Carol pulang dalam keadaan mabuk. Sepulang kerja tadi, ia mampir dulu ke bar milik sahabatnya, Kimi. Sekedar menghilangkan penat di kepalanya, Carol menenggak dua gelas champagne. Ia sadar jika memiliki toleransi alkohol yang rendah, hanya saja tingkat keegoisan dan harga dirinya sangatlah tinggi. Setiap kali sahabatnya mengejek, ia akan melawan dengan menyodorkan gelasnya. Namun ia kalah, baru dua teguk langsung terkapar di meja bar.
"Dari mana saja kau?" Henry datang menghampiri Carol yang nampak kusut. Pakaian, riasan dan rambutnya bagaikan pengemis pinggiran kota. Henry mengernyit jijik. Ia sangat anti dengan segala hal yang kotor dan bau. "Kau seperti pengemis. Mandi dan tidurlah." Carol tak mengindahkan kata-kata yang keluar dari bibir suaminya. Kepalanya masih berputar hebat tapi ia masih bisa melihat dengan jelas wajah tampan suaminya. Dengan langkah terhuyung, ia berjalan mendekati Henry yang menghindarinya. "Kau!" bau alkohol menguar di udara. Henry menahan napasnya. Ia benci alkohol. Seumur hidupnya ia hanya satu kali mencicipi minuman itu. "Aku membencimu Henry! Siapa wanita itu?" Prankk Carol membanting guci besar di pinggir tangga. Henry menatap tajam ke arah Carol. Itu adalah guci mahal pemberian pamannya saat berkunjung ke rumahnya tahun lalu. Henry mendorong tubuh Carol yang limbung. Wanita itu terjatuh di dekat tangga dengan kepala terantuk pinggirannya. Tukk "Ah, kepalaku sakit," erangnya. Darah mengucur di kepalanya. Carol menyentuh bagian yang sakit itu lalu mengusapnya. Ada goresan kecil di kepala dekat pelipisnya dan itu mengeluarkan darah yang cukup banyak. Nampaknya benturan tadi cukup keras. "Arnold! Kemari!" panggil Henry pada pelayan utama di rumah itu. Arnold datang tergopoh-gopoh lalu membungkukkan tubuhnya. "Bersihkan guci itu, taruh pecahannya dalam kotak. Jangan lupa panggil dokter untuk mengobati Carol. Aku mau tidur." Arnold menoleh ke pinggiran tangga. Matanya terbelalak lebar. Nyonya mudanya terduduk di sana dengan pelipis berlumuran darah. Dalam hatinya Arnold mengumpat pada Henry. "Baik, tuan." Arnold memanggil pelayan yang masih bertugas untuk membersihkan guci sementara dirinya memapah Carol naik ke lantai dua kamarnya. Setelah itu, pelayan perempuan membantu membersihkan tubuhnya. Tak lupa Arnold menghubungi nomor dokter Anna, dokter pribadi keluarga Parker khusus untuk Carol. Dengan cekatan, dokter Anna membersihkan luka yang menganga di pelipis kanan Carol lalu menjahitnya dua kali dan menutupinya dengan plester luka. Ia menghela napas berat. Selalu saja seperti ini, pikirnya. "Apa mereka sering seperti ini? Maksudku, bertengkar dengan kekerasan. Karena, hampir setiap minggu aku selalu ke sini dengan luka yang hampir mirip. Terkadang lebam, terkadang luka sobek," keluh dokter Anna. Arnold hanya mengangguk pelan. Ia bingung menjelaskan pada dokter keluarga Parker itu. Terkadang tuan dan nyonyanya sangatlah romantis tapi terkadang pula sebaliknya. Mereka seperti pasangan psikopat yang saling melukai satu sama lain tapi saling memberi obat. Entahlah, mengapa mereka bisa seperti itu. Setelah selesai dengan pengobatannya, Arnold mengantar dokter Anna pulang menggunakan supir keluarga seperti biasa. Lalu, ia kembali ke kamar Carol untuk memastikan nyonyanya tidur dengan tenang. Esok paginya, Carol terbangun dengan pusing yang masih mendera kepalanya. Saat ia terbangun, pakaian serta rambutnya telah rapi seperti selesai mandi. 