“Mak ….”
Melati sudah berada di pintu rumahnya. Penampilan perempuan itu kusut, hidung dan matanya memerah.
“Loh, Mbak Melati, kok sendirian, mana—“
Tangis Melati meledak keras, membuat Mak Tarwih urung untuk meneruskan pertanyaannya. Melati menubruk Mak Tarwih, memeluknya erat. Sambil tetap menangis, Melati pasrah dituntun Mak Tarwih untuk duduk di sofa ruang tamu.
Begitu menyentuh sofa, Melati ambruk kembali di pelukan Mak Tarwih. Dia menangis puas-puas. Tangis yang sedari kemarin dia tahan, demi terlihat tegar, namun akhirnya bobol juga.
Melati terus terisak, sedang Mak Tarwih hanya menyediakan lengan dan bahunya. Mereka berpelukan lama dalam diam. Sesuatu yang sudah lama tidak mereka lakukan.
Sejak menikah, Melati memang lebih sering bersama suami dan mertuanya. Bahkan peran Mak Tarwih menjaga dan memijat di kala Melati sakit, sudah diambil alih oleh Dewi. Namun Mak Tarwih sama sekali tidak merasa iri, dia justru bahagia. Biyan dan Dewi kelihatannya benar-benar sayang kepada Melati, setidaknya kecurigaan yang dulu pernah dirasakan oleh ….
“Mak, ternyata hasil tes Mas Biyan yang kedua pun hasilnya sama seperti kemarin,” bisik Melati di telinga Mak Tarwih.
“Ya Alloh,” desis Mak Tarwih spontan.
Jantung perempuan itu berdenyut kasar. Dia ingat percakapan Biyan dan Dewi di ruang makan tadi pagi. Kala itu Mak Tarwih memang sedang menyetrika di ruang sebelah, tetapi telinganya sengaja dia pasang tinggi-tinggi. Jadi dia tahu semua isi percakapan mereka.
“Mbak, Mak bikinin es coklat mau ya?” bujuk Mak Tarwih sembari menepuk-nepuk pelan punggung Melati.
Perempuan berambut panjang itu mengurai pelukan, sebelum akhirnya mengangguk. Dia pegang tangan Mak Tarwih, lalu dia beri sedikit tekanan sebagai pengganti ucapan terima kasih. Ternyata Mak Tarwih masih menjadi juara satu dalam hal menenangkan kekalutan di hati Melati.
Es coklat kesukaan Melati terhidang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tanpa basa basi, perempuan itu langsung meneguknya. Sekali gerakan, sepertiga isi gelas itu sudah meluncur deras ke tenggorokan.
Melati meletakkan gelas sambil menatap Mak Tarwih. “Jadi aku harus gimana, Mak?”
“Mbak Melati kecewa sama masa lalu Mas biyan atau kecewa sama vonis dari dokter?”
“Dua-duanya bikin nyesek, Mak.”
“Yang mana yang paling bikin Mbak Melati nyesek?”
Melati menunduk, memainkan jari tangannya.
“Tapi aku enggak mau pisah sama Mas Biyan,” kata Melati lagi. Ucapan itu jelas bukan jawaban dari pertanyaan terakhir Mak Tarwih.
“Mbak Melati yakin enggak kalau Mas Biyan itu orang baik?” Mak Tarwih mengajukan pertanyaan lain.
Melati bergerak-gerak gelisah. Menggigit bibirnya, memandang Mak Tarwih sebentar, lalu beralih menatap langit-langit sembari menghembus napas kasar.
“Bukankah setiap orang punya masa lalu ya, Mak? Semua orang juga pasti pernah melakukan kesalahan kan?” Tangannya terulur kepada tangan Mak Tarwih. Meremas dengan kekuatan tak seberapa.
“Iya kan, Mak?” ujar Melati lagi. Seakan dia memaksa Mak Tarwih untuk setuju dengannya.
“Betul, Mbak. Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat salah.”
“Tapi dalam rumah tangga, katanya ada kesalahan yang memang tidak bisa dimaafkan ya, Mak? Kalau yang ini apa masih boleh dimaafkan?”
