“Siapa Aneta?” selidik Melati.
Biyan diam menundukkan kepala.
“Jawab, Mas.”
Biyan tergugu, isak terdengar satu per satu dengan nada pelan.
“Jangan-jangan Aneta adalah gadis yang telah kamu hamili?” tanya Melati lagi. Tangan perempuan itu sudah terkepal kuat, serasa syarat-syaraf di kepalannya menggetarkan gelombang entah apa.
“Jawab, Mas! Aneta adalah gadis yang telah kamu nodai kan?” Melati menaikkan volume suara.
“I-iya ….” Biyan mengangkat kepala perlahan, memandang Melati dengan matanya yang penuh air. Saat dia hendak meraih tubuh Melati, istrinya itu reflek menghindar. Biyan pun menutup wajah disertai menarik napas dalam. Hatinya tiba-tiba merasa sakit.
“Apa dengan begini, kamu mau menceraikan aku kan, Mel?”
Melati memandang tajam suaminya. Perempuan itu bergeser, lalu duduk di tepian ranjang. Kini mereka telah berhadapan sejajar. Tatapan Melati masih lekat.
“Tolong ceritakan tentang Aneta,” pintanya dengan suara dingin.
Biyan terlihat menelan ludahnya beberapa kali. “Apa kamu beneran mau menceraikan aku, Mel?”
“Jawablah, Mas. Aku yang bertanya duluan, dan aku butuh jawaban, siapa Aneta itu? Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Iya, iya, Mel.” Biyan memandang Melati beberapa saat, kemudian menunduk lagi. Jakunnya terlihat naik turun. “Aneta adalah … adalah pa-pacar aku di kampung dulu. Kami memang sempat pacaran dan kebablasan, tapi waktu Aneta hamil, aku memilih kabur ke kota ini.”
Astafirulloh … Melati segera menghirup oksigen dengan cepat. Dadanya serasa menciut mendengar sepotong cerita itu.
Melati dan Biyan sudah kenal lama sebelum akhirnya menikah, tetapi dia tidak pernah tahu masa lalu Biyan yang ini. Melati begitu percaya bahwa Biyan adalah lelaki baik. Dari bagaimana dia bersikap selama ini, bagaimana dia memperlakukan almarhum orang tuanya dan ibunya sendiri. Namun ternyata, di balik sikap manisnya, Biyan menyimpan masa lalu yang, yah boleh dibilang, memalukan sekaligus mengerikan.
“Apa Aneta itu cinta pertamamu?” cecar Melati. Getir sekali. Bukankah kata orang, cinta pertama tidak bisa mati? Berbagai prasangka muncul begitu saja dalam pikiran Melati.
Biyan menggeleng. “Bukan, bukan, Mel. Dia bukan pacar pertama aku.”
Melati menelan ludah. Entah harus lega atau harus bagaimana? Biyan memang tampan. Kulitnya putih bersih dengan badan tegap dan senyum menawan. Tidak heran jika di masa lalunya dia punya banyak kekasih. Tidak seperti Melati yang berwajah pas-pasan.
“Dia gadis miskin, gadis yatim. A-aku tidak sungguh-sungguh mencintainya kala itu, a-aku ha-hanya memanfaatkan keluguannya.”
Melati menarik napas lagi. Dia memalingkan wajah, mendadak ada sedikit rasa yang entah apa saat melihat Biyan. Ternyata suaminya bekas orang jahat.
“A-aku tadi bermimpi Aneta datang dan mengutuk aku. Apakah ini karma karena aku telah menzalimi gadis yatim, Mel?” cicit Biyan terbata.
“I-itu ha-hanya mim-mimpi, Mas.”
Entah mengapa Melati ikut tergagap. Dia bergegas bangkit, lalu dengan kecepatan kilat, dia masuk ke kamar mandi. Melati merasa perlu mengguyur kepalanya berkali-kali. Dia kecewa, bayangan tentang Biyan sebagai suami sempurna selama ini, memudar begitu saja.
Suasana setelah itu menjadi dingin dan sunyi. Melati enggan membuka suara, sedang Biyan tersudut dengan ketakutannya sendiri. Bayangan-bayangan bahwa setelah ini Melati akan menceraikan dirinya terus menghantui perasaan Biyan.