'Ah, ada jahitan di pelipisku. Kenapa ini?' Carol benar-benar tak ingat apa yang telah dilakukannya tadi malam. Ingatannya kosong. Ia beranjak dari tempat tidur lalu membersihkan tubuhnya dan turun ke bawah untuk sarapan. "Selamat pagi," sapanya pada Henry yang sudah siap dengan makanannya. "Apa yang terjadi denganku semalam? Apa terjadi keributan?" Carol menunjuk pelipisnya yang terdapat perban. "Kau tak perlu mengingat apapun," ketus Henry. Carol menggeser kursinya. Ia duduk dengan nyaman sembari menyantap sarapannya. Tidak ada suara antara ia dan suaminya. Ingin menanyakan perihal perselingkuhan itu tapi sepertinya ini bukan saatnya. "Henry, aku—" "Carol, kita telah menikah selama lima tahun." Henry memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Carol. Wanita itu seketika diam. "Mari kita akhiri pernikahan ini." Trang Garpu yang tengah dipegang oleh Carol terjatuh. Ia akhirnya mendengar kata perpisahan dari mulut suaminya sendiri setelah mengetahui perselingkuhan itu. Bibirnya tersungging senyum sinis pada sang suami. "Apa ini karena wanita bernama Lucy?" Henry menghentikan kunyahannya. Mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh istrinya. "Aku mengetahuinya karena aku melihat dengan mataku sendiri." "Apa yang kau lihat?" tanya Henry mengintimidasi. Ia tak suka jika dipojokkan oleh lawan bicaranya yang menurutnya lebih rendah. Itu mengancam reputasinya sebagai pemimpin Deluxe corp. "Banyak. Hanya saja aku—" "Apa kau merekamnya?" Carol mengerutkan dahinya. Henry sama sekali tak merasa bersalah dan kini hanya bertanya rekamannya saja. Apakah ia tak peduli dengan perasaannya? "Yang kau pikirkan adalah rekamannya? Kau tak memikirkan bagaimana kacaunya aku setelah mengetahui perselingkuhan itu? Kau sakit jiwa, Henry!" umpat Carol diikuti suara bantingan pisau roti di atas piringnya. "Lucy lebih baik darimu. Aku ingin adanya pewaris keluarga Parker. Aku adalah anak pertama dan tentunya mereka semua menginginkan pewaris langsung dariku." dengan tenangnya Henry membuka map yang diberikan oleh Arnold. Henry menyerahkannya pada Carol. 'Apa ini?' Carol membuka map itu lalu membacanya. Ternyata benar, Henry akan menceraikannya. Carol tertawa keras dengan umpatan lirih dalam bahasa asing tempat ia dibesarkan dulu. "Surat cerai?" Henry tak menjawab. Itu cukup membuktikan bahwa apa yang dilihat dan didengarnya adalah sebuah kebenaran. "Bagaimana kau akan menceraikan aku sementara kita terikat perjanjian bisnis di masa depan?" "Semuanya telah selesai bukan?" Henry menaruh garpu dan pisau rotinya dengan anggun lalu menyeka bibirnya dengan selembar kain putih. Ia benar-benar seperti bangsawan berkelas. "Aku telah mengembalikan Harold Times pada keluargamu. Perusahaan itu hampir jatuh kalau masih tetap dipegang oleh pamanmu yang gila judi itu." "Tapi aku tak menerima kompensasinya!" teriak Carol frustasi. Kantor berita itu memang hampir bangkrut lima tahun yang lalu namun Henry membelinya dan mengganti orang-orang di dalamnya. Ada indikasi korupsi yang dilakukan oleh paman Drew, adik James Dustin yang juga ayah mertua Henry. "Aku tidak peduli. Yang terpenting sesuai perjanjian, aku telah mengembalikan perusahaan itu ke keluargamu. Tanya pada adik tirimu itu, Carol Dustin." Henry mengakhiri makan paginya. Ia beranjak dari ruang makan itu diikuti oleh asisten pribadinya yang selalu tersenyum ramah pada siapapun. Carol masih