Aidan tak ingin keluar lagi kemana pun dan berharap bisa beristirahat usai kejadian di depan bangunan apartemen Malikha tadi sore. Sesungguhnya ia tidak bahagia. Niatnya adalah membuat Malikha terus mendapatkan kemalangan tapi rasa puas itu tak kunjung muncul.
“Pasti ada yang aneh padaku─” bunyi bel apartemen membuat Aidan harus mengurungkan niat untuk masuk kamar dan tidur. Ia membuka sendiri pintu apartemennya dan menemukan senyuman Jayden yang terluka.
"Ada apa denganmu?" tanya Aidan menyahut separuh memekik saat melihat keadaan Jayden yang terluka. Tanpa menunggu Jayden menjawab, Aidan langsung menarik lengan Jayden dan membawanya ke dalam apartemen mewahnya.
"Biasa, perkelahian antar geng," jawab Jayden singkat dan masuk ke apartemen Aidan seolah mereka baik-baik saja. Keduanya padahal belum berbicara satu sama lain usai bertengkar karena Malikha Swan. Akan tetapi sikap Aidan pun sama saja seperti kejadian sebelumnya.
"Siapa yang sudah menyerangmu?" tanya Aidan dengan wajah kesal begitu mereka duduk.
"Geng Kagawa." Jayden menjawab santai sambil tersenyum
"APA!" Aidan memekik kaget dengan raut marah.
"Brengsek! Lalu bagaimana keadaanmu, apa kamu terluka?" Jayden memperlihatkan lengannya yang berdarah dan Aidan sampai bernafas cepat melihatnya.
"Berani benar mereka. Apa mereka tidak tau siapa dirimu?" umpat Aidan kesal.
"Jadi kamu mencemaskanku ya?" goda Jayden sambil tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya bersamaan. Wajah cemas Aidan langsung berubah datar dan ia meluruskan tubuhnya setelah sebelumnya menyamping menghadap Jayden. Jayden jadi tergelak melihat sikap Aidan yang tiba-tiba berubah cuek.
"Oh iya, aku datang kemari untuk menginap," sambung Jayden masih terus menggoda setelah Aidan tidak memberi respon. Aidan masih malas bicara dan Jayden terus menyikut pelan lengannya sedang mengganggunya.
Setelah digoda beberapa saat oleh Jayden, akhirnya Aidan menyerah dan membiarkannya menginap di apartemen itu.
"Maafkan aku untuk kejadian beberapa hari lalu," ujar Jayden seraya bersandar di sandaran ranjang bersama Aidan yang duduk di sebelahnya.
"Aku juga minta maaf, seharusnya aku tidak melibatkanmu." Aidan membalas.
"Aku tidak keberatan soal itu. Setidaknya sekarang aku tahu apa yang sudah terjadi padamu." Aidan menoleh pada Jayden yang telah lebih dulu memandangnya.
"Kamu, Bryan dan Mars adalah anggota termuda kelompok kita. Aku menganggap kalian bertiga seperti adik-adikku sendiri. Jangan memendam ceritamu sendirian Aidan, bicaralah pada kami atau padaku, aku akan mendengarkanmu." Aidan menghela napas lalu menunduk.
"Itu bukan kisah yang menyenangkan untuk diceritakan," jawab Aidan dengan suara kecil.
"Tak ada satupun dari kita yang punya masa lalu yang menyenangkan, Aidan. Bahkan Shawn sekalipun. Tapi kita punya satu sama lain sekarang, kami adalah keluargamu. Jangan menepikan kami dan menghadapi semuanya sendirian," ujar Jayden menasihatinya dengan bijak. Aidan hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat tidak membalas nasihat tersebut.
"Butuh waktu bertahun-tahun bagiku untuk keluar menjadi diriku yang sekarang tapi sungguh aku ... tidak ingin kembali pada diriku yang dulu." Jayden mengangguk mengerti.
“Dulu aku gendut, semua orang mengejekku. Tidak ada yang mau berteman denganku kecuali Mars, Caleb dan Arjoona.” Aidan masih melirih dengan perkataan. Ia menundukkan lagi kepalanya dan tangan Jayden pun mengusap pelan kepala Aidan.
"Aku mengerti, kita semua terluka, Aidan. Kita semua harus melepaskan masa lalu dan tidak kembali pada kegelapan itu lagi. Aku pun begitu," ujar Jayden sambil terus mengusap. Aidan tersenyum tipis dan mengangguk perlahan. Ia senang Jayden mengerti soal dirinya dan beban yang ia hadapi.
"Satu hal yang harus kamu ingat, Aidan. Jangan melewati batasmu, kamu berbeda dari mereka. Jangan membuat dirimu sama buruknya dengan yang sudah dilakukan orang-orang itu padamu," tambah Jayden lalu mengelus kepala belakang Aidan.