Pasangan suami istri itu pergi tidur sambil membawa perasaan sedih di hati masing-masing. Tidak ada ucapan selamat tidur atau obrolan manis yang biasa mereka lakukan. Melati bahkan tidur memunggungi suaminya dan tidak ingin disentuh. Biyan terpaksa tidur berteman lelehan air mata lagi.
Pagi hari saat bangun tidur, Biyan tidak menemukan Melati. Lelaki itu duduk bengong sesaat, kemudian dia paksa badannya sendiri untuk bangkit. Ternyata sudah jam delapan lebih. Bahkan Melati sengaja tidak membangunkan dirinya. Biasanya jam segini mereka sudah bersiap pergi ke toko.
Dengan perasaan sedih, Biyan mandi, lalu berganti pakaian. Dia harus kuat, dia punya kewajiban untuk mengurus toko Melati. Meskipun mungkin tidak akan lama lagi, Melati akan menceraikan dirinya. Ah, Tuhan ….
“Biyan, akhirnya kamu bangun juga.”
Dewi sudah ada di ruang makan. Ibunya itu memang sering muncul di pagi hari, terkadang membawakan sarapan. Mereka masih tinggal dalam satu kompleks, hanya berbeda blok.
“Ibu masakin rolade ay—“
“Melati mana, Bu?” potong Biyan, setelah dia mengedarkan pandangan tetapi tidak menemukan sosok sang istri.
“Enggak tau, Bi, tadi Ibu ke sini hanya ada Mak Tarwih,” tutur Dewi. “Kalian baik-baik aja kan?”
“Entahlah, Bu. Kemarin sore aku mimpi Aneta, dia datang dan mengutukku, apa mungkin karena aku sudah menyia-nyiakan janin di rahim Aneta waktu itu, sehingga sekarang aku mandul?”
“Enggak, Bi, Ibu yakin diagnosa itu salah. Hasil yang benar baru hari ini kita dapat, dan itu pasti akan menunjukkan kalau kamu subur. Kamu dan Melati akan segera punya anak untuk meneruskan garis keturunan keluarga kita,” oceh Dewi.
“Aku sudah cerita soal Aneta ke Melati, dan sepertinya istriku sudah jijik sama aku, Bu,” ceplos Biyan. Dia bukan sengaja ingin mengadu, tetapi dia merasa perlu mengutarakan sesak yang dia rasa. Hanya kepada ibunya lelaki itu bebas bicara.
“Jangan sembarangan kamu ngomong, Bi. Melati itu baik, dan kalian saling mencintai. Ibu yakin kalian bisa melewati masalah ini.”
Biyan menelan salivanya.
“Itu kan sebelum Melati tau kalau aku adalah laki-laki yang brengsek. Nyatanya, sejak kemarin Melati sudah enggak mau aku sentuh, enggak mau ngomong. Mungkin benar Melati jijik sama aku, tapi aku bisa terima.”
Secara bersamaan, tanpa dikomando, Biyan dan Dewi menghela serta menghembuskan napas bersama. Napas yang sama-sama berat.
“Enggak, Bi. Mungkin Melati hanya syok aja, kasih dia waktu.”
Biyan mengedikkan bahu.
“Aku harus tau diri dan enggak boleh egois, Bu,” kata Biyan lagi. “Kalau ternyata aku mandul, Melati berhak mencari lelaki yang—“
Ucapan Biyan terhenti ketika melihat Dewi ambruk ke lantai sembari memegang dadanya. Tarikan napas Dewi terlihat sangat berat. Muncul satu per satu dengan susah payah.
“Bu, Ibu! Ibu!” teriak Biyan spontan.
Mak Tarwih muncul dari belakang, kemudian disusul Melati yang datang entah dari mana.
“Mas, Ibu kenapa?” seru Melati panik. Dia pun segera berjongkok memegang bahu mertuanya.
“Mel, Ibu mohon … jangan ceraikan Biyan ….” Terbata-bata Dewi berkata disela-sela napasnya yang berat.
“Ibu …!”
Teriakan Biyan membahana saat tiba-tiba kepala Dewi terkulai lemas di lengannya.