duduk di ruang makan. Tiba-tiba saja ia tak bernafsu melihat makanan yang tersaji di hadapannya. Tangannya gatal menggaruk-garuk kepalanya hingga berombak. "Dasar laki-laki sialan! Aku akan menemui ibu mertua. Aku akan adukan perbuatanmu padanya."Malam itu, Carol kembali ke rumah keluarga Parker untuk meminta keadilan. Ia berharap keluarga besar Parker akan membelanya dari segala perlakuan Henry. Namun yang didapatkan adalah perlakuan yang sama. Ia diusir, seluruh barang-barangnya dibuang. "Pergi kau dari rumah ini! Keluarga Parker tidak membutuhkan hama sepertimu di sini!" Nyonya Emma Welson berteriak keras hingga membuat seluruh pelayan di mansion mewah itu tersentak kaget. Carol yang baru saja pulang dari rumah sahabatnya terkejut, karena tiba-tiba ibu mertuanya itu memakai dirinya dengan kata-kata kotor. Sementara di sudut sana, Henry Parker suaminya hanya berdiam diri sambil meneguk minuman di gelas tinggi. Ia hanya tersenyum sinis melihat istrinya diperlakukan kasar oleh ibunya. "Apa maksud ibu? Apa salahku hingga harus diusir dari rumah ini?" Carol membela diri. Ia merasa tak bersalah sama sekali. Ia berjalan mendekati ibu mertuanya untuk meminta penjelasan tapi tangannya yang hendak memegang lengan nyonya Emma langs
Carol berjalan terseok-seok menyusuri jalanan panjang menuju jalan raya menuju arah pusat kota Amberfest. Ia mengurungkan niatnya menginap di rumah peninggalan ibunya. Besok pagi, ia harus mencari pekerjaan untuk menopang kehidupannya. Carol berdiri di tepi jalan besar, tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Seorang wanita membuka jendela kaca, menatap Carol dengan tatapan sinis. "Kau pengemis?" "Aku terlihat seperti pengemis?" Carol balik bertanya. Wajah Carol terlihat kusam mengerikan. Rambut acak-acakan, riasan wajah hancur, mata merah dan hidung yang berair. Mungkin karena itu, wanita asing itu bertanya padanya. "Kau sedang menunggu taksi?" wanita itu kembali bertanya. Carol mengangguk pelan. "Ah, kalau begitu ikutlah denganku sampai jalan raya menuju kota. Kudengar di sini sangat sulit mencari kendaraan." Carol masih terdiam di tempatnya. Ia masih mencerna ucapan wanita asing di depannya. Karena lama tak ada jawaban, wanita asing itu membuka pintu mobil lalu menarik Carol masuk. Ia
Carol datang ke kantor Harold Times untuk bertemu dengan adik tirinya. Sejak ayahnya meninggal, hanya dia yang bersedia mengelola perusahaan peninggalan keluarga Dustin itu. Perusahaan penerbitan surat kabar yang telah hampir satu abad berdiri di kota Amberfest. Ruangan adik tiri Carol cukup nyaman. Nuansa merah maroon bercampur dengan hijau muda seperti warna natal menjadi interior yang hangat. Berbanding terbalik dengan misi perusahaan yang mencari berita panas setiap harinya tanpa mengenal takut. Ia menyusuri setiap sudut ruangan mewah itu, mencari sesuatu yang bisa ditelusurinya. Tak ada, tak banyak harapan lagi. "Ah, kau datang kemari? Ada apa?" Erik Dustin, pemilik ruangan sekaligus adik tiri Carol masuk dan menyapanya."Aku, sedang ingin saja ke sini." Carol berbalik menuju kursi kebesaran Erik di dekat jendela besar sana. Ia duduk setelah dipersilakan oleh pria itu. "Aku ingin bercerita padamu."Erik mengerutkan dahinya membiarkan wanita cantik di depannya ini memulai pembi