Mata mereka saling menatap lagi. Genangan air di mata Melati, merembes ke pipi. Cepat-cepat dia seka. Berharap tidak lagi menangis, namun gagal. Lagi-lagi air mata perempuan itu meluncur deras dalam jumlah yang lebih banyak.
“A-aku jadi sedikit benci sama Mas Biyan, Mak, tapi dalam taksi tadi aku berpikir lagi. Selama ini Mas Biyan dan Ibu sangat baik padaku. Betul kan, Mak? Suami dan mertuaku itu betul-betul sayang sama aku kan?”
Mak Tarwih mengangguk. Bukan asal mengangguk. Sepengetahuan Mak Tarwih, Biyan dan Dewi selama ini memang sayang kepada Melati. Dewi sebagai mertua menghormati Melati, dan tidak pernah ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Dewi juga tidak pernah meminta apa-apa meskipun Melati mempunyai banyak uang, bahkan Dewi bersikeras untuk tinggal terpisah.
“Gelas kalau ditempatkan dalam satu wadah, pasti lama-lama bersinggungan dan retak. Aku enggak mau begitu, Mak. Lagian rumahku kan dekat, setiap hari masih bisa saling kunjung.”
Itu jawaban Dewi saat Mak Tarwih pernah menanyakan, kenapa dia memilih mengontrak rumah. Walau pada akhirnya Melati membeli rumah kontrakan itu, yang sertifikatnya atas nama Melati.
Dewi juga memilih untuk tetap berjualan bakso aci di depan rumahnya, tidak keliling lagi seperti dulu. Ibu kandung Biyan itu berdalih bahwa dia sudah terbiasa mempunyai penghasilan sendiri. Meskipun Mak Tarwih tahu, Melati memberinya uang bulanan.
Rasanya itu semua sudah cukup untuk membuktikan bahwa Biyan dan ibunya adalah orang yang benar-benar tulus kepada Melati. Karakter mereka sama sekali tidak berubah sejak Mak Tarwih mengenal mereka berdua.
“Jadi gimana, Mak? Apa aku termasuk istri yang bodoh kalau aku masih mau menerima Mas Biyan?”
Mak Tarwih tersenyum. Dia belai rambut panjang majikannya itu.
“Makanya tadi Mak tanya, Mbak Melati yakin atau enggak kalau Mas Biyan orang baik?” ujar Mak Tarwih lembut.
“Yakin. Buktinya selama ini Mas Biyan tidak pernah macam-macam, Mak tau juga kan?”
Melati terus saja melempar setiap pernyataan yang dia buat sendiri. Seakan-akan dia benar-benar butuh validasi dari Mak Tarwih.
“Kalau menurut Mak, masa lalu Mas Biyan sudah enggak bisa diubah, jadi bisanya diterima dan dimaafkan. Kalau Mbak Melati bisa menerima dan memaafkan masa lalu Mas Biyan ya … itu bagus.”
Tiba-tiba Biyan muncul di ambang pintu yang terbuka. Lelaki itu saling pandang dengan Mak Tarwih, sedang Melati belum menyadari kehadiran sang suami, sebab Melati memang berada dalam posisi yang membelakangi Biyan.
“Kalau soal anak itu kan mukjizat dari Gusti Alloh. Mak sudah sering dengar, orang-orang yang divonis tidak punya anak oleh dokter, nyatanya Alloh kasih,” lanjut Mak Tarwih. Matanya masih lurus menatap Biyan.
“Iya, Mak. Mungkin juga kami bisa adopsi, menolong bayi yang terlantar. Hitung-hitung sambil menebus kesalahan Mas Biyan yang pernah menelantarkan bayinya sendiri.”
“Jadi Mbak Melati memaafkan masa lalu Mas Biyan?”
Melati mengangguk. Satu detik kemudian dia terperanjat dan gegas memutar lehernya ketika ada suara Biyan.
“Makasih banyak, Mel.”
“Mas ….”
Biyan mendekat, mengambil tangan Melati untuk dia genggam dengan erat.
