Kiya sudah berkali-kali memperingatkan Tuan Muda Arvin untuk mandi setiap hari, tetapi kali ini Tuan Muda Arvin menolak untuk mandi karena ia begitu lelah setelah seharian bekerja.
Kiya dengan nada lembut bertanya, "Tuan Muda, apakah Tuan masih tak ingin mandi?”Tuan Muda Arvin dalam nada sombongnya menjawab kembali, "Saya tidak butuh mandi untuk merasa bersih, Kiya. Saya selalu merawat kebersihan tubuh saya dengan cara lain."Kiya dengan sabar mencoba mengubah pikiran Tuan Muda Arvin dan menjaga kesehatannya dengan berkata, "Mandi itu penting, Tuan Muda. Mandi bukan hanya untuk membuat kita merasa bersih, tetapi juga untuk menjaga kesehatan tubuh kita dari berbagai penyakit yang bisa menyerang kulit dan tubuh."Tuan Muda Arvin masih terlihat enggan dan menjawab, "Sudahlah, Kiya. Saya tidak butuh mandi. Saya cukup merasa bersih dengan cara saya sendiri.""Tak perlu lagian aku ini menjijikkan dan hina," ucap Tuan Muda ArvinKiya menunjukkan foto seorang wanita di ponselnya dan berkata, "Kata siapa? Kata wanita di foto itu?" Sontak Arvin terkejut dan kembali diam."Sudahlah cepat mandi, untuk apa Tuan tidak mandi yang ada tambah dikucilkan nanti," ucap Kiya dengan nada kesal. Kiya sudah kesal karena Arvin masih enggan untuk mandi meskipun sudah waktunya. Padahal mereka masih memiliki jadwal yang harus ditepati."Tapi Kiya!" sahut Arvin mencoba mempertahankan diri.Tak ingin mendengar alasan apapun, Kiya merasa kesal dan langsung bergerak cepat. Dia dengan cepat mulai melepas semua pakaian yang dikenakan oleh Arvin, hingga tidak tersisa apa-apa selain pakaian dalam transparan yang dikenakannya.Arvin masih merasa tidak nyaman dan terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh Kiya sebelumnya. Namun, dia merasa sedikit lebih baik setelah mendengar permintaan maaf dari Kiya.Arvin terdiam saat itu, dia kebingungan dan kewalahan oleh tindakan Kiya yang tiba-tiba. Dia merasa kehilangan kata-kata yang ingin diucapkan dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah meninggalkan Tuan Muda Arvin tanpa sehelai benang yang melilit di tubuhnya, Kiya segera menyiapkan air untuk mandi di bathtub. Dia ingin memberikan pengalaman mandi yang menyenangkan untuk Arvin setelah insiden sebelumnya.Kiya memastikan suhu air dan kualitas sabun yang digunakan sesuai dengan keinginan Arvin. Setelah semuanya siap, Kiya memanggil Arvin untuk mandi. Arvin terlihat masih shock dengan tindakan sebelumnya, namun dia sadar bahwa Kiya ingin memberikan yang terbaik untuknya."Kamu teriak suruh aku lari ke kamar mandi gitu?" tanya Arvin saat Kiya kembali.Kiya merasa sedikit kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dia tersenyum kecil dan mengatakan, "Hehe, maaf Tuan Arvin, aku lupa.”Dengan perlahan dan hati-hati, Kiya mengangkat tubuh Arvin dari tempat duduknya dan membawanya ke kursi roda. Dia memperhatikan setiap gerakan Arvin dan memastikan bahwa dia merasa nyaman. Setelah berhasil memindahkan Arvin ke kursi roda, Kiya kemudian mendorong kursi tersebut menuju kamar mandi.Dengan perlahan, Kiya mulai menggosok tubuh Arvin sambil memastikan bahwa gerakannya lembut dan membuat Arvin merasa nyaman.Arvin dengan senang hati memenuhi permintaan Kiya dan membantunya memulai proses pemandian.Tangan Kiya bergerak perlahan, meratakan sabun di tubuh lembut Arvin. Perlahan-lahan, ia