“Flo pergi meninggalkan rumah!”Telinga Alfred berdenging sakit, dengan pupil mata melebar, pria itu mematung beberapa detik berdiri dalam ketegangan. “Apa maksudmu?” bisik Alfred tidak percaya.Julliet menusap wajahnya dengan kasar, butuh waktu beberapa detik untuknya bisa berpikir rasional dan menanggapi ucapan Alfred. “Flo pergi dari rumah dan dia menyerahkan kucinya padaku!” Julliet memberikan salah satu surat yang telah Floryn tulis untuk Alfred. “Dia memberikan surat untukku, salah satunya untukmu,” ucap Julliet seraya memberikan surat itu kepada Alfred.Napas Alfred tertahan didada, terpaku membeku. Alfred terlampau terkejut mengetahui jika Floryn benar-benar telah pergi meninggalkan rumah dan menyiapkan surat untuknya.Floryn pergi kurang dari dua puluh empat jam setelah mengetahui kebohongan Alfred.Seharusnya hal seperti ini tidak terjadi!Apakah Floryn pergi karena terlampau kecewa dan marah kepadanya?Dengan ragu Alfred menerima surat dari tangan Julliet, menatap penuh k
Roan melangkah gontai melewati kesunyian dengan hati yang dilanda gundah. Langkah itu terhenti di pinggiran sungai dengan sepucuk surat yang belum dia baca karena takut. Roan takut jika itu adalah surat perpisahan.Roan masih tidak terima jika Floryn memutuskan pergi seorang diri. Roan menarik napasnya dalam-dalam, membuka amplop itu dengan penuh kehati-hatian dan mulai membaca surat yang telah Floryn tulis untuknya.Roan tersayang, sahabat masa kecilku, cinta pertamaku, keluarga abadiku.Pria yang hebat, berbudi luhur dan penuh rasa hormat.Kata apapun tidak akan pernah sebanding untuk menggabarkan seberapa luar biasanya dirimu.Terima kasih telah mengisi masa kecilku dengan begitu indah, kau tidak pernah mengeluh meski sampai detik ini aku masih ceroboh dan menyusahkan. Kau selalu mendukungku disetiap langkah yang aku ambil.Kau sudah seperti langit, selalu ada dimanapun aku berada.Sejujurnya aku sempat bermipi untuk bisa kembali menari untuk yang terakhir kalinya dibawah langit y
Derak suara pintu sel yang dibuka terdengar, seorang polisi memukul besi pengurung dengan sebuah pentungan. “Rachel De Carloz, bangunlah.”Wajah Rachel terangkat, wanita itu sedikit bergeser memeluk lututnya dengan erat enggan untuk bangun. “aku sudah diintergoasi, kenapa memanggilku lagi?” “Bagun saja.”“Aku tidak mau!” teriak Rachel dengan suara serak.Beberapa kali berada di ruangan interogasi sudah berhasil mengguncang mentalnya, ditambah lagi dia disatu sel kan wanita kasar yang suka memukulnya.Rachel menyerah, dia tidak ingin ketempat mengerikan itu lagi, dia sudah mengakui semua perbuatannya tanpa berusaha menutupi apapun lagi, lantas untuk apa lagi kini polisi itu datang memanggilnya?Beberapa hari terkurung didalam penjara sudah membuat Rachel hampir gila, dia mulai kehilangan banyak berat badannya dan kerontokan rambut. Rachel telah meminta pengacaranya untuk menjual mobil dan semua barang-barang mewahnya yang selama ini telah terkumpulkan, dia butuh lebih banyak pengacara