“Aku akan menebus kesalahanku. Aku bisa puasa, atau bersedekah, atau tirakat atau apa saja agar diampuni dari dosa ini. Sampai Tuhan memaafkan kesalahanku dan berkenan memberi kita keturunan,” janji Biyan.
“Mungkin kalau memang Mas Biyan masih bisa ketemu dengan perempuan itu, alangkah baiknya minta maaf sama dia dulu,” cetus Mak Tarwih.
Melati dan Biyan bersitatap. Keduanya saling membolakan mata.
“Maksud Mak, Mas Biyan harus minta maaf pada Aneta?” lirih Melati.
Mak Tarwih mengangguk.
“Demi pengampunan dan terlepas dari karma ini, aku mau melakukan apa pun, Mel,” kata Biyan.
Melati tercenung beberapa saat. Sampai akhirnya dia bersuara. “Ayo kita cari Aneta, Mas.”
“Bu, kalau nanti perlu istirahat lagi, bilang ya?” kata Melati lembut. Mereka baru saja masuk ke dalam mobil, setelah istirahat yang ketiga.Dewi tersenyum. Tangannya meraih wajah sang menantu. Dia belai dengan kelembutan beberapa jenak.“Kamu jangan terlalu kuatir, Mel. Ibu sudah benar-benar sehat. Lagi pula Ibu kan juga cuma duduk.”“Ya, tetap aja yang namanya dalam perjalanan pasti capek, Bu. Beda dong duduk-duduk santai di rumah dan duduk di mobil. Apalagi ini perjalanan jauh,” timpal Melati.Istri dari Biyan itu sungguh-sungguh kuatir dengan kondisi mertuanya. Dia baru keluar dari rumah sakit, tetapi terus memaksa ikut serta dalam mencari Aneta. Padahal kampung yang dituju cukup jauh, hampir empat ratus kilometer dari kota tempat mereka menetap.“Alhamdulillah, gerbang kabupatennya udah keliatan.” Biyan menunjuk gapura besar yang terbuat dari semen kokoh. Di situ tertulis jelas: Selamat Datang Di Kabupaten Kami.“Alhamdulillah,” desis Dewi.“Kita sudah sampai?” Entah mengapa Mela
“Bu-bukankah i-tu, itu ….”Dewi tergagap-gagap. Matanya seperti hampir keluar dari tempatnya. Secepat kilat tangannya dia pakai untuk membekap mulutnya sendiri.Melati mengernyit kebingungan. Apa suami dan mertuanya takut hantu? Meskipun sudah sore, tetapi langit masih lumayan terang. Yang mereka tunjuk di depan sana juga terlihat jelas bahwa itu adalah sosok nenek-nenek. Manusia biasa, bukan mahluk halus. Melati bisa melihat kaki si nenek menapak tanah, dan sama sekali tidak ada keanehan.“Itu orang, Mas, Bu … bukan—““I-itu Mbok Yul, iya kan, Bi?” Dewi menoleh pada anaknya.Biyan mengangguk, sembari menelan ludahnya.“Mbok Yul? Jadi, dia ibunya Aneta? Orang yang kita cari?” Melati ikut melotot hampir tidak percaya. Setelah sehari penuh mereka berkeliling mencari, justru orang itu muncul dengan sendirinya di tempat yang tidak mereka duga.“Mbok Yul! Tunggu!&rdq
“Hu hu hu ….”Tawa yang menggema kini berganti dengan tangis pilu yang panjang. Begitu menyayat hati. Tidak lagi terdengar berasal dari atas pohon, melainkan dari arah gubuk reyot itu, di belakang Mbok Yul.“Pergi kalian, pergi, cepat!” Mbok Yul mengayun-ayunkan balok kayunya.Beruntung mereka bertiga segera bangkit dari bersimpuh, dan mundur serempak. Biyan siaga dengan berada di depan badan istri dan ibunya. Sementara tangis yang terdengar itu berganti lagi menjadi tawa.Melati, Biyan dan Dewi saling berpandangan dengan mata menyelidik. Mulut ketiganya terpelongo. Janggan-jangan itu adalah ….“Mbok Yul, jangan bohong lagi. Itu Aneta kan?” tebak Biyan.“Bukan, Aneta sudah mati. Pergi dari sini!”“Aneta! Aneta!” tiba-tiba Biyan berseru. Seketika suara tawa itu hilang.“Pergi!” Mbok Yul belum menyerah untuk mengusir tamu yang
