Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat
Aidan sedang tersenyum mendengar reaksi Malikha dari balik telepon. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa Malikha akan semakin berbunga-bunga dan luluh padanya. “Apa kamu menyukai kejutannya?” tanya Aidan begitu suara Malikha terdengar tercekat seakan ia ingin menangis. Malikha tak menjawab, ia sepertinya begitu syok. Aidan masih dengan ekspresi bahagianya karena berhasil membuat Malikha tercekat dan terdengar begitu bahagia. Seandainya saja Aidan bisa melakukannya 12 tahun lebih awal daripada hari ini, ia pasti akan jadi remaja paling bahagia saat ini. Tapi Aidan yang penuh dendam, nyatanya tetap menikmati rona di pipinya sendiri, saat gadis yang disukainya ternyata begitu menyukai kejutan yang ia berikan. Sementara di seberang sana, Malikha masih tertegun sambil mengigit bibir bawahnya. Ia harus menyaksikan sendiri seperti apa Aidan memberikan perhatiannya. Rasanya jantungnya sudah mau copot saat mendengar suara Aidan di sebuah ponsel. Sambil melihat ke se
"Oh ya, kamu datang kemari untuk konferensi apa?" tanya Aidan kemudian mengaduk kopi yang sudah diberi kreamer sebelumnya. "Kesehatan mental, depresi dan social anxiety (kecemasan sosial) pada korban bullying terutama anak sekolah." Aidan menaikkan pandangannya pada Raphael sekarang. Ia sempat terdiam beberapa saat dan sedikit menelan ludahnya. "Apa kalian membahas hal-hal seperti itu di konferensi?" Raphael pun mengangguk dan sedikit tersenyum. Ia terus memperhatikan Aidan yang tiba-tiba tertarik dengan konferensi yang sedang diikutinya. "Kenapa? Apa kamu tertarik?" Aidan menarik napas dan mendenguskannya dengan kuat. "Harusnya masalah seperti itu dibahas sewaktu aku masih SMA. Itu akan sangat membantuku," sindir Aidan dan disambut gelak kecil oleh Raphael. “Apa kamu ikut mengalaminya juga?” Aidan mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya. Raphael ikut mengangguk tak lama kemudian lalu membenarnya. “Pembullyan sudah sangat umum dan s
Aidan benar-benar melesat dari perkiraan dan rencananya. Ia mungkin tak akan menyangka jika membawakan ijazah yang dibutuhkan Malikha bisa membuat hatinya luluh seketika. Sehingga kini Aidan tak perlu capek-capek untuk menjerat Malikha lebih dalam dengan pesonanya. Langkahnya menjadi pahlawan kesiangan adalah hal yang sangat tepat.Fiona yang sesungguhnya telah dikenali Aidan, makin tersenyum saat Malikha membawa seorang teman pria untuk dikenalkan padanya. Firasat hatinya berpendar positif saat melihat Aidan, seolah ia bisa melihat jika Aidan adalah pria yang spesial untuk Malikha. Kebahagiaan di mata Malikha tak bisa ditepis begitu saja."Siapa dia?” tanya Fiona lembut begitu Malikha mendekat dan menarik Aidan bersamanya."Mom ... perkenalkan ini namanya Aidan Orlando," ujar Malikha semringah memperkenalkan Aidan pada Ibunya. Aidan ikut mendekat sama seperti Malikha.Aidan tersenyum tipis dan mendekat. Ia lalu menjulurkan tangan dengan sikap sedikit membungkuk yang sopan."Namaku Ai
"Jadilah kekasihku, Malikha," bisik Aidan kemudian. Aidan perlahan mendekat dan mulai perlahan memegang pipi Malikha. Bibirnya semakin dekat untuk mengecup lembut bibir cantik Malikha perlahan.Aidan tak menahan perasaannya. Ia mengulum dengan lembut dan penuh perasaan bibir Malikha seperti es krim sorbet yang lembut. Aidan tak ingin memperlakukan kasar sama sekali. Setidaknya untuk sekali, ia bisa menikmati rasa yang muncul dari dalam hatinya begitu saja.Ciuman itu adalah yang pertama kali diberikan Aidan pada Malikha selama mereka saling mengenal. Baik ketika dulu maupun ketika sekarang saat hanya Aidan yang mengenali Malikha. Aidan sebenarnya tak berencana sejauh itu ingin mencium bibir Malikha, tapi ia tak bisa menahan perasaannya.Lebih dari itu, hati kecilnya sebenarnya masih menyimpan rasa suka yang sama seperti dulu. Rasa suka itu telah dikubur paksa oleh Aidan akibat kejadian 12 tahun lalu tapi ia sekarang mencoba keluar dari lubang gelap ke permukaan
Dendam dan cinta yang sedang berperang dalam hatinya, membuat Aidan kini berada di gym pribadinya. Ia berlatih Aikido untuk menenangkan diri. Ilmu bela diri asal Jepang itu sudah dikuasai oleh Aidan selama beberapa tahun. Ia bahkan ikut memakai pakaian Aikido dan sebuah senjata berupa tongkat bambu khusus. Aidan juga sudah mendapatkan sabuk hitam Taekwondo-nya cukup lama.Berlatih bela diri membuatnya merasa lebih tenang dan aman. Biasanya ia memiliki seorang pelatih yang menjadi partnernya, tapi hari ini ia memilih berlatih sendiri. Setelah berdiri kembali usai melakukan gerakan terakhir, Aidan menarik nafas dengan peluh yang menetes. Ia masih berdiri dan tak bergerak sampai dihampiri oleh Glenn Matthews."Sebaiknya Tuan beristirahat. Ini sudah tengah malam," Glenn mengingatkan. Aidan lalu berbalik dan menunduk. Ia kemudian berjalan ke arah Glenn dan memberikan tongkatnya berlatih sebelumnya.Aidan berjalan keluar gym dan masuk ke kamarnya. Entah ia bisa berist