“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.
“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.
Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.
“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.
Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”
“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
“Apa? Sa-saya mandul, Dok?” Biyan terbelalak tidak percaya. “Ta-tapi itu tidak mungkin.”Melati segera meraih tangan Biyan. Berusaha menenangkan sang suami dengan mengusap-usap penuh sayang. Lelaki itu menoleh kepada Melati, lalu menggeleng kuat-kuat.“Enggak, enggak, aku enggak mungkin mandul, Mel. Pasti semua ini salah. Pasti ini bukan hasil pemeriksaanku. Pasti ini tertukar, ini tertukar… iya kan, Dok?”Mata Biyan bergerak-gerak cepat. Antara memindai kertas yang tengah dibacanya, lalu melihat ke arah Melati, kemudian kepada sang dokter yang duduk di hadapan mereka. Bibir Biyan kentara bergetar hebat.“Bisa jadi ini tertukar kan, Dok?” Biyan mengacungkan kertas hasil pemeriksaan, yang baru beberapa detik lalu dia terima dari sang dokter.Melati menahan tangis. Dia mengangguk-angguk seakan mengiyakan semua perkataan Biyan. Perempuan itu paham, lelaki mana pun tidak akan sanggup mendengar vonis seperti ini.“Mohon maaf Pak Biyan, itu adalah hasil yang sebenarnya—““TIDAK MUNGKIN!” Bi
“Ibu, kenapa bisa keceplosan begini?” keluh Biyan lemas, di sela-sela tangisnya.“Ja-jadi ma-maksud Ibu dan Mas Biyan ….”“Maafkan aku menyembunyikan fakta ini dari kamu, Mel. Tapi itu sudah menjadi masa laluku.”Lelaki itu bergeser, untuk kemudian berganti bersimpuh di hadapan Melati. Dia memegang kedua kaki istrinya dengan tatapan penuh kekuatiran.“Jadi Mas Biyan sudah punya istri sebelum aku?” tanya Melati dengan nada naik. Dadanya panas, jantungnya meradang. Ternyata suami dan ibu mertua yang sangat baik ini sudah menipunya?Melati ingin menangis, tetapi ditahannya sekuat tenaga.“Bukan, bukan begitu, Mel,” Dewi menyahut. Saat hendak meraih tubuh Melati, istri Biyan itu reflek menolak Dewi dengan tangannya, sehingga tubuh perempuan lima puluh empat tahun itu sedikit oleng.“Enggak, Mel, bukan begitu. Demi Tuhan, aku belum pernah menikah. Itu adalah kenakalan masa mudaku, kesalahan fatal yang sudah terjadi sekitar tujuh tahun yang lalu.” Biyan berusaha menjelaskan dengan cepat.Me
“Siapa Aneta?” selidik Melati.Biyan diam menundukkan kepala.“Jawab, Mas.”Biyan tergugu, isak terdengar satu per satu dengan nada pelan.“Jangan-jangan Aneta adalah gadis yang telah kamu hamili?” tanya Melati lagi. Tangan perempuan itu sudah terkepal kuat, serasa syarat-syaraf di kepalannya menggetarkan gelombang entah apa.“Jawab, Mas! Aneta adalah gadis yang telah kamu nodai kan?” Melati menaikkan volume suara.“I-iya ….” Biyan mengangkat kepala perlahan, memandang Melati dengan matanya yang penuh air. Saat dia hendak meraih tubuh Melati, istrinya itu reflek menghindar. Biyan pun menutup wajah disertai menarik napas dalam. Hatinya tiba-tiba merasa sakit.“Apa dengan begini, kamu mau menceraikan aku kan, Mel?”Melati memandang tajam suaminya. Perempuan itu bergeser, lalu duduk di tepian ranjang. Kini mereka telah berhadapan sejajar. Tatapan Melati masih lekat.“Tolong ceritakan tentang Aneta,” pintanya dengan suara dingin.Biyan terlihat menelan ludahnya beberapa kali. “Apa kamu be
“Mel ….”Melati mendongak. Menyusut air mata, kemudian mendekatkan diri kepada ibu mertuanya.“Syukurlah ibu sudah sadar,” ucap Melati lega.“Loh ini Ibu dimana?” Dewi mengerjap-ngerjapkan mata.“Kita di rumah sakit, Bu,” jawab Melati. Ingin tersenyum tetapi mulut hanya bisa membentuk seringai kecil. “Maafkan aku ya, Bu ….”Dewi menggeleng. “Kok kamu yang minta maaf? Padahal Ibu yang merepotkan kamu.”Melati akhirnya bisa tersenyum.“Biyan mana?” Dewi berusaha mengangkat kepalanya. Memindai ruangan untuk mencari keberadaan anak semata wayangnya.“Mas Biyan lagi ambil hasil tes yang kemarin,” lirih Melati. Kebetulan Dewi dibawa ke rumah sakit yang sama dengan tempat mereka melakukan cek kesuburan yang kedua.Dewi terlihat menghela napas. Perempuan lima puluh empat tahun itu reflek memegang dadanya sembari mengernyit.“Bu … apa sakit lagi?” cemas Melati. Dia bangkit, lalu membungkuk dan mendekat kepada Dewi.Wajah mereka yang berhadapan dalam jarak dekat, membuat Dewi dengan mudah menj