“Anak Aneta sudah aku jual.”“APA?”Tiga mulut di situ serentak berteriak kaget.“Ma-maksudnya dijual itu apa?” tanya Biyan terbata-bata.Mbok Yul menatap tajam kepada satu-satunya lelaki yang ada di situ. Lelaki yang sudah membuat anaknya sengsara.“Dijual ya dijual. Bayi itu ditukar dengan uang, dan uangnya sudah habis untuk makan,” ketus Mbok Yul. “Kamu pikir kami orang kaya? Hidup berdua saja kami tidak bisa setiap hari makan, apalagi ada bayi. Kalau anak itu tumbuh besar, butuh sekolah, sudah pasti makan banyak uang. Belum lagi kalau diolok-olok enggak punya bapak, pikir pakai otakmu!”Semua terdiam.Mbok Yul yang tadi sudah agak melunak, kini menjadi galak kembali. Perempuan dengan penampilan renta nan kuyu itu memegang dadanya yang naik turun. Kepahitan hidup yang sudah lama dia tanggung sendiri, dia muntahkan nyaris tidak tersisa.Selama ini Mbok Yu
“Jangan, jangan! Enggak mau!”Aneta mengkerutkan badannya. Menyembunyikan wajah di kedua lututnya yang tertekuk.“Aku enggak mau, aku milik Mas Biyan, aku menunggu Mas Biyan. Jangan dekati aku,” oceh Aneta. Setelah itu dia menangis, sambil tetap menyembunyikan wajahnya.Biyan menatap Melati. Seakan ingin meminta instruksi selanjutnya dari sang istri.“Dekati pelan-pelan, Mas. Jangan sampai dia menyakiti dirinya sendiri,” bisik Melati.Biyan mengangguk.“Hati-hati, Bi,” kata Dewi dengan nada penuh kekuatiran saat melihat anaknya mulai melangkah menuju Aneta.“Aneta,” panggil Biyan lirih. Lelaki itu berjongkok di dekat Aneta, tangannya terulur menyentuh pundak perempuan dengan keadaan yang memilukan tersebut.Berlahan-lahan Aneta menganggat wajahnya. Sontak dia berteriak nyaring. Gegas dia bergeser menjauh dari Biyan, dan Aneta terpekik ketika kakinya meregang kare
“Aku tidak setuju!” seru Biyan lantang.“Mas.”“Ini ide gila, Mel.”“Lihatlah Aneta, Mas. Dia begini karena kamu. Dan kemungkinan yang akan menyembuhkan juga kamu,” tegas Melati.Biyan menceplos tawa sumbang beberapa detik.“Mel, itu hanya ada di film-film, atau di novel saja. Orang sakit jiwa tidak akan semudah itu sembuhnya,” elak Biyan.Melati menggeleng.“Aku mau Mas Biyan bertanggung jawab. Aku akan bantu semaksimal mungkin. Entah nanti Aneta akan sembuh atau tidak, tapi aku kasihan sekali melihatnya begini. Apalagi Mbok Yul sudah sangat tua.”“Kalau kita akan menolongnya, cukup kita bawa ke rumah sakit jiwa terdekat. Kita yang akan tanggung biayanya, tidak perlu sampai ikut pulang bersama kita. Merawat orang dengan gangguan jiwa begini tidak mudah, Mel,” protes Biyan keras.Akan tetapi jika Melati sudah mengambil keputusan, sang sua
