Carol pulang dalam keadaan mabuk. Sepulang kerja tadi, ia mampir dulu ke bar milik sahabatnya, Kimi. Sekedar menghilangkan penat di kepalanya, Carol menenggak dua gelas champagne. Ia sadar jika memiliki toleransi alkohol yang rendah, hanya saja tingkat keegoisan dan harga dirinya sangatlah tinggi. Setiap kali sahabatnya mengejek, ia akan melawan dengan menyodorkan gelasnya. Namun ia kalah, baru dua teguk langsung terkapar di meja bar.
"Dari mana saja kau?" Henry datang menghampiri Carol yang nampak kusut. Pakaian, riasan dan rambutnya bagaikan pengemis pinggiran kota. Henry mengernyit jijik. Ia sangat anti dengan segala hal yang kotor dan bau. "Kau seperti pengemis. Mandi dan tidurlah." Carol tak mengindahkan kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Kepalanya masih berputar hebat tapi ia masih bisa melihat dengan jelas wajah tampan suaminya. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan mendekati Henry yang menghindarinya. "Kau!" bau alkohol menguar di udara. Henry menahan napasnya. Ia benci alkohol. Seumur hidupnya ia hanya satu kali mencicipi minuman itu. "Aku membencimu Henry! Siapa wanita itu?" Prankk Carol membanting guci besar di pinggir tangga. Henry menatap tajam ke arah Carol. Itu adalah guci mahal pemberian pamannya saat berkunjung ke rumahnya tahun lalu. Henry mendorong tubuh Carol yang limbung. Wanita itu terjatuh di dekat tangga dengan kepala terantuk pinggirannya. Tukk "Ah, kepalaku sakit," erangnya. Darah mengucur di kepalanya. Carol menyentuh bagian yang sakit itu lalu mengusapnya. Ada goresan kecil di kepala dekat pelipisnya dan itu mengeluarkan darah yang cukup banyak. Nampaknya benturan tadi cukup keras. "Arnold! Kemari!" panggil Henry pada pelayan utama di rumah itu. Arnold datang tergopoh-gopoh lalu membungkukkan tubuhnya. "Bersihkan guci itu, taruh pecahannya dalam kotak. Jangan lupa panggil dokter untuk mengobati Carol. Aku mau tidur." Arnold menoleh ke pinggiran tangga. Matanya terbelalak lebar. Nyonya mudanya terduduk di sana dengan pelipis berlumuran darah. Dalam hatinya Arnold mengumpat pada Henry. "Baik, tuan." Arnold memanggil pelayan yang masih bertugas untuk membersihkan guci sementara dirinya memapah Carol naik ke lantai dua kamarnya. Setelah itu, pelayan perempuan membantu membersihkan tubuhnya. Tak lupa Arnold menghubungi nomor dokter Anna, dokter pribadi keluarga Parker khusus untuk Carol. Dengan cekatan, dokter Anna membersihkan luka yang menganga di pelipis kanan Carol lalu menjahitnya dua kali dan menutupinya dengan plester luka. Ia menghela napas berat. Selalu saja seperti ini, pikirnya. "Apa mereka sering seperti ini? Maksudku, bertengkar dengan kekerasan. Karena, hampir setiap minggu aku selalu ke sini dengan luka yang hampir mirip. Terkadang lebam, terkadang luka sobek," keluh dokter Anna. Arnold hanya mengangguk pelan. Ia bingung menjelaskan pada dokter keluarga Parker itu. Terkadang tuan dan nyonyanya sangatlah romantis tapi terkadang pula sebaliknya. Mereka seperti pasangan psikopat yang saling melukai satu sama lain tapi saling memberi obat. Entahlah, mengapa mereka bisa seperti itu. Setelah selesai dengan pengobatannya, Arnold mengantar dokter Anna pulang menggunakan supir keluarga seperti biasa. Lalu, ia kembali ke kamar Carol untuk memastikan nyonyanya tidur dengan tenang. Esok paginya, Carol terbangun dengan pusing yang masih mendera kepalanya. Saat ia terbangun, pakaian serta rambutnya telah rapi seperti selesai mandi. 