"Selamat malam tuan Domsley. Senang bertemu denganmu," balas Erik menyapa kembali tuan Domsley yang agung. Pria itu berseri-seri, ia memang senang dipuji oleh orang lain. "Ah, aku ingat tentang Harold Times. Kau beruntung bisa menyelamatkan perusahaan itu. Apa kau berniat melepas sedikit saham untuk kubeli?" Erik menoleh ke arah Carol yang tersenyum manis padanya. Sepertinya ia akan meminta pendapat kakak tirinya itu."Aku memiliki 20% saham. Kalau tuan Domsley berkenan, aku bisa menjual 10%. Aku adalah putri tertua James Dustin. Tapi aku tidak terlalu bersenang-senang dengan saham itu." Carol menampakkan raut wajah sendu dan sedih. Ia sengaja, tuan Domsley sangat suka cerita menyayat hati."Kenapa tidak? Apa kau terluka? Tunggu, bukankah kau istri tuan Henry pemilik Deluxe corp?" tuan Domsley menunjuk ke arah Henry sehingga semua orang ikut melihatnya. "Lalu kenapa dia—""Aku telah berpisah. Sekarang aku bekerja menjadi sekretaris Erik dan beren
Henry tak membawa hasil apapun sepulangnya dari pesta pertemuan pengusaha malam ini. Tak ada satupun yang berniat membuka pertemuan selanjutnya untuk membicarakan bisnisnya yang masih terus berkembang. Lucy tak bisa diharapkan lagipula memang bukan keahliannya meyakinkan para pengusaha itu. Lucy hanya bertindak sebagai orang ketiga yang membantunya di balik layar. Berbeda dengan Carol yang akan mencarikan mangsa untuknya. "Kau pulang dalam keadaan lesu. Apa yang terjadi?" nyonya Ferlestin, istri pamannya menyapa. Henry menggelengkan kepalanya. "Mungkin saja aku bisa membantu.""Aku tak mendapatkan satupun pengusaha yang bisa aku ajak bekerja sama. Tak biasanya mereka begitu acuh saat melihat keberadaanku di pesta itu." Henry duduk di samping nyonya Ferlestin yang tengah membuka majalah fashion terkenal. Ia menutup wajahnya dengan sebelah tangan sambil memejamkan matanya. "Siapa yang kau incar? Aku mungkin bisa membantumu," ujar nyonya Ferlestin.
Perut Carol berbunyi nyaring. Sudah pukul tujuh malam dan ia harus mengisi perutnya yang belum dimasuki makanan sejak sore. Carol memang memiliki kebiasaan untuk mengunyah makanan sebelum tidur, karena itu membuatnya lebih mudah tertidur. Ia tak pernah mempedulikan bentuk tubuhnya yang akan membesar. Toh selama ini ia tak pernah merasakan hal itu. "Kau mau kemana?" langkah Carol terhenti mendengar suara dingin nan tajam berseru di belakangnya. "Mengendap-endap seperti perampok saja." "Damian, aku lapar. Maaf jika aku seperti sedang menguntit di rumahmu tapi ini bukan salahku. Rumahmu begitu besar dan banyak tangga dimana-mana. Aku juga tak tahu dimana dapurmu. Sedangkan perutku—" "Aku baru saja akan mengajakmu untuk makan malam. Apakah rumahku lebih besar dari milik bedebah itu?" Carol mengerutkan dahinya. Siapa yang dimaksud dengan bedebah? "Maksudku, Henry. Rumahnya tak sebesar rumahku?" "Oh, rumah Henry? Sepertinya hanya setengahnya dari ru
Tugas Carol sebagai seorang sekretaris Erik hanya berlaku satu hari. Setelahnya, ia dibawa oleh asisten Ken ke kantor milik Damian. Suaminya itu menginginkan Carol bekerja sebagai konsultan bisnisnya. Mengingat betapa piawainya wanita itu saat presentasi memberikan pandangannya terhadap bisnis menjanjikan di masa depan. Intuisinya benar-benar bermanfaat. Sayang sekali wanita secerdas dia dicampakkan begitu saja oleh si pecundang Henry Parker. Carol duduk di kursi yang telah disediakan oleh Damian. Lebih baik daripada kursi di tempat kerjanya yang dulu. Damian begitu memanjakannya dengan berbagai alat penunjang. Laptop keluaran terbaru, meja kerja yang sangat cantik, hiasan dinding serta vas bunga yang diisi dengan bunga segar. "Dia membuatku seperti putri kerajaan," gumam Carol. Dua jam Carol berkutat dengan laptop dan laporan di tangannya, hampir separuhnya telah selesai dikerjakan. Carol sangat menghargai waktu. Ia sangat menyenangi pekerjaannya sehin