“Eh, aku cari tali atau apa dulu ya, takut Aneta ngamuk, dan perlu diikat.”Biyan yang tadinya berada di barisan paling depan, gegas berbalik.Tidak seorang pun mengindahkan Biyan, sebab konsentrasi mereka ada di balik pintu kamar yang ditempati Aneta.Kegaduhan yang merebak seketika hilang. Berganti sepi. Ketiga perempuan itu saling berpandangan. Dua detik kemudian, Melati maju lalu menempelkan daun telinga di pintu.Benar-benar tidak terdengar apa pun. Eh … terdengar isak lirih, tiba-tiba berubah menjadi cekikikan tinggi rendah.“Mas Biyan, ini Mas Biyanku.” Suara Aneta menjadi semakin jelas.“Mas Biyan, akhirnya kamu datang juga. Mau jemput aku kan?” Masih suara Aneta dari dalam.Melati buru-buru membuka pintu, karena sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi dengan Aneta. Dewi dan Mak Tarwih tidak bisa mencegah.“Mas Biyan …,” racau Aneta
Pintu kamar mandi terbuka, sejurus kemudian Biyan muncul hanya memakai celana pendek. Lelaki itu terlihat begitu segar dengan rambut basahnya. Dia sengaja melewati lemari pakaian begitu saja. Masih dengan bertelanjang dada, dia mendekati Melati. Duduk di sebelah istrinya persis.“Jangan cemberut terus dong. Sini, Sayangku.”Biyan melempar senyum termanisnya, lalu mendapatkan badan Melati. Mengecup puncak kepala istrinya.Melati hanya melirik sekilas, kemudian dia kembali kepada layar teleponnya. Dia hanya sedang iseng melihat-lihat suguhan media sosial yang diposting oleh orang-orang. Sedari tadi pun pikirannya tidak pada gambar atau video yang tertangkap oleh retinanya.Melati masih saja masgul dengan pelukan dan ciuman Aneta yang diberikan kepada Biyan. Gambaran itu seperti terus berputar-putar di otaknya, sama sekali tidak mau pergi.“Lagi liat apa sih?” Biyan mencoba mendapatkan perhatian sang istri. &l
Malam kian larut.Biyan menggigil kedinginan. Tadi gerimis sempat mendera bumi beberapa menit, tetapi sudah cukup untuk membuat bajunya basah. Perutnya sudah lapar lagi, sebab dia terlalu banyak menggunakan tenaga. Berjalan cepat tanpa henti sedari tadi. Lelaki itu membuka dompetnya, tinggal uang receh, mungkin tidak sampai seratus ribu.Dia tidak terlalu sering membawa uang tunai. Lagi pula semua kebutuhannya selama ini sudah disediakan Melati. Biyan hanya mengantongi uang untuk membayar parkir. ATM yang dia pegang ini sudah tidak bisa digunakan, pasti Melati telah memblokirnya. Sedang ATM yang lain dipegang Aneta.‘Ah, di mana Aneta sekarang berada?’ keluh Biyan dalam hati. ‘Tega banget ninggalin aku begini. Padahal semua ini adalah rancangannya. Aku dan Ibu sudah berkorban untuk mewujudkan impiannya, akhirnya malah begini.’Biyan melenguh, dia teringat nasib ibunya. ‘Semoga Melati tidak tega menghukum Ibu
Dewi tetap bersikukuh pada pendiriannya, bahwa dia tidak tahu menahu soal sertifikat dan perhiasan yang dituduhkan oleh Melati. Di depan polisi dia terus bersumpah tentang hal yang sama.Ibu kandung Biyan itu menangis meraung-raung saat seorang polwan membawanya untuk dikurung. Dewi memang terpaksa menghuni sel sebab dikuatirkan berpotensi kabur, seperti terlapor lainnya. Yaitu Aneta dan Biyan.Pulang dari kantor polisi, Melati bersama Yanuar pergi ke rumah Bu Ana alias Mbok Yul.Perempuan yang sedang makan bakso di teras rumah bersama anaknya itu terkejut bukan main melihat kedatangan mereka.“Halo, Bu Ana, masih ingat saya enggak?” sapa Melati dengan suara dibuat meledek. “Kalau saya masih ingat loh sama Bu Ana, meski sekarang bajunya bagus dan agak gemukan sedikit ya. Bu Ana, eh apa harus kupanggil Mbok Yul?”Ana dan Keisya, anaknya, saling melirik. Raut wajah mereka sama sekali tidak bisa disembunyikan lagi. Luar biasa m