'Ah, ada jahitan di pelipisku. Kenapa ini?' Carol benar-benar tak ingat apa yang telah dilakukannya tadi malam. Ingatannya kosong. Ia beranjak dari tempat tidur lalu membersihkan tubuhnya dan turun ke bawah untuk sarapan. "Selamat pagi," sapanya pada Henry yang sudah siap dengan makanannya. "Apa yang terjadi denganku semalam? Apa terjadi keributan?" Carol menunjuk pelipisnya yang terdapat perban. "Kau tak perlu mengingat apapun," ketus Henry. Carol menggeser kursinya. Ia duduk dengan nyaman sembari menyantap sarapannya. Tidak ada suara antara ia dan suaminya. Ingin menanyakan perihal perselingkuhan itu tapi sepertinya ini bukan saatnya. "Henry, aku—" "Carol, kita telah menikah selama lima tahun." Henry memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Carol. Wanita itu seketika diam. "Mari kita akhiri pernikahan ini." Trang Garpu yang tengah dipegang oleh Carol terjatuh. Ia akhirnya mendengar kata perpisahan dari mulut suaminya sendiri setelah mengetahui perselingkuhan itu. Bibirnya tersungging senyum sinis pada sang suami. "Apa ini karena wanita bernama Lucy?" Henry menghentikan kunyahannya. Mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh istrinya. "Aku mengetahuinya karena aku melihat dengan mataku sendiri." "Apa yang kau lihat?" tanya Henry mengintimidasi. Ia tak suka jika dipojokkan oleh lawan bicaranya yang menurutnya lebih rendah. Itu mengancam reputasinya sebagai pemimpin Deluxe corp. "Banyak. Hanya saja aku—" "Apa kau merekamnya?" Carol mengerutkan dahinya. Henry sama sekali tak merasa bersalah dan kini hanya bertanya rekamannya saja. Apakah ia tak peduli dengan perasaannya? "Yang kau pikirkan adalah rekamannya? Kau tak memikirkan bagaimana kacaunya aku setelah mengetahui perselingkuhan itu? Kau sakit jiwa, Henry!" umpat Carol diikuti suara bantingan pisau roti di atas piringnya. "Lucy lebih baik darimu. Aku ingin adanya pewaris keluarga Parker. Aku adalah anak pertama dan tentunya mereka semua menginginkan pewaris langsung dariku." dengan tenangnya Henry membuka map yang diberikan oleh Arnold. Henry menyerahkannya pada Carol. 'Apa ini?' Carol membuka map itu lalu membacanya. Ternyata benar, Henry akan menceraikannya. Carol tertawa keras dengan umpatan lirih dalam bahasa asing tempat ia dibesarkan dulu. "Surat cerai?" Henry tak menjawab. Itu cukup membuktikan bahwa apa yang dilihat dan didengarnya adalah sebuah kebenaran. "Bagaimana kau akan menceraikan aku sementara kita terikat perjanjian bisnis di masa depan?" "Semuanya telah selesai bukan?" Henry menaruh garpu dan pisau rotinya dengan anggun lalu menyeka bibirnya dengan selembar kain putih. Ia benar-benar seperti bangsawan berkelas. "Aku telah mengembalikan Harold Times pada keluargamu. Perusahaan itu hampir jatuh kalau masih tetap dipegang oleh pamanmu yang gila judi itu." "Tapi aku tak menerima kompensasinya!" teriak Carol frustasi. Kantor berita itu memang hampir bangkrut lima tahun yang lalu namun Henry membelinya dan mengganti orang-orang di dalamnya. Ada indikasi korupsi yang dilakukan oleh paman Drew, adik James Dustin yang juga ayah mertua Henry. "Aku tidak peduli. Yang terpenting sesuai perjanjian, aku telah mengembalikan perusahaan itu ke keluargamu. Tanya pada adik tirimu itu, Carol Dustin." Henry mengakhiri makan paginya. Ia beranjak dari ruang makan itu diikuti oleh asisten pribadinya yang selalu tersenyum ramah pada siapapun. Carol masih duduk di ruang makan. Tiba-tiba saja ia tak bernafsu melihat makanan yang tersaji di hadapannya. Tangannya gatal menggaruk-garuk kepalanya hingga berombak. "Dasar laki-laki sialan! Aku akan menemui ibu mertua. Aku akan adukan perbuatanmu padanya."Malam itu, Carol kembali ke rumah keluarga Parker untuk meminta keadilan. Ia berharap keluarga besar Parker akan membelanya dari segala perlakuan Henry. Namun yang didapatkan adalah perlakuan yang