mulai mencuci rambut Arvin dengan lembut, meraba kulitnya dengan lembut. Sementara itu, Arvin menarik Kiya lebih dekat dan tiba tiba saja Arvin menyemprotkan shower."Tuan...! basah baju Kiya. Hentikan, Tuan!" pekik Kiya seraya menggosok ketiaknya yang berkeringat. Arvin memandangnya dengan dingin, mengevaluasi situasi tersebut. Dalam pandangan Arvin, tidak ada yang salah dengan Kiya yang basah kuyup. Kiya harus menyelesaikan kewajibannya, sedangkan Arvin telah memberinya jatah waktu untuk mandi."Aku mandi, kamu juga mandi. Kamu juga belum mandi, kan?" tanya Arvin dengan suara dingin."Sudah, kok," jawab Kiya sambil beberapa kali mengusap wajahnya untuk membuang air."Tadi pagi kan mandinya," potong Arvin dengan cepat. Kiya menatapnya dengan heran saat Arvin mendekatinya dengan senyum lebar. Tanpa ragu, Arvin merebahkan tangan kecilnya dan memukul permukaan air dengan indah. Kiya melihatnya dengan seksama dan kemudian bergabung dengannya, mengetuk-ngetuk air bersama-sama.Tanpa henti, Arvin dan Kiya bermain air hingga Kiya pun basah kuyup. Kiya melihat Arvin dengan senyum. Mereka saling melempari semprotan air dan tertawa riang, menikmati kesenangan sederhana dalam keseharian mereka.Arvin dan Kiya terus bermain air dengan riangnya dan tidak jelas waktu berlalu begitu cepat. Entah berapa lama mereka bermain, suara ketukan tiba-tiba terdengar. Arvin dan Kiya menoleh ke arah suara itu, dua pasang mata yang saling bertemu memiliki reaksi yang sama-- keraguan."Suster dipanggil Nyonya Ratih," ujar bodyguard Arvin."Iya, sebentar belum selesai Pak," jawab Kiya.Segera setelah bodyguard Arvin memberitahu bahwa suster dipanggil oleh Nyonya Ratih, Kiya pun dengan sigap mengangkat Arvin dan membawanya ke kamarnya. Dengan penuh kehati-hatian, Kiya membantu Arvin melepaskan pakaian basah dan memakaikan kembali bajunya yang kering.Namun tak hanya itu saja, Kiya juga memberikan minyak angin pada seluruh tubuh Arvin. Arvin merasa nyaman saat aroma minyak angin meresap ke dalam lututnya, tengkuk, hingga tulang ekornya."Sudah, taman ini jangan sedih lagi ya. Kiya akan selalu ada untuk Tuan, apapun yang terjadi," ucap Kiya dengan nada lembut. Ia menyelesaikan pekerjaannya untuk merapikan rambut Arvin, sambil memandang ke arah taman yang terlihat begitu tenang.Arvin menatap Kiya dengan penuh perhatian, menghargai kehadirannya yang selalu menenangkan hatinya. "Terima kasih, Kiya. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa baik," ucap Arvin dengan lembut.Kiya tersenyum dan melipatkan sisirnya di atas meja rias Arvin. Setelah selesai, ia menawarkan untuk menemani Arvin menonton televisi di kamarnya."Boleh, dan ambilkan hpku di lemari Mami Simpan," jawab Arvin dengan tersenyum.Kiya mengambil HP Arvin dari lemari dan memberikannya kepadanya dengan lembut. Setelah itu, mereka duduk di depan televisi bersama-sama, menikmati waktu yang damai dan romantis di malam yang cerah.***Di meja makan, terlihat Kiya sedang duduk bersama baju basah kuyup yang baru saja dicuci. Di sampingnya, terlihat Anya dengan tatapan sinis yang ditujukan kepada Kiya.“Ngapain kamu liat aku gitu?” tanya Kiya dengan sedikit gugup dalam nadanya.