Aneta baru menginjak semester dua, saat mendengar ada program magang di sebuah toko grosir yang lumayan besar. Terdesak kebutuhan ekonomi, gadis itu pun ikut mendaftar. Dia dipanggil untuk mengikuti tes tidak lama setelah memasukkan lamaran.Tes tidak begitu sulit, hanya ilmu logika dasar dan hitungan matematika sederhana. Tengah dia mengerjakan tes, melintaslah seorang perempuan yang dia kenal. Dia adalah Melati, kakak tingkat di kampusnya, yang sedang menjadi gunjingan. Minggu kemarin perempuan itu melabrak pacarnya yang ternyata punya kekasih lain, setelah perempuan itu habis-habisan memberi banyak uang dan benda kepada si pacar.“Hm … katanya dia kaya, kenapa ikut daftar kerja di sini?” batin Aneta mencibir.Cibiran Aneta menjadi mentah ketika akhirnya dia tahu bahwa Melati bekerja di toko itu bukan sebagai karyawan magang, melainkan karena dia merupakan anak si empunya toko. Yang berarti adalah ahli waris, pemilik toko masa depan.
“Loh, ini siapa, Nur? Kenapa mereka dibawa ke sini?” bisik Melati pada Nuri. Tak urung perempuan itu berdiri, bersikap menyambut dua orang yang berjalan di belakang keponakan Mak Tarwih tersebut.“Bu Melati, ini Pak RT tempat Bu Dewi tinggal, dan beliau istrinya. Tadi sebelum saya menggeledah rumah Bu Dewi saya minta bantuan beliau berdua untuk menjadi saksi, takut nanti saya diteriakin maling kan bahaya,” sahut Nuri seraya mengeluarkan tawa kecil.Gadis itu memang diperintah oleh Melati untuk pergi ke rumah Dewi, mencari sertifikat dan perhiasan yang hilang. Melati curiga jika barang-barang tersebut telah disimpan di sana, meskipun saat Dewi diinterogasi, Dewi bersumpah-sumpah tidak menyimpannya.“Oh, terus gimana? Nemu?” Melati tersenyum sumringah. Dalam hatinya memuji kecerdasan Nuri.Gadis itu menggeleng. “Enggak ada, Bu.”“Udah kamu cari di semua ruang?” nada suara Melati
Melati susah payah duduk di sandaran tempat tidurnya. Makanan yang Nuri bawakan hanya bisa masuk ke tenggorokannya sekitar tiga suap saja. Mau dipaksakan juga tetap tidak bisa. Yang ada justru perutnya bergolak, seperti meninju-ninju untuk memaksa makanan itu keluar lagi.“Saya buatkan jus apel saja ya, Bu?” usul Nuri.Dia benar-benar tidak tega melihat Melati begini. Seumur hidupnya, dia belum pernah kenal dengan lelaki, jadi dia tidak begitu tahu bagaimana rasa sakit yang ditanggung majikannya.Melati menggeleng. “Nanti aja, Nur, tunggu sebentar lagi ya. Saya perlu menenangkan diri dulu.”“Baik, Bu. Saya keluar dulu kalau begitu.”Nuri keluar membawa bubur nasi yang masih tampak utuh, hanya sedikit koyak pada pinggir-pinggir piring saja.Begitu pintu ditutup, Melati menangis lagi. Hatinya begitu hancur. Sebelum Nuri masuk tadi, dia baru saja menerima pesan dari Yanuar. Ternyata buku nikahnya palsu.
