Aku beringsut dari ranjang dengan pelan, agar tidur kedua pangeranku tak terganggu.
Aku mulai melangkah keluar kamar. Saat kaki ini terus melangkah, sayup-sayup kudengar suara Isak tangis.
Kucari dari mana sumber suara tersebut. Langkahku terhenti tepat di depan kamar Bu Fatimah. Keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan.
Seketika perasaan cemas mulai timbul. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan cepat kuraih handel pintu dan kubuka dengan kasar hingga membuat malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan sontak menoleh ke arahku.
Melihat kehadiranku, tangis itu sudah tak terdengar lagi. Tangan Bu Fatimah bergegas mengusap bekas air mata.
Aku melangkah cepat. Kuhampiri Bu Fatimah yang sedang terduduk di bibir ranjang. "Ada apa, Bu? Ibu sakit?" tanyaku dengan nada cemas. Namun yang kutanya hanya menggeleng
Mas Faris mengecup dengan lembut keningku. "Makasih ya, Sayang ...," ucapnya dengan pelan. Aku menoleh ke arah wajah lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Kenapa harus terima kasih?" balasku. Kuusap peluh yang membanjiri kening lelaki yang baru saja menikahiku.Tiba-tiba teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Kututup mulutku untuk menahan tawa. Takut membangunkan Reyhaan yang sedang terlelap dalam tidurnya. "Kamu kenapa? Kok ketawa?" tanya Mas Faris. Terlihat keningnya berkerut dengan kedua alis yang saling bertautan."Nggak apa-apa, Mas," jawabku sembari berusaha agar bibir ini tak mengeluarkan suara. "Kenapa sih?!" Raut wajah itu terlihat penasaran."Jangan membuatku penasaran, Sayang ...." Tiba-tiba tangan Mas Faris menggelitik tubuhku hingga membuatku menggeliat. "Aduh, Mas, geli. Ntar Reyhaan bangun lagi loh!" ucapku yang membuat Mas Faris menghentikan
POV Syifa.Kunikmati dinginnya angin malam bersama suamiku, Mas Faris. Duduk bersantai di teras rumah dan di lengkapi teh hangat kesukaan Mas Faris."Sayang, apa kamu nggak ada keinginan untuk bulan madu?" tanya Mas Faris memecah keheningan. Aku menoleh ke arah suamiku, lalu tersenyum samar. "Mas, sebelum kita menikah, aku hanya seorang janda."Suamiku menatapku dengan alis yang saling bertautan. "Memang honey moon itu hanya untuk mereka yang masih perawan dan perjaka?" ucap Mas Faris dan aku menggeleng sembari nyengir kuda."Kita jalan-jalan yuk, ke Bali misalnya. Atau kamu punya pilihan wisata yang pengen kamu datangin?" Kuhembuskan napas panjang. Bagaimana mungkin aku bersenang-senang, jika anakku dan Bu Fatimah tak merasakan apa yang aku rasakan?Aku menoleh ke arahnya. "Nggak usah lah, Mas.""Kenapa? Soal Reyhaan dan Bu Fatimah?" tebak Mas Faris yang
Pov Syifa***Mataku mengerjap pelan saat merasakan ada tepukan halus di wajahku. "Sayang ... bangun dong." Sayup-sayup kudengar suara Mas Faris berbicara. Kurenggangkan tubuhku. Berkali-kali bibirku menguap. Pertanda rasa nganjtuk masih menyerang.Badanku rasanya masih capek sekali, setelah melakukan perjalanan dari jakarta - Bali dengan mengendarai mobil. Ya, setelah tiba di hotel Mentari, hotel yang sudah di booking oleh Mas Faris, aku langsung istirahat."Ayo, bangun ...," rengek Mas Faris. Ditariknya selimut yang menutupi tubuhku. "Aku masih ngantuk, Mas. Badanku capek," ucapku tanpa membuka kedua mataku. Tiba-tiba tangan Mas Faris memeluk tubuhku dari belakang. Lalu membenamkan wajahnya di tengkuk leherku, yang membuatku merasa geli."Jangan gitu dong, Mas," ucapku sembari menjauhkan wajah Mas Faris. "Makanya ayo bangun. Udara pagi
*Beberapa minggu kemudian*Kedua mataku mengerjap saat merasakan ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku. "Sayang, yuk bangun. Udah jam delapan loh. kita sarapan dulu." Samar-samar kudengar suara Mas Faris. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Namun lagi-lagi mata ini meminta untuk di pejamkan.Terasa Mas Faris berusaha menggoyangkan ku. "Sayang ....""Hm ...." Aku berdehem tanpa membuka mata,."Kamu ini setelah shalat subuh pasti kembali tidur. Ayo kita sarapan dulu. Bu Fatimah sama Reyhaan udah nungguin loh!" Tangan lelaki itu menyibak selimut yang membungkus tubuhku. Namun, segera kutarik kembali."Kalian sarapan dulu saja. Aku masih ngantuk," ucapku dengan nada serak. Lagi-lagi Mas Faris menarik selimutku, hingga tersingkap seluruhnya. Aku berdecak kesal. Seketika emosi naik ke ubun-ubun.