Dibawah daun-daun merah yang berjatuhan, bulu mata Floryn bergerak dan mulai terbuka usai mendapatkan kesadarannya kembali setelah terbaring lebih dari setengah jam lamanya. Bola mata Floryn bergerak pelan memandangi daun-daun diatasnya dengan tatapan bingung. Floryn terpaku dalam waktu lama, sampai akhirnya dia mulai menggerakan tubuhnya agar bisa duduk. Kebingungan semakin terlihat jelas dimata Floryn saat dia melihat kepenjuru arah, apa yang ada didepan matanya sangat asing. Floryn tidak dapat mengingat apapun yang terjadi, tidak mengerti dengan apa yang harus dilakukan, tidak mengerti alasan dia berada di tempat asing ini, dan tidak tahu harus berbicara apa dengan kebingungan yang berkelut di kepalanya. Floryn termenung mengusap kepalanya beberapa kali, dia berusaha keras untuk mengingat sedikit saja hal yang bisa membuatnya ingat Anehnya, semakin Floryn berusaha mengingat, kepalanya semakin sakit dan berdenyut. Dia seperti jiwa yang tersesat dan terperangkap di dalam
Emier berjalan dengan cepat meninggalkan bandara, setelah mendengar kabar Floryn pergi dari rumah, dia memutuskan untuk mencari keberadaannya sendiri, meninggalkan mobil tuanya yang akan dipakai untuk melakukan perjalanan. Berkat kebaikan beberapa rekan kerja yang masih peduli padanya, akhirnya Emier menemukan titik terang bahwa Floryn pergi North Emit.Emier sudah bisa menduga bahwa North Emit mungkin akan menjadi tujuan utama kepergian Floryn karena dia sangat menyukai tempat itu. Emier masih ingat, dulu sebelum mereka pindah ke ibukota, Floryn sempat menangis berhari-hari dan memohon kepada Emier untuk tidak ikut pergi.Floryn ingin tinggal bersama nenekanya di North Emit dibandingkan pergi ke ibukota dengan Emier.Mungkin pada saa itu Floryn sudah bisa merasakan ada sebuah firasat buruk, akan tetapi Emier tidak mau mendengarkan keinginan Floryn. Emier memaksanya untuk tetap ikut karena Floryn harus berada dalam pantauannya, Emier tidak ingin menyerahkan Floryn kepada neneknya ya
Suasana dermaga masih terlihat ramai meski setengah matahari sudah mulai tenggelam dibalik permukaan lautan. Kapal-kapal besar tengah berlabuh, ribuan kountainer barang sedang diturunkan dengan mesin-mesin.Anak-anak kecil berlarian di dekat pantai, menikmati sisa sore mereka dengan bermain.Kencangnya angin yang berhembus menyapu rambut Alfred, sorot matanya yang keemasan terlihat gelap ditelan sinar matahari yang kemerahan. Pria itu berdiri dalam ketegangan dengan senyuman sedihnya memandangi deburan ombak yang menyapu bibir pantai.Sekali lagi dia telah gagal menemukan keberadaan Floryn.Semua orang telah berkeliling hampir satu jam lamanya mencari keberadaan Floryn ke setiap penjuru tempat, namun tidak ada satu orangpun yang dapat menemukannya.Tidak ada sedikitpun jejaknya yang tertinggal.“Kemana kau sebenarnya Flo? Apa sendirian begitu membuatmu bahagia?” bisik Alfred bertanya kesunyian.Alfred berbalik melangkah gontai, tidak tahu kemana lagi kini dia harus menuju.“Apa kau t
Suara decitan halus bus yang berhenti terdengar di jalanan. Emier keluar dari bus yang ditumpanginya dengan menggendong tas besar dan koper.Sejak dari kejauhan Emier tidak dapat mengalihkan perhatiannya pada tempat ini.Dan kini, dia berdiri dalam ketegangan dengan kaki yang lemas, diam terpaku tidak dapat menglihkan pandangannya dari rumah lamanya yang telah dijual, kini hanya tersisa puing-puing bebatuan dan baru diratakan dengan alat berat.Rumah yang Emier harapkan bisa dibeli kembali ternyata telah hancur tanpa menyisakan apapun, bahkan barang-barang dari rumah yang memiliki banyak kenangannya dengan Rafaela dan Floryn tidak tersisa satupun dan telah diangkut ke pabrik pengolahan sampah.Pupus sudah harapan Emier untuk bisa menghabiskan masa tuanya di rumah itu lagi. Hilang sudah harapan Emier untuk bisa mengembalikan hak Floryn yang sempat dia rebut.Tangan Emier terkepal kuat menahan erangan kecewanya, dia berteriak memaki dirinya sendiri dengan penuh kemarahan.Lagi dan lagi