Nuri menemukan Melati tengah menangis terisak-isak di atas bantalnya sendiri.“Bu, untung sekali Ibu sudah pulang, selisih dari sedikit menit, yah mungkin malah cuma beberapa detik saja pas Ibu masuk kamar, Bu Dewi datang,” bisik Nuri sembari merapikan selimut yang dipakai Melati.Perempuan yang tengah menahan tangis itu tidak menjawab. Dia memandang Nuri sekilas, lalu menenggelamkan kepalanya lebih dalam kepada bantalnya yang empuk.“Ibu tenanglah, saya akan bantu Ibu untuk membuat mereka bertiga kapok,” Nuri bicara lagi. Tangan kecilnya dengan berani mengusap rambut majikannya. Hati Nuri menjadi sangat trenyuh, mengingat Melati sebenarnya sudah sebatang kara. Mak Tarwih sempat bercerita beberapa perkara mengenai hidup dari anak satu-satunya almarhum Bapak Ruli ini.“Nur, kamu tau enggak kalau ternyata—““Mel, kamu udah baikan?”Sapaan Dewi yang dibarengi ketukan jarinya di pintu k
“Arveta Khairunissa,” ucap Yanuar seraya meletakkan dua lembar foto perempuan cantik.“Arveta? Kamu yakin dia orang yang sama dengan Aneta?” sahut Melati sembari mengambil foto itu.“Ya, mungkin Aneta itu nama kecilnya. Ini teori ngawurku ya, Mel. Mungkin dulu dia kesulitan mengucapkan namanya sendiri saat masih kecil, Arveta jadi Aneta.” Yanuar terkekeh. “Tapi coba kamu perhatikan, dia Aneta yang ada di rumahmu atau bukan?”Melati menurut, kepala perempuan itu menunduk, menelusur setiap inci gambar berukuran sepuluh kali dua belas sentimeter itu. Foto close up seorang wanita cantik, dengan senyum indah dan tampak sangat bahagia. Sedang yang satunya, foto tampak seluruh badan yang tidak kalah cantiknya. Sedang berpose di sebuah tempat wisata yang Melati kenal.Kalau dilihat dari raut wajah, bentuk hidung dan mulut ini memang benar Aneta. Dengan badan yang proporsional dan rambut indah tergerai dia menjadi te
Pagi-pagi, Aneta mengamuk, menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak minta makan.Biyan yang baru saja keluar dari kamar mandi melesat menuju kamar Aneta. Kebetulan bersamaan dengan hadirnya Nuri dan Dewi dari arah dapur.“Nuri! Kamu yang bener dong, kalau memang enggak mau ngerawat Aneta jangan menyiksanya!” Suara Biyan menggelegar memenuhi rumah. Rupanya dia sudah tidak tahan jika perempuan yang dia cintai dibuat mainan oleh Nuri.“Ada apa, Mas?” Melati masih memakai piyama, rambutnya kusut. Ciri khas orang baru bangun tidur.Semalam Melati memang sulit memejamkan mata, tepatnya dia sengaja tidak ingin terlelap. Hasil perbincangan dengan Nuri semalam itu membuat dia takut. Ada pikiran Biyan akan melenyapkan dirinya saat dia tertidur.“Aku tidak sedang mengadu atau gimana, Mel, tapi ….”Ucapan Biyan berhenti. Dia sudah berhasil membuka pintu kamar Aneta, dan penghuninya langsung menjerit
“Mel, lagi ngapain?”Melati terperanjat. Tidak mengira jika suaminya sudah selesai mandi secepat itu.“Kok pucat gitu? Kenapa?” Biyan mendekat, lebih menyelidik lagi.Perempuan itu memegang dadanya, lalu menghela napas. Dia hanya mengulur waktu untuk berpikir, jawaban apa yang tidak akan membuat Biyan curiga.“Aku … semalem bikin catatan di sini, pakai secarik kertas. Tapi kok enggak ada ya?” Melati menatap Biyan. Tidak sedang curiga tetapi memastikan bahwa sang suami percaya dengan kebohongannya.Wajah Biyan mengernyit. “Kertas? Loh ditaruh mana? Kayaknya aku dari kemarin enggak liat ada kertas.”Badan kekar lelaki itu berjongkok. Membuka laci demi laci meja rias.“Rasanya aku taruh di laci sini,” sahut Melati lagi.“Penting banget kah? Sampai kamu pucat gitu?” Biyan berdiri lagi, meraih kepala istrinya. Dia mengira Melati terseran