sama. Ia diusir, seluruh barang-barangnya dibuang. "Pergi kau dari rumah ini! Keluarga Parker tidak membutuhkan hama sepertimu di sini!" Nyonya Emma Welson berteriak keras hingga membuat seluruh pelayan di mansion mewah itu tersentak kaget. Carol yang baru saja pulang dari rumah sahabatnya terkejut, karena tiba-tiba ibu mertuanya itu memakai dirinya dengan kata-kata kotor. Sementara di sudut sana, Henry Parker suaminya hanya berdiam diri sambil meneguk minuman di gelas tinggi. Ia hanya tersenyum sinis melihat istrinya diperlakukan kasar oleh ibunya. "Apa maksud ibu? Apa salahku hingga harus diusir dari rumah ini?" Carol membela diri. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia berjalan mendekati ibu mertuanya untuk meminta penjelasan tapi tangannya yang hendak memegang lengan nyonya Emma langs
Carol berjalan terseok-seok menyusuri jalanan panjang menuju jalan raya menuju arah pusat kota Amberfest. Ia mengurungkan niatnya menginap di rumah peninggalan ibunya. Besok pagi, ia harus mencari pekerjaan untuk menopang kehidupannya. Carol berdiri di tepi jalan besar, tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Seorang wanita membuka jendela kaca, menatap Carol dengan tatapan sinis. "Kau pengemis?" "Aku terlihat seperti pengemis?" Carol balik bertanya. Wajah Carol terlihat kusam mengerikan. Rambut acak-acakan, riasan wajah hancur, mata merah dan hidung yang berair. Mungkin karena itu, wanita asing itu bertanya padanya. "Kau sedang menunggu taksi?" wanita itu kembali bertanya. Carol mengangguk pelan. "Ah, kalau begitu ikutlah denganku sampai jalan raya menuju kota. Kudengar di sini sangat sulit mencari kendaraan." Carol masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna ucapan wanita asing di depannya. Karena lama tak ada jawaban, wanita asing itu membuka pintu mobil lalu menarik Carol masuk. Ia
Carol datang ke kantor Harold Times untuk bertemu dengan adik tirinya. Sejak ayahnya meninggal, hanya dia yang bersedia mengelola perusahaan peninggalan keluarga Dustin itu. Perusahaan penerbitan surat kabar yang telah hampir satu abad berdiri di kota Amberfest. Ruangan adik tiri Carol cukup nyaman. Nuansa merah maroon bercampur dengan hijau muda seperti warna natal menjadi interior yang hangat. Berbanding terbalik dengan misi perusahaan yang mencari berita panas setiap harinya tanpa mengenal takut. Ia menyusuri setiap sudut ruangan mewah itu, mencari sesuatu yang bisa ditelusurinya. Tak ada, tak banyak harapan lagi. "Ah, kau datang kemari? Ada apa?" Erik Dustin, pemilik ruangan sekaligus adik tiri Carol masuk dan menyapanya."Aku, sedang ingin saja ke sini." Carol berbalik menuju kursi kebesaran Erik di dekat jendela besar sana. Ia duduk setelah dipersilakan oleh pria itu. "Aku ingin bercerita padamu."Erik mengerutkan dahinya membiarkan wanita cantik di depannya ini memulai pembi
[Breaking news: CEO Deluxe Corp telah mengumumkan perceraiannya ke publik dan berencana memperkenalkan calon istri barunya setelah acara di ulang tahun perusahaan bulan depan ]"Apa ini? Perceraian? Henry tak pernah membicarakan ini padaku!" gumam Carol lirih. Saat Carol mematikan televisi di ruangannya, telpon di meja berdering. Carol menjawabnya dengan mata penuh waspada. 'Nyonya Carol, dengan berat hati kami mengumumkan jika hari ini adalah hari terakhir anda bekerja.'"Apa maksud kalian? Hari terakhir bekerja?" Carol menggeram, rahangnya mengeras menahan amarah. 'Tuan Henry yang memerintahkan kami untuk memecat anda. Harap segera ke luar dari dalam ruangan.'"Apa maksud kalian—" Tut Tut Tut Carol membanting telponnya dengan kasar. Ia keluar dari ruangannya menuju ruangan Henry yang terletak di lantai sepuluh. Ia berjalan tergesa-gesa hingga tak sadar telah menabrak seseorang yang akan memasuki lift. "Kenapa dia terburu-buru?" gumam orang itu sebelum masuk ke dalam lift. Car