“Nona,” sambut Anastasia melihat kedatangan Floryn yang sudah rapi dan kembali menggendong tasnya keluar dari ruangan tempat dia menginap. “Apa ini tidak terlalu pagi?” Floryn tersenyum cerah, tubuhnya terasa lebih ringan dari biasanya setelah bangun tidur. Semalam Floryn bisa tidur dengan lelap dan penuh kenyamanan, Floryn yakin jika hari ini tidak akan seberat hari kemarin karena perjalananya menuju desa hanya membutuhkan waktu singkat. “Sebaiknya Anda sarapan bersama dengan kami dulu,” bujuk Anastasia terdengar penuh permohonan. “Tidak apa-apa suster, saya ingin memburu matahari pagi saat nanti sampai di pantai,” jawab Floryn masih dengan senyuman cerahnya. Tangan Anastasia saling bertautan dengan kuat dibelakang punggung, dia tidak dapat menutupi kegelisahan yang masih bergelayut didalam hatinya bila melepas pergi Floryn begitu saja. Kepala biara tidak memberikan banyak tanggapan sejak Floryn datang untuk menginap. Elizabeth justru menasihati Anasatasia untuk tidak terlalu ber
Samantha menghisap cerutunya dalam-dalam, wanita itu segera duduk dikursinya menghadap Roan yang telah cukup lama menunggu diruangannya.“Ada apa? Tidak seperti biasanya kau datang ke rumah bordilku,” tanya Samantha dengan suara serak.“Bagaimana kabarmu Samantha?”“Seperti yang kau lihat, selalu berjalan biasa seperti ini.”Seperti apa yang Roan lakukan sebelumnya, dia mengeluarkan sebuah amplop dari jaketnya dan meletakannya di meja kerja Samantha. “Aku ingin menyampaikan titipan dari Flo.”Samantha sempat terdiam melihat amplop diatas mejanya, sampai akhirnya dia bertanya. “Titipan apa?”“Bukalah.”Samantha meninggalkan cerutunya di asbak dan mengambil amplop itu, mengeluarkan selembar cek berisi dua juta dollar.Samantha terperangah kaget sampai tangannya gemetar memegang uang sangat banyak. “Apa maksudnya ini? Jangan bermain-main denganku jika ini tentang uang,” bisik Samantha dengan suara bergetar.Tubuh Roan menegak. “Itu adalah uang hasil dari tuntutan Flo pada kepolisian. Fl
Kabar kematian Floryn tersebar luas kepada banyak orang, kasus pembunuhan dan scenario pembohongan besar yang telah dilakukan Rachel memantik banyak berhatian public untuk ikut turun tangan menuntut keadilan untuknya. Public menuntut untuk hukuman berat kepada Rachel karena dia bertanggung jawab penuh atas kematian Abra dan juga penyebab kematian Floryn. Kabar kematian Floryn akhirnya sampai ditelinga Rachel, alih-alih merasa senang orang yang paling dibencinya telah tiada, justru Rachel mulai dibayangi oleh ketakutan akan hukuman yang semakin berat harus dia jalani didepan mata. Selama dua bulan di dalam penjara, keadaan Rachel terlihat semakin mengkhawatirkan karena dia dikurung dalam ruang isolasi sendirian, dia mengalami delusi parah hingga harus mendapatkan obat penenang. Beberapa kali dia kedapatan hendak melakukan percobaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi tekanan yang begitu menyiksanya. Kenekatan Rachel yang mulai parah membuat kedua tangannya dan kakinya perlu