“Pede amat,” ucap Anya dengan suara rendah.Tatapan sinis Anya masih terhadap Kiya. Kiya mencoba untuk menghindari tatapan tersebut, menggeleng pelan, dan akhirnya menundukkan wajahnya ke arah piring kosong yang berada di depannya. Meskipun begitu, Kiya tetap bisa merasakan tatapan Anya yang mencibir di sampingnya.“Kamu kenapa sih, Anya?” tanya Kiya dengan suara yang tetap terdengar gugup.“Jangan dengarkan kata-kata Anya,Sus Kiya. Gantilah bajumu yang basah itu terlebih dahulu, nanti kamu sakit kalau tetap memakainya,” ucap Mbok Marini dengan suara lembut.“Nanti aku akan memberitahu ibu besar kalau kamu sedang mengganti baju, ya,” timpal Dinda dengan senyum kecil di wajahnya.“Iya, Mbok. Dinda benar, kamu sakit kalau tetap memakai baju basah di badanmu. Dan, cuacanya dingin sekali hari ini,” jawab Kiya seraya memandang ke luar jendela.Tanpa menghabiskan waktu terlalu lama, Kiya bergegas untuk mengganti pakaiannya yang lembab dengan jaket dan piyama. Dia berterima kasih kepada Mbok Marini dan Dinda yang begitu perhatian terhadap dirinya.“Saya tidak akan mempermasalahkan kesalahan yang sudah terjadi, tetapi saya ingin semua karyawan saya jujur dengan tindakan mereka. Jika ada yang tidak jujur, maka saya akan memberikan sanksi tanpa pandang bulu,” ujar Nyonya Ratih dengan tegas.“Baik Nyonya, kami akan menerapkan prinsip kejujuran yang telah ditetapkan di sini,” ucap semua karyawan serentak, menunjukkan komitmennya terhadap kejujuran dalam bekerja.Kiya menarik tisu dari saku jaketnya untuk menahan bersinnya.Ketika sedang melakukan pekerjaannya, Kiya harus menahan diri untuk bersin karena dia sedang flu. Pada saat itulah, Nyonya Ratih memanggil namanya untuk menanyakan tugasnya dalam menjaga Arvin, salah satu tamu perusahaan."Suster saya tidak mendengar jawabanmu, Kiya. Bisa tidak kamu menjaga Arvin?" tanya Nyonya Ratih dengan nada tegas.Kiya menatap Nyonya Ratih dengan tegar. Meskipun sedang tidak enak badan, dia masih mampu menjawab dengan sopan dan yakin. "Baik, Nyonya. Saya sudah paham tugas saya dalam menjaga Arvin," jawabnya sambil menarik tisu dari saku jaketnya untuk menahan bersinnya."Paling juga dia tulalit nyonya, pecat saja dia kerja saja nggak betul." Anya mengucapkan kata-kata tersebut dengan nada tinggi, seolah-olah dia paling benar tanpa melihat dari sudut pandang karyawan."Sudah cukup, Anya," tegas Nyonya Ratih. "Suster Kiya, kamu pergilah ke belakang dan ambil alih pekerjaan bik Siti. Dia sedang sakit dan kamu harus segera mengambil tindakan. Kain ompolnya sudah sangat banyak, dan stok yang tersedia sedang tipis," ujarnya dengan nada tegas dan jelas.Kiya hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju dan kemudian berjalan menuju ruang belakang untuk mengambil alih pekerjaan dari Bik Siti. Sebelum masuk ke ruangan tersebut, Kiya tiba-tiba menatap Anya dengan tatapan tajam, memberikan peringatan yang jelas agar Anya tidak mengganggu para karyawan lagi.Tidak diragukan lagi bahwa aroma yang tak sedap bisa mengusik penciuman seseorang. Kiya harus berurusan dengan aroma yang sangat menyengat dan tak diinginkannya saat ini, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti permintaan Nyonya Ratih untuk mencuci pakaian kotor milik Arvin.Kiya mencuci dengan kedua tangannya karena ia tak terbiasa menggunakan mesin cuci. Hujan turun dengan derasnya, tetesan air kembali membasahi tubuh Kiya dengan perlahan. Tak ada yang tahu bahwa saat ini Kiya berada di bawah guyuran hujan.Walaupun Kiya merasa tak nyaman dan tak ingin melakukannya, ia tetap bersikap sabar dan mengikuti permintaan Nyonya Ratih.Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, termasuk Mbok Marini yang bekerja hingga larut malam. Pukul 22.30 WIB, ia melihat Kiya sedang menjemur pakaian dalam keadaan basah kuyup di tempat gantungan yang khusus.“Suster main air?” tanya Mbok Marini.“Iya Mbok, sebentar lagi selesai. Tinggal beberapa ember lagi,” jawab Kiya. “Tidak usah dibantu, nan
