Hari ini, Mars King sedang mengendarai mobilnya menuju Estrela sendirian utnuk mengikuti sebuah konsorsium meeting yang melibatkan King Enterprise. Caleb sudah kembali ke LA sementara untuk mengurus King Enterprise di kantor pusatnya. Sedangkan Mars sedang di New York untuk mengurus beberapa proyek bersama Arjoona, Aidan dan Jayden yang tergabung dalam satu asosiasi pengusaha yang sama.
Sebenarnya ia sudah sedikit terlambat karena Vanylla sedikit uring-uringan di rumah. Istrinya itu masih berusaha untuk segera hamil dan Mars mulai stress karena Vanylla yang terus memaksakan dirinya. Sambil menghela napas dan sesekali membunyikan klakson karena mobil di depannya tak bergerak, Mars tak sengaja menoleh ke samping kanan. Musim gugur akan berganti musim dingin sekarang. Beberapa gelandangan terlihat membakar beberapa barang di dalam drum untuk menghangatkan diri.
Di sanalah Mars melihat Malikha Swan yang terlihat cukup lusuh dan sedang menghangatkan diri.
"Apa yang dilakukannya di sana?" Mars mengernyitkan kening dan berpikir.
"Apa dia kehilangan tempat tinggal sampai harus tinggal di luar?" Mars masih terus bergumam dan ia kemudian teringat sesuatu. Ia ingat Aidan pernah bercerita tentang sebuah apartemen yang ia rubuhkan karena akan menjadi lahan untuk pembangunan hotel baru. Ternyata bangunan yang dikatakan Aidan beberapa hari lalu dihancurkannya adalah apartemen Malikha.
“Apa ada hubungannya?” Mars masih terus bicara sendiri dan ia menatap kemudi lalu menoleh lagi ke samping menatap Malikha yang tengah kedinginan.
"Ini pasti perbuatan Aidan," gumam Mars lagi sambil menggeram kesal. Setelah mobil di depannya bergerak, Mars melajukan kembali mobilnya menuju Estrela tempat sebuah rapat akan diikuti olehnya dan Aidan. Tiba di Estrela, Mars tak membuang waktu untuk mencari Aidan. Ketika ia menemukan temannya itu, Aidan ditarik paksa keluar oleh Mars ke dalam mobilnya.
“Ada apa ini?” tanya Aidan dengan keheranan.
“Ikut aku!” Mars masih menarik dan memaksa.
“Tapi rapatnya sebentar lagi Mars!” Mars tak peduli dan tetap memasukkan Aidan ke mobilnya lalu melaju dengan kencang.
Mars memaksa Aidan untuk melihat keadaan Malikha yang sudah tidur di jalanan berhari-hari karena tindakan kekanak-kanakannya.
"Aku tidak akan minta maaf. Harusnya dia yang minta maaf padaku!" balas Aidan ketus pada Mars yang menyuruhnya minta maaf.
"Kenapa dia yang minta maaf padamu?" tanya Mars dengan dagu terangkat.
"Karena dia menamparku!" sahut Aidan dengan nada sengit.
"Kalo aku jadi dia, kamu tidak akan sekedar menerima tamparan dariku tapi juga pukulan di kepala!" balas Mars lalu membuka pintu mobil dan turun. Aidan mendengus kesal melihat sikap Mars. Bagaimana bisa seorang sahabat tidak mendukung sahabatnya yang lain. Mars berjalan ke arah Aidan dan menaikkan pintu mobil menyuruhnya turun.
"Turun!"
"Kamu sahabatku atau bukan!" hardik Aidan masih sengit mendebat.
"Tentu saja aku sahabatmu tapi aku tidak mau membiarkan sahabatku berperilaku barbar sepertimu. Ayo turun dan minta maaf!" hardik Mars membalas seperti seorang Kakak sedang memarahi Adik kembarnya yang keras kepala.
"Aidan, jangan sampai aku menyeretmu keluar!" Aidan yang kesal lalu keluar dari mobil Mars dan Mars menurunkan pintu itu lalu menarik pergelangan tangan Aidan bersamanya.
"Kamu mau bawa aku kemana?" tanya Aidan sedikit panik saat Mars menarik tangannya.
"Minta maaf pada Malikha." Aidan menarik kembali tangannya dan menghalangi Mars.
