Setelah keributan yang terjadi antara Carol dan Lucy, suasana makan siang di gedung pertemuan menjadi sedikit canggung dan tak nyaman. Lucy terus menunduk menekuri piring, sesekali matanya melirik ke arah Carol yang sejak tadi nampak tenang menghabiskan makanannya.Suasana sedikit mencair ketika asisten tuan Gallant berdiri di depan podium menyampaikan ucapan terima kasihnya pada seluruh peserta presentasi yang hadir. Ini memang ciri khas dan strategi tuan Gallant. Ia selalu menjaga nama baik dan reputasinya di dunia bisnis dengan merangkul semua orang termasuk musuhnya. Tuan Gallant maju ke depan setelah asisten memanggilnya. Badan tegap pria itu terlihat tegang. Kharismanya begitu kuat hingga orang yang melihatnya pun segan. Tak heran banyak wanita yang suka padanya, termasuk Carol. Wanita itu sangat menyukai kepribadian tuan Gallant yang kharismatik. Damian tahu hal itu. Lihat saja matanya yang memicing tajam ke arahnya. Pasalnya, Carol menatap kagum tuan Gallant yang berbicara d
[Breaking news: CEO Deluxe Corp telah mengumumkan perceraiannya ke publik dan berencana memperkenalkan calon istri barunya setelah acara di ulang tahun perusahaan bulan depan ]"Apa ini? Perceraian? Henry tak pernah membicarakan ini padaku!" gumam Carol lirih. Saat Carol mematikan televisi di ruangannya, telpon di meja berdering. Carol menjawabnya dengan mata penuh waspada. 'Nyonya Carol, dengan berat hati kami mengumumkan jika hari ini adalah hari terakhir anda bekerja.'"Apa maksud kalian? Hari terakhir bekerja?" Carol menggeram, rahangnya mengeras menahan amarah. 'Tuan Henry yang memerintahkan kami untuk memecat anda. Harap segera ke luar dari dalam ruangan.'"Apa maksud kalian—" Tut Tut Tut Carol membanting telponnya dengan kasar. Ia keluar dari ruangannya menuju ruangan Henry yang terletak di lantai sepuluh. Ia berjalan tergesa-gesa hingga tak sadar telah menabrak seseorang yang akan memasuki lift. "Kenapa dia terburu-buru?" gumam orang itu sebelum masuk ke dalam lift. Car
Satu minggu yang lalu.Carol menghela napas panjang setelah perdebatan panjang dengan kliennya yang memakan waktu hampir satu jam lamanya. Sudah lewat jam makan siang tapi pria di depannya ini masih juga tak mau beranjak dari tempat duduknya. Entah apa yang membuat ia begitu ingin banyak bicara dengannya."Perusahaan kami sangat kompeten dalam menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai investor. Kami pastikan tidak ada kekurangan satu pun dalam pengerjaan proyek pembangunan hotel tersebut," tegas Carol seakan ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan kliennya ini.Pria ini, satu diantara klien mahal milik Carol yang harus dipertahankan. Rumor mengatakan, pria ini jarang sekali mau berbicara lama dengan siapapun. Yang paling terbaru adalah pertemuan dengan pemilik resort mewah di pantai Eden. Ia hanya membutuhkan waktu lima menit untuk bertemu tanpa sempat berbincang. "Aku tahu. Besok kirimkan proposal tambahan yang kau sebutkan tadi. Ini target awal tahun dan harus ada di susunan