Tuan Muda Arvin menatap mbok Marini dengan tatapan tajam. Wajahnya terlihat curiga dan penuh dengan pertanyaan. "Kenapa mbok Marini yang memandikanku? Kemana suster itu? Dia nggak betah kerja disini?" tanya Tuan Muda Arvin dengan gaya bicara yang tegas dan to the point.Mendengar pertanyaan tersebut, mbok Marini merasa sedikit kesulitan untuk memberikan jawaban yang pasti. Namun, ia masih mampu memberikan penjelasan singkat. "Dia pingsan tadi saat akan ke kamar tuan," jawab Mbok Marini sambil menyuapinya.Tuan Muda Arvin terdiam sejenak. Ia masih belum puas dengan jawaban tersebut. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Ia merasa bahwa suster tersebut memiliki alasan yang jelas untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai suster di rumah ini menjalani sebagai perawat pribadinya."Bagus kalau dia sakit. Aku juga malas melihat wajahnya." Mbok Marini merasa geram dan kesal mendengar perkataan tersebut. Namun, ia masih tetap menjaga sopan santun dan memberikan penjelasan
Tuan Muda Arvin mengumpulkan semua pekerjanya yang bekerja dengannya dan menanyakan apakah ada yang tahu tentang keadaan kesehatan susternya. "Siapa yang tahu susterku sakit? Sudah berapa lama sakit?" tanya Tuan Muda Arvin dengan rasa khawatir yang terlihat jelas.Namun, para pekerja yang berkumpul di sekitarnya tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Dinda, salah satu pekerja Tuan Muda Arvin yang sangat dekat dengan suster Kiya, bahkan tidak tahu secara pasti kapan dan mengapa susternya bisa sakit.Tuan Muda Arvin terlihat semakin khawatir dan kesal ketika para pekerjanya yang berhubungan dengannya tidak memberikan jawaban yang pasti mengenai keadaan kesehatan suster Arvin. "Tidak ada yang menjawab? Atau aku pecat kalian semua," ancamnya sekali lagi.Namun, suara Anya terdengar dari balik kerumunan. "Dinda kan yang satu kamar," ujarnya. Diapun memberikan jawaban yang diminta Tuan Muda Arvin."Iya, memang aku satu kamar tapi kan suster Kiya nggak bicara apa-apa kalau sakit. Hanya t
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan harmonis antara ibu dan ayah telah berakhir dalam perceraian yang menyedihkan. Kini, sang ayah, Gagan, hanya bisa duduk di atas kursi roda seperti sebuah sampah bagi keluarga mereka. Keadaan ini sangat memilukan, terlebih lagi mengingat sejarah masa lalu yang penuh kasih sayang dalam keluarga tersebut.Di usianya yang masih terbilang sangat muda, yaitu 5 tahun, Rey sering terpaksa pindah-pindah antara rumah Ayah dan ibunya. Selain itu, Rey juga kondisi yang sangat sulit , terutama melihat ayahnya yang kini lumpuh.Rey merasa agak asing dan canggung saat bertemu dengan Arvin setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, meskipun sedang mengalami masalah besar, Arvin tetap harus mempertahankan citra positif sebagai seorang ayah dan ingin menjaga agar Rey tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan Rey dengan polos, "Papa, kenapa nggak jalan-jalan kaya Rey?". Pertanyaan