Satu minggu yang lalu.Carol menghela napas panjang setelah perdebatan panjang dengan kliennya yang memakan waktu hampir satu jam lamanya. Sudah lewat jam makan siang tapi pria di depannya ini masih juga tak mau beranjak dari tempat duduknya. Entah apa yang membuat ia begitu ingin banyak bicara dengannya."Perusahaan kami sangat kompeten dalam menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai investor. Kami pastikan tidak ada kekurangan satu pun dalam pengerjaan proyek pembangunan hotel tersebut," tegas Carol seakan ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan kliennya ini.Pria ini, satu diantara klien mahal milik Carol yang harus dipertahankan. Rumor mengatakan, pria ini jarang sekali mau berbicara lama dengan siapapun. Yang paling terbaru adalah pertemuan dengan pemilik resort mewah di pantai Eden. Ia hanya membutuhkan waktu lima menit untuk bertemu tanpa sempat berbincang. "Aku tahu. Besok kirimkan proposal tambahan yang kau sebutkan tadi. Ini target awal tahun dan harus ada di susunan
Carol datang ke kantor Harold Times untuk bertemu dengan adik tirinya. Sejak ayahnya meninggal, hanya dia yang bersedia mengelola perusahaan peninggalan keluarga Dustin itu. Perusahaan penerbitan surat kabar yang telah hampir satu abad berdiri di kota Amberfest. Ruangan adik tiri Carol cukup nyaman. Nuansa merah maroon bercampur dengan hijau muda seperti warna natal menjadi interior yang hangat. Berbanding terbalik dengan misi perusahaan yang mencari berita panas setiap harinya tanpa mengenal takut. Ia menyusuri setiap sudut ruangan mewah itu, mencari sesuatu yang bisa ditelusurinya. Tak ada, tak banyak harapan lagi. "Ah, kau datang kemari? Ada apa?" Erik Dustin, pemilik ruangan sekaligus adik tiri Carol masuk dan menyapanya."Aku, sedang ingin saja ke sini." Carol berbalik menuju kursi kebesaran Erik di dekat jendela besar sana. Ia duduk setelah dipersilakan oleh pria itu. "Aku ingin bercerita padamu."Erik mengerutkan dahinya membiarkan wanita cantik di depannya ini memulai pembi
Carol berjalan terseok-seok menyusuri jalanan panjang menuju jalan raya menuju arah pusat kota Amberfest. Ia mengurungkan niatnya menginap di rumah peninggalan ibunya. Besok pagi, ia harus mencari pekerjaan untuk menopang kehidupannya. Carol berdiri di tepi jalan besar, tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Seorang wanita membuka jendela kaca, menatap Carol dengan tatapan sinis. "Kau pengemis?" "Aku terlihat seperti pengemis?" Carol balik bertanya. Wajah Carol terlihat kusam mengerikan. Rambut acak-acakan, riasan wajah hancur, mata merah dan hidung yang berair. Mungkin karena itu, wanita asing itu bertanya padanya. "Kau sedang menunggu taksi?" wanita itu kembali bertanya. Carol mengangguk pelan. "Ah, kalau begitu ikutlah denganku sampai jalan raya menuju kota. Kudengar di sini sangat sulit mencari kendaraan." Carol masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna ucapan wanita asing di depannya. Karena lama tak ada jawaban, wanita asing itu membuka pintu mobil lalu menarik Carol masuk. Ia