"Tunggu ... kamu tidak serius kan?"
"Tentu saja aku serius!" Mars jadi makin kesal.
"Oke ... oke, aku akan minta maaf. Tapi ..." Aidan menoleh ke belakang memastikan Malikha masih jauh dari mereka.
"Jangan beritahukan padanya siapa aku." Aidan berbisik di akhir kalimat. Mars memandang Aidan dengan kening mengernyit.
"Memangnya kenapa? Dia tidak mengenalmu ya?"
"Dia tidak perlu mengenalku," sahut Aidan cepat. Mars terdiam beberapa saat lalu menengok ke arah belakang Aidan sebelum kemudian memandang Aidan lagi.
"Baiklah, tapi jika kamu menganggunya lagi. Aku akan beritahukan rahasiamu padanya." Mars berjalan lagi tapi tangan Aidan mencekalnya sekali lagi.
"Rahasia apa?"
"Kalau dia adalah cinta monyetmu dulu," ujar Mars dengan nada mengejek. Aidan langsung cemberut dan manyun dengan wajahnya yang imut. Mars jadi tak tahan dan malah mencubit pipinya.
"Kalau aku gay, aku pasti sudah jatuh cinta padamu," tambah Mars menggoda sambil mencubit gemas. Aidan jadi bergidik ngeri mendengar Mars bicara seperti itu. Mars lalu berjalan melewati Aidan tanpa merasa bersalah menuju tempat Malikha sedang menghangatkan diri. Malikha yang tiba-tiba melihat dua orang pria menghampirinya lalu bangun dan mundur beberapa langkah. Ia terlihat kedinginan dan ketakutan.
"Hai," sapa Mars dengan senyuman. Malikha tak menjawab, ia tidak bisa percaya siapapun karena beberapa hari lalu ia dirampok dan itu menghabiskan seluruh uangnya.
"Jangan takut aku tidak akan menyakitimu." Aidan membalikkan setengah tubuhnya menyamping agar tak perlu melihat Malikha. Entah mengapa ia malah jadi gugup dan tak berani memandang Malikha sama sekali.
"Aku membawa seseorang yang ingin minta maaf padamu." Tangan Mars lalu merangkul dan membalikkan tubuh Aidan yang ingin kabur pelan-pelan. Malikha terkejut karena itu adalah pria yang sama yang telah membuat hidupnya terlantar beberapa bulan ini.
"Kamu ..."
"Ya, dia akan minta maaf. Benarkan Aidan?" tanya Mars pada Aidan yang terus membuang wajahnya ke arah lain.
"Aidan ..." tegur Mars sedikit agak keras.
"Iya, aku minta maaf," sahut Aidan sekenanya. Ia masih membuang muka dan tak mau melihat.
"Hei, dia tidak mendengarmu. Kamu minta maaf untuk apa? Lakukan yang benar!" Mars memerintah seenaknya. Jika saja Mars lebih muda setahun seperti Bryan, Aidan pasti sudah memukul kepala Mars. Tapi mereka sebaya dan Mars bukan orang yang menyenangkan jika sudah mengambek. Sambil mendengus kesal, Aidan terpaksa mendekat dan meminta maaf.
"Maaf, aku sudah membuatmu kehilangan pekerjaan dan ... kehilangan apartemen," ujar Aidan menatap sekilas pada Malikha. Mars menyikut lengan Aidan agar ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aidan mendelik pada Mars tapi delikan Mars lebih menyeramkan. Aidan terpaksa mengalah dan menjulurkan tangannya setelah membuka sarung tangan.
Malikha tidak mengerti mengapa sekarang pria itu malah meminta maaf padanya. Ia sendiri tak mengerti apa salahnya. Tapi Malikha tak ingin menyimpan dendam, ia menjulurkan tangannya yang dingin tak terbungkus apapun.
Tangan Aidan yang hangat akhirnya menggenggam sejenak jemari Malikha yang sangat dingin. Ada sedikit rasa kasihan di sudut hati Aidan yang terus ditepisnya setelah melihat keadaan Malikha.
"Aku memaafkanmu," jawab Malikha dengan suara lembut dan sedikit bergetar. Rasa lapar dan kedinginan membuat tubuh Malikha makin dingin dan Aidan menyadarinya. Setelah melepaskan jabat tangan itu, Aidan tak memakai lagi sebelah sarung tangan yang dilepasnya.