"Kiya, apakah kamu baik-baik saja? Jika tuan muda marah, apakah kamu masih merasa sakit?" tanya Keen sambil menahan tangan Kiya yang berusaha melepaskan selang infusnya."Kiya baik-baik saja, Pak. Saya hanya merasa sakit perut biasa, tapi saya sudah merasa lebih baik saat ini. Saya akan minum obat setelah ini, dan pasti Tuan Muda akan mencari saya," ucap Kiya dengan mantap.“Baiklah, jika itu sudah keputusan suster. Jika ada apa-apa gimana?” tanya Keen.“Tenang saja, Pak. Kiya akan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri,” jawab Kiya dengan lirih, seperti merasakan keprihatinan dari Keen.Keen terus memperhatikan Kiya yang duduk di sebelahnya dengan rasa prihatin. Ia melihat sahabatnya itu sedang lemas tanpa tertarik dengan sekitarnya. Kiya hanya menatap keluar jendela dan membiarkan sebagian anak rambutnya terombang-ambing tersapu angin dengan lesu. Perasaan cemas menyelimuti hati keen, ia ingin membantu tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk Kiya.Kiya pasti merasakan lemas k
Di bawah terik matahari yang menyengat, Kiya sedang berada di ladang anggur yang luas. Dia berjalan pelan sambil menghirup aroma manis dari buah-buah anggur hijau yang matang sempurna dan, terdapat pohon-pohon pepaya yang menggoda dengan buah-buah segar yang bergelayutan di atasnya.Lemas dan pusing terus memeluknya saat ia mencoba untuk berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa, membuatnya sulit untuk melanjutkan aktivitasnya.Sesekali Kiya menahan rasa pusingnya dengan memegang kepalanya seraya berjalan kembali setelah selesai mencuci dan memotong buah-buahan yang diinginkan. Ia mencoba untuk tetap fokus meskipun rasa pusingnya semakin parah.Kiya tersenyum kecil pada Tuan Muda Arvin yang sedang disuapi makan oleh Bunga. Namun, tiba-tiba kepala Kiya terasa sangat tidak tertahankan sampai hampir melimburungkan tubuhnya. Kiya berusaha menahan sakit dan berusaha untuk tetap berdiri, namun ia kembali merosot dan hampir jatuh ke tanah.Untunglah,
Kiya berada di kamar bersama Dinda yang sangat perhatian padanya, sembari Dinda mengompresnya dengan hati-hati. Saat itu Kiya masih merasakan demam dan merasa tidak enak badan."Kamu panas kok nggak turun-turun dari tadi siang?" tanya Dinda dengan nada perhatian.Kiya mempersilahkan Dinda untuk merasakan suhu tubuhnya, dan Dinda langsung merasa kehangatan yang ada pada tubuh Kiya. Dinda langsung kebingungan mengikuti Kiya mengapa Kiya tidak mau memberitahukan hal ini dengan baik terlebih dahulu sebelum Kiya diserang sakit."Kamu harus istirahat dengan baik, kamu belum pulih sepenuhnya," ujar Dinda sambil memperhatikan Kiya dengan intensif.Di malam itu, rutinitas makan malam dimulai dan Dinda menjaga Rey, anak kecil yang susah diatur. Dinda sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian terhadap Rey, sambil mempersiapkan makan malam.Dinda mencoba membujuk Rey agar mau makan dan menyimpan makanan yang sehat untuknya. Namun, Rey tetap bersikeras bahwa dia tidak suka makan tersebut dan me