“Mel ….”Melati mendongak. Menyusut air mata, kemudian mendekatkan diri kepada ibu mertuanya.“Syukurlah ibu sudah sadar,” ucap Melati lega.“Loh ini Ibu dimana?” Dewi mengerjap-ngerjapkan mata.“Kita di rumah sakit, Bu,” jawab Melati. Ingin tersenyum tetapi mulut hanya bisa membentuk seringai kecil. “Maafkan aku ya, Bu ….”Dewi menggeleng. “Kok kamu yang minta maaf? Padahal Ibu yang merepotkan kamu.”Melati akhirnya bisa tersenyum.“Biyan mana?” Dewi berusaha mengangkat kepalanya. Memindai ruangan untuk mencari keberadaan anak semata wayangnya.“Mas Biyan lagi ambil hasil tes yang kemarin,” lirih Melati. Kebetulan Dewi dibawa ke rumah sakit yang sama dengan tempat mereka melakukan cek kesuburan yang kedua.Dewi terlihat menghela napas. Perempuan lima puluh empat tahun itu reflek memegang dadanya sembari mengernyit.“Bu … apa sakit lagi?” cemas Melati. Dia bangkit, lalu membungkuk dan mendekat kepada Dewi.Wajah mereka yang berhadapan dalam jarak dekat, membuat Dewi dengan mudah menj
“Mak ….”Melati sudah berada di pintu rumahnya. Penampilan perempuan itu kusut, hidung dan matanya memerah.“Loh, Mbak Melati, kok sendirian, mana—“Tangis Melati meledak keras, membuat Mak Tarwih urung untuk meneruskan pertanyaannya. Melati menubruk Mak Tarwih, memeluknya erat. Sambil tetap menangis, Melati pasrah dituntun Mak Tarwih untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu menyentuh sofa, Melati ambruk kembali di pelukan Mak Tarwih. Dia menangis puas-puas. Tangis yang sedari kemarin dia tahan, demi terlihat tegar, namun akhirnya bobol juga.Melati terus terisak, sedang Mak Tarwih hanya menyediakan lengan dan bahunya. Mereka berpelukan lama dalam diam. Sesuatu yang sudah lama tidak mereka lakukan.Sejak menikah, Melati memang lebih sering bersama suami dan mertuanya. Bahkan peran Mak Tarwih menjaga dan memijat di kala Melati sakit, sudah diambil alih oleh Dewi. Namun Mak Tarwih sama sekali tidak merasa iri, dia justru bahagia. Biyan dan Dewi kelihatannya benar-benar sayang kepada Melat
“Bu, kalau nanti perlu istirahat lagi, bilang ya?” kata Melati lembut. Mereka baru saja masuk ke dalam mobil, setelah istirahat yang ketiga.Dewi tersenyum. Tangannya meraih wajah sang menantu. Dia belai dengan kelembutan beberapa jenak.“Kamu jangan terlalu kuatir, Mel. Ibu sudah benar-benar sehat. Lagi pula Ibu kan juga cuma duduk.”“Ya, tetap aja yang namanya dalam perjalanan pasti capek, Bu. Beda dong duduk-duduk santai di rumah dan duduk di mobil. Apalagi ini perjalanan jauh,” timpal Melati.Istri dari Biyan itu sungguh-sungguh kuatir dengan kondisi mertuanya. Dia baru keluar dari rumah sakit, tetapi terus memaksa ikut serta dalam mencari Aneta. Padahal kampung yang dituju cukup jauh, hampir empat ratus kilometer dari kota tempat mereka menetap.“Alhamdulillah, gerbang kabupatennya udah keliatan.” Biyan menunjuk gapura besar yang terbuat dari semen kokoh. Di situ tertulis jelas: Selamat Datang Di Kabupaten Kami.“Alhamdulillah,” desis Dewi.“Kita sudah sampai?” Entah mengapa Mela