Henry baru saja kembali dari kantor catatan sipil untuk mendaftarkan pernikahannya dengan Lucy. Sekembalinya dari kantor itu, ia tak segera menuju kantornya. Ia datang ke rumah nyonya Ferlestin yang sudah pulang tadi pagi. Jantung Henry berdebar-debar menunggu hasil pertemuan antara nyonya Ferlestin dan tuan Domsley."Bagaimana keputusannya? Apakah tuan Domsley mau membantu?" tanya Henry tak sabar. Ini proyek besar yang mempertaruhkan nama baik dan reputasinya. Nyonya Ferlestin menyesap teh hijaunya. Sekilas ia menahan napasnya sebelum ia menjawab pertanyaan beruntun dari keponakannya. "Tuan Domsley tak berminat. Ia terlihat marah saat menolaknya. Menurutmu, apa mungkin ia mengetahui masalah di balik pembangunan sekolah itu?" tanya nyonya Ferlestin hati-hati."Tak mungkin ada yang tahu kecuali ia mencarinya ke pengadilan," ujar Henry dengan raut wajah penuh curiga tapi dipendamnya. "Aku hanya berfirasat saja. Karena saat aku menanyakannya sekali lagi, tiba-tiba wajah dan nada suara
Wajah kesal Henry tercetak jelas saat ia memasuki ruangan, mengetahui jika di dalam ruangan itu ada Carol yang pernah menjadi teman kerja juga hidupnya. Lucy yang berdiri di sebelahnya pun merasakan hal yang sama. Rasa tak nyaman dan juga tekanan dari atmosfer di sekitarnya membuat punggungnya serasa dihujani ribuan batu es. Lucy memilih duduk di meja yang berseberangan dengan Carol. Ia berusaha tenang menetralkan detak jantungnya. Kadang ia melirik ke kanan hanya untuk melihat interaksi Carol dengan pria di sampingnya. 'Apakah itu kekasihnya?'Waktu berjalan cepat. Dua orang maju untuk presentasi secara singkat konsep yang akan mereka kerjakan jika terpilih menjadi pemenang sebagai konseptor terbaik. Kini giliran Lucy untuk maju sebagai perwakilan dari Deluxe Corp. Dengan wajah penuh percaya diri, ia berjalan menuju podium depan menyiapkan bahan presentasinya. Satu persatu slide presentasi dibuka menampilkan gambar dengan animasi 3D yang memukau mata. Dari kejauhan Carol menyipit
Hari ini Damian mengajak Carol ke kantor milik tuan Gallant. Ditemani oleh tuan Domsley dan Ken. Tadi pagi saat mereka akan berangkat, Erik melakukan sedikit drama. Ia ingin ikut tapi Damian melarangnya. Tuan Gallant sangat sensitif terhadap media dan Erik telah terkenal di dunia pengusaha sebagai pemimpin utama Harold Times.Saat memasuki gedung dua puluh lantai yang megah itu, Carol merasa hawa kurang nyaman dari sekitarnya. Seolah semua orang tengah membicarakannya. Beberapa dari mereka memang tengah berbisik-bisik sambil menatap kedatangannya. Ia berusaha menghilangkan pikiran buruk itu. 'Mungkin saja mereka tengah mengagumi Damian.'Namun, pemikiran Carol ternyata salah. Mata sekelilingnya bukan tengah membicarakan Damian, tapi dirinya sendiri. Sayup-sayup terdengar suara seseorang yang mengatakan jika dirinya adalah menantu yang tak diinginkan oleh keluarga Parker. Lucy adalah yang terbaik. 'Dia menantu yang dibuang.''Untuk apa dia ke sini? Mengemis pekerjaan?''Apakah dia ak
