. Meskipun Kiya diam dan tidak berkomentar apapun, jelas terlihat bahwa ia khawatir dan ingin memastikan Arvin aman selama berlatih.Namun, tiba-tiba Arvin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kiya cepat bereaksi untuk menolongnya, menarik lengannya agar Arvin tidak benar-benar jatuh."Biar Kiya bantu," ucap Kiya dengan suara lembut, menawarkan bantuan pada Arvin."Enggak, aku bisa sendiri," jawab Arvin dengan sedikit kesal. Dia ingin membuktikan pada Kiya bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.Kiya memperhatikan Arvin dengan seksama saat ia mencob
Kiya merasakan denyutan sakit yang menyengat tubuhnya, sementara rasa ketakutan memenuhi dirinya. Dia menyesal tiba-tiba datang ke ruangan yang salah, tempat yang seharusnya dihindarinya. Ruangan itu bau dan gelap, ada sepasang mata kejam yang menatapnya dengan penuh amarah.Saat tak bisa menahan ketakutannya, Kiya berteriak meminta tolong, berharap ada seseorang yang akan mendengarnya. Tapi, suaranya hanya bergema di dinding yang dingin, dengan tangisannya yang tak berdaya. Tanpa Nyonya Ratih, Kiya tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia mungkin akan kehilangan kesuciannya, yang sulit diraih dan dijaga selama ini.Mendadak ibu Kiya bertanya dengan nada tinggi, "Kamu ngapain ke juragan?"Kiya terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak ada yang dibahas lagi, Kiya nggak mau dijodohkan dengan juragan tua itu. Cocoknya itu buat ibu," ujarnya dengan sedikit keras.Sontak, ibunya merasa tersinggung dengan ucapan anaknya yang membandingkan dirinya dengan juragan tua itu dan membenta
🍒Rumah Sakit🍒Kiya yang baru saja dipindahkan ke ruangan perawatan merasa sangat lelah dan pusing. Infus menancap di tangannya dan tubuhnya terasa lemas. Namun, suasana yang semakin memanas antara ayah dan ibunya membuatnya semakin pusing.Kedua orang tua Kiya terus bertengkar mengenai calon pasangan hidup Kiya. "Kiya harus menikah dengan juragan Feri," ucap ibu dengan teguh pada pendiriannya.Namun, ayah Kiya tidak setuju dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. "Nggak! Masa depan anakku ada di tanganku," jawab ayah dengan tegas.Ibu Kiya masih tetap berpegang pada pendapatnya mengenai uang yang bisa didapatkan dari juragan Feri jika Kiya menikah dengan dia. "Uang juragan Feri itu banyak dan besar, kita bisa dapat untung berkali-kali lipat," ucap ibu Kiya dengan meyakinkan."Dari dulu kamu memikirkan uang terus. Nggak berubah jadi perempuan malah menjadi materialistik," ucap ayah dengan tegas.Ibu mencoba membela diri dengan mengingatkan bahwa ayah dan dia adalah pasangan yang tel
Kiya berada di kamar bersama Dinda yang sangat perhatian padanya, sembari Dinda mengompresnya dengan hati-hati. Saat itu Kiya masih merasakan demam dan merasa tidak enak badan."Kamu panas kok nggak turun-turun dari tadi siang?" tanya Dinda dengan nada perhatian.Kiya mempersilahkan Dinda untuk merasakan suhu tubuhnya, dan Dinda langsung merasa kehangatan yang ada pada tubuh Kiya. Dinda langsung kebingungan mengikuti Kiya mengapa Kiya tidak mau memberitahukan hal ini dengan baik terlebih dahulu sebelum Kiya diserang sakit."Kamu harus istirahat dengan baik, kamu belum pulih sepenuhnya," ujar Dinda sambil memperhatikan Kiya dengan intensif.Di malam itu, rutinitas makan malam dimulai dan Dinda menjaga Rey, anak kecil yang susah diatur. Dinda sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian terhadap Rey, sambil mempersiapkan makan malam.Dinda mencoba membujuk Rey agar mau makan dan menyimpan makanan yang sehat untuknya. Namun, Rey tetap bersikeras bahwa dia tidak suka makan tersebut dan me
Di bawah terik matahari yang menyengat, Kiya sedang berada di ladang anggur yang luas. Dia berjalan pelan sambil menghirup aroma manis dari buah-buah anggur hijau yang matang sempurna dan, terdapat pohon-pohon pepaya yang menggoda dengan buah-buah segar yang bergelayutan di atasnya.Lemas dan pusing terus memeluknya saat ia mencoba untuk berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa, membuatnya sulit untuk melanjutkan aktivitasnya.Sesekali Kiya menahan rasa pusingnya dengan memegang kepalanya seraya berjalan kembali setelah selesai mencuci dan memotong buah-buahan yang diinginkan. Ia mencoba untuk tetap fokus meskipun rasa pusingnya semakin parah.Kiya tersenyum kecil pada Tuan Muda Arvin yang sedang disuapi makan oleh Bunga. Namun, tiba-tiba kepala Kiya terasa sangat tidak tertahankan sampai hampir melimburungkan tubuhnya. Kiya berusaha menahan sakit dan berusaha untuk tetap berdiri, namun ia kembali merosot dan hampir jatuh ke tanah.Untunglah,
"Kiya, apakah kamu baik-baik saja? Jika tuan muda marah, apakah kamu masih merasa sakit?" tanya Keen sambil menahan tangan Kiya yang berusaha melepaskan selang infusnya."Kiya baik-baik saja, Pak. Saya hanya merasa sakit perut biasa, tapi saya sudah merasa lebih baik saat ini. Saya akan minum obat setelah ini, dan pasti Tuan Muda akan mencari saya," ucap Kiya dengan mantap.“Baiklah, jika itu sudah keputusan suster. Jika ada apa-apa gimana?” tanya Keen.“Tenang saja, Pak. Kiya akan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri,” jawab Kiya dengan lirih, seperti merasakan keprihatinan dari Keen.Keen terus memperhatikan Kiya yang duduk di sebelahnya dengan rasa prihatin. Ia melihat sahabatnya itu sedang lemas tanpa tertarik dengan sekitarnya. Kiya hanya menatap keluar jendela dan membiarkan sebagian anak rambutnya terombang-ambing tersapu angin dengan lesu. Perasaan cemas menyelimuti hati keen, ia ingin membantu tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk Kiya.Kiya pasti merasakan lemas k
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan harmonis antara ibu dan ayah telah berakhir dalam perceraian yang menyedihkan. Kini, sang ayah, Gagan, hanya bisa duduk di atas kursi roda seperti sebuah sampah bagi keluarga mereka. Keadaan ini sangat memilukan, terlebih lagi mengingat sejarah masa lalu yang penuh kasih sayang dalam keluarga tersebut.Di usianya yang masih terbilang sangat muda, yaitu 5 tahun, Rey sering terpaksa pindah-pindah antara rumah Ayah dan ibunya. Selain itu, Rey juga kondisi yang sangat sulit , terutama melihat ayahnya yang kini lumpuh.Rey merasa agak asing dan canggung saat bertemu dengan Arvin setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, meskipun sedang mengalami masalah besar, Arvin tetap harus mempertahankan citra positif sebagai seorang ayah dan ingin menjaga agar Rey tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan Rey dengan polos, "Papa, kenapa nggak jalan-jalan kaya Rey?". Pertanyaan