“Bu-bukankah i-tu, itu ….”Dewi tergagap-gagap. Matanya seperti hampir keluar dari tempatnya. Secepat kilat tangannya dia pakai untuk membekap mulutnya sendiri.Melati mengernyit kebingungan. Apa suami dan mertuanya takut hantu? Meskipun sudah sore, tetapi langit masih lumayan terang. Yang mereka tunjuk di depan sana juga terlihat jelas bahwa itu adalah sosok nenek-nenek. Manusia biasa, bukan mahluk halus. Melati bisa melihat kaki si nenek menapak tanah, dan sama sekali tidak ada keanehan.“Itu orang, Mas, Bu … bukan—““I-itu Mbok Yul, iya kan, Bi?” Dewi menoleh pada anaknya.Biyan mengangguk, sembari menelan ludahnya.“Mbok Yul? Jadi, dia ibunya Aneta? Orang yang kita cari?” Melati ikut melotot hampir tidak percaya. Setelah sehari penuh mereka berkeliling mencari, justru orang itu muncul dengan sendirinya di tempat yang tidak mereka duga.“Mbok Yul! Tunggu!&rdq
“Hu hu hu ….”Tawa yang menggema kini berganti dengan tangis pilu yang panjang. Begitu menyayat hati. Tidak lagi terdengar berasal dari atas pohon, melainkan dari arah gubuk reyot itu, di belakang Mbok Yul.“Pergi kalian, pergi, cepat!” Mbok Yul mengayun-ayunkan balok kayunya.Beruntung mereka bertiga segera bangkit dari bersimpuh, dan mundur serempak. Biyan siaga dengan berada di depan badan istri dan ibunya. Sementara tangis yang terdengar itu berganti lagi menjadi tawa.Melati, Biyan dan Dewi saling berpandangan dengan mata menyelidik. Mulut ketiganya terpelongo. Janggan-jangan itu adalah ….“Mbok Yul, jangan bohong lagi. Itu Aneta kan?” tebak Biyan.“Bukan, Aneta sudah mati. Pergi dari sini!”“Aneta! Aneta!” tiba-tiba Biyan berseru. Seketika suara tawa itu hilang.“Pergi!” Mbok Yul belum menyerah untuk mengusir tamu yang
“Anak Aneta sudah aku jual.”“APA?”Tiga mulut di situ serentak berteriak kaget.“Ma-maksudnya dijual itu apa?” tanya Biyan terbata-bata.Mbok Yul menatap tajam kepada satu-satunya lelaki yang ada di situ. Lelaki yang sudah membuat anaknya sengsara.“Dijual ya dijual. Bayi itu ditukar dengan uang, dan uangnya sudah habis untuk makan,” ketus Mbok Yul. “Kamu pikir kami orang kaya? Hidup berdua saja kami tidak bisa setiap hari makan, apalagi ada bayi. Kalau anak itu tumbuh besar, butuh sekolah, sudah pasti makan banyak uang. Belum lagi kalau diolok-olok enggak punya bapak, pikir pakai otakmu!”Semua terdiam.Mbok Yul yang tadi sudah agak melunak, kini menjadi galak kembali. Perempuan dengan penampilan renta nan kuyu itu memegang dadanya yang naik turun. Kepahitan hidup yang sudah lama dia tanggung sendiri, dia muntahkan nyaris tidak tersisa.Selama ini Mbok Yu
“Jangan, jangan! Enggak mau!”Aneta mengkerutkan badannya. Menyembunyikan wajah di kedua lututnya yang tertekuk.“Aku enggak mau, aku milik Mas Biyan, aku menunggu Mas Biyan. Jangan dekati aku,” oceh Aneta. Setelah itu dia menangis, sambil tetap menyembunyikan wajahnya.Biyan menatap Melati. Seakan ingin meminta instruksi selanjutnya dari sang istri.“Dekati pelan-pelan, Mas. Jangan sampai dia menyakiti dirinya sendiri,” bisik Melati.Biyan mengangguk.“Hati-hati, Bi,” kata Dewi dengan nada penuh kekuatiran saat melihat anaknya mulai melangkah menuju Aneta.“Aneta,” panggil Biyan lirih. Lelaki itu berjongkok di dekat Aneta, tangannya terulur menyentuh pundak perempuan dengan keadaan yang memilukan tersebut.Berlahan-lahan Aneta menganggat wajahnya. Sontak dia berteriak nyaring. Gegas dia bergeser menjauh dari Biyan, dan Aneta terpekik ketika kakinya meregang kare