🍒Rumah Sakit🍒Kiya yang baru saja dipindahkan ke ruangan perawatan merasa sangat lelah dan pusing. Infus menancap di tangannya dan tubuhnya terasa lemas. Namun, suasana yang semakin memanas antara ayah dan ibunya membuatnya semakin pusing.Kedua orang tua Kiya terus bertengkar mengenai calon pasangan hidup Kiya. "Kiya harus menikah dengan juragan Feri," ucap ibu dengan teguh pada pendiriannya.Namun, ayah Kiya tidak setuju dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. "Nggak! Masa depan anakku ada di tanganku," jawab ayah dengan tegas.Ibu Kiya masih tetap berpegang pada pendapatnya mengenai uang yang bisa didapatkan dari juragan Feri jika Kiya menikah dengan dia. "Uang juragan Feri itu banyak dan besar, kita bisa dapat untung berkali-kali lipat," ucap ibu Kiya dengan meyakinkan."Dari dulu kamu memikirkan uang terus. Nggak berubah jadi perempuan malah menjadi materialistik," ucap ayah dengan tegas.Ibu mencoba membela diri dengan mengingatkan bahwa ayah dan dia adalah pasangan yang tel
Ketika Dinda memasuki kamar Arvin, ia langsung memberikan salam pagi dengan ramah."Selamat pagi, Tuan," ucapnya sopan.Arvin memandang Dinda, masih terbaring di atas tempat tidur dan masih terlihat kurang segar. Namun, ia tak dapat menahan rasa penasaran saat melihat ke hadapan."Kok kamu bukan Kiya? mana Kiya?" tanya Arvin penasaran."Duh, Kiya terlambat bangun pagi. Ia sedang mandi," jawab Dinda sambil mempersiapkan sarapan Arvin. Ia meletakkan susu dan roti di atas meja kecil di sebelah tempat tidur Arvin.Arvin merespon jawaban Dinda dengan mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Ia masih menatap bingung ke depan, sementara Dinda merapikan meja makan.Arvin masih menatap ke arah lampu gantung di atas plafon kamar tidurnya, seakan tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walaupun mata terbuka lebar, raut wajahnya masih menampakkan tanda-tanda mengantuk.Namun, Dinda mengamati Arvin dari jauh dan terus memantau tubuh tuannya yang malas bangkit. Ia menunggu Kiya datang, sementara caha
Di sebuah meja makan, Kiya duduk bersama Arvin, Nyonya Ratih, dan seluruh staf pelayan yang lainnya. Makan malam disajikan dalam suasana yang indah di teras rumah keluarga Arvin yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan.Mereka duduk untuk menikmati makanan yang tersedia di meja. Kiya hanya memperhatikan Rey saat ia sedang menikmati santapannya dengan lahap."Aku ingin ayam bagian kanan," ucap Rey sambil menunjuk pada potongan ayam yang berada di depan Arvin."Yang mana yang kanan? Sejauh ini, aku tidak melihat adanya tanda penunjuk pada potongan ayam untuk membedakan antara kanan dan kiri," tanya Kiya dengan nada agak kesal."Kalau begitu, mohon ambilkan yang bagian kanan atau tanyakan pada si ayam sendiri," jawab Rey dengan sok cuek.Seketika suasan di dalam ruangan tersebut menjadi riuh gembira karena mereka menertawakan apa yang telah diucapkan oleh Rey. Tawa riang terdengar di seluruh ruangan dan bahkan seorang pria bernama Arvin pun tersenyum kecil ketika melihat Rey dengan