*Delapan Bulan Kemudian****Sembilan bulan sudah usia kandungan ku. Kehamilanku kali ini sungguh jauh berbeda dengan kehamilan yang kualami pertama kali, sewaktu mengandung anak pertamaku, Reyhaan. Mungkin karena kali ini aku mengandung janin kembar. Jadi tubuhku cepat terasa begitu lelah dan mual muntah yang begitu parah. Bahkan mual muntah itu sedikit berkurang saat kandunganku sudah memasuki usia lima bulan.Tapi kehamilanku kali ini kujalani dengan begitu bahagia. Mas Faris begitu memanjakanku, memperlakukanku bak seorang ratu. Apalagi ditambah Mama mertua yang semakin perhatian dan menyayangiku, bahkan beliau lah yang menyiapkan segala keperluan lahiran kali ini.Alhamdulillah Reyhan semakin pintar. Ia begitu bahagia saat mendengar akan memiliki dua orang adik sekaligus. Begitupun juga Bu Fatimah, beliau tak kalah bahagianya.Keba
POV Sesil.***"Mas, kapan aku hamilnya kalau setiap berhubungan, kamu selalu memakai kontrasepsi?" Pertanyaanku membuat gerakan tangannya yang sedang memasang jam tangan terhenti. Lelaki itu menoleh ke arahku, lalu melempar senyum. Sedetik kemudian melangkah mendekatiku.Aku mendengkus kesal. Mas Rezky menghempaskan tubuhnya di bibir ranjang tepat di sampingku, lalu menatapku dengan lekat. Aku membuang muka. Tangan lelaki itu mengelus pucuk rambutku. "Aku masih ingin melalui hari-hari yang begitu indah ini hanya bersamamu, Sayang. Mengertilah ...!"Kuhembuskan napas kasar. Kulirik ia dengan sinis. "Memang dengan adanya seorang anak, akan mengganggu kebahagiaan kita?!" sungutku. Selalu itu saja alasannya saat aku mengeluh soal momongan.Mas Rezky meraih tanganku dan diremasnya dengan lembut. "Aku yakin, jika kita sudah memiliki seorang anak pasti waktumu akan habis untuk junior kita. Dan aku tak mau i
Pov Sesil.***"Ada apa sih, Ma?" pertanyaanku memecah keheningan yang terasa begitu mencekam. Rasanya aku semakin bingung, ekspresi kedua orang tuaku terlihat ketakutan dan terlihat gusar. Mama menoleh ke arahku."Sudahlah. Kamu nggak perlu tahu, mudah-mudahan yang kami takutkan tidak terjadi!" Seketika aku diam. Pikiranku berkelana kemana-mana. Mencari jawaban yang tepat untuk memecahkan teka-teki yang ada di benakku. Namun aku tak kunjung menemukannya juga.Terlihat beberapa kali Papa memukul setir mobil, melampiaskan kekesalannya.Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor milik Papa. Beliau melajukan kendaraannya dengan begitu kencang. Kami serentak turun dari mobil, kuikuti langkah mereka dengan sedikit berlari.Langkah Papa menuju ruangan miliknya. Bahkan, beberapa karyawan yang menyapa pun tak dihiraukan olehnya.