“Aku tidak setuju!” seru Biyan lantang.“Mas.”“Ini ide gila, Mel.”“Lihatlah Aneta, Mas. Dia begini karena kamu. Dan kemungkinan yang akan menyembuhkan juga kamu,” tegas Melati.Biyan menceplos tawa sumbang beberapa detik.“Mel, itu hanya ada di film-film, atau di novel saja. Orang sakit jiwa tidak akan semudah itu sembuhnya,” elak Biyan.Melati menggeleng.“Aku mau Mas Biyan bertanggung jawab. Aku akan bantu semaksimal mungkin. Entah nanti Aneta akan sembuh atau tidak, tapi aku kasihan sekali melihatnya begini. Apalagi Mbok Yul sudah sangat tua.”“Kalau kita akan menolongnya, cukup kita bawa ke rumah sakit jiwa terdekat. Kita yang akan tanggung biayanya, tidak perlu sampai ikut pulang bersama kita. Merawat orang dengan gangguan jiwa begini tidak mudah, Mel,” protes Biyan keras.Akan tetapi jika Melati sudah mengambil keputusan, sang sua
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k
“Arveta Khairunissa,” ucap Yanuar seraya meletakkan dua lembar foto perempuan cantik.“Arveta? Kamu yakin dia orang yang sama dengan Aneta?” sahut Melati sembari mengambil foto itu.“Ya, mungkin Aneta itu nama kecilnya. Ini teori ngawurku ya, Mel. Mungkin dulu dia kesulitan mengucapkan namanya sendiri saat masih kecil, Arveta jadi Aneta.” Yanuar terkekeh. “Tapi coba kamu perhatikan, dia Aneta yang ada di rumahmu atau bukan?”Melati menurut, kepala perempuan itu menunduk, menelusur setiap inci gambar berukuran sepuluh kali dua belas sentimeter itu. Foto close up seorang wanita cantik, dengan senyum indah dan tampak sangat bahagia. Sedang yang satunya, foto tampak seluruh badan yang tidak kalah cantiknya. Sedang berpose di sebuah tempat wisata yang Melati kenal.Kalau dilihat dari raut wajah, bentuk hidung dan mulut ini memang benar Aneta. Dengan badan yang proporsional dan rambut indah tergerai dia menjadi te
Pagi-pagi, Aneta mengamuk, menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak minta makan.Biyan yang baru saja keluar dari kamar mandi melesat menuju kamar Aneta. Kebetulan bersamaan dengan hadirnya Nuri dan Dewi dari arah dapur.“Nuri! Kamu yang bener dong, kalau memang enggak mau ngerawat Aneta jangan menyiksanya!” Suara Biyan menggelegar memenuhi rumah. Rupanya dia sudah tidak tahan jika perempuan yang dia cintai dibuat mainan oleh Nuri.“Ada apa, Mas?” Melati masih memakai piyama, rambutnya kusut. Ciri khas orang baru bangun tidur.Semalam Melati memang sulit memejamkan mata, tepatnya dia sengaja tidak ingin terlelap. Hasil perbincangan dengan Nuri semalam itu membuat dia takut. Ada pikiran Biyan akan melenyapkan dirinya saat dia tertidur.“Aku tidak sedang mengadu atau gimana, Mel, tapi ….”Ucapan Biyan berhenti. Dia sudah berhasil membuka pintu kamar Aneta, dan penghuninya langsung menjerit
“Mel, lagi ngapain?”Melati terperanjat. Tidak mengira jika suaminya sudah selesai mandi secepat itu.“Kok pucat gitu? Kenapa?” Biyan mendekat, lebih menyelidik lagi.Perempuan itu memegang dadanya, lalu menghela napas. Dia hanya mengulur waktu untuk berpikir, jawaban apa yang tidak akan membuat Biyan curiga.“Aku … semalem bikin catatan di sini, pakai secarik kertas. Tapi kok enggak ada ya?” Melati menatap Biyan. Tidak sedang curiga tetapi memastikan bahwa sang suami percaya dengan kebohongannya.Wajah Biyan mengernyit. “Kertas? Loh ditaruh mana? Kayaknya aku dari kemarin enggak liat ada kertas.”Badan kekar lelaki itu berjongkok. Membuka laci demi laci meja rias.“Rasanya aku taruh di laci sini,” sahut Melati lagi.“Penting banget kah? Sampai kamu pucat gitu?” Biyan berdiri lagi, meraih kepala istrinya. Dia mengira Melati terseran