Carol tengah mengutak-atik laptopnya untuk mencari file penyimpanan projek yang pernah dipresentasikan dua tahun lalu saat dirinya masih berada di Deluxe Corp. Senyumnya mengembang, data yang ia butuhkan masih ada di laptop tua itu. Dalam sekejap mata, data itu diperbaiki untuk ditambahkan banyak detil yang diperlukan. 'Damian mengatakan padaku untuk membuatkan sebuah desain yang minimalis tapi berkesan. Sepertinya, desain ini harus ku tambahkan detail yang lain.' Carol berkata dalam hati.Hanya membutuhkan waktu dua jam, Carol berhasil menambah detail yang lebih baik. Tak lama kemudian, Damian masuk ke dalam kamar dengan hanya menggunakan celana pendek tanpa pakaian. Carol meliriknya, tiba-tiba saja pipinya memerah seperti tomat. "Kau sedang apa?" Damian mengintip dari atas. Carol menutup sebagian pekerjaannya. Sengaja agar Damian tak mengganggunya lagi. "Besok saja lagi. Sudah malam.""Tak apa. Aku sedang luang hari ini."Damian berjalan menuju lemari pakaian, mengambil kaus leng
Henry menggeram menahan marah, mengabaikan panggilan dari asistennya yang sejak tadi berdiri di dekat meja. Satu jam lalu, seseorang memberitahu sebuah informasi yang menurutnya sangat berbahaya untuk masa depan perusahaannya. Henry memejamkan matanya. Ia memikirkan skenario untuk mencegah kerugian apabila apa yang ada di kepalanya benar terjadi. 'Carol bekerja di perusahaan milik Damian.' Sebuah informasi yang cukup membuat darahnya berdesir hebat. Bukan karena kemunculan kembali Carol setelah sekian lama menghilang. Sempat beredar kabar jika dirinya bekerja di Harold Times tapi kini ia malah berada di perusahaan pesaingnya. Bukan, bukan takut hanya saja nasib perusahaan sedang dipertaruhkan kali ini. "Bodoh!" Henry meremas rambutnya. "Kenapa dia berada di pihak Damian? Apa mungkin semua kegagalan yang perusahaanku alami akhir-akhir ini karena ulah Carol dan Damian?"Pintu ruangan diketuk. Asisten Henry masuk bersama nyonya Ferlestin. Istri pamannya itu sering datang mengunjunginy
Carol menatap serius ke arah layar proyektor yang menampilkan data hasil pengembangan perusahaan beberapa bulan ke belakang. Data itu pernah dibacanya saat ia baru masuk ke perusahaan Damian. Matanya menyipit dan kedua alisnya berkerut tak nyaman. Tangannya begitu lincah menari di atas kertas putih, mencatat apa saja hal yang dirasanya janggal dan aneh. Saat Jessica masuk ke dalam rencana anggaran, tiba-tiba tangannya berhenti bergerak. Jessica si pembaca presentasi terus berbicara sesuai dengan deretan angka yang tengah diperlihatkan di layar proyektor. "Semua rencana anggaran berasal dari rekomendasi dari berbagai macam pihak. Saya, sudah mendapatkan persetujuan dari tuan Damian dan tuan Marco," ujar Jessica sebelum menyelesaikan presentasinya. Carol mengangkat tangannya. Mulutnya gatal ingin mengomentari isi dari presentasi wanita berambut pendek di depannya. "Saya pernah membaca draftnya beberapa minggu lalu. Semua yang anda ceritakan di depan tadi, sedikit berbeda dengan yang
Awal hari yang indah, diawali senin pagi yang membuat semua orang enggan pergi dari peraduannya. Begitu juga dengan Damian. Matanya masih setengah mengantuk, karena tadi malam Carol mengajaknya berkeliling pasar malam tengah kota. Carol mencoba berbagai macam makanan khas tanpa henti. Damian saja yang hanya melihatnya, sangat enggan untuk mencoba. Carol rupanya belum bangun dari tidurnya. Wanita itu masih nyaman bergelung di dalam selimut. Jam dinding telah menunjukkan pukul enam pagi. Sudah waktunya, mereka mempersiapkan diri untuk berangkat menuju kantor. Hari ini, ada presentasi hasil rapat minggu lalu. Akan ada tuan Domsley datang untuk mengawasi. "Carol, bangunlah. Hari ini ada presentasi dari divisi pengembangan. Kau ikut mengawasinya." Damian mengguncang-guncang tubuh Carol yang masih belum mau bergerak. Damian menarik lengannya, lalu memberi satu kecupan di dahi mulus Carol. "Kalau tidak bangun, akan aku cium bibirmu hingga bengkak." Mata Carol tiba-tiba terbuka. Lalu berla