"Sekarang berikan haknya," ujar Mars membuyarkan lamunan Aidan yang kini malah terus menatap Malikha.
"Tidak usah. Lagi pula aku hanya penyewa di apartemen itu. Apartemen itu bukan milikku, aku tidak berhak atas ganti rugi apapun," potong Malikha lalu tersenyum tipis. Aidan sempat tertegun sejenak sebelum kemudian menoleh pada Mars yang menyerahkan semuanya pada Aidan. Aidan lalu mengambil dompet dan mengeluarkan $700 lalu menyodorkannya pada Malikha. Malikha tertegun dan tak mengerti itu untuk apa.
Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak. "Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima. "Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya. "Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu. "Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat
Aidan sedang tersenyum mendengar reaksi Malikha dari balik telepon. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa Malikha akan semakin berbunga-bunga dan luluh padanya. “Apa kamu menyukai kejutannya?” tanya Aidan begitu suara Malikha terdengar tercekat seakan ia ingin menangis. Malikha tak menjawab, ia sepertinya begitu syok. Aidan masih dengan ekspresi bahagianya karena berhasil membuat Malikha tercekat dan terdengar begitu bahagia. Seandainya saja Aidan bisa melakukannya 12 tahun lebih awal daripada hari ini, ia pasti akan jadi remaja paling bahagia saat ini. Tapi Aidan yang penuh dendam, nyatanya tetap menikmati rona di pipinya sendiri, saat gadis yang disukainya ternyata begitu menyukai kejutan yang ia berikan. Sementara di seberang sana, Malikha masih tertegun sambil mengigit bibir bawahnya. Ia harus menyaksikan sendiri seperti apa Aidan memberikan perhatiannya. Rasanya jantungnya sudah mau copot saat mendengar suara Aidan di sebuah ponsel. Sambil melihat ke se
"Oh ya, kamu datang kemari untuk konferensi apa?" tanya Aidan kemudian mengaduk kopi yang sudah diberi kreamer sebelumnya. "Kesehatan mental, depresi dan social anxiety (kecemasan sosial) pada korban bullying terutama anak sekolah." Aidan menaikkan pandangannya pada Raphael sekarang. Ia sempat terdiam beberapa saat dan sedikit menelan ludahnya. "Apa kalian membahas hal-hal seperti itu di konferensi?" Raphael pun mengangguk dan sedikit tersenyum. Ia terus memperhatikan Aidan yang tiba-tiba tertarik dengan konferensi yang sedang diikutinya. "Kenapa? Apa kamu tertarik?" Aidan menarik napas dan mendenguskannya dengan kuat. "Harusnya masalah seperti itu dibahas sewaktu aku masih SMA. Itu akan sangat membantuku," sindir Aidan dan disambut gelak kecil oleh Raphael. “Apa kamu ikut mengalaminya juga?” Aidan mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya. Raphael ikut mengangguk tak lama kemudian lalu membenarnya. “Pembullyan sudah sangat umum dan s
Aidan benar-benar melesat dari perkiraan dan rencananya. Ia mungkin tak akan menyangka jika membawakan ijazah yang dibutuhkan Malikha bisa membuat hatinya luluh seketika. Sehingga kini Aidan tak perlu capek-capek untuk menjerat Malikha lebih dalam dengan pesonanya. Langkahnya menjadi pahlawan kesiangan adalah hal yang sangat tepat.Fiona yang sesungguhnya telah dikenali Aidan, makin tersenyum saat Malikha membawa seorang teman pria untuk dikenalkan padanya. Firasat hatinya berpendar positif saat melihat Aidan, seolah ia bisa melihat jika Aidan adalah pria yang spesial untuk Malikha. Kebahagiaan di mata Malikha tak bisa ditepis begitu saja."Siapa dia?” tanya Fiona lembut begitu Malikha mendekat dan menarik Aidan bersamanya."Mom ... perkenalkan ini namanya Aidan Orlando," ujar Malikha semringah memperkenalkan Aidan pada Ibunya. Aidan ikut mendekat sama seperti Malikha.Aidan tersenyum tipis dan mendekat. Ia lalu menjulurkan tangan dengan sikap sedikit membungkuk yang sopan."Namaku Ai