"Orang itu. Dia muncul kembali ..." kata Ruhcinta dalam hati.
"Mungkin sekali ini aku terpaksa bicara keras terhadapnya. Tapi apakah kasih memang mengajar kan aku harus berlaku seperti itu?!"
Sang Junjungan tidak perdulikan teriakan Jin Terjungkir Langit. Dengan cepat dia berkelebat hendak tinggalkan tempat itu. Tapi Ruhcinta cepat meng hadangnya.
"Menyingkirlah atau kugebuk mukamu yang cantik sampai cacat!"
Mahkluk jerangkong mengancam dan angkat tongkat tulang di tangan kirinya ke atas, siap dipukulkan ke wajah Ruhcinta. Si gadis tetap tenang. Malah berkata.
"Kau dengar orang meminta. Mengapa sosok yang kau panggul itu tidak segera kau turunkan saja? Perlu apa berjalan dengan beban seberat itu?"
Makhluk jerangkong menyeringai. Dia melirik ke arah orang bermuka hitam di sebelah si gadis. Agaknya bukan ucapan Ruhcinta tadi yang jadi bahan pertimbangannya.
"Ucapanmu yang terakhir mungkin benar. Kau inginkan orang ini silahkan ambil!" S
"Kek," kata Ruhcinta pula."Mungkin aku telah mengeluarkan ucapan salah. Tadi aku mengatakan kau mungkin adalah ayahnya sendiri. Agaknya itu yang membuat Jin Bara Neraka marah besar. Aku tidak mengerti mengapa sampai bicara begitu. Aku mohon maafmu. Tapi terus terang seperti ada satu alur perasaan dalam hatiku yang tiba-tiba menyatu dengan alur perasaan yang ada dalam dirimu ;""Kau tidak bersalah Hai gadis bernama Ruhcinta. Patandai, seperti Maithatarun adalah anakku. Anak kandung darah dagingku. Aku yakin benar hal itu. Tanda yang ada di lengan Patandai, juga yang terdapat di lengan Maithatarun tak dapat dipungkiri "Air mata bercucuran di pipi orang tua itu."Kek, untuk sementara biar kau menenangkan diri. Tanganmu cidera. Sekujur tubuhmu penuh luka bakar. Aku akan berusaha menolongmu sebisaku ""Terima kasih. Kau anak baik. Hatimu tutus dan penuh kasih. Kalau saja aku punya anak perempuan atau menantu sepertimu, hidupku tentu penuh bahagia. Tap
Ksatria Pengembara tidak bisa menduga kemana sebenarnya dan apa tujuan Jin Santet Laknat membawanya. Sebelumnya dukun jahat itu bicara baik-baik padanya seperti orang berhati mulia. Dia bicara ingin membalas budi karena Bintang pernah menyelamatkan-nya. Tapi siapa percaya makhluk seperti nenek satu ini. Yang menyantet dan membunuh orang seenaknya? Karena tak tahan berdiam diri dan rasa was-was Bintang akhirnya ajukan pertanyaan."Nek, kau mau bawa aku kemana sebenarnya?" Jin Santet Laknat gebuk pantat Bintang dengan tangan kirinya. "Sudah berapa kali kau bertanya. Tidak pernah aku melihat orang secerewet dirimu ini! Biasanya yang cerewet adalah nenek-nenek sepertiku ini! Masih muda kau sudah begini cerewetnya, apalagi nanti sudah jadi kakek! Hi ... hik... hik!" Mendapat jawaban seperti itu Bintang akhirnya hanya diam saja. Dia berusaha mengerahkan tenaga untuk memusnahkan kelumpuhan aneh yang menguasai dirinya. Tapi sia-sia saja. Rupanya Jin Santet Laknat mengetahui apa yang
"Masih ada detak jantungnya. Tidak terlalu keras. Para Dewa ... Aku mohon pertolonganmu. Beri kekuatan pada orang ini agar dia bisa bertahan. Paling tidak sampai aku dapat mengumpulkan tujuh daun obat yang diperlukan"Jin Santet Laknat letakkan dua telapak tangannya di dada kiri Ksatria Pengembara. Lalu dia pejamkan mata.Perlahan-lahan si nenek mulai alirkan hawa sakti ke dada Ksatria Pengembara. Cukup lama sampai tubuhnya keringatan karena dari dada pemuda itu seolah ada hawa lain yang keluar menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa jahat racun tendangan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab!"Bintang ..." bisik Jin Santet Laknat"Walau kelak aku tidak mendapatkan dirimu, aku merasa puas jika bisa menyelamatkan jiwamu. Kehadiranmu membuat aku mulai menyadari betapa hidup di dalam kesesatan itu hanya akan membakar diri sendiri..." Si nenek belai pipi Bintang lalu bangkit berdiri. Dia harus bertindak cepat.Sebelum keluar dari dalam gubuk di
LANGlT malam laksana runtuh, tak dapat menahan curahan hujan yang sangat lebat. Gubuk tua itu seperti akan hancur luluh. Petir sabung menyabung. Guntur menggelegar menggetarkan puncak bukit. Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat angin dingin menerobos masuk dengan mudah.Bintang terbaring tak bergerak di atas tempat tidur terbuat dari susunan-batang pohon kelapa. Hanya dua bola matanya memandang berputar. Tubuhnya terasa dingin diterpa angin yang masuk dari luar. Tampisan air hujan dari atap dan dinding membasahi dirinya.Untuk kesekian kalinya petir menyambar. Gelegar guntur membuat batang-batang pohon kelapa yang ditiduri Bintang bergetar keras. Tiba-tiba Bintang melihat cahaya terang di atas gubuk. Lalu terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sesaat kemudian "braakk!"Atap gubuk jebol ambruk. Bersamaan dengan guyuran air hujan satu sosok putih melayang turun ke dalam gubuk! Dalam kejutnya Bintang berusaha bangkit Tapi sekujur tubuhnya laksana direk