POV Sesil***Aku dan Mama hanya bisa duduk di kursi tunggu dengan perasaan cemas. Aku terus mencoba menenangkan Mama, meskipun aku sendiri juga merasa takut. Begitu banyak yang ingin kutanyakan sama Mama, tapi melihat keadaan yang seperti ini membuatku untuk mengurungkan niat. Tangisan Mama yang tak berhenti, membuatku semakin bingung.Suara derit pintu terbuka, bergegas aku dan Mama beranjak lalu melangkah mendekati Dokter yang sempat menangani Papa telah keluar dari ruangan. "Bagaimana dengan keadaan Papa saya, Dok?" tanyaku. Dokter itu terdengar menghela napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Pikiran buruk seketika berkelebatan di kepalaku, saat melihat raut wajah dokter itu mengisyaratkan suatu yang ... entah."Maaf, pasien tidak bisa diselamatkan karena terkena serangan jantung."Deg.Jantungku seoalah-olah berhenti berdetak. Tubuhku membeku, tenggo
POV Prabu.***Kata syukur tak hentinya kupanjatkan, hari ini acara ijab Qabul telah usai. Ya, satu bulan setelah aku melamar Sesil, kami segera menentukan tanggal berapa pernikahan akan kami adakan. Dan pilihan kami jatuh pada hari ini. Hubungan ini kami bangun dengan awal yang baik, dengan berharap Tuhan pun juga memberikan kebahagiaan dan kebaikan dalam rumah tangga kami. ****Satu tahun telah berlalu, usia pernikahan kami sudah satu tahun. Selama ini Sesil sudah menjadi sosok istri yang begitu hormat dan patuh padaku. Menjadi sosok istri yang kuidamkan. Jilbab selalu membingkai wajahnya dan menutupi mahkotanya, aku suka.Namun sayangnya, di usia satu tahun pernikahan Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan untukku di rahim Sesil. Tapi itu tak mengapa. Kami pun juga tak pernah mempermasalahkan soal itu. Bahkan kami pun tak pernah membicarakan soal hal sensitif itu.
POV Prabu.*Satu Tahun Kemudian****Satu tahun telah berlalu. Selama itu pula aku terus mencoba mendekati Sesil. Namun siapa sangka, dia menjadi sosok perempuan yang mampu menjaga marwahnya sebagai seorang perempuan. Bahkan saat aku berkunjung ke rumah nya pun aku hanya disuruh duduk di teras rumah. Ia sama sekali tak mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah.Sikapnya yang seperti itu mampu membuatku semakin mengagumi sosok akan dirinya. Ia pun juga menjadi perempuan yang pekerja keras. Usaha yang telah dibangun selama satu tahun olehnya kini mulai menampakkan hasilnya. Setahu aku, ia tak pernah patah semangat. Beberapa bulan merintis usaha toko roti selalu mengalami kerugian. Kalau pun tak rugi, hanya sekedar balik modal.Kini aku semakin percaya, kalau usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Kini Sesil telah memilih tinggal di rumah yang ia sewa. Ia sudah tak mau lagi tinggal di rumahku. Tak enak, be
POV Sesil***Suara ponsel berdering, namun bukan ponsel milikku. Ternyata ponsel Rina lah yang berdering. Beberapa detik kemudian benda pipih itu ia dekatkan di telinga kanannya."Halo, Bu," ucap Rina dengan seseorang yang ada di seberang telepon.Hening."Sudah di rumah?" Dengan nada yang terdengar sedikit kaget, Rina kembali berucap.Hening."Iya. Sebentar. Tadi dia nggak bilang mau datang ke rumah, makanya aku janjian sama Sesil."Hening."Baiklah, aku segera pulang, Bu." Terlihat Rina menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. "Sil, maaf ya aku pulang dulu. Temen aku tiba-tiba sudah nyampek rumah. Padahal dia tidak bilang apa pun kalau mau datang ke rumah," ucap Rina sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya."Ok, nggak apa-apa," jawabku."Nggak usah. Biar aku yang bayar. Kan aku yang ajak kamu ketemuan," ucapku sembari mendorong tangan Rina yang men
Pov Prabu****Dua Minggu kemudian*Pagi yang begitu cerah. Para kerabat dekat silih berganti berdatangan untuk menghadiri acara pernikahan Mayang. Ada rasa haru di dalam kalbu. Aku berjalan menuju di mana Mayang berada.Aku melangkah pelan. Saat aku sudah berada di ambang pintu kamar Mayang. Ternyata di sana ada Ibu dan Mayang yang sedang saling berpelukan. "Sudah siap, May?" ucapanku membuat pelukan itu terurai. Mereka berdua menoleh ke arahku secara serentak. Bahkan terlihat mereka berdua masing-masing menyeka sudut matanya. "Keluarga Ricko sudah tiba," ucapku. Mayang dan Ibu saling berpandangan. Terlihat Ibu meraih tangan Mayang dan sedikit meremasnya, seolah-olah seperti memberi kekuatan. "Ayo kita ke depan," ucap Ibu yang dibalas anggukan oleh Mayang. "Dada Mayang berdebar, Bu.""Ah, kamu seperti gadis yang baru pertama kali menikah