“Mak ….”Melati sudah berada di pintu rumahnya. Penampilan perempuan itu kusut, hidung dan matanya memerah.“Loh, Mbak Melati, kok sendirian, mana—“Tangis Melati meledak keras, membuat Mak Tarwih urung untuk meneruskan pertanyaannya. Melati menubruk Mak Tarwih, memeluknya erat. Sambil tetap menangis, Melati pasrah dituntun Mak Tarwih untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu menyentuh sofa, Melati ambruk kembali di pelukan Mak Tarwih. Dia menangis puas-puas. Tangis yang sedari kemarin dia tahan, demi terlihat tegar, namun akhirnya bobol juga.Melati terus terisak, sedang Mak Tarwih hanya menyediakan lengan dan bahunya. Mereka berpelukan lama dalam diam. Sesuatu yang sudah lama tidak mereka lakukan.Sejak menikah, Melati memang lebih sering bersama suami dan mertuanya. Bahkan peran Mak Tarwih menjaga dan memijat di kala Melati sakit, sudah diambil alih oleh Dewi. Namun Mak Tarwih sama sekali tidak merasa iri, dia justru bahagia. Biyan dan Dewi kelihatannya benar-benar sayang kepada Melat
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k
“Arveta Khairunissa,” ucap Yanuar seraya meletakkan dua lembar foto perempuan cantik.“Arveta? Kamu yakin dia orang yang sama dengan Aneta?” sahut Melati sembari mengambil foto itu.“Ya, mungkin Aneta itu nama kecilnya. Ini teori ngawurku ya, Mel. Mungkin dulu dia kesulitan mengucapkan namanya sendiri saat masih kecil, Arveta jadi Aneta.” Yanuar terkekeh. “Tapi coba kamu perhatikan, dia Aneta yang ada di rumahmu atau bukan?”Melati menurut, kepala perempuan itu menunduk, menelusur setiap inci gambar berukuran sepuluh kali dua belas sentimeter itu. Foto close up seorang wanita cantik, dengan senyum indah dan tampak sangat bahagia. Sedang yang satunya, foto tampak seluruh badan yang tidak kalah cantiknya. Sedang berpose di sebuah tempat wisata yang Melati kenal.Kalau dilihat dari raut wajah, bentuk hidung dan mulut ini memang benar Aneta. Dengan badan yang proporsional dan rambut indah tergerai dia menjadi te
Pagi-pagi, Aneta mengamuk, menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak minta makan.Biyan yang baru saja keluar dari kamar mandi melesat menuju kamar Aneta. Kebetulan bersamaan dengan hadirnya Nuri dan Dewi dari arah dapur.“Nuri! Kamu yang bener dong, kalau memang enggak mau ngerawat Aneta jangan menyiksanya!” Suara Biyan menggelegar memenuhi rumah. Rupanya dia sudah tidak tahan jika perempuan yang dia cintai dibuat mainan oleh Nuri.“Ada apa, Mas?” Melati masih memakai piyama, rambutnya kusut. Ciri khas orang baru bangun tidur.Semalam Melati memang sulit memejamkan mata, tepatnya dia sengaja tidak ingin terlelap. Hasil perbincangan dengan Nuri semalam itu membuat dia takut. Ada pikiran Biyan akan melenyapkan dirinya saat dia tertidur.“Aku tidak sedang mengadu atau gimana, Mel, tapi ….”Ucapan Biyan berhenti. Dia sudah berhasil membuka pintu kamar Aneta, dan penghuninya langsung menjerit
“Mel, lagi ngapain?”Melati terperanjat. Tidak mengira jika suaminya sudah selesai mandi secepat itu.“Kok pucat gitu? Kenapa?” Biyan mendekat, lebih menyelidik lagi.Perempuan itu memegang dadanya, lalu menghela napas. Dia hanya mengulur waktu untuk berpikir, jawaban apa yang tidak akan membuat Biyan curiga.“Aku … semalem bikin catatan di sini, pakai secarik kertas. Tapi kok enggak ada ya?” Melati menatap Biyan. Tidak sedang curiga tetapi memastikan bahwa sang suami percaya dengan kebohongannya.Wajah Biyan mengernyit. “Kertas? Loh ditaruh mana? Kayaknya aku dari kemarin enggak liat ada kertas.”Badan kekar lelaki itu berjongkok. Membuka laci demi laci meja rias.“Rasanya aku taruh di laci sini,” sahut Melati lagi.“Penting banget kah? Sampai kamu pucat gitu?” Biyan berdiri lagi, meraih kepala istrinya. Dia mengira Melati terseran