Hubungan Aidan dan Jayden pun kembali seperti sebelumnya, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Aidan menjaga Jayden dengan baik, ia bahagia karena Jayden memilih untuk datang ke apartemennya. Aidan mengerti maksud kedatangan Jayden.
Berbeda dengan Arjoona yang selalu membagi waktunya untuk setiap anggota The Seven Wolves sama rata, Jayden lebih seperti Kakak di kelompok mereka. Jayden kerap berbicara secara personal dengan Aidan, Mars ataupun Bryan. Itu menjadikan Jayden semakin spesial bagi Aidan.
"Tidurlah, Kak," gumam Aidan pada Jayden yang hampir menutup matanya karena terlalu mengantuk. Jayden tersenyum dan mengangguk sementara Aidan menarik selimut lebih tinggi bagi Jayden. Aidan memilih tidur di kamar tamu agar Jayden bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Namun perkataan Jayden dan Mars kembali terlintas di benak Aidan. Jika ia membuat Malikha terus membencinya apa rencana balas dendamnya akan berhasil. Gadis itu sudah menderita dengan kehidupan miskinnya, apa yang bisa dilakukan Aidan lagi untuk membalasnya?
"Daripada membuat mereka membencimu lebih baik membuat mereka menyukaimu, mereka akan melakukan apapun untukmu." Kalimat Mars kemudian membuat ujung bibir Aidan naik membuat sebuah senyuman.
"Mungkin aku bisa mencoba cara lain," gumamnya melipat sebelah tangan di bawah pipinya.
Hari ini, Mars King sedang mengendarai mobilnya menuju Estrela sendirian utnuk mengikuti sebuah konsorsium meeting yang melibatkan King Enterprise. Caleb sudah kembali ke LA sementara untuk mengurus King Enterprise di kantor pusatnya. Sedangkan Mars sedang di New York untuk mengurus beberapa proyek bersama Arjoona, Aidan dan Jayden yang tergabung dalam satu asosiasi pengusaha yang sama.Sebenarnya ia sudah sedikit terlambat karena Vanylla sedikit uring-uringan di rumah. Istrinya itu masih berusaha untuk segera hamil dan Mars mulai stress karena Vanylla yang terus memaksakan dirinya. Sambil menghela napas dan sesekali membunyikan klakson karena mobil di depannya tak bergerak, Mars tak sengaja menoleh ke samping kanan. Musim gugur akan berganti musim dingin sekarang. Beberapa gelandangan terlihat membakar beberapa barang di dalam drum untuk menghangatkan diri.Di sanalah Mars melihat Malikha Swan yang terlihat cukup lusuh dan sedang menghangatkan diri."Apa yang d
Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak. "Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima. "Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya. "Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu. "Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat
Aidan sedang tersenyum mendengar reaksi Malikha dari balik telepon. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa Malikha akan semakin berbunga-bunga dan luluh padanya. “Apa kamu menyukai kejutannya?” tanya Aidan begitu suara Malikha terdengar tercekat seakan ia ingin menangis. Malikha tak menjawab, ia sepertinya begitu syok. Aidan masih dengan ekspresi bahagianya karena berhasil membuat Malikha tercekat dan terdengar begitu bahagia. Seandainya saja Aidan bisa melakukannya 12 tahun lebih awal daripada hari ini, ia pasti akan jadi remaja paling bahagia saat ini. Tapi Aidan yang penuh dendam, nyatanya tetap menikmati rona di pipinya sendiri, saat gadis yang disukainya ternyata begitu menyukai kejutan yang ia berikan. Sementara di seberang sana, Malikha masih tertegun sambil mengigit bibir bawahnya. Ia harus menyaksikan sendiri seperti apa Aidan memberikan perhatiannya. Rasanya jantungnya sudah mau copot saat mendengar suara Aidan di sebuah ponsel. Sambil melihat ke se
"Oh ya, kamu datang kemari untuk konferensi apa?" tanya Aidan kemudian mengaduk kopi yang sudah diberi kreamer sebelumnya. "Kesehatan mental, depresi dan social anxiety (kecemasan sosial) pada korban bullying terutama anak sekolah." Aidan menaikkan pandangannya pada Raphael sekarang. Ia sempat terdiam beberapa saat dan sedikit menelan ludahnya. "Apa kalian membahas hal-hal seperti itu di konferensi?" Raphael pun mengangguk dan sedikit tersenyum. Ia terus memperhatikan Aidan yang tiba-tiba tertarik dengan konferensi yang sedang diikutinya. "Kenapa? Apa kamu tertarik?" Aidan menarik napas dan mendenguskannya dengan kuat. "Harusnya masalah seperti itu dibahas sewaktu aku masih SMA. Itu akan sangat membantuku," sindir Aidan dan disambut gelak kecil oleh Raphael. “Apa kamu ikut mengalaminya juga?” Aidan mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya. Raphael ikut mengangguk tak lama kemudian lalu membenarnya. “Pembullyan sudah sangat umum dan s