Di dalam gubuk itu waktu terasa seperti merayap. Bintang seolah sudah menunggu berhari-hari. Matanya hampir terpicing ketika akhirnya Jin Santet Laknat muncul kembali. Di tangannya dia membawa daun talas yang dibentuk demikian rupa tempat menampung remasan tujuh macam daun yang meng hasilkan semacam cairan kental."Aku datang membawa obatmu! Kau berdoalah pada Tuhanmu. Aku memohon pada para Dewa untuk kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebar- lebar!""Jin Santet Laknat, apa yang ada di dalam daun itu?""Obatmu! Jangan banyak bertanya lagi! Jangan membuang waktu. Jangan membuat aku kesal!" Karena Bintang tidak mau membuka mulutnya, nenek berwajah seperti burung gagak hitam itu jadi tak sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut Bintang terbuka Jin Santet Laknat segera tuangkan cairan kental di dalam daun keladi. Bintang masih berusaha bertahan dengan tidak mau menelan cairan obat itu karena ada kekhawatiran dalam dirinya si nenek bukan memberinya obat teta
“Dewi Awan Putih Bagaimana dia bisa berada di sini. Apa yang membuat hatinya sedih hingga menangis terisak-isak?" Bintang menyelinap ke balik serumpunan semak belukar hingga berada lebih dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia bisa melihat lebih jelas dan jadi terkejut ketika mendapatkan perempuan berpakaian putih panjang itu ternyata bukanlah Dewi Awan Putih. Bintang menduga- duga siapa adanya perempuan ini."Tak pernah kulihat gadis bertubuh langsing ini sebelumnya. Wajahnya sungguh luar biasa. Bulat berseri seperti bulan empat belas hari. Paras yang tidak kalah cantik dengan para gadis yang pernah kulihat di Negeri Jin ini. Rambutnya sungguh hitam dan panjang sampai sepinggang. Kulitnya tak kalah putih dengan Dewi Awan Putih. Mungkinkah dia seorang Dewi yang selama ini tidak pernah memunculkan diri? Tapi Kalau Dewi biasanya tubuh serta pakaiannya mengeluarkan bau harum semerbak."Selagi Bintang berpikir-pikir apakah dia segera saja keluar dari balik sema
"Orang itu, bukankah yang menurutmu selalu mengikutimu ..." Ruhcinta mengangguk. "Sampai saat ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan ceritakan mengenai dirinya nanti. Biar kulanjutkan dulu cerita tadi. Dalam perkelahian hidup mati itu Jin Terjungkir Langit sempat mengatakan pada Jin Bara Neraka bahwa Maithatarun adalah saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap pula rahasia bahwa Jin Terjungkir Langit itu sebenarnya adalah ayah kandung Jin Bara Neraka. Tapi Jin Bara Neraka tidak mempercayai. Malah marah besar. Dia kemudian meninggalkan tempat itu. Makhluk muka tengkorak menyusul pergi. Kemudian kami ketahui pula bahwa Dewi Awan Putih tak ada lagi di tempat itu. Maithatarun lenyap. Besar dugaan Dewi Awan Putih yang membawanya. Aku kemudian membawa Ruhsantini. Si Jin Budiman menolong Jin Terjungkir Langit yang cidera patah lengan kanannya. Kami kemudian berpisah ""Ruhsantini, apakah dia sudah bisa dikeluarkan dari dalam jala?" tanya Bintang.Ruhcinta mengge
APA yang ada dalam pikiran nenek ini. Jangan-jangan hati jahatnya muncul kembali. Dia berdiri menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya..." membatin Ksatria Pengembara. Dalam khawatirnya dia segera siapkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia merasa lega ternyata kesembuhannya memang menyeluruh, termasuk kemampuan mengerahkan hawa sakti yang dimilikinya."Kau mencari benda ini?" tiba-tiba Jin Santet Laknat ajukan pertanyaan. Lalu nenek ini gerakkan tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan. Ternyata di tangan itu dia memegang Pedang Pilar Bumi. Sinar matahari pagi membuat senjata sakti itu memancarkan sinar menyilaukan."Nek, berkat pertolonganmu aku sudah sembuh!" Bintang mengalihkan pembicaraan walau saat itu dia ingin sekali mengambil Pedang saktinya dari tangan si nenek."Aku berterima kasih padamu Nek," kata Bintang lagi sambil memegang bahu si nenek kiri kanan. Jin Santet Laknat pandangi wajah Bintang lalu memperhatikan dua tangan yang mendekap bahuny