Semua orang berjalan di hamparan rumput yang hijau dan subur, melangkah di bawah sinar matahari sore yang mulai kekuningan, suara hembusan angin terdengar dikesunyian yang mencekam, daun-daun yang berguguran ketanah seperti tengah bercerita tentang apa yang kini tengah terjadi pada segerombolan kecil orang yang membawa jenazah Floryn menuju tempat peristirahatan terakhirnya.Orang-orang berpakaian putih membawa bunga mawar merah tidak menunjukan tanda-tanda sedang berduka meski pada kenyataannya, ada hujan air mata yang tidak bisa dihentikan seiring dengan langkah yang kian dekat pada tempat dimana Floryn akan dimakamkan.Emier membekap mulutnya dengan kuat, melangkah tertatih kehilangan banyak tenaganya. Dia sudah tidak mampu lagi menampung kesedihannya hari ini, jauh lebih baik jika Emier sakit karena sekarat dibandingkan harus sakit karena penyesalan atas kepergian putrinya.Bahu Emier gemetar, lelaki paruh baya itu membungkuk tidak mampu melanjutkan perjalananya yang tinggal sedik
Roan duduk sendirian di kamar tempat terakhir Floryn terbaring tadi malam, pria itu tengah menangis mengenakan pakaian putih yang beberapa jam lalu baru dibelinya. Suara rintihan pria itu terdengar, Roan tahu jika pada akhirnya ini semua akan terjadi, namun dia tidak pernah membayangkan jika rasa sakitnya sangat begitu menyiksa sampai membuatnya ingin berteriak sekencang mungkin.Roan tidak pernah menyangka jika perayaan kesembuhan yang telah Floryn ucapkan kepadanya beberapa jam lalu adalah sebuah perpisahan.Roan mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata, dengan langka gontainya pria itu berjalan melewati pintu, melihat Floryn yang terbaring dalam keadaan cantik dan tenang.Roan mendekat dengan putus asa, sebanyak apapun dia menangis, hal itu tidak mampu meradakan kesedihan dan sakit yang tengah bersarang didalam dadanya.Roan tahu, ini adalah jalan terbaik untuk Floryn. Tapi tidak untuk orang-orang disekitarnya yang kini harus belajar mengkihlaskan kepergiannya.Tangan Roan
Air mata Julliet terus berjatuhan membasahi punggung tangannya yang bersarung tangan. Dia dan Samantha tengah membantu mengenakan baju Floryn, memengakan sebuah gaun cantik yang telah Floryn beli dari toko satu jam sebelum kematiannya. “Aku tidak bisa melakukan ini Bibi,” isak Julliet mengusap wajahnya dengan kasar, dia sudah bertahan sekuat tenaga, namun setiap kali dia melihat wajah Floryn, tangisannya selalu terpecah.Julliet masih tidak menyangka jika Floryn akan berakhir seperti ini.Baru beberapa jam yang lalu mereka berbicara sambil menunggu pagi datang, Julliet masih bisa melihat senyumannya yang cantik, suara tawanya yang lembut, bahkan Julliet sempat menggoda Floryn bahwa dia akan mempersiapkan gaun pernikahan sederhananya dengan Alfred.Julliet sama sekali tidak pernah berbikir bahwa gaun yang dibeli Floryn akan digunakan untuk hari terakhirnya.Apakah ini alasan Floryn meminta Julliet untuk tinggal dirumah neneknya? Apakah ini maksud dari Floryn yang telah mengatakan bah
Langit yang cerah berkabut terhalang oleh air mata. “Roan cepatlah!” teriak Alfred memeluk erat Floryn dengan gemetar, memaksa Roan untuk berkendara lebih cepat meninggalkan toko Luwis.Pikiran Alfred berubah kacau, jantuntungnya berdegup begitu kencang merenggut sebagian kekuatannya karena ketakutannya akan keadaan Floryn semakin tidak baik.“Kita harus membawanya ke rumah sakit sekarang juga, aku mohon cepatlah!” pinta Alfred penuh permohonan.“Aku sudah berusaha secepat mungkin! Flo bertahanlah, kau akan baik-baik saja,” ucap Roan terdengar getir.Bulu mata Floryn bergerak pelan, kesadarannya yang terenggut telah kembali. Samar-samar Floryn melihat wajah Alfred yang kini tengah menangis, memeluk dalam pangkuan.Ada sakit yang cukup kuat disetiap denyut urat nadinya, kepala Floryn diletupi oleh sesuatu yang tidak dia mengerti. Jika ditanya apakah sakit? Sangat sakit, ini adalah sesuatu yang paling sakit diterima tubuhnya, namun Floryn tidak ingin meringis ataaupun menangis, dia ha
