POV Syifa.
1 bulan kemudian.
"Done, sempurna ...!" ucap penata rias yang sudah beberapa jam yang lalu mulai mengaplikasikan kuas dan aneka make up di wajahku.
"Bagaimana Mbak hasilnya?" tanyaku.
"Cantik banget, Mbak ...," seru Mbak Elin, sang penata rias dengan begitu antusias.
"Mbak Syifa cantik banget! Aku yakin, pasti mempelai laki-laki tak akan rela untuk berkedip," lanjutnya yang membuatku tersipu malu.
"Yuk ganti baju dulu, Mbak."
Akhirnya kuikuti perintah Mbak Elin. Dengan telaten, perempuan berusia tiga puluh tahun itu membantuku mengenakan kebaya untuk acara akad nikahku.
Kebaya yang telah diberikan oleh Mama Mertua kemarin sore.
Ya, hari ini adalah acara akad nikah pernikahanku bersama Mas Faris.
Aku beringsut dari ranjang dengan pelan, agar tidur kedua pangeranku tak terganggu.Aku mulai melangkah keluar kamar. Saat kaki ini terus melangkah, sayup-sayup kudengar suara Isak tangis.Kucari dari mana sumber suara tersebut. Langkahku terhenti tepat di depan kamar Bu Fatimah. Keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan.Seketika perasaan cemas mulai timbul. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan cepat kuraih handel pintu dan kubuka dengan kasar hingga membuat malaikat yang dikirimkan oleh Tuhan sontak menoleh ke arahku.Melihat kehadiranku, tangis itu sudah tak terdengar lagi. Tangan Bu Fatimah bergegas mengusap bekas air mata.Aku melangkah cepat. Kuhampiri Bu Fatimah yang sedang terduduk di bibir ranjang. "Ada apa, Bu? Ibu sakit?" tanyaku dengan nada cemas. Namun yang kutanya hanya menggeleng
Mas Faris mengecup dengan lembut keningku. "Makasih ya, Sayang ...," ucapnya dengan pelan. Aku menoleh ke arah wajah lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Kenapa harus terima kasih?" balasku. Kuusap peluh yang membanjiri kening lelaki yang baru saja menikahiku.Tiba-tiba teringat kejadian beberapa menit yang lalu. Kututup mulutku untuk menahan tawa. Takut membangunkan Reyhaan yang sedang terlelap dalam tidurnya. "Kamu kenapa? Kok ketawa?" tanya Mas Faris. Terlihat keningnya berkerut dengan kedua alis yang saling bertautan."Nggak apa-apa, Mas," jawabku sembari berusaha agar bibir ini tak mengeluarkan suara. "Kenapa sih?!" Raut wajah itu terlihat penasaran."Jangan membuatku penasaran, Sayang ...." Tiba-tiba tangan Mas Faris menggelitik tubuhku hingga membuatku menggeliat. "Aduh, Mas, geli. Ntar Reyhaan bangun lagi loh!" ucapku yang membuat Mas Faris menghentikan
POV Syifa.Kunikmati dinginnya angin malam bersama suamiku, Mas Faris. Duduk bersantai di teras rumah dan di lengkapi teh hangat kesukaan Mas Faris."Sayang, apa kamu nggak ada keinginan untuk bulan madu?" tanya Mas Faris memecah keheningan. Aku menoleh ke arah suamiku, lalu tersenyum samar. "Mas, sebelum kita menikah, aku hanya seorang janda."Suamiku menatapku dengan alis yang saling bertautan. "Memang honey moon itu hanya untuk mereka yang masih perawan dan perjaka?" ucap Mas Faris dan aku menggeleng sembari nyengir kuda."Kita jalan-jalan yuk, ke Bali misalnya. Atau kamu punya pilihan wisata yang pengen kamu datangin?" Kuhembuskan napas panjang. Bagaimana mungkin aku bersenang-senang, jika anakku dan Bu Fatimah tak merasakan apa yang aku rasakan?Aku menoleh ke arahnya. "Nggak usah lah, Mas.""Kenapa? Soal Reyhaan dan Bu Fatimah?" tebak Mas Faris yang
Pov Syifa***Mataku mengerjap pelan saat merasakan ada tepukan halus di wajahku. "Sayang ... bangun dong." Sayup-sayup kudengar suara Mas Faris berbicara. Kurenggangkan tubuhku. Berkali-kali bibirku menguap. Pertanda rasa nganjtuk masih menyerang.Badanku rasanya masih capek sekali, setelah melakukan perjalanan dari jakarta - Bali dengan mengendarai mobil. Ya, setelah tiba di hotel Mentari, hotel yang sudah di booking oleh Mas Faris, aku langsung istirahat."Ayo, bangun ...," rengek Mas Faris. Ditariknya selimut yang menutupi tubuhku. "Aku masih ngantuk, Mas. Badanku capek," ucapku tanpa membuka kedua mataku. Tiba-tiba tangan Mas Faris memeluk tubuhku dari belakang. Lalu membenamkan wajahnya di tengkuk leherku, yang membuatku merasa geli."Jangan gitu dong, Mas," ucapku sembari menjauhkan wajah Mas Faris. "Makanya ayo bangun. Udara pagi
