“Pertanyaanmu itu sudah terjawab Ruhsantini. Bintang telah memilih Ruhrembulan sebagai istrinya. Berarti gadis itulah yang dicintainya.”
Ruhsantini menarik nafas panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. “Seperti kataku tadi, ada keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal bernama Ruhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang akan mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar sungguh sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Ruhcinta, kalau boleh aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita perpanjang. Jangan kau sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu sendiri.”
“Aku setuju,” jawab Ruhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata. “Ruhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku bukan saja tenggelam dalam p
Kita ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Jin Terjungkir Langit yang aslinya bernama Pasedayu, ayah kandung dari empat orang anak yang terlahir membawa tanda bunga dalam lingkaran pada lengan sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua orang yang memiliki tanda tersebut yakni Maithatarun alias Jin Kaki Batu dan Patandai alias Jin Bara Neraka.Pagi itu Jin Terjungkir Langit tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh dari tepi telaga. Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan masih dibalut dengan segulung pelepah pisang. Begitu sosok berjubah hitam bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di hadapannya, dia segera menegur.“Sahabat bermuka tanah liat, sejak pagi kau menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu kembali kulihat kau berubah sikap...”“Kek, apa maksudmu?” tanya orang bermuka tanah liat yang di Negeri Jin di
Yang berjubah kuning gelap adalah seorang kakek berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata kiri besar membeliak. Di pinggangnya kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk clurit besar berwarna hitam legam.Di sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang penampilannya luar biasa aneh dan menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya seperti terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di pipinya yang tidak berdaging. Nenek ini tidak mempunyai tangan kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tangan kanan sendiri! Seperti si kakek dia membekal sebilah clurit berwarna putih berkilauan.Siapakah dua tua bangka aneh ini? Dalam rimba persilatan Jin mereka pernah dikenal dengan julukan Sepasang Jin Bercinta. Si kakek bernama Pajahilio sedang si nenek bernama Ruhjahilio. Selama puluhan tahun mereka mengelana, hid
“Pajahilio! Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk itu tidak mau bermesraan denganmu! Ha... ha... ha!”Jin Terjungkir Langit kerahkan hawa sakti yang didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut. Sekujur badannya mendadak sontak memancarkan sinar kebiru-biruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek berubah laksana kabut, melesat mumbul ke atas.Tendangan Pajahilio mendera udara kosong kemudian menghantam pohon besar tempat Jin Terjungkir Langit tadi tegak bersandar.Braakkk!Pohon yang batangnya seukuran pemelukan manusia itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara menggemuruh tumbang ke tanah!Pajahilio menggembor keras lalu berteriak. “Jin salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari senjataku ini!” Lalu manusia berjubah kuning gelap ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip senjatanya yang berbentuk sebuah clurit besar berwarna hitam legam. “Kekasihku,
Si Jin Budiman tampak tenang saja. Tapi diam-diam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu jiwa dengan Pajahilio.“Tenang... Tenang semua!” Jin Terjungkir Langit berkata. “Aku akan beritahu di mana gadis itu berada...”“Katakan cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak karuan!” bentak Ruhjahilio.“Gadis itu berada di tempat yang aku tidak tahu!” kata Jin Terjungkir Langit pula lalu tertawa gelak-gelak.“Keparat jahanam! Mampus kau!” teriak Ruhjahilio. Tangan kirinya yang memegang clurit putih siap disentakkan.Di sebelah sana Pajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap menekankan ujung clurit hitamnya untuk merobek perut Si Jin Budiman!Namun dalam keadaan yang sangat menegangkan itu tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.Butt! Prett!Gerakan bayangan yang sangat sebat dis
Wuuuusss!Pajahilio menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di tanah tak berkutik lagi. Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak hangus mengepulkan asap hitam!Pukulan yang barusan dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut Pukulan Menebar Budi. Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri Jin dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari ke Tujuh. Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Pajahilio adalah Pukulan Menebar Budi Hari Pertama. Akibatnya seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan Menebar Budi Hari ke Dua, saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi. Rupanya manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga tidak mau menjatuhkan tangan terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu dekat maka akibat yang menimpa Pajahilio sungguh parah
Jin Selaksa Angin tertawa cekikikan. “Kau masih pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari dulu! Hik... hik... hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke bawah, dulu kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau melakukannya?!”.“Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan! Lama-lama aku jadi muak melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!”“Tua bangka tak tahu diri!”“Nenek sialan, apa maksudmu?!”“Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek sepertiku ini! Itu sebabnya kau suruh aku pergi!”“Nek,” Si Jin Budiman menengahi pembicaraan. “Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau jangan mengajaknya bicara dulu...”“Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli sa
NENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett! Lalu unjukkan wajah cemberut. “Siapa yang menipumu kakek buruk?!”“Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!”“Walah, memang begitu caraku menolongmu!” jawab Jin Selaksa Angin.“Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu seperti ini!” ujar Jin Terjungkir Langit sementara Si Jin Budiman tertegak tak tahu mau berbuat atau bicara apa.“Ck... ck... ck... Kau benar-benar bangsa Jin yang tidak tahu ditolong orang. Aku telah pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu. Itu bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja aku tempel di pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu dengan ba
“Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku?!” tanya Pasedayu alias Jin Terjungkir Langit.Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah tertawa cekikikan dia berkata. “Jawab saja pertanyaanku!”“Aku tak punya istri!”“Maksudmu kau tidak pernah kawin? Tak pernah punya anak?!”“Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau bagaimana?”“Jangan-jangan kau kaki tangan Jin Muka Seribu.” Si Jin Budiman menimpali.“Aku bukan kaki tangan Jin Muka Seribu! Soal menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!”“Untuk apa?!” sentak Jin Terjungkir Langit.“Aku tidak tahu!” jawab si nenek.“Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!” kata Jin Terjungkir Langit pula.“Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya, tanganmu yang di pohon itu kubua