Henry begitu menikmati waktunya yang santai bersama Lucy hari ini. Di tengah kesibukannya, ia teringat dengan istrinya yang telah diabaikannya berhari-hari. Wanita yang selalu bersama dengannya itu sungguh bahagia melihat perubahan sang suami. Perhatian inilah yang diharapkannya sejak pernikahan mereka dua bulan lalu."Kau memesan kamar VVIP?" tanya Lucy begitu dirinya masuk ke dalam bioskop. Seorang pekerja bioskop mengajak mereka naik ke lantai dua, di sana terdapat lima kamar VVIP yang diisi khusus bagi pengunjung terpilih. "Aku memesannya tiga hari lalu. Ini kejutan untukmu." Henry tersenyum. Lucy bahagia mendengarnya. Pria yang dicintainya memberikan kejutan di saat dirinya sedang sedih. "Terima kasih." Keduanya kini duduk di kamar VVIP ketiga yang terletak di lantai dua. Sebenarnya Henry ingin di bagian tengah, karena pemandangannya lebih menarik. Tapi di bagian itu, telah dipesan dua jam sebelum dirinya. Kedua mata Henry menyipit, melihat pekerja bioskop berkali-kali masuk
Fakta mengenai siapa Damian sebenarnya, belum ada yang berani membicarakan. Erik mengatakan, apa yang terlihat di depan mata bukanlah yang sebenarnya terjadi. Damian hanya menyembunyikan separuh dari misteri hidupnya. Tak ada yang tahu pasti apakah dia iblis atau malaikat. Carol melihat sosok Damian sebagai sosok dingin dan misterius yang terkadang sering bertingkah aneh. Selama ini, tak pernah sekalipun pria itu ringan tangan padanya. Walau wajahnya nampak sedikit kejam. Setidaknya, ia tetap memakai topeng malaikat di depannya. "Sedang membicarakan aku?" tanya Damian dari balik pintu ruang kerja yang kini terbuka lebar. Carol dan Erik saling melirik. Carol melengos, Erik terkekeh melihat reaksi kakak tirinya itu. "Kau terlalu percaya diri." Carol mencebik. Ia segera pergi dari hadapan Damian dan Erik. Kedua pria itu saling tatap lalu menggelengkan kepalanya. Erik melihat ke arah ruang tengah, memastikan Carol telah pergi dari sana. Setelah itu, ia berbisik perlahan di telinga Dam
"Rachel itu, istri kedua mendiang kakak Billy yang meninggal karena kecelakaan." Carol duduk di sofa dekat kolam belakang mansion. Tadi Damian mengajaknya untuk bersantai di sana setelah makan malam. Rencananya, mereka juga akan menginap di mansion keluarga Easton yang mewah itu. "Kenapa dia masih di sini?" tanya Carol. "Maksudku, kan suaminya telah tiada. Jadi—""Ayah yang menyuruhnya tinggal di sini." Damian menghela napas berat. Matanya menerawang jauh ke atas langit yang malam ini berwarna terang. Carol mengikuti arah pandang suaminya. "Wanita itu rapuh. Dia butuh perlindungan.""Boleh aku berteman dengannya?" Damian mengangguk. "Kau boleh berteman dengan siapapun. Kecuali keluarga Parker."Carol terkekeh. "Aku bahkan tak memikirkan keluarga itu lagi.""Tapi tetap ingin membalas dendammu kan?"Carol tak membahasnya lagi. Ia sungguh lelah malam ini. Setelah masuk ke dalam kamar, ia langsung merebahkan tubuhnya di ranjang empuk itu. Matanya terpejam sejenak, sebelum seseorang tib