POV Prabu.***Acara berjalan sesuai yang kami harapkan, hingga mendapatkan keputusan pernikahan akan diadakan dua minggu lagi dan kedua belah calon mempelai memutuskan untuk mengadakan acara sederhana saja. Yaitu hanya sekedar acara ijab Qabul dan syukuran yang dihadiri kerabat dekat saja.Hati ini terasa lega saat ternyata Ricko serius dengan apa yang diucapkannya. Serius kalau ia benar-benar ingin mempersunting Mayang. Satu yang akan selalu kuingat akan janjinya 'Penggal kepala saya jika Mayang kembali pulang dalam keadaan menangis!'Ternyata ada sosok lelaki yang begitu berani. Mudah-mudahan saja kelak ia tak akan pernah mengecewakan Mayang, apalagi hingga membuatnya menangis agar aku tak susah payah untuk memenggal kepalanya."Kak Sesiiiilll ...." Teriakan Mayang menyadarkan lamunanku. Terlihat Mayang berlari ke arah Sesil lalu menghamburk
POV Prabu.***Mobil kembali melesat membelah jalan raya yang terbilang lumayan ramai. Tanpa sadar senyum di bibir kembali merekah kala mengingat wajah cantik yang terbingkai oleh hijab. Debaran aneh terasa di dalam dada. Debaran yang tak pernah kurasa, kala wanita itu masih sah menjadi milikku.Apakah aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar mengagumi perubahan dari penampilannya?Sesaat kuusap wajahku, berharap bayang-bayang wajah Sesil tak lagi menari-nari di pelupuk mataku. Kembali aku fokus membelah jalan raya.Tak berselang lama aku telah sampai di tempat tujuanku. Kuparkir kendaraan roda empatku di tempat biasanya. Bergegas kubuka pintu mobil.Pintu kuketuk dengan diiringi salam.Satu kali.Dua kali.Tak berselang lama daun pintu terbuka, hingga terlihatlah sosok perempuan yang pernah bert
POV Prabu.*Keesokan hari****Jam sudah menunjukkan pukul 04.30. Setelah kulaksanakan dua rakaat shalat subuh, kurebahkan kembali tubuhku. Namun tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Dan tak berselang lama, suara Ibu memanggil namaku. Bergegas aku bangkit dan berjalan membuka daun pintu. "Ada apa, Bu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka. "Barusan Sesil mengatakan, kalau orang tua Riko akan ke rumah besok pukul tujuh malam.""Malam ya, Bu? Jadi besok Prabu bisa bekerja terlebih dahulu," jawabku dan Ibu mengangguk. "Oh ya, Bu. Bentar." Aku kembali berjalan, menuju meja yang terletak di samping ranjang. Kubuka laci paling atas, kuambil amplop coklat di sana. Kubawa amplop itu dan kembali menemui Ibu. "Ini, Bu, uang untuk persiapan lamaran Mayang. Cukup acara lamaran seperti pada umumnya saja, uang ini pasti cukup," ucapku sembari menyerahk
Pov prabu.***Saat aku sedang berbincang dengan Sesil, ponselku berdering. Kuambil benda pipih itu, dan nama Ibu terpampang sebagai pemanggilnya, bergegas kuangkat."Halo, Bu ....""Kamu dimana? Cepetan pulang ya. Sekarang!" jawab Ibu dari seberang telepon."Pulang? Sekarang?""Iya. Ada hal yang sangat penting," jawab Ibu yang membuatku penasaran. Padahal sebelum kutinggal semua baik-baik saja."Penting? Soal apa, Bu?" jawabku."Nanti saja sampai di rumah. Sekarang pulang lah!""Baiklah, Bu. Prabu pulang sekarang!" Panggilan telepon dari Ibu kumatikan, dan kumasukkan kembali benda pipih itu ke dalam saku.Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat aku menoleh dan mendapati Mas Prabu berdiri di belakangku."Yuk aku antarkan pulang. Sedari tadi nunggu taksi nggak datang-datang, kan?""Nggak usah, Mas. Ini aku mau pesan taksi online.""Nggak boleh nolak niat baik seseorang.""Tapi ....""Tapi kenapa?" ucap Mas Prabu.Akhirnya kuceritakan semua permasalahan yang terjadi padaku. Soal kematian Mama dan Papa. Soal semua harta yang telah diambil oleh pemiliknya secara paksa."Tinggalah di rumahku itu.""Nggak usah, Mas. Biar kucari kontrakan saja untuk sementara waktu.""Baiklah. Yuk aku temani." Tanpa menunggu jawabanku, Mas Prabu bergegas melangkah meninggalkanku. Tubuh lelaki