Ketika Tuan Muda Arvin melihat wajah Kiya, ia merasa khawatir. Wajah Kiya terlihat sembab dan pucat, menandakan bahwa ia masih sakit. Namun, meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, Kiya tetap bersedia menemani Arvin untuk berlatih berjalan.Arvin menginjak kedua kakinya pada lantai dengan berpegangan pada alat peraga di dekatnya. Kiya berdiri di sisinya dengan memperhatikan gerakan dan langkah Arvin. Meskipun Kiya diam dan tidak berkomentar apapun, jelas terlihat bahwa ia khawatir dan ingin memastikan Arvin aman selama berlatih.Namun, tiba-tiba Arvin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kiya cepat bereaksi untuk menolongnya, menarik lengannya agar Arvin tidak benar-benar jatuh."Biar Kiya bantu," ucap Kiya dengan suara lembut, menawarkan bantuan pada Arvin."Enggak, aku bisa sendiri," jawab Arvin dengan sedikit kesal. Dia ingin membuktikan pada Kiya bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.Kiya memperhatikan Arvin dengan seksama saat ia mencob
Kiya merasakan denyutan sakit yang menyengat tubuhnya, sementara rasa ketakutan memenuhi dirinya. Dia menyesal tiba-tiba datang ke ruangan yang salah, tempat yang seharusnya dihindarinya. Ruangan itu bau dan gelap, ada sepasang mata kejam yang menatapnya dengan penuh amarah.Saat tak bisa menahan ketakutannya, Kiya berteriak meminta tolong, berharap ada seseorang yang akan mendengarnya. Tapi, suaranya hanya bergema di dinding yang dingin, dengan tangisannya yang tak berdaya. Tanpa Nyonya Ratih, Kiya tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Ia mungkin akan kehilangan kesuciannya, yang sulit diraih dan dijaga selama ini.Mendadak ibu Kiya bertanya dengan nada tinggi, "Kamu ngapain ke juragan?"Kiya terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak ada yang dibahas lagi, Kiya nggak mau dijodohkan dengan juragan tua itu. Cocoknya itu buat ibu," ujarnya dengan sedikit keras.Sontak, ibunya merasa tersinggung dengan ucapan anaknya yang membandingkan dirinya dengan juragan tua itu dan membenta
🍒Rumah Sakit🍒Kiya yang baru saja dipindahkan ke ruangan perawatan merasa sangat lelah dan pusing. Infus menancap di tangannya dan tubuhnya terasa lemas. Namun, suasana yang semakin memanas antara ayah dan ibunya membuatnya semakin pusing.Kedua orang tua Kiya terus bertengkar mengenai calon pasangan hidup Kiya. "Kiya harus menikah dengan juragan Feri," ucap ibu dengan teguh pada pendiriannya.Namun, ayah Kiya tidak setuju dan tetap bersikeras dengan pendiriannya. "Nggak! Masa depan anakku ada di tanganku," jawab ayah dengan tegas.Ibu Kiya masih tetap berpegang pada pendapatnya mengenai uang yang bisa didapatkan dari juragan Feri jika Kiya menikah dengan dia. "Uang juragan Feri itu banyak dan besar, kita bisa dapat untung berkali-kali lipat," ucap ibu Kiya dengan meyakinkan."Dari dulu kamu memikirkan uang terus. Nggak berubah jadi perempuan malah menjadi materialistik," ucap ayah dengan tegas.Ibu mencoba membela diri dengan mengingatkan bahwa ayah dan dia adalah pasangan yang tel
Kiya berada di kamar bersama Dinda yang sangat perhatian padanya, sembari Dinda mengompresnya dengan hati-hati. Saat itu Kiya masih merasakan demam dan merasa tidak enak badan."Kamu panas kok nggak turun-turun dari tadi siang?" tanya Dinda dengan nada perhatian.Kiya mempersilahkan Dinda untuk merasakan suhu tubuhnya, dan Dinda langsung merasa kehangatan yang ada pada tubuh Kiya. Dinda langsung kebingungan mengikuti Kiya mengapa Kiya tidak mau memberitahukan hal ini dengan baik terlebih dahulu sebelum Kiya diserang sakit."Kamu harus istirahat dengan baik, kamu belum pulih sepenuhnya," ujar Dinda sambil memperhatikan Kiya dengan intensif.Di malam itu, rutinitas makan malam dimulai dan Dinda menjaga Rey, anak kecil yang susah diatur. Dinda sangat bertanggung jawab dan penuh perhatian terhadap Rey, sambil mempersiapkan makan malam.Dinda mencoba membujuk Rey agar mau makan dan menyimpan makanan yang sehat untuknya. Namun, Rey tetap bersikeras bahwa dia tidak suka makan tersebut dan me
