POV Syifa.
Kunikmati dinginnya angin malam bersama suamiku, Mas Faris. Duduk bersantai di teras rumah dan di lengkapi teh hangat kesukaan Mas Faris.
"Sayang, apa kamu nggak ada keinginan untuk bulan madu?" tanya Mas Faris memecah keheningan. Aku menoleh ke arah suamiku, lalu tersenyum samar. "Mas, sebelum kita menikah, aku hanya seorang janda."
Suamiku menatapku dengan alis yang saling bertautan. "Memang honey moon itu hanya untuk mereka yang masih perawan dan perjaka?" ucap Mas Faris dan aku menggeleng sembari nyengir kuda.
"Kita jalan-jalan yuk, ke Bali misalnya. Atau kamu punya pilihan wisata yang pengen kamu datangin?"
Kuhembuskan napas panjang. Bagaimana mungkin aku bersenang-senang, jika anakku dan Bu Fatimah tak merasakan apa yang aku rasakan?
Aku menoleh ke arahnya. "Nggak usah lah, Mas."
"Kenapa? Soal Reyhaan dan Bu Fatimah?" tebak Mas Faris yang
Pov Syifa***Mataku mengerjap pelan saat merasakan ada tepukan halus di wajahku. "Sayang ... bangun dong." Sayup-sayup kudengar suara Mas Faris berbicara. Kurenggangkan tubuhku. Berkali-kali bibirku menguap. Pertanda rasa nganjtuk masih menyerang.Badanku rasanya masih capek sekali, setelah melakukan perjalanan dari jakarta - Bali dengan mengendarai mobil. Ya, setelah tiba di hotel Mentari, hotel yang sudah di booking oleh Mas Faris, aku langsung istirahat."Ayo, bangun ...," rengek Mas Faris. Ditariknya selimut yang menutupi tubuhku. "Aku masih ngantuk, Mas. Badanku capek," ucapku tanpa membuka kedua mataku. Tiba-tiba tangan Mas Faris memeluk tubuhku dari belakang. Lalu membenamkan wajahnya di tengkuk leherku, yang membuatku merasa geli."Jangan gitu dong, Mas," ucapku sembari menjauhkan wajah Mas Faris. "Makanya ayo bangun. Udara pagi
*Beberapa minggu kemudian*Kedua mataku mengerjap saat merasakan ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku. "Sayang, yuk bangun. Udah jam delapan loh. kita sarapan dulu." Samar-samar kudengar suara Mas Faris. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Namun lagi-lagi mata ini meminta untuk di pejamkan.Terasa Mas Faris berusaha menggoyangkan ku. "Sayang ....""Hm ...." Aku berdehem tanpa membuka mata,."Kamu ini setelah shalat subuh pasti kembali tidur. Ayo kita sarapan dulu. Bu Fatimah sama Reyhaan udah nungguin loh!" Tangan lelaki itu menyibak selimut yang membungkus tubuhku. Namun, segera kutarik kembali."Kalian sarapan dulu saja. Aku masih ngantuk," ucapku dengan nada serak. Lagi-lagi Mas Faris menarik selimutku, hingga tersingkap seluruhnya. Aku berdecak kesal. Seketika emosi naik ke ubun-ubun.
*Delapan Bulan Kemudian****Sembilan bulan sudah usia kandungan ku. Kehamilanku kali ini sungguh jauh berbeda dengan kehamilan yang kualami pertama kali, sewaktu mengandung anak pertamaku, Reyhaan. Mungkin karena kali ini aku mengandung janin kembar. Jadi tubuhku cepat terasa begitu lelah dan mual muntah yang begitu parah. Bahkan mual muntah itu sedikit berkurang saat kandunganku sudah memasuki usia lima bulan.Tapi kehamilanku kali ini kujalani dengan begitu bahagia. Mas Faris begitu memanjakanku, memperlakukanku bak seorang ratu. Apalagi ditambah Mama mertua yang semakin perhatian dan menyayangiku, bahkan beliau lah yang menyiapkan segala keperluan lahiran kali ini.Alhamdulillah Reyhan semakin pintar. Ia begitu bahagia saat mendengar akan memiliki dua orang adik sekaligus. Begitupun juga Bu Fatimah, beliau tak kalah bahagianya.Keba