Malam itu, Carol kembali ke rumah keluarga Parker untuk meminta keadilan. Ia berharap keluarga besar Parker akan membelanya dari segala perlakuan Henry. Namun yang didapatkan adalah perlakuan yang sama. Ia diusir, seluruh barang-barangnya dibuang. "Pergi kau dari rumah ini! Keluarga Parker tidak membutuhkan hama sepertimu di sini!" Nyonya Emma Welson berteriak keras hingga membuat seluruh pelayan di mansion mewah itu tersentak kaget. Carol yang baru saja pulang dari rumah sahabatnya terkejut, karena tiba-tiba ibu mertuanya itu memakai dirinya dengan kata-kata kotor. Sementara di sudut sana, Henry Parker suaminya hanya berdiam diri sambil meneguk minuman di gelas tinggi. Ia hanya tersenyum sinis melihat istrinya diperlakukan kasar oleh ibunya. "Apa maksud ibu? Apa salahku hingga harus diusir dari rumah ini?" Carol membela diri. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia berjalan mendekati ibu mertuanya untuk meminta penjelasan tapi tangannya yang hendak memegang lengan nyonya Emma langs
Carol pulang dalam keadaan mabuk. Sepulang kerja tadi, ia mampir dulu ke bar milik sahabatnya, Kimi. Sekedar menghilangkan penat di kepalanya, Carol menenggak dua gelas champagne. Ia sadar jika memiliki toleransi alkohol yang rendah, hanya saja tingkat keegoisan dan harga dirinya sangatlah tinggi. Setiap kali sahabatnya mengejek, ia akan melawan dengan menyodorkan gelasnya. Namun ia kalah, baru dua teguk langsung terkapar di meja bar."Dari mana saja kau?" Henry datang menghampiri Carol yang nampak kusut. Pakaian, riasan dan rambutnya bagaikan pengemis pinggiran kota. Henry mengernyit jijik. Ia sangat anti dengan segala hal yang kotor dan bau. "Kau seperti pengemis. Mandi dan tidurlah." Carol tak mengindahkan kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Kepalanya masih berputar hebat tapi ia masih bisa melihat dengan jelas wajah tampan suaminya. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan mendekati Henry yang menghindarinya. "Kau!" bau alkohol menguar di udara. Henry menahan napasnya. Ia b
Satu minggu yang lalu.Carol menghela napas panjang setelah perdebatan panjang dengan kliennya yang memakan waktu hampir satu jam lamanya. Sudah lewat jam makan siang tapi pria di depannya ini masih juga tak mau beranjak dari tempat duduknya. Entah apa yang membuat ia begitu ingin banyak bicara dengannya."Perusahaan kami sangat kompeten dalam menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai investor. Kami pastikan tidak ada kekurangan satu pun dalam pengerjaan proyek pembangunan hotel tersebut," tegas Carol seakan ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan kliennya ini.Pria ini, satu diantara klien mahal milik Carol yang harus dipertahankan. Rumor mengatakan, pria ini jarang sekali mau berbicara lama dengan siapapun. Yang paling terbaru adalah pertemuan dengan pemilik resort mewah di pantai Eden. Ia hanya membutuhkan waktu lima menit untuk bertemu tanpa sempat berbincang. "Aku tahu. Besok kirimkan proposal tambahan yang kau sebutkan tadi. Ini target awal tahun dan harus ada di susunan
[Breaking news: CEO Deluxe Corp telah mengumumkan perceraiannya ke publik dan berencana memperkenalkan calon istri barunya setelah acara di ulang tahun perusahaan bulan depan ]"Apa ini? Perceraian? Henry tak pernah membicarakan ini padaku!" gumam Carol lirih. Saat Carol mematikan televisi di ruangannya, telpon di meja berdering. Carol menjawabnya dengan mata penuh waspada. 'Nyonya Carol, dengan berat hati kami mengumumkan jika hari ini adalah hari terakhir anda bekerja.'"Apa maksud kalian? Hari terakhir bekerja?" Carol menggeram, rahangnya mengeras menahan amarah. 'Tuan Henry yang memerintahkan kami untuk memecat anda. Harap segera ke luar dari dalam ruangan.'"Apa maksud kalian—" Tut Tut Tut Carol membanting telponnya dengan kasar. Ia keluar dari ruangannya menuju ruangan Henry yang terletak di lantai sepuluh. Ia berjalan tergesa-gesa hingga tak sadar telah menabrak seseorang yang akan memasuki lift. "Kenapa dia terburu-buru?" gumam orang itu sebelum masuk ke dalam lift. Car