*Beberapa minggu kemudian*Kedua mataku mengerjap saat merasakan ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku. "Sayang, yuk bangun. Udah jam delapan loh. kita sarapan dulu." Samar-samar kudengar suara Mas Faris. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Namun lagi-lagi mata ini meminta untuk di pejamkan.Terasa Mas Faris berusaha menggoyangkan ku. "Sayang ....""Hm ...." Aku berdehem tanpa membuka mata,."Kamu ini setelah shalat subuh pasti kembali tidur. Ayo kita sarapan dulu. Bu Fatimah sama Reyhaan udah nungguin loh!" Tangan lelaki itu menyibak selimut yang membungkus tubuhku. Namun, segera kutarik kembali."Kalian sarapan dulu saja. Aku masih ngantuk," ucapku dengan nada serak. Lagi-lagi Mas Faris menarik selimutku, hingga tersingkap seluruhnya. Aku berdecak kesal. Seketika emosi naik ke ubun-ubun.
*Delapan Bulan Kemudian****Sembilan bulan sudah usia kandungan ku. Kehamilanku kali ini sungguh jauh berbeda dengan kehamilan yang kualami pertama kali, sewaktu mengandung anak pertamaku, Reyhaan. Mungkin karena kali ini aku mengandung janin kembar. Jadi tubuhku cepat terasa begitu lelah dan mual muntah yang begitu parah. Bahkan mual muntah itu sedikit berkurang saat kandunganku sudah memasuki usia lima bulan.Tapi kehamilanku kali ini kujalani dengan begitu bahagia. Mas Faris begitu memanjakanku, memperlakukanku bak seorang ratu. Apalagi ditambah Mama mertua yang semakin perhatian dan menyayangiku, bahkan beliau lah yang menyiapkan segala keperluan lahiran kali ini.Alhamdulillah Reyhan semakin pintar. Ia begitu bahagia saat mendengar akan memiliki dua orang adik sekaligus. Begitupun juga Bu Fatimah, beliau tak kalah bahagianya.Keba
POV Sesil.***"Mas, kapan aku hamilnya kalau setiap berhubungan, kamu selalu memakai kontrasepsi?" Pertanyaanku membuat gerakan tangannya yang sedang memasang jam tangan terhenti. Lelaki itu menoleh ke arahku, lalu melempar senyum. Sedetik kemudian melangkah mendekatiku.Aku mendengkus kesal. Mas Rezky menghempaskan tubuhnya di bibir ranjang tepat di sampingku, lalu menatapku dengan lekat. Aku membuang muka. Tangan lelaki itu mengelus pucuk rambutku. "Aku masih ingin melalui hari-hari yang begitu indah ini hanya bersamamu, Sayang. Mengertilah ...!"Kuhembuskan napas kasar. Kulirik ia dengan sinis. "Memang dengan adanya seorang anak, akan mengganggu kebahagiaan kita?!" sungutku. Selalu itu saja alasannya saat aku mengeluh soal momongan.Mas Rezky meraih tanganku dan diremasnya dengan lembut. "Aku yakin, jika kita sudah memiliki seorang anak pasti waktumu akan habis untuk junior kita. Dan aku tak mau i
Pov Sesil.***"Ada apa sih, Ma?" pertanyaanku memecah keheningan yang terasa begitu mencekam. Rasanya aku semakin bingung, ekspresi kedua orang tuaku terlihat ketakutan dan terlihat gusar. Mama menoleh ke arahku."Sudahlah. Kamu nggak perlu tahu, mudah-mudahan yang kami takutkan tidak terjadi!" Seketika aku diam. Pikiranku berkelana kemana-mana. Mencari jawaban yang tepat untuk memecahkan teka-teki yang ada di benakku. Namun aku tak kunjung menemukannya juga.Terlihat beberapa kali Papa memukul setir mobil, melampiaskan kekesalannya.Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor milik Papa. Beliau melajukan kendaraannya dengan begitu kencang. Kami serentak turun dari mobil, kuikuti langkah mereka dengan sedikit berlari.Langkah Papa menuju ruangan miliknya. Bahkan, beberapa karyawan yang menyapa pun tak dihiraukan olehnya.