Carol pulang dalam keadaan mabuk. Sepulang kerja tadi, ia mampir dulu ke bar milik sahabatnya, Kimi. Sekedar menghilangkan penat di kepalanya, Carol menenggak dua gelas champagne. Ia sadar jika memiliki toleransi alkohol yang rendah, hanya saja tingkat keegoisan dan harga dirinya sangatlah tinggi. Setiap kali sahabatnya mengejek, ia akan melawan dengan menyodorkan gelasnya. Namun ia kalah, baru dua teguk langsung terkapar di meja bar."Dari mana saja kau?" Henry datang menghampiri Carol yang nampak kusut. Pakaian, riasan dan rambutnya bagaikan pengemis pinggiran kota. Henry mengernyit jijik. Ia sangat anti dengan segala hal yang kotor dan bau. "Kau seperti pengemis. Mandi dan tidurlah." Carol tak mengindahkan kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Kepalanya masih berputar hebat tapi ia masih bisa melihat dengan jelas wajah tampan suaminya. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan mendekati Henry yang menghindarinya. "Kau!" bau alkohol menguar di udara. Henry menahan napasnya. Ia b
Malam itu, Carol kembali ke rumah keluarga Parker untuk meminta keadilan. Ia berharap keluarga besar Parker akan membelanya dari segala perlakuan Henry. Namun yang didapatkan adalah perlakuan yang sama. Ia diusir, seluruh barang-barangnya dibuang. "Pergi kau dari rumah ini! Keluarga Parker tidak membutuhkan hama sepertimu di sini!" Nyonya Emma Welson berteriak keras hingga membuat seluruh pelayan di mansion mewah itu tersentak kaget. Carol yang baru saja pulang dari rumah sahabatnya terkejut, karena tiba-tiba ibu mertuanya itu memakai dirinya dengan kata-kata kotor. Sementara di sudut sana, Henry Parker suaminya hanya berdiam diri sambil meneguk minuman di gelas tinggi. Ia hanya tersenyum sinis melihat istrinya diperlakukan kasar oleh ibunya. "Apa maksud ibu? Apa salahku hingga harus diusir dari rumah ini?" Carol membela diri. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia berjalan mendekati ibu mertuanya untuk meminta penjelasan tapi tangannya yang hendak memegang lengan nyonya Emma langs
Carol berjalan terseok-seok menyusuri jalanan panjang menuju jalan raya menuju arah pusat kota Amberfest. Ia mengurungkan niatnya menginap di rumah peninggalan ibunya. Besok pagi, ia harus mencari pekerjaan untuk menopang kehidupannya. Carol berdiri di tepi jalan besar, tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Seorang wanita membuka jendela kaca, menatap Carol dengan tatapan sinis. "Kau pengemis?" "Aku terlihat seperti pengemis?" Carol balik bertanya. Wajah Carol terlihat kusam mengerikan. Rambut acak-acakan, riasan wajah hancur, mata merah dan hidung yang berair. Mungkin karena itu, wanita asing itu bertanya padanya. "Kau sedang menunggu taksi?" wanita itu kembali bertanya. Carol mengangguk pelan. "Ah, kalau begitu ikutlah denganku sampai jalan raya menuju kota. Kudengar di sini sangat sulit mencari kendaraan." Carol masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna ucapan wanita asing di depannya. Karena lama tak ada jawaban, wanita asing itu membuka pintu mobil lalu menarik Carol masuk. Ia
Carol datang ke kantor Harold Times untuk bertemu dengan adik tirinya. Sejak ayahnya meninggal, hanya dia yang bersedia mengelola perusahaan peninggalan keluarga Dustin itu. Perusahaan penerbitan surat kabar yang telah hampir satu abad berdiri di kota Amberfest. Ruangan adik tiri Carol cukup nyaman. Nuansa merah maroon bercampur dengan hijau muda seperti warna natal menjadi interior yang hangat. Berbanding terbalik dengan misi perusahaan yang mencari berita panas setiap harinya tanpa mengenal takut. Ia menyusuri setiap sudut ruangan mewah itu, mencari sesuatu yang bisa ditelusurinya. Tak ada, tak banyak harapan lagi. "Ah, kau datang kemari? Ada apa?" Erik Dustin, pemilik ruangan sekaligus adik tiri Carol masuk dan menyapanya."Aku, sedang ingin saja ke sini." Carol berbalik menuju kursi kebesaran Erik di dekat jendela besar sana. Ia duduk setelah dipersilakan oleh pria itu. "Aku ingin bercerita padamu."Erik mengerutkan dahinya membiarkan wanita cantik di depannya ini memulai pembi