Di bawah terik matahari yang menyengat, Kiya sedang berada di ladang anggur yang luas. Dia berjalan pelan sambil menghirup aroma manis dari buah-buah anggur hijau yang matang sempurna dan, terdapat pohon-pohon pepaya yang menggoda dengan buah-buah segar yang bergelayutan di atasnya.Lemas dan pusing terus memeluknya saat ia mencoba untuk berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya. Rasa sakit di tubuhnya terasa sangat menyiksa, membuatnya sulit untuk melanjutkan aktivitasnya.Sesekali Kiya menahan rasa pusingnya dengan memegang kepalanya seraya berjalan kembali setelah selesai mencuci dan memotong buah-buahan yang diinginkan. Ia mencoba untuk tetap fokus meskipun rasa pusingnya semakin parah.Kiya tersenyum kecil pada Tuan Muda Arvin yang sedang disuapi makan oleh Bunga. Namun, tiba-tiba kepala Kiya terasa sangat tidak tertahankan sampai hampir melimburungkan tubuhnya. Kiya berusaha menahan sakit dan berusaha untuk tetap berdiri, namun ia kembali merosot dan hampir jatuh ke tanah.Untunglah,
"Kiya, apakah kamu baik-baik saja? Jika tuan muda marah, apakah kamu masih merasa sakit?" tanya Keen sambil menahan tangan Kiya yang berusaha melepaskan selang infusnya."Kiya baik-baik saja, Pak. Saya hanya merasa sakit perut biasa, tapi saya sudah merasa lebih baik saat ini. Saya akan minum obat setelah ini, dan pasti Tuan Muda akan mencari saya," ucap Kiya dengan mantap.“Baiklah, jika itu sudah keputusan suster. Jika ada apa-apa gimana?” tanya Keen.“Tenang saja, Pak. Kiya akan bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri,” jawab Kiya dengan lirih, seperti merasakan keprihatinan dari Keen.Keen terus memperhatikan Kiya yang duduk di sebelahnya dengan rasa prihatin. Ia melihat sahabatnya itu sedang lemas tanpa tertarik dengan sekitarnya. Kiya hanya menatap keluar jendela dan membiarkan sebagian anak rambutnya terombang-ambing tersapu angin dengan lesu. Perasaan cemas menyelimuti hati keen, ia ingin membantu tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk Kiya.Kiya pasti merasakan lemas k
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan harmonis antara ibu dan ayah telah berakhir dalam perceraian yang menyedihkan. Kini, sang ayah, Gagan, hanya bisa duduk di atas kursi roda seperti sebuah sampah bagi keluarga mereka. Keadaan ini sangat memilukan, terlebih lagi mengingat sejarah masa lalu yang penuh kasih sayang dalam keluarga tersebut.Di usianya yang masih terbilang sangat muda, yaitu 5 tahun, Rey sering terpaksa pindah-pindah antara rumah Ayah dan ibunya. Selain itu, Rey juga kondisi yang sangat sulit , terutama melihat ayahnya yang kini lumpuh.Rey merasa agak asing dan canggung saat bertemu dengan Arvin setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, meskipun sedang mengalami masalah besar, Arvin tetap harus mempertahankan citra positif sebagai seorang ayah dan ingin menjaga agar Rey tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.Sebuah pertanyaan sederhana dilontarkan Rey dengan polos, "Papa, kenapa nggak jalan-jalan kaya Rey?". Pertanyaan