Pagi ini matahari cukup cerah dan hangat, mengurangi cuaca dingin dari musim gugur yang masih berlangsung.Floryn duduk disisi ranjang tengah diperiksa oleh dokter untuk memastikan keadaannya sebelum pergi keluar rumah.Ditengah ketenangannya, Floryn diam-diam memperhatikan Alfred yang tengah bersiap-siap. Pagi ini Floryn bisa mendengar suara rengekan Alfred kepada Ali karena tidak terbiasa menggunakan kamar mandi kecil, mendengar rengekannya karena tidak memiliki sarapan yang bergizi.Suara rengekan itu cukup menghibur Floryn yang berada di kamar, pasalnya Alfred tidak mengeluhkan apapun saat berada dihadapan Floryn, dia bersikap sebagai lelaki gantleman. Lucunya saat bersama Ali, Alfred akan mengeong seperti kucing rumahan.“Bagaimana keadaannya?” tanya Roan.“Keadaannya membaik, beliau bisa pergi,” jawab Edith tersenyum lembut menyembunyikan ada kegetiran dimatanya. “jangan lupa membawa kursi roda untuk berjaga-jaga.”Roan tersenyum penuh kelegaan, pria itu sempat mendekati Floryn
Malam yang dingin begitu sunyi, jam sudah menunjukan pukul dua malam dan semua orang tengah tertidur lelah mengistirahatkan diri ditenda-tenda yang sudah dibangun, tungku perapian dari arang dan kayu masih menyala menyebarkan kehangatan.Di dalam rumah, Floryn bergerak gelisah, seluruh tubuhnya kembali sakit dan sesak meski alat bantu pernapasan terpasang dihidungnya. Floryn diserang oleh mimpi aneh yang tidak jelas, sekuat tenaga dia berusaha untuk bangun dan sadar.Floryn tersentak membuka matanya seketika, bibirnya terbuka bernapas dengan kasar tidak beraturan, seluruh tubuhnya kembali tidak dapat digerakan, sekuat apapun Floryn berusaha, dia tidak dapat melakukannya bahkan sekadar untuk menggerakan jarinya.Semakin sering penyakit itu datang, semakin banyak kemampuan tubuh Floryn yang terenggut.Butuh waktu yang cukup lama untuk Floryn mendapatkan ketenangan, melihat keberadaan Alfred yang tengah tertidur duduk di kursi rotan. Sejak kemarin Alfred tidak mendapatkan waktu beristi
Roan berdiri di ambang pintu, memperhatikan Alfred yang masih tidak beranjak meninggalkan Floryn, pria itu tengah memijat tangan Floryn yang masih kesulitan untuk digerakan. Sejak kembali sadar, bahkan Floryn belum berbicara sepatah katapun.Tampaknya setelah ditinggalkan Floryn dimalam itu, Alfred mulai takut untuk meninggalkan Floryn dari jangkauan matanya.Roan mengetuk daun pintu sepelan mungkin. “Izinkan aku berbicara dengan Flo. Hanya berdua,” pinta Roan.Dengan berat hati Alfred beranjak pergi memberi ruang.Roan mendekat dengan penuh kehati-hatian, matanya bertemu dengan sepasang mata Floryn yang memandanginya dengan lekat tanpa berbicara sepatah katapun. Dokter bilang jika penyakit Floryn sudah mengganggu ingatannya, karena itulah kini Floryn pikiran Floryn sedang melayang tersesat.Roan tersenyum dan duduk bersimpuh di lantai agar bisa mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Floryn.“Flo,” panggil Roan.Bola mata Floryn bergerak kesisi melihat Roan melalui sudut matanya.“Apa s