"Selamat malam tuan Domsley. Senang bertemu denganmu," balas Erik menyapa kembali tuan Domsley yang agung. Pria itu berseri-seri, ia memang senang dipuji oleh orang lain. "Ah, aku ingat tentang Harold Times. Kau beruntung bisa menyelamatkan perusahaan itu. Apa kau berniat melepas sedikit saham untuk kubeli?" Erik menoleh ke arah Carol yang tersenyum manis padanya. Sepertinya ia akan meminta pendapat kakak tirinya itu."Aku memiliki 20% saham. Kalau tuan Domsley berkenan, aku bisa menjual 10%. Aku adalah putri tertua James Dustin. Tapi aku tidak terlalu bersenang-senang dengan saham itu." Carol menampakkan raut wajah sendu dan sedih. Ia sengaja, tuan Domsley sangat suka cerita menyayat hati."Kenapa tidak? Apa kau terluka? Tunggu, bukankah kau istri tuan Henry pemilik Deluxe corp?" tuan Domsley menunjuk ke arah Henry sehingga semua orang ikut melihatnya. "Lalu kenapa dia—""Aku telah berpisah. Sekarang aku bekerja menjadi sekretaris Erik dan beren
Setelah keributan yang terjadi antara Carol dan Lucy, suasana makan siang di gedung pertemuan menjadi sedikit canggung dan tak nyaman. Lucy terus menunduk menekuri piring, sesekali matanya melirik ke arah Carol yang sejak tadi nampak tenang menghabiskan makanannya.Suasana sedikit mencair ketika asisten tuan Gallant berdiri di depan podium menyampaikan ucapan terima kasihnya pada seluruh peserta presentasi yang hadir. Ini memang ciri khas dan strategi tuan Gallant. Ia selalu menjaga nama baik dan reputasinya di dunia bisnis dengan merangkul semua orang termasuk musuhnya. Tuan Gallant maju ke depan setelah asisten memanggilnya. Badan tegap pria itu terlihat tegang. Kharismanya begitu kuat hingga orang yang melihatnya pun segan. Tak heran banyak wanita yang suka padanya, termasuk Carol. Wanita itu sangat menyukai kepribadian tuan Gallant yang kharismatik. Damian tahu hal itu. Lihat saja matanya yang memicing tajam ke arahnya. Pasalnya, Carol menatap kagum tuan Gallant yang berbicara d
Henry menarik tangan Lucy pergi dari kantor milik tuan Gallant. Ia harus segera menyelamatkan muka dari tatapan sinis para petinggi perusahaan yang tadi ikut dalam rapat presentasi. Bukan salah Lucy sepenuhnya, Carol pasti sengaja mencari cara agar menjegal semua projek yang sedang dikerjakan oleh perusahaannya. "Henry, kenapa kau menarik tanganku? Kita harus ikut makan siang bersama tuan Gallant." Lucy menghempas tangan kasar Henry. Ia tak suka dipaksa. "Kalau kita menghindar, mereka akan semakin melecehkan kita.""Ini semua karenamu. Kenapa bahan presentasimu sama dengan milik Carol? Apa kau mengambilnya?" tuduh Henry. Lucy terkejut tapi ia berhasil menetralkannya. Ia harus mencari cara agar Henry tak memarahinya. "Tidak. Aku hanya terinspirasi dan aku yakinkan padamu kalau itu semua adalah hasil karyaku sendiri," ujar Lucy dengan bangga. "Kau bisa buktikan?" "Ya, aku bisa."Henry mengalah. Ia segera pergi ke ruangan besar dekat tempat pertemuan tadi untuk menghadiri makan siang