POV Sesil.***"Mas, kapan aku hamilnya kalau setiap berhubungan, kamu selalu memakai kontrasepsi?" Pertanyaanku membuat gerakan tangannya yang sedang memasang jam tangan terhenti. Lelaki itu menoleh ke arahku, lalu melempar senyum. Sedetik kemudian melangkah mendekatiku.Aku mendengkus kesal. Mas Rezky menghempaskan tubuhnya di bibir ranjang tepat di sampingku, lalu menatapku dengan lekat. Aku membuang muka. Tangan lelaki itu mengelus pucuk rambutku. "Aku masih ingin melalui hari-hari yang begitu indah ini hanya bersamamu, Sayang. Mengertilah ...!"Kuhembuskan napas kasar. Kulirik ia dengan sinis. "Memang dengan adanya seorang anak, akan mengganggu kebahagiaan kita?!" sungutku. Selalu itu saja alasannya saat aku mengeluh soal momongan.Mas Rezky meraih tanganku dan diremasnya dengan lembut. "Aku yakin, jika kita sudah memiliki seorang anak pasti waktumu akan habis untuk junior kita. Dan aku tak mau i
Pov Sesil.***"Ada apa sih, Ma?" pertanyaanku memecah keheningan yang terasa begitu mencekam. Rasanya aku semakin bingung, ekspresi kedua orang tuaku terlihat ketakutan dan terlihat gusar. Mama menoleh ke arahku."Sudahlah. Kamu nggak perlu tahu, mudah-mudahan yang kami takutkan tidak terjadi!" Seketika aku diam. Pikiranku berkelana kemana-mana. Mencari jawaban yang tepat untuk memecahkan teka-teki yang ada di benakku. Namun aku tak kunjung menemukannya juga.Terlihat beberapa kali Papa memukul setir mobil, melampiaskan kekesalannya.Tak butuh waktu lama untuk sampai di kantor milik Papa. Beliau melajukan kendaraannya dengan begitu kencang. Kami serentak turun dari mobil, kuikuti langkah mereka dengan sedikit berlari.Langkah Papa menuju ruangan miliknya. Bahkan, beberapa karyawan yang menyapa pun tak dihiraukan olehnya.
POV Sesil***Aku dan Mama hanya bisa duduk di kursi tunggu dengan perasaan cemas. Aku terus mencoba menenangkan Mama, meskipun aku sendiri juga merasa takut. Begitu banyak yang ingin kutanyakan sama Mama, tapi melihat keadaan yang seperti ini membuatku untuk mengurungkan niat. Tangisan Mama yang tak berhenti, membuatku semakin bingung.Suara derit pintu terbuka, bergegas aku dan Mama beranjak lalu melangkah mendekati Dokter yang sempat menangani Papa telah keluar dari ruangan. "Bagaimana dengan keadaan Papa saya, Dok?" tanyaku. Dokter itu terdengar menghela napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Pikiran buruk seketika berkelebatan di kepalaku, saat melihat raut wajah dokter itu mengisyaratkan suatu yang ... entah."Maaf, pasien tidak bisa diselamatkan karena terkena serangan jantung."Deg.Jantungku seoalah-olah berhenti berdetak. Tubuhku membeku, tenggo
POV SESIL.***Aroma obat-obatan menusuk indra penciumanku, hingga lambat laut kedua netraku mengerjap pelan, lalu mulai terbuka."Di mana aku?" lirihku disaat telah menyadari aku sedang berada di ruangan yang serba putih. Hanya ada tirai berwarna biru yang digunakan sebagai penyekat. Tubuhku terbaring di atas brankar dengan jarum infus yang terpasang di punggung tangan. Kupindai ke segala sudut ruangan, tak ada siapapun."Mama?!" Tiba-tiba teringat akan sosok yang terakhir bersamaku. Namun kejadian yang mungkin saja telah membuatku tak sadarkan diri, hingga akhirnya berakhir di atas ranjang rumah sakit ini, terlintas di kelopak mataku."Mama. Dimana Mama?" Tangisku mulai pecah. Teringat dengan kedua mataku, kusaksikan tubuh Mama tertabrak sebuah truk yang sedang melaju dengan kencang. Hingga membuat tubuh itu terlindas dan tak terbentuk lagi.
POV SESIL***Kendaraan melesat dengan kecepatan sedang menuju tempat yang tadi kuberitahukan. Jantungku berdegup lebih kencang, takut jika bertemu dengan mereka, ia akan mencacidiriku, apalagi sampai menghajarku.Namun aku tak boleh mundur. Apapun konsekuensinya harus aku terima. Yang terpenting kali ini, aku aku bisa mengembalikan barang yang memang bukan milikku. Seperti yang dilakukan oleh rezky.Area kedua netraku terasa menghangat. Sedetik kemudian pandanganku terasa mengabur, seiring air mata yang mulai menganak sungai, saat kuingat begitu banyaknya dosa yang pernah kulakukan.Entah apakah Tuhan akan mengampuniku."Sudah sampai, Non." Ucapan sopir taksi menyadarkanku dari lamunan. Bergegas kuhapus bekas air mata dengan punggung tanganku. Kuberikan dua lembar uang berwarna merah kepada sopi