Wajah kesal Henry tercetak jelas saat ia memasuki ruangan, mengetahui jika di dalam ruangan itu ada Carol yang pernah menjadi teman kerja juga hidupnya. Lucy yang berdiri di sebelahnya pun merasakan hal yang sama. Rasa tak nyaman dan juga tekanan dari atmosfer di sekitarnya membuat punggungnya serasa dihujani ribuan batu es. Lucy memilih duduk di meja yang berseberangan dengan Carol. Ia berusaha tenang menetralkan detak jantungnya. Kadang ia melirik ke kanan hanya untuk melihat interaksi Carol dengan pria di sampingnya. 'Apakah itu kekasihnya?'Waktu berjalan cepat. Dua orang maju untuk presentasi secara singkat konsep yang akan mereka kerjakan jika terpilih menjadi pemenang sebagai konseptor terbaik. Kini giliran Lucy untuk maju sebagai perwakilan dari Deluxe Corp. Dengan wajah penuh percaya diri, ia berjalan menuju podium depan menyiapkan bahan presentasinya. Satu persatu slide presentasi dibuka menampilkan gambar dengan animasi 3D yang memukau mata. Dari kejauhan Carol menyipit
Hari ini Damian mengajak Carol ke kantor milik tuan Gallant. Ditemani oleh tuan Domsley dan Ken. Tadi pagi saat mereka akan berangkat, Erik melakukan sedikit drama. Ia ingin ikut tapi Damian melarangnya. Tuan Gallant sangat sensitif terhadap media dan Erik telah terkenal di dunia pengusaha sebagai pemimpin utama Harold Times.Saat memasuki gedung dua puluh lantai yang megah itu, Carol merasa hawa kurang nyaman dari sekitarnya. Seolah semua orang tengah membicarakannya. Beberapa dari mereka memang tengah berbisik-bisik sambil menatap kedatangannya. Ia berusaha menghilangkan pikiran buruk itu. 'Mungkin saja mereka tengah mengagumi Damian.'Namun, pemikiran Carol ternyata salah. Mata sekelilingnya bukan tengah membicarakan Damian, tapi dirinya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara seseorang yang mengatakan jika dirinya adalah menantu yang tak diinginkan oleh keluarga Parker. Lucy adalah yang terbaik. 'Dia menantu yang dibuang.''Untuk apa dia ke sini? Mengemis pekerjaan?''Apakah dia ak
Carol tengah mengutak-atik laptopnya untuk mencari file penyimpanan projek yang pernah dipresentasikan dua tahun lalu saat dirinya masih berada di Deluxe Corp. Senyumnya mengembang, data yang ia butuhkan masih ada di laptop tua itu. Dalam sekejap mata, data itu diperbaiki untuk ditambahkan banyak detil yang diperlukan. 'Damian mengatakan padaku untuk membuatkan sebuah desain yang minimalis tapi berkesan. Sepertinya, desain ini harus ku tambahkan detail yang lain.' Carol berkata dalam hati.Hanya membutuhkan waktu dua jam, Carol berhasil menambah detail yang lebih baik. Tak lama kemudian, Damian masuk ke dalam kamar dengan hanya menggunakan celana pendek tanpa pakaian. Carol meliriknya, tiba-tiba saja pipinya memerah seperti tomat. "Kau sedang apa?" Damian mengintip dari atas. Carol menutup sebagian pekerjaannya. Sengaja agar Damian tak mengganggunya lagi. "Besok saja lagi. Sudah malam.""Tak apa. Aku sedang luang hari ini."Damian berjalan menuju lemari pakaian, mengambil kaus leng
Henry menggeram menahan marah, mengabaikan panggilan dari asistennya yang sejak tadi berdiri di dekat meja. Satu jam lalu, seseorang memberitahu sebuah informasi yang menurutnya sangat berbahaya untuk masa depan perusahaannya. Henry memejamkan matanya. Ia memikirkan skenario untuk mencegah kerugian apabila apa yang ada di kepalanya benar terjadi. 'Carol bekerja di perusahaan milik Damian.' Sebuah informasi yang cukup membuat darahnya berdesir hebat. Bukan karena kemunculan kembali Carol setelah sekian lama menghilang. Sempat beredar kabar jika dirinya bekerja di Harold Times tapi kini ia malah berada di perusahaan pesaingnya. Bukan, bukan takut hanya saja nasib perusahaan sedang dipertaruhkan kali ini. "Bodoh!" Henry meremas rambutnya. "Kenapa dia berada di pihak Damian? Apa mungkin semua kegagalan yang perusahaanku alami akhir-akhir ini karena ulah Carol dan Damian?"Pintu ruangan diketuk. Asisten Henry masuk bersama nyonya Ferlestin. Istri pamannya itu sering datang mengunjunginy
Carol menatap serius ke arah layar proyektor yang menampilkan data hasil pengembangan perusahaan beberapa bulan ke belakang. Data itu pernah dibacanya saat ia baru masuk ke perusahaan Damian. Matanya menyipit dan kedua alisnya berkerut tak nyaman. Tangannya begitu lincah menari di atas kertas putih, mencatat apa saja hal yang dirasanya janggal dan aneh. Saat Jessica masuk ke dalam rencana anggaran, tiba-tiba tangannya berhenti bergerak. Jessica si pembaca presentasi terus berbicara sesuai dengan deretan angka yang tengah diperlihatkan di layar proyektor. "Semua rencana anggaran berasal dari rekomendasi dari berbagai macam pihak. Saya, sudah mendapatkan persetujuan dari tuan Damian dan tuan Marco," ujar Jessica sebelum menyelesaikan presentasinya. Carol mengangkat tangannya. Mulutnya gatal ingin mengomentari isi dari presentasi wanita berambut pendek di depannya. "Saya pernah membaca draftnya beberapa minggu lalu. Semua yang anda ceritakan di depan tadi, sedikit berbeda dengan yang
Awal hari yang indah, diawali senin pagi yang membuat semua orang enggan pergi dari peraduannya. Begitu juga dengan Damian. Matanya masih setengah mengantuk, karena tadi malam Carol mengajaknya berkeliling pasar malam tengah kota. Carol mencoba berbagai macam makanan khas tanpa henti. Damian saja yang hanya melihatnya, sangat enggan untuk mencoba. Carol rupanya belum bangun dari tidurnya. Wanita itu masih nyaman bergelung di dalam selimut. Jam dinding telah menunjukkan pukul enam pagi. Sudah waktunya, mereka mempersiapkan diri untuk berangkat menuju kantor. Hari ini, ada presentasi hasil rapat minggu lalu. Akan ada tuan Domsley datang untuk mengawasi. "Carol, bangunlah. Hari ini ada presentasi dari divisi pengembangan. Kau ikut mengawasinya." Damian mengguncang-guncang tubuh Carol yang masih belum mau bergerak. Damian menarik lengannya, lalu memberi satu kecupan di dahi mulus Carol. "Kalau tidak bangun, akan aku cium bibirmu hingga bengkak." Mata Carol tiba-tiba terbuka. Lalu berla
Henry begitu menikmati waktunya yang santai bersama Lucy hari ini. Di tengah kesibukannya, ia teringat dengan istrinya yang telah diabaikannya berhari-hari. Wanita yang selalu bersama dengannya itu sungguh bahagia melihat perubahan sang suami. Perhatian inilah yang diharapkannya sejak pernikahan mereka dua bulan lalu."Kau memesan kamar VVIP?" tanya Lucy begitu dirinya masuk ke dalam bioskop. Seorang pekerja bioskop mengajak mereka naik ke lantai dua, di sana terdapat lima kamar VVIP yang diisi khusus bagi pengunjung terpilih. "Aku memesannya tiga hari lalu. Ini kejutan untukmu." Henry tersenyum. Lucy bahagia mendengarnya. Pria yang dicintainya memberikan kejutan di saat dirinya sedang sedih. "Terima kasih." Keduanya kini duduk di kamar VVIP ketiga yang terletak di lantai dua. Sebenarnya Henry ingin di bagian tengah, karena pemandangannya lebih menarik. Tapi di bagian itu, telah dipesan dua jam sebelum dirinya. Kedua mata Henry menyipit, melihat pekerja bioskop berkali-kali masuk